(Sebuah Solusi Menangani Memanasnya Suhu Politik di Indonesia)
Pada perkembangannya, semangat manusia untuk hidup damai dan tenteram
telah
menyebabkan munculnya upaya-upaya bersama yang terus menerus
untuk mencari jalan melanggengkan atau memelihara situasi damai sesuai cita-cita bersama. Penelitian perdamaian (peace researchs) dilakukan, strategi perdamaian (strategy of peace) dirumuskan dan diperbaiki,
lembagalembaga internasional, regional dan lokal-pun didirikan sepanjang sejarah modern ini,
untuk merealisasikan keinginan akan perdamaian
dan
menghindarkan peperangan yang memusnahkan dan mengundang penderitaan dahsyat bagi umat manusia.
Perubahan sistemik dari
sistem politik otoriter menuju sistem
politik demokrasi, menciptakan suatu keadaan
transisi sosial, yang merupakan suatu situasi keadaan yang serba menggelisahkan
karena ketidakpastian yang diciptakannya. Di satu pihak, masyarakat sudah meninggalkan sistem politik otoriterisme.
Di lain pihak,
sistem demokrasi belum terbentuk
secara solid, karena lemahnya lembaga-lembaga demokrasi
dan
belum berpengalamannya
masyarakat
dalam memasuki sistem politik demokrasi. Warisan ketidakadilan,
diskriminasi,
ketertutupan, KKN, dan berbagai ketidakberesan
pengelolaan
pemerintahan dan birokrasi,
meledakkan ekspresi
ketidakpuasan dan
penolakan
terhadap apa saja yang berhubungan
dengan kekuasaan
dan pengaturan di segala bidang kehidupan
publik. Padahal sebelumnya berbagai
aspirasi, keinginan dan cita-cita politik masyarakat tidak mampu atau tidak berani diekspresikan secara terbuka apa adanya, karena ancaman kekerasan oleh aparat-aparat negara keamanan dan intelijen. Setiap warga negara yang berpikir sehat tentu tidak menghendaki berbagai konflik sosial yang berdimensi kekerasan dewasa ini akan menjadi awal bagi kerusakan sosial, perpecahan bangsa, dan disintegrasi nasional.
Berdasarkan kondisi-kondisi sosial politik yang berkembang dalam transisi sistemik yang
terjadi di Indonesia yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan ini, maka kajian akan membahas
dua strategi nasional pokok untuk perdamaian di Indonesia.
Rekonsiliasi Nasional
Gagasan utama dari rekonsiliasi nasional dapat disimpulkan pada dua hal.
Pertama, penyelenggaraan dialog nasional dan
kerjasama pada tingkat nasional maupun
daerah,
yang melibatkan semua komponen bangsa, baik formal
maupun informal,
yang
mewakili kemajemukan agama, suku dan kelompok
masyarakat
lainnya untuk
menampung berbagai sudut pandang guna mencari
titik-titik persamaan pandangan dalam
rangka mencari
solusi dari berbagai konflik kekerasan dan krisis sosial politik yang ada.
Kedua, penyelenggaraan suatu program
terlembaga dalam rangka mengungkapkan penyalahgunaan
kekuasaan
dan
pelanggaran hak azasi manusia pada masa lampau, dan
menegakkan keadilan serta kebenaran, berlandaskan hukum
serta perundang-undangan yang
berlaku; untuk selanjutnya melakukan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan nasional.
Langkah-langkah setelah
pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan
dengan pengakuan
kesalahan, permintaan
maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti,
rehabilitasi, atau cara-cara lain, dengan memperhatikan
rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat dan persatuan nasional.
Menghargai Keberagaman. Indonesia yang terdiri dari berbagai
unsur dan bermacam-
macam kelompok, hanya akan
terpelihara eksistensinya, apabila ada kerelaan untuk saling menerima keberagaman dari setiap komponen
bangsa terhadap komponen
atau kelompok
lainnya. Setiap warganegara mesti menyadari, tidak mungkin kedamaian dibangun secara hakiki, apabila suatu kelompok agama tertentu menganggap dirinya adalah kelompok agama yang lebih istimewa dibandingkan dengan yang lainnya.
