Golput?
Golongan putih. Golput pertama kali muncul pada tahun Pemilu 1971. Sengaja
dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan
terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberi
dukungan politik kepada Golkar. Hal ini dianggapnya menyimpang dari nilai dan
kaidah demokrasi. Arief Budiman dan kawan-kawannya tetap datang ke TPS dan ikut
mencoblos, namun mereka memilih untuk mencoblos bagian luar nomor partai yang
berwarna putih. Muncullah istilah Golongan Putih/Golput. Dapat ditarik
kesimpulan secara sederhana bahwa golput adalah sikap, tindakan yang ditempuh
seseorang untuk tidak memberikan hak suara sahnya dalam pemilihan kandidat
pejabat publik.
Presentase
golput di Indonesia dari periode ke periode berikutnya semakin meningkat secara
signifikan. Dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2009, jumlah warga yang tidak
menggunakan hak pilihnya alias golput sebesar 49.677.776 atau 29, 0059 persen.
Jumlah tersebut secara resmi juga dimaktubkan dalam surat penetapan KPU
mengenai perolehan suara nasional pemilu legislatif. Total pemilih yang
menggunakan hak suaranya 121.588.366 dari total daftar pemilih tetap (DPT)
171.265.442. Angka tersebut cukup (jelas) menunjukkan bahwa golput di Indonesia
masih dalam katagori tinggi dan bukanlah hal yang dapat dirahasiakan lagi. Tidak
ada asap jika tidak ada api.
Nah,
mahasiswa memegang peran yang sangat penting disini. Mahasiswa adalah kaum
intelektual, yang setidaknya dapat berpikir sebelum bertindak, tidak mudah
dipengaruhi orang lain dengan berbagai omongan maupun sogokan. Disamping
itu, sebagai kaum yang kritis, mahasiswa dengan ilmu dan kemampuannya dapat
menyampaikan uneg-uneg dan protes terhadap keberlangsungan demokrasi dan
kebijakan publik. Mahasiswa juga sebagai generasi penerus bangsa ini. Tahun-
tahun mendatang adalah waktunya mahasiswa untuk menjadi pemeran dalam
menjalankan pemerintahan dan demokrasi yang ada.
Begitu
beratnya peran mahasiswa jika mahasiswa menyadarinya, namun ironisnya
keapatisan mulai tumbuh dalam jiwa mahasiswa ketika negara ini mulai krisis
demokrasi yang lurus dalam kepemerintahan negeri ini. Dimana mahasiswa adalah
bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak suara dalam pemilu, kini mereka
menjadi distributor ke-golput-an rakyat Indonesia.
Minimnya
kader partai yang menonjol, membuat angka golput di kalangan pemilih muda masih
cukup tinggi. Selain itu, merosotnya citra partai politik akibat sejumlah kasus
yang ada, juga membuat pemilih muda seolah apatis terhadap pelaksanaan pemilu.
Hal itu dikatakan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Andrinof
Chaniago.
Pasalnya,
banyak hal yang menjadikan mahasiswa menjadi tokoh golput. Contoh yang
sederhana saja, merasa malas pulang kampung sekedar untuk mencoblos dikarenakan
waktu yang kurang memungkinkan. Mahasiswa akan meninggalkan jadwal
perkuliahannya jika mereka memutuskan untuk pulang, apalagi jika esok harinya
ada jadwal ujian, mereka akan memberatkan diri untuk ikut ujian dibandingkan
dengan pulang untuk mencoblos.
Selain
terkendala waktu, kurangnya kepedulian dan wawasan para mahasiswa tentang
pentingnya mencoblos/memilih kandidat pejabat publik. Seperti yang telah kita
ketahui, mahasiswa adalah kaum terpelajar, yang katanya adalah generasi
penerus bangsa. Banyak persepsi tentang mahasiswa dan perannya dalam
kehidupan bernegara ini, namun seakan mahasiswa sekarang ini tidak memiliki
antusias dan greget untuk menyalurkan suaranya dalam pemilu. Atau
sebaliknya, banyak mahasiswa yang masih peduli dan ingin/mau menyalurkan
aspirasi dan menyumbangkan hak suaranya namun terkendala pada ketidaktahuannya
pada bagaimana cara/prosedur mencoblos.
