Tuesday, November 15, 2016

TEORI-TEORI KONFLIK MIKRO

Di  antarasumsi-asumsi  kaum  behavioris  yang  paling  penting  adalah  keyakinan bahwa akar penyebab perang itu terletak pada sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tata social eksternal. Kaum behavioris meyakini peran sentral hipotesa   stimulus-respons Penganut   alira in berusah mengukuhka apakah manusia  memiliki  karakteristik  biologis  atau  psikologis  yang  akan  membuat  kita cenderung kea rah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya. Mereka ingin memperhitungkan kemungkinan,  dengan  carberpikir  induktif,  variable-variabel  khusus  mengenai konflik intrapersonal dan generalisasi mengenai konflik interpersonal (antar individu) dan internasional (antar bangsa). Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang akan kita tinjau adalah: perilaku hewani (animal behavior), teori agresi bawaan/instinktif (instinct or innate theories of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran social dan teori identitas social.
Di  kalangan  kaum  behaviorispara  ahlbiologi  dan  psikologi  telah  menggunakan studi-studi perilaku atau etologis hewan untuk menggambarkan kemungkinan adanya akibat  wajar  pada  perilaku  manusia.  Manusia  seringkali  mengabaikakenyataan bahwa kita adalah bagian dari dunia hewan (animal kingdom). Namun demikian, kita harus   hati-hati  agar  tida mengambil   kesimpula langsung   mengena perilaku manusia dari perilaku hewan. Perilaku manusia dan hewan itu adalah fenomena yang kompleks meliputi factor-faktor pendorong (motivational) seperti kewilayahan (territoriality), dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival) (OConnell
1989:15). Ketika memakai metoda studi hewan variabel independen yang dikaji adalasurvival). Teori ini kemudian dianggap tidak bisa dipercaya oleh para ahli biologi yang tidak percaya adanya mekanisme seperti itu.

Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu untuk menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pernyataan Kekerasan Seville: Dalam Pernyataan Seville para penandatangan, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf (neuroscientists), ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik,  menyatakan  bahwa  tidak  ada  dasar  ilmiah  bagi  anggapabahwa  manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang pasti akan berperang berdasarkan sifat biologisnya. Alih-alih, mereka menyatakan, perang adalah hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), suatu fenomena organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan informasi yang bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan motivasional. Singkatnya, Penyataan Seville menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa munkin ada jenis tanggung jawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok manusia (Mack 1990:58).

Arti penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville mengarah pada inti salah satu perbincangapokodalapenelitiateorkonflik:  apakah  akar  pokokonflik manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar (genetik) atau didikan/nurture (lingkungan). Para ilmuwan Seville dengan tegaberkesimpulan bahwa konflik itu hasil lingkungan. Namun, sebagaimana yang digambarkan dalam penemuan terbaru oleh para ahli genetika (misalnya pemetaan genetika/gene mapping’) debat mengenai itu masih belum berakhir.

Seperti kebanyakan teori-teori perintis sebelumnya (pioneering), innate theorymembuka jalan bagi hipotesa-hipotesa canggih dan ilmiah over time. Perkembangan penting dari karya (work) ini adalah berkembanganya teori Frutasi-Agresi.Asumsi dasar teori ini adalah bahwa semua agresi, baik antar individu/kelompk mauoun antar bangsa, berakar pada rasa frustasi pencapaian tujuan salah satu atau lebih pelaku agresi itu. Artinya, konflik itu dapat ditelusuri pada tidak tercapainya tujuan pribadi atau kelompok dan rasa frustasi yang ditimbulkannya. Pertanyaan-pertanyan yang muncul dari teori ini adalah: apakah semua frustasi secara otomatis mengarah pada agresi, dan dapatkah semua agresi dan konflik ditelusuri berasal dari rasa frustasi yang katalitis ? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan juga tantangan tidak cukupnya hubungan kausal (sebab-akibat) pada agresi, dan pandangan-pandangan lainnya mengenai perilaku manusia mengarah pada pendiskreditan teori Frustasi-Agresi dan perkembangan berikutnya teori pembelajaran sosial (social learning theory) dan teori identitas social (social identity theory)agresi. OConnell merencanakan ruang lingkup (parameter) konflik manusia dengan menyatakan  bahwa  manusia  terlibat  dalam  konflik  predatory (pemangsaan)  dan
‘intraspecific. Walau  kedengarannya  sangat  aneh  tetapbukannya  tidak  mungkin hewan melakukan banyak sekali jenis agresi, tapi yang membedakan manusia dari dunia hewan lainnya adalah motivasi (faktor pendorong) kita.

Peperangaterorganisasi  merupakabagiadari  alam  sebelum  manusia  tiba  di tempat itu. Nafsu menyerang yang terkoordinasi dan maksud politis yang jelas yang dengannya serangga-serangga social tertentu melakukan agresi menunjukkan bahwa, dari perilakunya, manusia bukan satu-satunya yang  masuk tentara ataberperang sebagai bagian dari tentara…Namun yang menjadi kunci perbedaannya adalah motivasinya. Semut-semut berperang karena ‘genenya menuntut mereka supaya berperang. Sebaliknya, manusia menciptakan fenomena menurut versinya sendiri. Motif itu merupakan perangkat budaya (cultural instrument), hasil imaginasinya (O’Connell 1989:30). O’Connell berpendapat, manusia terlibat bermacam- macam/banyak sekali konflik. Keragaman konflik ini ditambah dengan berbagai motivator yang memaksanya melakukan konflik. Unsur lain yang menentukan konflik manusia adalah  aspek materialSepertyang  dinyatakan O’ConnellBaru  dengan datangnya pertanian lah, kemudian politik, peperangan yang sebenarnya menjadi bagian dari pengalaman manusia. Pada saat itu ada sesuatu yang bias dicuri dan pemerintah mengorganisasikan pencurian itu(1989:26). Meskipun studi perilaku hewa memberika keteranga periha perilak manusia,    tetap it hanya memberikan  petunjuk  bukan  penjelasan  mengenai  kompleksitas  konflik  manusia. Studi itu memberikan langkah awal yang baik, namun analisisnya melemah manakala perilaku manusia menjadi lebih kompleks dari perilaku hewan.

Para ahli psikologi awal sering berdalil bahwa ada mekanisme instink atau biologis bawaan yang membuat manusia cenderung melakukan agresi. Hal ini mengarah pada pembentukan teori instink mengenai agresi. Teori ini menggabungkan unsure-unsur studi psikologi awal (misalnya instink kematian dari Freud) dan teori-teori sosial Darwin mengenai pertarungan/peperangan untuk kelangsungan hidup (the fight for





0 comments: