Teori Kebutuhan Manusia
(TKM)
dikembangkan pada tahun 1970a dan
1980an sebagai
teori generic atau holistic mengenai perilaku hewan. Teori ini
berdasarkan
hipotesa bahwa manusia mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memelihara masyarakat yang
stabil.
Seperti yang diuraikan oleh John
Burton:
Kita yakin bahwa keterlibatan manusia dalam situasi konflik mendorongnya berjuang di dalam lingkungan kelembagaannya pada setiap tataran social untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan primordial dan universal—kebutuhan seperti keamanan, identitas, pengakuan, dan pembangunan. Mereka terus berusaha menguasai lingkungannya yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
ini. Perjuangan ini tidak bisa dikekang;
perjuangan ini sifatnya primordial (1991:82-
83).
Perjuangan untuk memenuhi kebutuhan primordial ini secara teoretis berhubungan
dengan teori Frustasi-Agresi yang berdasarkan
pada hipotesa
stimulus-response. Rasa
frustasi tidak
bisa
memenuhi kebutuhan primordial
ini
mengarah pada agresi dan akhirnya, konflik. Yang
membedakan teori Kebutuhan Manusia dengan teori Frustasi-
Agresi
adalah bahwa yang pertama hanya berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan mutlak, sedangkan
yang belakangan
juga berkenaan keinginan (wants
and desires).
Burton menyatakan
lebih lanjut:
Sekarang kita tahu bahwa ada nilai-nilai
atau kebutuhan manusia universal yang mendasar yang harus dipenuhi jika ingin menciptakan masyarakat yang stabil. Bahwa hal ini benar adanya dengan demikian memberikan dasar yang tidak bersifat ideologis untuk mendirikan
lembaga-lembaga dan
kebijaksanaan.
Dalam masyarakat yang multi etnik ketidakstabilan dan konflik tak bisa dihindari, kecuali
jika kebutuhan identitasnya
terpenuhi dan dalam
setiap
sistem sosialnya ada
keadilan yang
merata, rasa penguasaan, serta
kemungkinan memperoleh semua
kebutuhan pembangunan masyarakat manusia lainnya (1991:21).
Arti penting teori
ini adalah karena ia mengenal dan mengesahkan kebutuhan-
kebutuhan yang diungkapkan oleh kedua pihak yang terlibat konflik. Kebutuhan kedua
belah pihak harus dipenuhi, bukan hanya memenuhi kebutuhan satu
pihak dengan
mengorbankan
kebutuhan
pihak lain. Hal ini membantu memindahkan konflik dari situasi habis-habisan (zero sum) ke situasi sama-sama menang (win-win).
Pemisahan ‘kebutuhan manusia’ itu membantu upaya menghilangkan adanya rasa tujuan yang sama-sama ekslusif. Alih-alih bertikai memperebutkan masa depan
konstitusional negara dengan tujuan-tujuan
yang sama-sama ekslusif dengan
memelihara kesatuan atau pemisahan, situasinya bergeser ke situasi di mana kedua
kelompok yang bertikai berusaha memenuhi kebutuhan mereka seperti keamanan, identitas,
pengakuan dan pembangunan. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dipenuhi dengan cara
mengorbankan kelompok lain, tetapi diwujudkan bersamaan
dengan pemenuhan
kebutuhan kelompok lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini
tidak
ekslusif
bagi kedua
pihak atau diperoleh dengan mengorbankan pihak lain; kebutuhan-
kebutuhan itu bersifat universal.
Banyak sekali pengalaman sejarah empiris yang mengesahkan
(validates) asumsi Burton, satu contoh di sini sudah cukup. Sudan digambarkan sebagai mikrokosmos Afrika
di mana jumlah golongan minoritasnya banyak sekali. Masyarakat Sudan
merupakan perbauran etnik yang ditandai oleh dominasi sistem sosial budaya yang
berintikan Afrika-Arab
Islam, di mana
golongan-golongan etnik
lainnya—terutama yang
menghuni wilayah selatan—hanya mempunyai status pinggiran (marginal).
Perasaan menjadi korban (viktimisasi) pada pihak Sudah selatan telah menyebabkan Negara itu
terjerumus
ke
dalam perang saudara yang banyak sekali menumpahkan darah. Perjanjian Addis Ababa tahun 1972
untuk sementara menghentikan permusuhan dengan cara
memberikan keseimbangan
antara
budaya, bahasa, agama dan symbol-simbol etnik lainnya yang bersifat local di satu
pihak dan yang bersifat nasional di lain
pihak, tanpa mengorbankan salah satunya. Suasana damai bertahan sampai tahun
1982 manakala pemerintah pusat melanggar beberapa
ketentuan perjanjian tersebut, pihak Selatan merasa dihianati dan perang saudara pun berkobar kembali sampai sekarang. Yang diperlukan orang-orang
Sudan sekarang adalah
memindahkan konfliknya dari situasi habis-habisan (zero
sum)
ke situasi sama-sama
menang (win-win), sebagaimana disarankan Burton.
Hal itu nampaknya merupakan
jaminan terbaik, barangkali satu-satunya
jaminan, untuk menjaga Negara itu tetap bersatu dan hidup terus. Sebaliknya, tong mesiu selalu
ada
di sana dan
tidak diperlukan banyak percikan untuk menyulut ledakan. Apa yang berlaku di Sudan juga
berlaku untuk masyarakat-masyarakat yang terpecah belah lainnya.
Ada asumsi yang berani dari teori ini: “Perjuangan ini tidak dapat dikekang…ketidakstabilan
dan
konflik tak terelakkan,” ini adalah pernyataan-pernyataan
yang menantang dengan implikasi-implikasi yang luas. Jika hipotesa teori ini benar, jika
ada kebutuhan-kebutuhan manusia tertentu yang diperlukan bagi pembangunan manusia dan kestabilan social, maka penyelesaian bagi konflik itu harus berupa kemampuan untuk menciptakan lingkungan di mana semua kebutuhan itu dapat dipenuhi oleh semua lapisan
masyarakat. Di sinilah
bertemunya teori
Kebutuhan
Manusia
dan Teori Resolusi
Konflik oleh Burton (CRT).
0 comments:
Post a Comment