Salah satu potensi besar dalam menyumbang terhadap perdamaian
adalah dengan
kembali
kepada ajaran-ajaran pokok setiap agama, karena mayoritas sangat besar dari bangsa Indonesia
adalah umat beragama. Agama melalui para pemeluknya harus belajar
meninggalkan sikap
memutlakkan ajaran agama (absolutisme agama) sendiri sebagai satu-satunya kebenaran yang ada di
dunia, dan sebaliknya dapat berbagi
ruang hidup secara lapang dada dengan menerima keanekaragaman agama-agama (pluralisme agama) di Indonesia.
Dialog Perdamaian. Dalam dialog perdamaian ini, sekali lagi harapan dibebankan kepada para pemeluk-pemeluk agama. Hal ini
didasarkan oleh kenyataan, bahwa sudah begitu banyak
kekejaman dan
kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya di
seluruh dunia, termasuk di
Indonesia, justru dengan justifikasi yang berasal atas ajaran agama-agama
tertentu. Apalagi
agamalah tampaknya yang paling sering menjadi
alat politik untuk
membenarkan
kelompok sendiri, serta menyalahkan
kelompok lainnya. Padahal, setiap orang beragama umumnya sepakat, bahwa pesan inti agama adalah memelihara kehidupan damai serta
saling mengasihi antar sesama manusia. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya dari pesan-pesan pokok setiap agama, tentulah telah terjadi
kesalah pahaman antar pemeluk agama. Untuk itulah
dialog perdamaian antar agama perlu dilakukan secara terus-menerus. Momentum
dialog antar
agama mulai dirasakan keperluannya dan kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya di zaman modern ini, setelah
para uskup agama Katolik seluruh
dunia menyelenggarakan Konsili Vatikan II, tahun 1964. Pada waktu itu antara lain dibahas agar soal umat Katolik menjalin dialog dengan pemeluk agama dan
berbagai
kebudayaan lain
yang ada di dunia ini.
Inisiatif dialog
ini
kemudian disambut dengan
baik oleh kalangan Islam. Dewasa ini
sudah
cukup banyak organisasi
dan
forum-forum dialog agama-agama internasional, tidak hanya antara Islam dan Kristen, melainkan juga antara Kristen dengan Yahudi, Kristen dengan Hindu, juga yang bersifat multilateral antara berbagai agama. Hal ini kalau dilakukan secara terus-menerus dengan
semangat saling menghargai serta sikap yang dilandasi ketulusan dan kejujuran, diharapkan
besar kemungkinan akan memberikan sumbangan berarti bagi perdamaian.
Menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam
proses awal menciptakan perdamaian yang hakiki adalah
dengan upaya melakukan
upaya pengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tidak akan mungkin tercipta perdamaian yang hakiki dengan tindakan menutup-nutupi atau
menyembunyikan berbagai tindakan kekerasan terhadap HAM di masa lalu, dan melepaskan
para pelaku penyalahgunaan kekuasaan politik atas nama negara terhadap masyarakat yang lemah yang seharusnya dilindungi
oleh negara. Secara struktural
sesungguhnya gagasan rekonsiliasi nasional melalui penegakan kebenaran dan keadilan ini sudah diakomodasikan dasar hukumnya melalui pembentukan Tap MPR No.V/MPR/2000 tentang pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional. Secara eksplisit Tap MPR No. V/MPR/2000 mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) dalam mengupayakan rekonsiliasi nasional secara komprehensif. Ini
adalah sebuah lembaga ekstra-yudisial yang dimaksudkan untuk menciptakan
“perdamaian” tanpa harus melalui
prosedur-prosedur hukum yang standar, agar sebuah bangsa
mampu menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian atas perselisihan, konflik dan permusuhan, serta pelanggaran-pelanggaran HAM
di masa. Salah
satu asumsi
dari
pembentukan
badan ekstra-yudisial KKR ini adalah adanya keterbatasan jangkauan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum positif yang ada untuk menyelesaikan berbagai konflik kekerasan dan pelanggaran HAM
masa lalu. Keterbatasan ini
disebabkan baik karena kekurangan bukti-bukti konkret yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan suatu
peradilan umum,
maupun karena sudah kadaluwarsanya suatu kasus kejahatan dan pelanggaran HAM tertentu.
