Monday, November 14, 2016

Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi kehadiran dan ketidak hadiran Pemilih


Penjelasan teoritis terhadap perilaku golput / nonvoting pada dasarnya juga tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan perilaku pemilih. Dengan mengutip Ashenfelter dan Kelley (1975),Burnham (1987),Powell (1986) dan Downs (1957),Moon menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih atau ketidakhadiran pemilih dalam suatu pemilu. Pendekatan pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi. Sementara itu, pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir dalam memilih. Hanya saja, kedua pendekatan tersebut didalam dirinya sama-sama memiliki kesulitan dan mengandung kontroversi masing-masing . Berikut ini akan dipaparkan beberapa penjelasan teoritis atau beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku memilih atau tidak memilih, yaitu faktor geografis, faktor sosial ekonomi, faktor sosiologis dan faktor rasional.
1.      Faktor Geografis
Kondisi Geografis dari pemilih merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh pada tingkat kehadiran maupun ketidak hadiran pemilih untuk memilih. Variabel ini meliputi Kondisi cuaca dan jarak tempat tinggal seorang pemilih dengan lokasi TPS. Keadaan cuaca yang baik bisa mendorong pemilih untuk hadir memilih, sebaliknya cuaca buruk semisal hujan deras, angin kencang bisa mendorong munculnya sikap perilaku non voting dari seorang pemilih. Begitu pula masalah jarak TPS jauh atau dekatnya dianggap berpengaruh pada tinggkat kehadiran atau ketidak hadiran pemilih untuk memilih.
2.      Faktor Sosial Ekonomi

Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku voting atau non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku pemilih tersebut. Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih itu sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan termasuk di dalamnya tingkat pengetahuan pemilih tentang pemilu, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya jugadapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.
3.      Faktor Psikologis
Penjelasan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.

Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku voting atau nonvoting disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi (Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, 1987:208-209).
Secara teoritis apatis disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa atau kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya menggunakan logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para pemilih. Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi.
Sedangkan alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif aksi politik, sepertimelalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya. Sebaliknya dengan sosialisasi atau stimulus politik dianggap mampu untuk mendorong kehadiran pemilih untuk memilih.
4.      Faktor Rasionalitas.
Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.
Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa jenis pemilihan itu sendiri, isu-isu politik atau ideologi parpol, visi-misi parpol atau kedekatan kandidat yang dicalonkan, tingkat kepercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan, kepercayaan masalah akan diselesaikan jika pemimpin baru terpilih dan sebagainya. Pemilih yang pencaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan yang lebih baik, cendrung akan ikut pemilu sebaliknya yang tidak percaya cendrung tidak ikut memilih.


0 comments: