Di antara asumsi-asumsi kaum
behavioris yang
paling
penting adalah keyakinan bahwa akar
penyebab perang itu terletak pada sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tata social eksternal. Kaum behavioris meyakini peran sentral hipotesa stimulus-respons. Penganut
aliran ini berusaha mengukuhkan
apakah
manusia memiliki
karakteristik
biologis
atau psikologis yang
akan membuat
kita cenderung kea rah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha
menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya.
Mereka ingin memperhitungkan kemungkinan, dengan cara berpikir induktif, variable-variabel khusus
mengenai
konflik intrapersonal dan generalisasi mengenai
konflik interpersonal (antar individu)
dan
internasional (antar bangsa). Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang akan kita tinjau adalah: perilaku hewani (animal behavior),
teori agresi
bawaan/instinktif (instinct or
innate
theories of aggression), teori agresi frustasi, teori
pembelajaran social dan teori
identitas social.
Di kalangan kaum
behavioris, para
ahli biologi
dan psikologi telah
menggunakan
studi-studi perilaku atau
etologis
hewan untuk menggambarkan kemungkinan adanya
akibat wajar pada perilaku
manusia. Manusia seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah bagian dari dunia hewan (animal kingdom). Namun
demikian, kita harus hati-hati agar tidak mengambil kesimpulan langsung mengenai
perilaku manusia dari
perilaku hewan. Perilaku manusia dan hewan itu adalah fenomena yang kompleks meliputi factor-faktor
pendorong (motivational) seperti “kewilayahan
(territoriality), dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival)” (O’Connell
1989:15). Ketika memakai metoda studi hewan variabel independen yang dikaji adalah survival). Teori ini kemudian dianggap tidak bisa dipercaya oleh para ahli biologi yang tidak percaya adanya mekanisme seperti itu.
Di Seville, Spanyol pada
tahun 1986 sekelompok
ilmuwan bertemu untuk
menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John E. Mack menjelaskan hasil-hasil
Pernyataan Kekerasan
Seville: Dalam Pernyataan
Seville
para penandatangan, termasuk
ahli-ahli
psikologi, ilmuwan syaraf (neuroscientists), ahli
genetika, antropolog, dan ilmuwan
politik,
menyatakan bahwa
tidak ada
dasar ilmiah bagi anggapan bahwa
manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang pasti akan berperang
berdasarkan
sifat biologisnya. Alih-alih, mereka menyatakan, perang adalah hasil
sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), suatu fenomena organisasi manusia,
perencanaan, dan
pemrosesan informasi yang bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan motivasional. Singkatnya, Penyataan Seville
menyiratkan
bahwa kita mempunyai
pilihan-pilihan yang jelas dan
bahwa munkin ada jenis tanggung jawab baru dalam tingkah laku
kehidupan kelompok manusia (Mack 1990:58).
Arti penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan
penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville mengarah pada inti salah satu
perbincangan pokok dalam
penelitian teori konflik: apakah
akar pokok konflik
manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar (genetik) atau didikan/nurture
(lingkungan). Para ilmuwan Seville dengan tegas berkesimpulan bahwa konflik itu hasil
lingkungan. Namun, sebagaimana yang digambarkan
dalam penemuan terbaru
oleh para ahli genetika (misalnya ‘pemetaan genetika/gene mapping’) debat mengenai itu
masih belum berakhir.
Seperti kebanyakan
teori-teori perintis sebelumnya (pioneering), ‘innate theory’ membuka jalan bagi hipotesa-hipotesa canggih dan ilmiah ‘over time’. Perkembangan penting dari karya (work) ini adalah berkembanganya teori ‘Frutasi-Agresi.’ Asumsi
dasar teori ini adalah bahwa semua agresi, baik antar individu/kelompk
mauoun
antar bangsa, berakar pada rasa frustasi pencapaian tujuan salah satu atau lebih pelaku
agresi itu. Artinya, konflik itu
dapat ditelusuri
pada tidak tercapainya tujuan pribadi atau kelompok dan
rasa frustasi yang ditimbulkannya.
Pertanyaan-pertanyan
yang muncul dari teori ini adalah: apakah semua frustasi secara otomatis mengarah pada
agresi,
dan
dapatkah semua agresi dan konflik ditelusuri berasal dari
rasa frustasi yang katalitis ? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan juga
tantangan tidak cukupnya hubungan kausal (sebab-akibat) pada agresi, dan pandangan-pandangan lainnya mengenai
perilaku manusia mengarah pada pendiskreditan teori Frustasi-Agresi dan
perkembangan berikutnya teori pembelajaran sosial (social learning theory) dan teori identitas social (social identity theory). agresi. O’Connell merencanakan ruang lingkup
(parameter) konflik manusia dengan
menyatakan bahwa manusia terlibat dalam
konflik
‘predatory’ (pemangsaan)
dan
‘intraspecific.’
Walau kedengarannya sangat
aneh tetapi bukannya tidak
mungkin
hewan melakukan banyak sekali jenis agresi, tapi yang membedakan
manusia dari
dunia hewan lainnya adalah motivasi (faktor pendorong) kita.
Peperangan terorganisasi
merupakan bagian dari
alam sebelum
manusia tiba
di tempat itu. Nafsu menyerang yang terkoordinasi dan maksud politis yang jelas yang
dengannya serangga-serangga social tertentu melakukan agresi menunjukkan bahwa, dari perilakunya, manusia bukan satu-satunya yang
masuk tentara atau berperang sebagai
bagian dari tentara…Namun yang
menjadi kunci perbedaannya adalah
motivasinya. Semut-semut berperang karena
‘gene’nya menuntut mereka
supaya berperang. Sebaliknya, manusia menciptakan
fenomena menurut versinya sendiri.
Motif itu merupakan perangkat budaya (cultural instrument), hasil imaginasinya
(O’Connell 1989:30). O’Connell berpendapat, manusia terlibat
bermacam-
macam/banyak sekali konflik. Keragaman konflik ini ditambah dengan berbagai
motivator yang
memaksanya melakukan konflik. Unsur lain yang menentukan konflik manusia adalah
aspek material.
Seperti yang
dinyatakan O’Connell, “Baru
dengan datangnya pertanian lah, kemudian politik, peperangan
yang sebenarnya menjadi
bagian dari pengalaman manusia. Pada saat itu ada sesuatu yang bias dicuri dan
pemerintah mengorganisasikan pencurian itu” (1989:26). Meskipun studi perilaku hewan memberikan
keterangan perihal perilaku manusia, tetapi itu hanya memberikan
petunjuk bukan penjelasan
mengenai kompleksitas
konflik
manusia. Studi itu memberikan langkah awal yang baik, namun
analisisnya melemah manakala perilaku manusia menjadi
lebih kompleks
dari
perilaku
hewan.
Para ahli psikologi awal sering berdalil bahwa ada mekanisme instink atau biologis bawaan yang membuat manusia cenderung melakukan agresi. Hal ini mengarah pada
pembentukan
teori instink mengenai agresi. Teori ini menggabungkan
unsure-unsur
studi psikologi awal
(misalnya
instink kematian dari Freud) dan
teori-teori sosial Darwin mengenai pertarungan/peperangan untuk kelangsungan hidup (the fight for
0 comments:
Post a Comment