Konsolidasi Demokrasi Umum. Demokrasi erat kaitannya dengan
perdamaian, karena demokrasi, seperti halnya perdamaian
sangat menjunjung tinggi persamaan hak antar
warganegara, menjunjung tinggi hukum dan keadilan, mengutamakan dialog, dan menghindari
kekerasan. Oleh karena itu konsolidasi demokrasi adalah salah satu cara yang sangat penting dalam upaya mewujudkan perdamaian yang hakiki, yang muncul dari
kesadaran
dan
partisipasi masyarakat, bukan perdamaian yang semu hasil rekayasa dan intimidasi oleh kekuasaan negara.
Demokrasi dapat didorong dengan memperkuat struktur politik dan infrastruktur
demokrasi, memperbaiki mekanisme proses politik, serta dengan membangun budaya politik
yang menjunjung tinggi persamaan di muka hukum. Demokrasi akan berhasil atau mengalami kegagalan, tergantung dari berbagai hal. Tidak ada jaminan bahwa suatu proses demokrasi akan menghasilkan demokrasi yang sungguh-sungguh. Demokrasi juga tidak mungkin berhasil hanya
dengan itikad baik suatu kelompok tertentu. Proses menuju demokrasi sama pentingnya dengan
tujuan-tujuan
mulia dari demokrasi itu sendiri.
Mencapai suatu
demokrasi, tidak mungkin dicapai dengan
cara-cara otoriter, dengan
tindakan-tindakan
kekerasan yang direkayasa serta
pelanggaran hukum secara sistematis.
Dalam kenyataan di lapangan, bukan
tidak mungkin, suatu proses demokrasi menciptakan ketidaksabaran, sehingga menciptakan godaan-godaan untuk melakukan “percepatan” yang seringkali berarti pemaksaan, intimidasi,
diskriminasi, pembredelan, dan terorisme. Hal-hal
terakhir ini justru akan menciptakan suatu situasi yang bersifat kontraptoduktif, baik terhadap proses demokrasi, maupun terhadap upaya perdamaian, karena menciptakan lingkaran kekerasan
yang tidak ada kesudahannya. Demokrasi yang sungguh-sungguh hanya mampu diwujudkan
melalui
proses-proses dialog, musyawarah, tukarmenukar dan proses “jual beli” gagasan- gagasan, untuk menemukan solusi dan cara terbaik bagi keselamatan rakyat. Dan ini adalah
suatu proses yang memakan
waktu berpuluh-puluh
tahun, bagaikan spiral menaik, makin lama
makin tinggi tahapnya. Dan makin tinggi struktur, proses dan budaya demokrasi, akan makin
sedikit penggunaan cara-cara kekerasan dalam masyarakat.
Struktur
Politik dan Infrastruktur
Demokrasi. Penguatan struktur politik yang penting adalah penyempurnaan dan penyusunan perundangan-undangan. Salah satu langkah penting yang perlu segera dilakukan adalah finalisasi dan pemberlakuan RUU tentang Rekonsiliasi
Nasional
(RUU/RK) yang merupakan dasar bagi
pembentukan Komisi
Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR). Aktivitas ini bernilai strategis bagi pengembangan iklim
politik yang
demokratis. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini diharapkan mampu bekerja secara efektif sebagai sarana untuk menyembuhkan luka-luka yang disebabkan oleh berbagai konflik politik dan
pelanggaran
kemanusiaan di masa lalu, termasuk ekses-ekses dari penumpasan G30S/PKI beserta penyelidikan latar belakang peristiwanya. Selain itu, UU tentang Pengadilan HAM perlu ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pengadilan
bagi para
pelanggar HAM.
Apabila
Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mampu bekerja dengan prosedur standar internasional, maka
salah satu
langkah rekonsiliasi nasional
untuk mewujudkan perdamaian
yang hakiki akan
berhasil dilakukan. Selanjutnya, ada jaminan politik dan hukum
yang tegas, bahwa
pelanggaran- pelanggaran
politik dan kemanusiaan
serupa tidak akan
terjadi lagi di masa depan, dalam
sistem politik demokrasi.
Infrastruktur demokrasi dan
perdamaian seperti yang sudah
diuraikan
pada bagian
sebelumnya, mencakup sistem penting lain di luar sistem politik, yang diduga amat berpengaruh
terhadap proses terciptanya perdamaian yang hakiki
Proses dan Budaya Politik. Hal strategis yang mendesak dilakukan adalah
menyempurnakan,
memantapkan dan menciptakan mekanisme pemilihan umum demokratis.
Termasuk dalam strategi ini adalah penyempurnaan proses politik demokrasi melalui
penyelenggaraan pemilihan Presiden RI secara langsung mulai tahun 2004. Konsekuensinya adalah, dipisahkannya antara proses Pemilu untuk memilih Presiden dengan Pemilu untuk
memilih wakil-wakil rakyat, sehingga diharapkan kemungkinan terjadinya distorsi dalam proses artikulasi politik aspirasi rakyat
dapat dihindarkan secara optimal. Hal ini diharapkan akan mampu menghindarkan sejauh mungkin potensi konflik politik di masa depan, baik di
kalangan
elite politik maupun pada tingkat massa.
Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, pemilihan kepala pemerintahan
(eksekutif) diadakan dalam kerangka yang terpisah
dengan pemilihan anggota-anggota dewan
perwakilan
rakyat (legislatif). Dengan demikian, presiden tidak perlu merasa terganggu dalam
pelaksanaan tugas-tugas eksekutifnya, karena mempunyai legitimasi
yang sama kuatnya dengan legislatif.
Terkait dengan
agenda penyempurnaan struktur politik melalui amandemen UUD 1945,
maka perlu dibangun secara terus-menerus proses dan budaya politik yang mendorong hubungan saling
mendukung dan
mengoreksi (check
and
balance) antara
Presiden dan DPR. Sistem
oposisi politik yang menghadapkan
partai yang membentuk pemerintahan dengan partai yang mengimbangi kekuatan pemerintah perlu diperkenalkan dan dibangun, agar pemerintah selalu memberikan yang terbaik dari potensi yang dimilikinya.
Budaya oposisi untuk memastikan adanya proses politik yang transparan dan bertanggung jawab pernah menjadi tradisi politik di Indonesia pada
masa demokrasi parlementer. Oleh
karena itu, sesungguhnya, Indonesia sudah mempunyai
pengalaman, dalam upaya membangun
kembali budaya opisisi di masa mendatang. Dalam jangka pendek sistem
oposisi ini tampaknya
akan menciptakan
suasana transisi yang serba menggelisahkan. Namun demikian, dalam jangka panjang akan memberikan
kontribusi besar bagi upaya mewujudkan perdamaian hakiki di
kalangan masyarakat.
Dalam upaya menciptakan proses dan budaya politik demokrasi, diperlukan adanya
perbaikan mutu pendidikan nasional di
semua tingkat dan bidang. Keprihatinan yang besar atas mutu pendidikan
dewasa ini, harus mampu mendorong
terciptanya wacana kurikulum
pendidikan nasional yang mendukung kemandirian, memupuk budaya demokrasi, serta
berorientasi pada pembangunan bangsa yang berkarakter (nation and character
building). Selain itu, budaya menghormati
HAM
dan menjunjung tinggi hukum perlu ditanamkan pada generasi muda, sebagai dasar pembentukan masyarakat warga yang modern (civil society), yang mengerti dan berkesadaran tinggi terhadap hak-hak dan kewajibannya sebagai warganegara.
0 comments:
Post a Comment