Wednesday, November 30, 2016

Mahasiswa Pemeran Golput ?

Golput? Golongan putih. Golput pertama kali muncul pada tahun Pemilu 1971. Sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberi dukungan politik kepada Golkar. Hal ini dianggapnya menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi. Arief Budiman dan kawan-kawannya tetap datang ke TPS dan ikut mencoblos, namun mereka memilih untuk mencoblos bagian luar nomor partai yang berwarna putih. Muncullah istilah Golongan Putih/Golput. Dapat ditarik kesimpulan secara sederhana bahwa golput adalah sikap, tindakan yang ditempuh seseorang untuk tidak memberikan hak suara sahnya dalam pemilihan kandidat pejabat publik.
Presentase golput di Indonesia dari periode ke periode berikutnya semakin meningkat secara signifikan. Dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2009, jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput sebesar 49.677.776 atau 29, 0059 persen. Jumlah tersebut secara resmi juga dimaktubkan dalam surat penetapan KPU mengenai perolehan suara nasional pemilu legislatif. Total pemilih yang menggunakan hak suaranya 121.588.366 dari total daftar pemilih tetap (DPT) 171.265.442. Angka tersebut cukup (jelas) menunjukkan bahwa golput di Indonesia masih dalam katagori tinggi dan bukanlah hal yang dapat dirahasiakan lagi. Tidak ada asap jika tidak ada api.
Nah, mahasiswa memegang peran yang sangat penting disini. Mahasiswa adalah kaum intelektual, yang setidaknya dapat berpikir sebelum bertindak, tidak mudah dipengaruhi orang lain dengan berbagai omongan maupun sogokan. Disamping itu, sebagai kaum yang kritis, mahasiswa dengan ilmu dan kemampuannya dapat menyampaikan uneg-uneg dan protes terhadap keberlangsungan demokrasi dan kebijakan publik. Mahasiswa juga sebagai generasi penerus bangsa ini. Tahun- tahun mendatang adalah waktunya mahasiswa untuk menjadi pemeran dalam menjalankan pemerintahan dan demokrasi yang ada.
Begitu beratnya peran mahasiswa jika mahasiswa menyadarinya, namun ironisnya keapatisan mulai tumbuh dalam jiwa mahasiswa ketika negara ini mulai krisis demokrasi yang lurus dalam kepemerintahan negeri ini. Dimana mahasiswa adalah bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki hak suara dalam pemilu, kini mereka menjadi distributor ke-golput-an rakyat Indonesia.
Minimnya kader partai yang menonjol, membuat angka golput di kalangan pemilih muda masih cukup tinggi. Selain itu, merosotnya citra partai politik akibat sejumlah kasus yang ada, juga membuat pemilih muda seolah apatis terhadap pelaksanaan pemilu. Hal itu dikatakan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago.
Pasalnya, banyak hal yang menjadikan mahasiswa menjadi tokoh golput. Contoh yang sederhana saja, merasa malas pulang kampung sekedar untuk mencoblos dikarenakan waktu yang kurang memungkinkan. Mahasiswa akan meninggalkan jadwal perkuliahannya jika mereka memutuskan untuk pulang, apalagi jika esok harinya ada jadwal ujian, mereka akan memberatkan diri untuk ikut ujian dibandingkan dengan pulang untuk mencoblos.
Selain terkendala waktu, kurangnya kepedulian dan wawasan para mahasiswa tentang pentingnya mencoblos/memilih kandidat pejabat publik. Seperti yang telah kita ketahui, mahasiswa adalah kaum terpelajar, yang katanya adalah generasi penerus bangsa. Banyak persepsi tentang mahasiswa dan perannya dalam kehidupan bernegara ini, namun seakan mahasiswa sekarang ini tidak memiliki antusias dan greget untuk menyalurkan suaranya dalam pemilu. Atau sebaliknya, banyak mahasiswa yang masih peduli dan ingin/mau menyalurkan aspirasi dan menyumbangkan hak suaranya namun terkendala pada ketidaktahuannya pada bagaimana cara/prosedur mencoblos.
Sedangkan berdasarkan analisa seorang penilik politik di Indonesia, golput dapat disebabkan karena 1) sadar tidak memilih dikarenakan kurang ataupun tidak ada kepercayaan terhadap calon kandidat. 2) sebagai bentuk protes masyarakat dan keputusasaan masyarakat dengan janji pemerintah yang tidak pernah direalisasikan sehingga rakyat menjadi pesimis. 3) kurangnya informasi tentang pemilu, kurangnya sosialisasi tentang pemilu. 4)adannya pihak tertentu yang sengaja ataupun tidak sengaja, yang sifatnya menghalangi atau membuat seseorang sulit/tidak menggunkan hak pilihnya. Faktor yang tersebut diatas hanyalah sebagian dari sekianbanyak faktor yang mengakibatkan tingginya angka/presentase golput dalam masyarakat, khususnya dari kalangan mahasiswa.
Sebagai mahasiswa yang merasa miris dengan adanya keadaan lingkungan mahasiswa yang semakin apatis dan jauh dari peduli politik, baiknya melakukan hal-hal yang sekiranya bisa membantu menangani hal ini. Usai membaca tulisan Sekjen Semar UI, saya menjadi yakin bahwasanya tidak efektif jika mahasiswa melakukan aksi mengawal pemilu. Karena pada dasarnya, mengawal pemilu adalah tugas KPU. KPU tidak hanya melakukan tugas pokoknya sebagai petugas yang menyelenggarakan pemungutan suara pada hari H, namun juga harus mengawal masyarakat untuk memilih. Jauh-jauh sebelum hari H, semestinya KPU sudah melakukan sosialisasi tentang pemilu secara masif dan merata kepada seluruh kalangan mayarakat, termasuk mahasiswa.
Apabila kita, mahasiswa, melakukan tindakan pengawalan pemilu, menurut saya pribadi itu terlalu kompleks dan muluk-muluk. Saya setuju dengan statement Sekjen Semar UI bahwa mahasiswa akan menjadi tolerir terhadap ketidaksiapan KPU dalam menjalankan pemilu. Maka yang perlu perlu kita lakukan adalah bagaimana caranya agar mahasiswa menjadi tahu seberapa pentingnya mereka menyumbangkan hak suara sahnya dalam pemilu. Baiknya, kita melakukan hal-hal yang menyentuh hati para mahasiswa agar mereka sadar dari mimpi indahnya. Mimpi hanyalah mimpi, jika mahasiswa tidak melakukan tindakan nyata untuk merubah suatu keadaan.
Selain mengawal pemilu, lebih tepat jika kita mengusahakan peningkatan partisipasi mahasiswa untuk memilih. Suatu contoh, kita ngomong kepada teman-teman dekat kita tentang pemilu, menyisipkan kata-kata halus yang persuasif. Jadi propaganda yang diselipkan pada perbincangan ringan dapat dilakukan sewaktu-waktu. Kecanggihan teknologi sudah tinggi, kita dapat memanfaatkannya sebagai sarana mengajak, mempengaruhi, berbagi kata-kata tentang peran penting mahasiswa Indonesia. Setidaknya, kita tidak hanya pasif dan menonton keadaan dimana mahasiswa tidak turut serta dalam pemilu ini.

Ketua KPUD Surakarta, Agus Sulistyo, menyampaikan sebuah slogan Generasi Pejuang, bukan Pecundang. Maka tentukan Pilihanmu!. Dengan adanya slogan seperti itu, diharapkan mahasiswa berpikir apa sebenarnya peran yang akan ditempuh.

0 comments: