Teori Sistem Musuh dikembangan untuk membantu menjelaskan konflik yang
berkepanjangan
(intractable conflict)
dan digunakan untuk menjelaskan
Perang Dingin
pada awal tahun
1990an sebelum runtuhnya Uni Soviet. Teori ini
merupakan fusi
(gabungan) psikologi
pertumbuhan (developmental psychology) dan teori hubungan antar bangsa (international relation theory).
Teori
ini mengetengahkan beberapa
konseptualisasi yang membantu menciptakans model
konflik ‘explanatory’ (penjelasan)
yang canggih. Teori ini telah digunakan untuk menjelaskan terorisme
secara umum, tetapi
belum diadopsi secara luas untuk
menjelaskan totalitas konflik
(Montville dalam Volkan 1990).
Asumsi utama studi ini yang memakai konsep-konsep dari Teori Sistem Musuh dan
Teori Kebutuhan Manusia memberikan penjelasan teoretis mengenai konflik secara lengkap dan imbang. Hal
ini diharapkan
akan lebih lanjut mengembangkan suatu
paradigma
yang bergeser dari debat sekarang mengenai
penjelasan-penjelasan
internal-eksternal, dan membantu
perkembangan pendekatan yang lebih menyeluruh berdasarkan
fusi/gabungan pendekatan-pendekatan teori konflik mikro
dan makro
untuk menjelasan konflik itu.
Teori Sistem Musuh (EST) dikembangkan pada akhir tahun
1980-an oleh sekelompok
psikiater (psychiatrists) dan praktisi hubungan antar bangsa/internasional (mantan
anggota Dewan Keamanan Nasional AS dan Departemen Luar Negeri AS), sebagai
model untuk menjelaskan kompleksitas perilaku
kelompok, terutama yang berkenaan
dengan hubungan-hubungan kelompok yang bermusuhan. Pokok Teori Sistem Musuh ini adalah hipotesanya bahwa manusia mempunyai kebutuhan psikologis
yang sangat
mengakar untuk memecah (dichotomize) dan membangun musuh dan sekutu (Volkan
1990:31). Fenomena ini terjadi tataran individu dan kelompok. Ini adalah kebutuhan yang tidak disadari yang menghidupkan (feed) hubungan-hubungan sadar, terutama dalam
kehidupan
kelompok
kita. Hal
ini penting sekali dalam
hubungan dengan
pembentukan identitas dan perilaku
kelompok etnis
atau nasional.
Pengenalan kelompok-kelompok etnis atau nasional
ini
sebagian
besar menentukan
bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di dalam ingroup kita dan dengan orang-orang di dalam
outgroup kita. Bagaimana
massa
di dalam
setiap kelompok memandang
dirinya sendiri
dan
hubungannya akan ditentukan berdasarkan kerjasama (kooperasi), persaingan (kompetisi), atau konflik. Hal ini juga
ditentukan oleh
hubungan histories antar kelompok-kelompok ini Akibatnya, Teori Sistem Musuh ini
menggabungkan konsep-konsep dari psikologi individu dan kelompok, serta
teori hubungan-hubungan antara bangsa/internasional. Sebagaimana dijelaskan
Vamik Volkan:
Pendekatan
khusus ini memerlukan pengkajian terobosan bagaimana
pikiran
manusia (human mind) tercermin dalam proses pengambilan keputusan
oleh
kelompok. Pendekatan ini meneliti fenomena berikut: kebutuhan psikologis
untuk memiliki musuh dan sekutu (Volkan 1988); berjalin kelindannya rasa
diri
individu dan rasa identitas kelompok
dengan konsep-konsep kesukuan (ethnicity) dan
kebangsaan
(nationality); dan cara-cara
di
mana perang, dengan segala
perencanaan
logistiknya, dihubungan dengan
rangsangan-
rangsangan (impuls) manusia
yang primitif dan tidak disadari. Dalam hal
interaksi kelompok yang besar, sebagian besar proses-proses ini tanpa
disengaja/di
luar kemauan kelompok (1990:31).
Jadi, teori sistem permusuhan ini didasarkan pada hubungan antara keprihatinan- keprihatinan intrapersonal, individu dalam lingkungannya,
serta interaksi
individu- individu di dalam kelompokkelompok
serta tindakan-tindakan di
antara kelompok- kelompok tersebut. Konsep berikut
terdiri dari Teori Sistem
Musuh.
Konsep
pertama adalah konsep identitas. Manusia mengenal dirinya sebagai individu sebagai anggota
kelompok-kelompok individu. Kelompo-kelompok ini dapat diperoleh sejak lahir, seperti
ras, atau melalui pergaulan dalam masyarakat, seperti kelompok
pekerja atau
atlit.
Para ahli psikologi
pertumbuhan (developmental psychologists)
telah mengenal (identifikasi) kebutuhan manusia terhadap dikotomi. Kita
mengorganisasi diri dan lingnkungan kita ke dalam
kelompok-kelompok dua.
Misalnya, kita
membedakan antara Aku/bukan Aku, kenikmatan/penderitaan,
baik/buruk, benar/salah, dst. Kebutuhan ini mulai awal sekali pada saat masih bayi.
Arti
pentingnya hal ini adalah kita selalu melekatkan sifat-sifat ‘baik’ terhadap apa yang kita kenal sebagai milik kita, dan cenderung melekatkan sifat-sifat ‘buruk’ terhadap
hal-hal yang kita kenal
sebagai milik ‘ourgroup’ (di luar kelompok) kita.
Akibatnya,
kita mulai mengembangkan rasa kita dan mereka.
Ada konsep yang berhubungan dengan identitas negatif. Hal ini
terjadi manakala
individu menderita rendahnya harga diri (low self-esteem) melalui luka-luka narsisis
(kecintaan pada diri sendiri). Alih-alih memproyeksikan citra ini ke luar, penderita ini menyimpan citra itu untuk dirinya. Hal ini sering mengakibatkan mereka yang
menderita identitas negatif berpaling kepada kelompok-kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri (maladaptive groups) sepeti
organisasi-organisasi kriminil dan
teroris untuk meraih kembali
harga
dirinya yang
hilang. Orang-orang
yang mempunyai resiko mengidap identitas negatif seperti itu biasanya dijumpai pada para
tunakarya
yang berkepanjangan
(terutama golongan karyawan), merek yang sedikit atau
tidak punya kualifikasi pendidikan, dan dari
lingkungan
‘broken
or abusive home.’
Konsep berikutnya adalah etno-nasionalisme.
Etno-nasionalisme adalah identitas individu terhadap kelompok etnis atau nasionalnya.
Emosi yang berhubungan dengan identitas etnik biasanya sangat kuat sekali. Identitas etnik seringkali dilihat sebagai
kepanjangan identitas kekeluargaan; hal ini memberikan kita
rasa ‘kekeluargaan’ yang lebih luas yang
memperbesar
rasa kepemilikan kita.
Pengorganisasian
ke dalam kelompok-kelompok etnis menempatkan kelompok-kelompok tersebut ke dalam
persaingan kelompok. Persaingan (kompetisi) ini bisa disesuaikan (adaptive), seperti
Permainan
Olympiade, atau tidak bisa disesuaikan (maladaptive) seperti konflik
di bekas Yugoslavia,
Lebanon, Sri
Langka, dan Irlandia
Utara. Kelompok identitas etno- nasional memainkan
peranan
utama
dalam situasi
konflik. Manakala kelompok- kelompok itu mendapat tekanan politik, ekonomi, lingkungan, atau militer, mereka
bisa
menjadi jahat (malicious). Ada kecenderungan menyerang kelompok-kelompok luar (outgroups) jika hal itu
terjadi.
