Tuesday, November 15, 2016

Teori Sistem Musuh

Teori Sistem Musuh dikembangan untuk membantu menjelaskan konflik yang berkepanjangan  (intractablconflict)  dan  digunakan  untuk  menjelaskan  Perang Dingin pada awal tahun 1990an sebelum runtuhnya Uni Soviet. Teori ini merupakan fusi (gabungan) psikologi pertumbuhan (developmental psychology) dan teori hubungaantar bangsa (internationarelation  theory).  Teori  ini  mengetengahkan beberapa konseptualisasi yang membantu menciptakans model konflik explanatory(penjelasan)  yang canggih. Teori  ini telah digunakan untuk menjelaskan terorisme secara umum, tetapi belum diadopsi secara luas untuk menjelaskan totalitas konflik (Montville dalam Volkan 1990).

Asumsi utama studi ini yang memakai konsep-konsep dari Teori Sistem Musuh dan Teori Kebutuhan Manusia memberikan penjelasan teoretis mengenai konflik secara lengkap  dan  imbang. Hal  ini  diharapkaakan lebih  lanjut  mengembangkasuatu paradigma   yan bergese dar deba sekaran mengena penjelasan-penjelasan internal-eksternal, dan membantu perkembangan pendekatan yang lebih menyeluruh berdasarkan  fusi/gabungapendekatan-pendekatateori  konflik mikro  dan makro untuk menjelasan konflik itu.

Teori Sistem Musuh (EST) dikembangkan pada akhir tahun 1980-an oleh sekelompok psikiater (psychiatrists) dan praktisi hubungan antar bangsa/internasional (mantan anggota Dewan Keamanan Nasional AS dan Departemen Luar Negeri AS), sebagai model untuk menjelaskan kompleksitas perilaku kelompok, terutama yang berkenaan dengan hubungan-hubungan kelompok yang bermusuhan. Pokok Teori Sistem Musuh ini adalah hipotesanya bahwa manusia mempunyai kebutuhan psikologis yang sangat mengakar untuk memecah (dichotomize) dan membangun musuh dan sekutu (Volkan
1990:31). Fenomena ini terjadi tataran individu dan kelompok. Ini adalah kebutuhan yang tidak disadari yang menghidupkan (feed) hubungan-hubungan sadar, terutama dalam  kehidupan  kelompok  kita.  Hal  ini  penting  sekali  dalam  hubungan  dengan
pembentukan identitas dan perilaku kelompok etnis atau nasional.

Pengenalan kelompok-kelompok etnis atau nasional ini sebagian besar menentukan bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di dalam ingroup kita dan dengan orang-orang di dalam outgroup kita. Bagaimana massa di dalam setiap kelompok memandang dirinya sendiri dan hubungannya akan ditentukan berdasarkan kerjasama (kooperasi), persaingan (kompetisi), atau konflik. Hal ini juga ditentukan oleh hubungan histories antar kelompok-kelompok ini Akibatnya, Teori Sistem Musuh ini
menggabungkan konsep-konsep dari psikologi individu dan kelompok, serta teori hubungan-hubungan antara bangsa/internasional. Sebagaimana dijelaskan Vamik Volkan:

Pendekatan khusus ini memerlukan pengkajian terobosan bagaimana pikiran manusia (human mind) tercermin dalam proses pengambilan keputusan oleh kelompok. Pendekatan ini  meneliti  fenomena  berikutkebutuhan psikologis untuk memiliki musuh dan sekutu (Volkan 1988); berjalin kelindannya rasa diri individu dan rasa identitas kelompok dengan konsep-konsep kesukuan (ethnicity)  dan  kebangsaan  (nationality);  dacara-cara  di  mana  perang, dengan segala perencanaan logistiknya, dihubungan dengan rangsangan- rangsangan (impuls) manusia yang primitif dan tidak disadari. Dalam hal interaksi kelompok yang besar, sebagian besar proses-proses ini tanpa disengaja/di luar kemauan kelompok (1990:31).

Jadi, teori sistem permusuhan ini didasarkan pada hubungan antara keprihatinan- keprihatinan intrapersonal, individu dalam lingkungannya, serta interaksi individu- individu di dalam kelompokkelompok serta tindakan-tindakan di antara kelompok- kelompok tersebut. Konsep berikut terdiri dari Teori Sistem Musuh.

Konsep pertama adalah konsep identitas. Manusia mengenal dirinya sebagai individu sebagai anggota kelompok-kelompok individu. Kelompo-kelompok ini dapat diperoleh sejak lahir, seperti ras, atau melalui pergaulan dalam masyarakat, seperti kelompok pekerja  atau  atlit.  Parahlpsikologi  pertumbuha(developmentapsychologists) telah mengenal (identifikasi) kebutuhan manusia terhadap dikotomi. Kita mengorganisas diri   da lingnkunga kit k dala kelompok-kelompo dua. Misalnya, kita membedakan antara Aku/bukan Aku, kenikmatan/penderitaan, baik/buruk, benar/salah, dst. Kebutuhan ini mulai awal sekali pada saat masih bayi. Arti pentingnya hal ini adalah kita selalu melekatkan sifat-sifat baik terhadap apa yang kita kenal sebagai milik kita, dan cenderung melekatkan sifat-sifat burukterhadap  hal-hal yang kita kenal  sebagai  milik ourgroup’  (di  luakelompok)  kita. Akibatnya, kita mulai mengembangkan rasa kita dan mereka.