Sedangkan
berdasarkan analisa seorang penilik politik di Indonesia, golput dapat
disebabkan karena 1) sadar tidak memilih dikarenakan kurang ataupun tidak ada kepercayaan
terhadap calon kandidat. 2) sebagai bentuk protes masyarakat dan keputusasaan
masyarakat dengan janji pemerintah yang tidak pernah direalisasikan sehingga
rakyat menjadi pesimis. 3) kurangnya informasi tentang pemilu, kurangnya
sosialisasi tentang pemilu. 4)adannya pihak tertentu yang sengaja ataupun tidak
sengaja, yang sifatnya menghalangi atau membuat seseorang sulit/tidak
menggunkan hak pilihnya. Faktor yang tersebut diatas hanyalah sebagian dari
sekianbanyak faktor yang mengakibatkan tingginya angka/presentase golput dalam
masyarakat, khususnya dari kalangan mahasiswa.
Sebagai
mahasiswa yang merasa miris dengan adanya keadaan lingkungan mahasiswa yang
semakin apatis dan jauh dari peduli politik, baiknya melakukan hal-hal yang
sekiranya bisa membantu menangani hal ini. Usai membaca tulisan Sekjen Semar
UI, saya menjadi yakin bahwasanya tidak efektif jika mahasiswa melakukan aksi mengawal pemilu. Karena pada dasarnya, mengawal pemilu adalah tugas KPU. KPU
tidak hanya melakukan tugas pokoknya sebagai petugas yang menyelenggarakan
pemungutan suara pada hari H, namun juga harus mengawal masyarakat untuk
memilih. Jauh-jauh sebelum hari H, semestinya KPU sudah melakukan sosialisasi
tentang pemilu secara masif dan merata kepada seluruh kalangan mayarakat,
termasuk mahasiswa.
Apabila
kita, mahasiswa, melakukan tindakan pengawalan pemilu, menurut saya pribadi itu
terlalu kompleks dan muluk-muluk. Saya setuju dengan statement Sekjen
Semar UI bahwa mahasiswa akan menjadi tolerir terhadap ketidaksiapan KPU dalam
menjalankan pemilu. Maka yang perlu perlu kita lakukan adalah bagaimana caranya
agar mahasiswa menjadi tahu seberapa pentingnya mereka menyumbangkan hak suara
sahnya dalam pemilu. Baiknya, kita melakukan hal-hal yang menyentuh hati para
mahasiswa agar mereka sadar dari mimpi indahnya. Mimpi hanyalah mimpi, jika
mahasiswa tidak melakukan tindakan nyata untuk merubah suatu keadaan.
Selain
mengawal pemilu, lebih tepat jika kita mengusahakan peningkatan partisipasi
mahasiswa untuk memilih. Suatu contoh, kita ngomong kepada teman-teman
dekat kita tentang pemilu, menyisipkan kata-kata halus yang persuasif. Jadi
propaganda yang diselipkan pada perbincangan ringan dapat dilakukan
sewaktu-waktu. Kecanggihan teknologi sudah tinggi, kita dapat memanfaatkannya
sebagai sarana mengajak, mempengaruhi, berbagi kata-kata tentang peran penting
mahasiswa Indonesia. Setidaknya, kita tidak hanya pasif dan menonton keadaan
dimana mahasiswa tidak turut serta dalam pemilu ini.
Ketua
KPUD Surakarta, Agus Sulistyo, menyampaikan sebuah slogan Generasi Pejuang,
bukan Pecundang. Maka tentukan Pilihanmu!. Dengan adanya slogan seperti itu,
diharapkan mahasiswa berpikir apa sebenarnya peran yang akan ditempuh.
0 comments:
Post a Comment