Seperti yang dijelaskan John E. Mack:
“Masalah utama dalah usaha-usaha memahami perseteruan antara kelompok- kelompok
etnonasional adalah lokasi sumber kebencian atau antagonisme” (1990:63). Sumber perseteruan itu seringkali dapat ditelusuri pada kebencian sejarah (historical animosity). Hal ini membawa kita pada konsep berikutnya,
pengorbanan etnis (ethnis victimization).
Joseph V. Montville
memberikan batasan konsep pengorbanan
etnis sebagai keadaan
ingatan
etnis (state of ethnic mind) manakala keamanan
kelompoknya dihancurkan oleh kekerasan dan agresi. Lebih lanjut, ia menyatakan ada tiga unsure penting dalam
konsep ini: (1) Pengalaman: suatu peristiwa besar yang menimpa kelompok korban;
(2) Kekerasan yang tidak dapat dibenarkan (justifikasi); hak-hak asasi manusia dan perorangan
telah dilanggar; dan (3) Penyerangan
itu
menunjukkan adanya
ancaman
yang berkepanjangan
dan
menimbulkan ketakutan pemusnahan
kelompok korban
(1990:169).
Gabungan
unsur-unsur ini membuat kelompok korban kewalahan (terlalu besar bagi kelompok korban). Tergantung keadaannya,
kelompok-kelompok ini
seringkali merasa
kelangsungan hidupnya terancam.
Hal ini membawa kita pada konsep berikutnya: egoisme pengorbanan (the egoism
of
victimization).
Egoisme pengorbanan,
menurut batasan Mack adalah: “ketidakmampuan sekelompok etno-nasional, sebagai akibat langsung dari trauma sejarahnya,untuk
berempati pada penderitaan kelompok lain” (1990:125). Karenanya, kelompok yang menjadi korban
tidak
melihat diluar batas perasaan sakit dan penderitaannya. Kelompok
ini tidak
merasa bertanggung
jawab atas korban-korban yang diciptakan oleh tindakannya.
Konsep
ini penting sekali, terutama karena
hal itu memungkinan
korban terror menjadi teroris, dengan
tiada rasa salah melakukan kekerasan. Konsep ini penting untuk memahami misalnya , di Timur Tengah. Setelah suatu kelompok
diperlakukan tidak adil, kelompok itu tidak merasa
menyesal melakukan kekerasan
terhadap kelompok
lain. Sulit sekali melihat bagaimana kekerasan meluas dan meningkat tanpa kendali. Egoisme
pengorbanan juga berlaku untuk menjelaskan kebijaksanaan Israel
garis keras
terhadap Palestina. Holocaust seringkali digunakan sebagai dalih (merasionalisasi) untuk
membenarkan kebijaksanaan, terutama ketika
kelangsungan hidup negara dipandang terancam.
Ada unsur-unsur lain yang membuat kelompok-kelompok etnonasional lebih rentan
terhadap pengaruh-pengaruh ini. Salah satu unsur ini,
menurut
Volkan,
adalah
sasaran-sasaran yang cocok untuk eksternalisasi
(suitable targets of externalization)
(1990:33). Sasaran-sasaran ini adalah tempat
kita menyimpan citra-citra dalam ketidaksadaran. Citra-citra ini bisa berupa
benda-benda mati seperti bendera atau
warna, makanan etnis, musik, pakaian atau tarian, dan semacamnya. Citra-citra yang tersimpan
inilah yang menjadi fondasi identitas etnik
kita. Sasaran-sasaran
ini bertindak sebagai pengukuh
budaya
(cultural amplifier). Artinya, benda-benda
itu mengirimkan
pesan
mengenai siapa
kita
dan apa yang membuat kelompok kita
unik (unique). Sasaran-sasaran ini dapat mengirimkan citra positif dan negatif. Citra positif biasanya disimpan untuk
kelompok kita sendiri, sedangkan
citra
negatif disediakan
untuk kelompok luar (outgroup)
atau musuh. Citra negatif di bawah sadar ini menambah kompleksitas dan berkepanjangannya konflik.
0 comments:
Post a Comment