Ada konsep yang berhubungan dengan identitas negatif. Hal ini terjadi manakala individu menderita rendahnya harga diri (low self-esteem) melalui luka-luka narsisis (kecintaan pada diri sendiri). Alih-alih memproyeksikan citra ini ke luar, penderita ini menyimpan citra itu untuk dirinya. Hal ini sering mengakibatkan mereka yang menderita identitas negatif berpaling kepada kelompok-kelompok yang tidak bisa menyesuaikan diri (maladaptive groups) sepeti organisasi-organisasi kriminil dan teroris   untuk   meraih   kembal harga   dirinya   yan hilang.   Orang-oran yang mempunyai resiko mengidap identitas negatif seperti itu biasanya dijumpai pada para tunakarya yang berkepanjangan (terutama golongan karyawan), merek yang sedikit atau  tidapunykualifikaspendidikan,  dan  dari  lingkungan  ‘brokeor  abusive home.

Konsep berikutnya adalah etno-nasionalisme. Etno-nasionalisme adalah identitas individu terhadap kelompok etnis atau nasionalnya. Emosi yang berhubungan dengan identitas etnik biasanya sangat kuat sekali. Identitas etnik seringkali dilihat sebagai kepanjangan identitas kekeluargaan; hal ini memberikan kita rasa kekeluargaan yang lebih  luas  yang  memperbesar  rasa  kepemilikan  kita.  Pengorganisasian  ke  dalam kelompok-kelompok etnis menempatkan kelompok-kelompok tersebut ke dalam persaingan kelompok. Persaingan (kompetisi) ini bisa disesuaikan (adaptive), seperti

Permainan Olympiade, atau tidak bisa disesuaikan (maladaptive) seperti konflik di bekas Yugoslavia, Lebanon, Sri Langka, dan Irlandia Utara. Kelompok identitas etno- nasional memainkan peranan utama dalam situasi konflik. Manakala kelompok- kelompok itu mendapat tekanan politik, ekonomi, lingkungan, atau militer, mereka bisa menjadi jahat (malicious). Ada kecenderungan menyerang kelompok-kelompok luar (outgroups) jika hal itu terjadi. Seperti yang dijelaskan John E. Mack:

Masalah utama dalah usaha-usaha memahami perseteruan antara kelompok- kelompok etnonasional adalah lokasi sumber kebencian atau antagonisme(1990:63). Sumber perseteruan itu seringkali dapat ditelusuri pada kebencian sejarah (historical animosity). Hal ini membawa kita pada konsep berikutnya, pengorbanan etnis (ethnis victimization).

Joseph V. Montville memberikan batasan konsep pengorbanan etnis sebagai keadaan ingatan etnis (state of ethnic mind) manakala keamanan kelompoknya dihancurkan oleh kekerasan dan agresi. Lebih lanjut, ia menyatakan ada tiga unsure penting dalam konsep ini: (1) Pengalaman: suatu peristiwa besar yang menimpa kelompok korban; (2) Kekerasan yang tidak dapat dibenarkan (justifikasi); hak-hak asasi manusia dan perorangan telah dilanggar; dan (3) Penyerangan itu menunjukkan adanya ancaman yang berkepanjangan dan menimbulkan ketakutan pemusnahan kelompok korban (1990:169).

Gabungan unsur-unsur ini membuat kelompok korban kewalahan (terlalu besar bagi kelompok korban). Tergantung keadaannya, kelompok-kelompok ini seringkali merasa kelangsungan hidupnya terancam.  Hal ini membawa kita pada konseberikutnya: egoisme pengorbanan (the egoism of victimization).

Egoisme pengorbanan, menurut batasan Mack adalah: ketidakmampuan sekelompok etno-nasional, sebagai akibat langsung dari trauma sejarahnya,untuk berempati pada penderitaan kelompok lain (1990:125). Karenanya, kelompok yang menjadi korban tidak  melihat diluar batas  perasaan  sakit  dan penderitaannya.  Kelompok  ini  tidak merasa bertanggung jawab atas korban-korban yang diciptakan oleh tindakannya. Konsep  inpentinsekali,  terutama  karena  hal  itu  memungkinan  korban  terror menjadi teroris, dengan tiada rasa salah melakukan kekerasan. Konsep ini penting untuk memahami misalnya , di Timur Tengah. Setelah suatu kelompok diperlakukan tidak adil, kelompok itu tidak merasa menyesal melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Sulit sekali melihat bagaimana kekerasan meluas dan meningkat tanpa kendali. Egoisme pengorbanan juga berlaku untuk menjelaskan kebijaksanaan Israel garis keras terhadap Palestina. Holocaust seringkali digunakan sebagai dalih (merasionalisasi) untuk membenarkan kebijaksanaan, terutama ketika kelangsungan hidup negara dipandang terancam.

Ada unsur-unsur lain yang membuat kelompok-kelompok etnonasional lebih rentan terhadap  pengaruh-pengaruh  ini.  Salah  satu  unsur  ini,  menurut  Volkan,  adalah sasaran-sasaran yang cocok untuk eksternalisasi (suitable targets of externalization) (1990:33). Sasaran-sasaran ini adalah tempat kita menyimpan citra-citra dalam ketidaksadaran.  Citra-citra  inbisa berupa  benda-benda  matsepertbendera  atau warna, makanan etnis, musik, pakaian atau tarian, dan semacamnya. Citra-citra yang tersimpan inilah yang menjadi fondasi identitas etnik kita. Sasaran-sasaran ini bertindak sebagai pengukuh  budaya  (cultural amplifier).  Artinyabenda-benda  itu mengirimkan pesan mengenai siapa kita dan apa yang membuat kelompok kita unik (unique). Sasaran-sasaran ini dapat mengirimkan citra positif dan negatif. Citra positif biasanya disimpan untuk kelompok kita sendiri, sedangkan citra negatif disediakan untuk kelompok luar (outgroup) atau musuh. Citra negatif di bawah sadar ini menambah kompleksitas dan berkepanjangannya konflik.







0 comments: