Wednesday, November 30, 2016

PEMBANGUNAN POLITIK


(Sebuah Solusi Menangani Memanasnya Suhu Politik di Indonesia)
Pada perkembangannya, semangat manusia untuk hidup damai dan tenteram telah menyebabkan munculnya upaya-upaya bersama yang terus menerus untuk mencari jalan melanggengkan atau memelihara situasi damai sesuai cita-cita bersama. Penelitian perdamaian (peace researchs) dilakukan, strategi perdamaian (strategy of peace) dirumuskan dan diperbaiki, lembagalembaga internasional, regional dan lokal-pun didirikan sepanjang sejarah modern ini, untuk merealisasikan keinginan akan perdamaian dan menghindarkan peperangan yang memusnahkan dan mengundang penderitaan dahsyat bagi umat manusia.

Perubahan sistemik dari sistem politik otoriter menuju sistem politik demokrasi, menciptakan suatu keadaan transisi sosial, yang merupakan suatu situasi keadaan yang serba menggelisahkan karena ketidakpastian yang diciptakannya. Di satu pihak, masyarakat sudah meninggalkan sistem politik otoriterisme.  Di lain pihak,  sistem demokrasbelum terbentuk secara solid, karena lemahnya lembaga-lembaga demokrasi dan belum berpengalamannya masyarakat  dalam memasuki sistem politik  demokrasi.  Warisan ketidakadilan,  diskriminasi, ketertutupan, KKN, dan berbagai ketidakberesan pengelolaan pemerintahan dan birokrasi, meledakkan ekspresi ketidakpuasan dan penolakan terhadap apa saja yang berhubungan dengan kekuasaan dan pengaturan di segala bidang kehidupan publik. Padahal sebelumnya berbagai aspirasi, keinginan dan cita-cita politik masyarakat tidak mampu atau tidak berani diekspresikan secara terbuka apa adanya, karena ancaman kekerasan oleh aparat-aparat negara keamanan dan intelijen. Setiap warga negara yang berpikir sehat tentu tidak menghendaki berbagai konflik sosial yang berdimensi kekerasan dewasa ini akan menjadi awal bagi kerusakan sosial, perpecahan bangsa, dan disintegrasi nasional.

Berdasarkan kondisi-kondisi sosial politik yang berkembang dalam transisi sistemik yang terjadi di Indonesia yang sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan ini, maka kajian akan membahas dua strategi nasional pokok untuk perdamaian di Indonesia.

Rekonsiliasi Nasional

Gagasan utama dari rekonsiliasi nasional dapat disimpulkan pada dua hal.

Pertama, penyelenggaraan dialog nasional dan kerjasama pada tingkat nasional maupun daerah,  yang  melibatkasemua  komponebangsa,  baik  formal  maupuinformal,  yang mewakili kemajemukan agama,  suku  dan  kelompok  masyarakat  lainnya  untuk  menampung berbagai sudut pandang guna mencari titik-titik persamaan pandangan dalam rangka mencari solusi dari berbagai konflik kekerasan dan krisis sosial politik yang ada.

Kedua, penyelenggaraan suatu program terlembaga dalam rangka mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak azasi manusia pada masa lampau, dan menegakkan keadilan serta kebenaran, berlandaskan hukum serta perundang-undangan yang berlaku; untuk selanjutnya melakukan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan nasional.

Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan dengan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau cara-cara lain, dengan memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan persatuan nasional.

Menghargai Keberagaman. Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur dan bermacam- macam kelompok, hanya akan terpelihara eksistensinya, apabila ada kerelaan untuk saling menerima  keberagaman  darsetiap  komponen  bangsa  terhadap  komponen  atau  kelompok lainnya. Setiap warganegara mesti menyadari, tidak mungkin kedamaian dibangun secara hakiki, apabila suatu kelompok agama tertentu menganggap dirinya adalah kelompok agama yang lebih istimewa dibandingkan dengan yang lainnya.

Salah satu potensi besar dalam menyumbang terhadap perdamaian adalah dengan kembali kepada ajaran-ajaran pokok setiap agama, karena mayoritas sangat besar dari bangsa Indonesia adalah umat  beragama.  Agama melalui para pemeluknya  harus belajar  meninggalkan sikap


memutlakkan ajaran agama (absolutisme agama) sendiri sebagai satu-satunya kebenaran yang ada di dunia, dan sebaliknya dapat berbagi ruang hidup secara lapang dada dengan menerima keanekaragaman agama-agama (pluralisme agama) di Indonesia.

Dialog Perdamaian. Dalam dialog perdamaian ini, sekali lagi harapan dibebankan kepada para pemeluk-pemeluk agama. Hal ini didasarkan oleh kenyataan, bahwa sudah begitu banyak kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, justru dengan justifikasi yang berasal atas ajaran agama-agama tertentu. Apalagi agamalah tampaknya yang paling sering menjadi alat politik untuk membenarkan kelompok sendiri, serta menyalahkan kelompok lainnya. Padahal, setiap orang beragama umumnya sepakat, bahwa pesan inti agama adalah memelihara kehidupan damai serta saling mengasihi antar sesama manusia. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya dari pesan-pesan pokok setiap agama, tentulah telah terjadi kesalah pahaman antar pemeluk agama. Untuk itulah dialog perdamaian antar agama perlu dilakukan secara terus-menerus. Momentum dialog antar agama mulai dirasakan keperluannya dan kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya di zaman modern ini, setelah para uskup agama Katolik seluruh dunia menyelenggarakan Konsili Vatikan II, tahun 1964. Pada waktu itu antara lain dibahas agar soal umat Katolik menjalin dialog dengan pemeluk  agama  dan  berbagai  kebudayaan  lain  yang  ada  di  dunia  ini.  Inisiatif  dialog  ini kemudiadisambut  dengan  baik  olekalangaIslam.  Dewasa  ini  sudah  cukup  banyak organisasi dan forum-forum dialog agama-agama internasional, tidak hanya antara Islam dan Kristen, melainkan juga antara Kristen dengan Yahudi, Kristen dengan Hindu, juga yang bersifat multilateral antara berbagai agama. Hal ini kalau dilakukan secara terus-menerus dengan semangat saling menghargai serta sikap yang dilandasi ketulusan dan kejujuran, diharapkan besar kemungkinan akan memberikan sumbangan berarti bagi perdamaian.

Menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Satu hal yang tidaboleh dilupakan dalam proses awal menciptakan perdamaian yang hakiki adalah dengan upaya melakukan upaya pengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Tidak akan mungkin tercipta perdamaian yang hakiki dengan tindakan menutup-nutupi atau menyembunyikan berbagai tindakan kekerasan terhadap HAM di masa lalu, dan melepaskan para pelaku penyalahgunaan kekuasaan politiatas nama negara terhadap  masyarakat  yang lemah yang seharusnya dilindungi oleh negara. Secara struktural sesungguhnya gagasan rekonsiliasi nasional melalui penegakan kebenaran dan keadilan ini sudah diakomodasikan dasar hukumnya melalui pembentukan Tap MPR No.V/MPR/2000 tentang pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Secara eksplisit Tap MPR No. V/MPR/2000 mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam mengupayakan rekonsiliasi nasional secara komprehensif. Ini adalah sebuah lembaga ekstra-yudisial yang dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian” tanpa harus melalui prosedur-prosedur hukum yang standar, agar sebuah bangsa mampu menciptakan rekonsiliasi dan perdamaian atas perselisihan, konflik dan permusuhan, serta  pelanggaran-pelanggaraHAM  di  masa.  Salah  satu  asumsi  dari  pembentukan  badan ekstra-yudisial KKR ini adalah adanya keterbatasan jangkauan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum positif yang ada untuk menyelesaikan berbagai konflik kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu. Keterbatasan ini disebabkan baik karena kekurangan bukti-bukti konkret yang dibutuhkauntuk  penyelenggaraan  suatu  peradilaumum,  maupun  karena  sudah kadaluwarsanya suatu kasus kejahatan dan pelanggaran HAM tertentu.

Konsolidasi Demokrasi Umum. Demokrasi erat kaitannya dengan perdamaian, karena demokrasi, seperti halnya perdamaian sangat menjunjung tinggi persamaan hak antar warganegara, menjunjung tinggi hukum dan keadilan, mengutamakan dialog, dan menghindari kekerasan. Oleh karena itu konsolidasi demokrasi adalah salah  satu cara yang sangat penting dalam upaya mewujudkan perdamaian yang hakiki, yang muncul dari kesadaran dan partisipasi masyarakat, bukan perdamaian yang semu hasil rekayasa dan intimidasi oleh kekuasaan negara.

Demokrasi  dapa didorong   dengan   memperkua struktu politik   dan   infrastruktur demokrasi, memperbaiki mekanisme proses politik, serta dengan membangun budaya politik yang menjunjung tinggi persamaan di muka hukum. Demokrasi akan berhasil atau mengalami kegagalan, tergantung dari berbagai hal. Tidak ada jaminan bahwa suatu proses demokrasi akan menghasilkan demokrasi yang sungguh-sungguh. Demokrasi juga tidak mungkin berhasil hanya dengan itikad baik suatu kelompok tertentu. Proses menuju demokrasi sama pentingnya dengan


tujuan-tujuan  mulia  dardemokrasi  itu  sendiri.  Mencapai  suatu  demokrasi,  tidak  mungkin dicapai dengan cara-cara otoriter, dengan tindakan-tindakan kekerasan yang direkayasa serta pelanggaran hukum secara sistematis.

Dalam kenyataan di lapangan, bukan tidak mungkin, suatu proses demokrasi menciptakan ketidaksabaran, sehingga menciptakan godaan-godaan untuk melakukan percepatan yang seringkali  berarti pemaksaan,  intimidasi,  diskriminasi,  pembredelan,  daterorisme.  Hal-hal terakhir ini justru akan menciptakan suatu situasi yang bersifat kontraptoduktif, baik terhadap proses demokrasi, maupun terhadap upaya perdamaian, karena menciptakan lingkaran kekerasan yang tidak ada kesudahannya. Demokrasi yang sungguh-sungguh hanya mampu diwujudkan melalui proses-proses dialog, musyawarah, tukarmenukar dan proses jual beli gagasan- gagasan, untuk menemukan solusi dan cara terbaik bagi keselamatan rakyat. Dan ini adalah suatu proses yang memakan waktu berpuluh-puluh tahun, bagaikan spiral menaik, makin lama makin tinggi tahapnya. Dan makin tinggi struktur, proses dan budaya demokrasi, akan makin sedikit penggunaan cara-cara kekerasan dalam masyarakat.

