Penjelasan
teoritis terhadap perilaku golput / nonvoting pada dasarnya juga tidak jauh
berbeda dengan pendekatan-pendekatan perilaku pemilih. Dengan mengutip
Ashenfelter dan Kelley (1975),Burnham (1987),Powell (1986) dan Downs
(1957),Moon menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk
menjelaskan kehadiran pemilih atau ketidakhadiran pemilih dalam suatu pemilu.
Pendekatan pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi.
Sementara itu, pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang
keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir
dalam memilih. Hanya saja, kedua pendekatan tersebut didalam dirinya sama-sama
memiliki kesulitan dan mengandung kontroversi masing-masing . Berikut ini akan
dipaparkan beberapa penjelasan teoritis atau beberapa faktor yang mempengaruhi
seseorang berperilaku memilih atau tidak memilih, yaitu faktor geografis,
faktor sosial ekonomi, faktor sosiologis dan faktor rasional.
1. Faktor
Geografis
Kondisi
Geografis dari pemilih merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan
berpengaruh pada tingkat kehadiran maupun ketidak hadiran pemilih untuk
memilih. Variabel ini meliputi Kondisi cuaca dan jarak tempat tinggal seorang
pemilih dengan lokasi TPS. Keadaan cuaca yang baik bisa mendorong pemilih untuk
hadir memilih, sebaliknya cuaca buruk semisal hujan deras, angin kencang bisa
mendorong munculnya sikap perilaku non voting dari seorang pemilih.
Begitu pula masalah jarak TPS jauh atau dekatnya dianggap berpengaruh pada
tinggkat kehadiran atau ketidak hadiran pemilih untuk memilih.
2. Faktor
Sosial Ekonomi
Menempatkan
variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel penjelasan perilaku voting
atau non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada satu sisi, variabel
status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel independen untuk
menjelaskan perilaku pemilih tersebut. Namun, pada sisi lain, variabel tersebut
juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik pemilih itu
sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel
status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan termasuk di dalamnya tingkat
pengetahuan pemilih tentang pemilu, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh
keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk menjelaskan
perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat
yang sama variabel tersebut sebenarnya jugadapat digunakan untuk menjelaskan
perilaku non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan
dengan kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan
dengan ketidakhadiran pemilih.
3. Faktor
Psikologis
Penjelasan kehadiran atau
ketidakhadiran pemilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam
dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua,
berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa
perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter,
tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab
secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak
toleran atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang
diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan
kepentingan peroragan secara langsung betapapun mungkin hal itu menyangkut
kepentingan umum yang lebih luas.
Sementara
itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor orientasi kepribadian.
Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku voting atau nonvoting disebakan
oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan
karakteristik apatis, anomi, dan alienasi (Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker,
1987:208-209).
Secara
teoritis apatis disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (stimulus)
politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa aktivitas politik tidak
menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara langsung. Anomi merujuk pada
perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu
yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa
atau kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak
memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik
seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab, para terpilih biasanya
menggunakan logika-logikanya sendiri dalam mengambil berbagai keputusan
politik, dan dalam banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para
pemilih. Perasaan powerlessness inilah yang disebut sebagai anomi.
Sedangkan
alienasi berada di luar apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan
keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak
urusan politik. Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh
baik terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai sesuatu
yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan
alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif aksi politik,
sepertimelalui kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan semacamnya. Sebaliknya
dengan sosialisasi atau stimulus politik dianggap mampu untuk mendorong
kehadiran pemilih untuk memilih.
4.
Faktor Rasionalitas.
Faktor
pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi.
Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya
dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif
berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang
hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat
pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat
keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat
keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.
Pada
kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu
pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada
peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan
politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut
menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor
situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang
dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu
yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas
bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa jenis pemilihan itu sendiri,
isu-isu politik atau ideologi parpol, visi-misi parpol atau kedekatan kandidat
yang dicalonkan, tingkat kepercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa
perubahan, kepercayaan masalah akan diselesaikan jika pemimpin baru terpilih
dan sebagainya. Pemilih yang pencaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan
yang lebih baik, cendrung akan ikut pemilu sebaliknya yang tidak percaya
cendrung tidak ikut memilih.
0 comments:
Post a Comment