Struktur Politik dan Infrastruktur Demokrasi. Penguatan struktur politik yang penting adalah penyempurnaan dan penyusunan perundangan-undangan.  Salasatlangkah penting yang  perlsegera dilakukan adalafinalisasi dan pemberlakuan RUU tentanRekonsiliasi Nasional (RUU/RK) yang merupakan dasar bagi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Aktivitas ini bernilai strategis bagi pengembangan iklim politik yang demokratis. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini diharapkan mampu bekerja secara efektif sebagai sarana untuk menyembuhkan luka-luka yang disebabkan oleh berbagai konflik politik dan pelanggaran kemanusiaan di masa lalu, termasuk ekses-ekses dari penumpasan G30S/PKI beserta penyelidikan latar belakang peristiwanya. Selain itu, UU tentang Pengadilan HAM perlu ditindaklanjuti dengan pelaksanaan  pengadilan  bagi  para  pelanggar  HAM.  Apabila  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mampu bekerja dengan prosedur standar internasional, maka salasatu  langkarekonsiliasi  nasional  untuk  mewujudkan  perdamaian  yang  hakiki  akan berhasil dilakukan. Selanjutnya, ada jaminan politik dan hukum yang tegas, bahwa pelanggaran- pelanggaran politik dan kemanusiaan serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan, dalam sistem politik demokrasi.

Infrastruktur demokrasi dan perdamaian seperti yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, mencakup sistem penting lain di luar sistem politik, yang diduga amat berpengaruh terhadap proses terciptanya perdamaian yang hakiki

Proses dan Budaya Politik. Hal strategis yang mendesak dilakukan adalah menyempurnakan,  memantapkan dan menciptakamekanisme pemilihan umum demokratis. Termasuk dalam strategi ini adalah penyempurnaan proses politik demokrasi melalui penyelenggaraan pemilihan Presiden RI secara langsung mulai tahun 2004. Konsekuensinya adalah, dipisahkannya antara proses Pemilu untuk memilih Presiden dengan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat, sehingga diharapkan kemungkinan terjadinya distorsi dalam proses artikulasi politik aspirasi rakyat  dapadihindarkan secara optimal. Hal ini diharapkan akan mampu menghindarkan sejauh mungkin potensi konflik politik di masa depan, baik di kalangan elite politik maupun pada tingkat massa.

D negara-negar demokras yan suda mapan pemilihan   kepal pemerintahan (eksekutif) diadakan dalam kerangka yang terpisah dengan pemilihan anggota-anggota dewan perwakilan rakyat (legislatif). Dengan demikian, presiden tidak perlu merasa terganggu dalam pelaksanaan tugas-tugas eksekutifnya, karena mempunyai legitimasi yang sama kuatnya dengan legislatif.

Terkait dengan agenda penyempurnaan struktur politik melalui amandemen UUD 1945, maka perlu dibangun secara terus-menerus proses dan budaya politik yang mendorong hubungan saling  mendukung  dan  mengoreksi (check  and  balance)  antara  Presiden  daDPR.  Sistem oposisi politik yang menghadapkan partai yang membentuk pemerintahan dengan partai yang mengimbangi kekuatan pemerintah perlu diperkenalkan dan dibangun, agar pemerintah selalu memberikan yang terbaik dari potensi yang dimilikinya.

Budaya oposisi untuk memastikan adanya proses politik yang transparan dan bertanggung jawab  pernah  menjadi tradisi politik  di Indonesia  pada  masa  demokrasi parlementer.  Oleh


karena itu, sesungguhnya, Indonesia sudah mempunyai pengalaman, dalam upaya membangun kembali budaya opisisi di masa mendatang. Dalam jangka pendek sistem oposisi ini tampaknya akan menciptakan suasana transisi yang serba menggelisahkan. Namun demikian, dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi besar bagi upaya mewujudkan perdamaian hakiki di kalangan masyarakat.

Dalam upaya menciptakan proses dan budaya politik demokrasi, diperlukan adanya perbaikan mutu pendidikan nasional di semua tingkat dan bidang. Keprihatinan yang besar atas mutu  pendidikan  dewas ini harus   mampu   mendorong  terciptany wacan kurikulum pendidikan nasional yang mendukung kemandirian, memupuk budaya demokrasi, serta berorientasi pada pembangunan bangsa yang berkarakter (nation and character building). Selain itu, budaya menghormati HAM dan menjunjung tinggi hukum perlu ditanamkan pada generasi muda, sebagai dasar pembentukan masyarakat warga yang modern (civil society), yang mengerti dan berkesadaran tinggi terhadap hak-hak dan kewajibannya sebagai warganegara.

0 comments: