Tuesday, November 15, 2016

Kebebasan Sipil (Civil Sociert) dalam melaksanakan Pemilukada di Aceh Tamiang

Kebebasan sipil dapat dikatakan sebagai masyarakat sipil (civil society) yang mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikutserta dalam membangun Negara. Dengan kata lain kebebasan sipil sifatnya lebih mengarah pada makna keterbukaan, yang mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hak yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat.
Hak-hak tersebut dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan kelamin, karenanya bersifat azasi dan universal, yang menyangkut hak hidup, hak hidup tanpa adanya perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak untuk bebas dan hak untuk memilih sesuatu. Kriteria ini lebih diarahkan pada makna analisis terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakat. Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun demikian secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kekhawatiran itu ditandai dengan adanya porsi atas kebebasan warga untuk memilih berbagai alternatif politik, sehingga tidak mengurangi kapabilitas terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sudah menjadi rahasia umum jika pilkada di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan intimidasi, pemaksaan terhadap masyarakat agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi memberi ancaman akan keselamatan keluarganya jika mereka tidak memilih calon yang dimaksud, atau bahkan kekerasan fisik sering ditemui disejumlah daerah di Aceh kala pilkada menjelang, begitu pula halnya yang terjadi di Aceh Tamiang. Keluhan masyarakat akan tindakan intimidasi memang sering terjadi baik dari pihak Hamdan Sati (Koalisi Partai) maupun dari pihak Agussalim (Partai Aceh), tidak diketahui secara jelas kubu mana yang memang benar-benar salah soal mengintimidasi masyarakat namun penelusuran di lapangan yang dilakukan oleh penulis dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk intimidasi dari pendukung PA benar adanya namun tidak begitu berat sehingga mengakibatkan hal tersebut tidak perlu diproses secara hukum.
Di sisi lain, masyarakat sempat dibuat bingung oleh fenomena kecurangan yang dilakukan bupati terpilih Hamdan Sati saat ia dinyatakan menang oleh KIP Aceh Tamiang, berita tersebut semakin berkembang kala pendukung dari PA semakin menggencarkan isu politik tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi, mereka menganggap bahwa proses pilkada putaran kedua berlangsung dengan sangat tidak demokratis dikarenakan adanya tekanan dan tindakan depresik aparat keamanan di lapangan.
Namun isu tersebut seolah hilang begitu saja saat bupati terpilih menduduki masa jabatannya, masyarakat seolah dilupakan oleh fenomena yang menggencarkan warga kala mereka berdemonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang, ternyata dalam hal kelanjutan gugatan yang dilayangkan mereka ke Mahkamah tidak dapat dipertanggungjawabkan, secara perlahan mereka mencabut gugatan tersebut karena tidak dapat menjelaskan bukti-bukti nyata akan kecurangan yang dilakukan oleh rivalnya tersebut.
Melihat hal ini, tentu masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas calon pemimpin daerah yang akan mereka pilih, sebuah ancaman tidak menjadi persoalan karena pada faktanya masyarakat sudah jelas menentukan pilihan pada calon terpilih 2012 lalu. Jika benar pihak Hamdan Sati melakukan kecurangan tentu masyarakat tidak akan mau memilihnya. Secara tidak langsung pendewasaan akan kehidupan berdemokrasi di Aceh Tamiang sudah mulai terlihat, ditandai oleh keberanian masyarakat untuk menentang bentuk penindasan atau ancaman tersebut, mereka tidak takut akan ancaman yang menghampiri karena pada dasarnya mereka menyadari bahwa mereka adalah masyarakat politik yang bebas dalam menentukan hak pilihnya, kepada siapa mereka akan memilih orang lain tidak berhak mengintervensinya, dengan kata lain pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.
Melihat fenomena yang terjadi, dapat dikatakan bahwa posisi Hamdan Sati saat itu terasa diuntungkan oleh kebijakan pusat atas pengerahan aparat keamanan (dalam hal ini TNI/Polri) dalam proses pemilihan umum, dikarenakan penulis melihat pertarungan pilkada putaran kedua tersebut tidak lagi kompetisi antar calon maupun antar partai nasional dan partai lokal, melainkan sudah mengarah pada pertarungan antar NKRI dan GAM, karena dalam hal ini posisi Hamdan seperti terlindungi oleh keberadaan aparat keamanan sementara Agussalim yang dibawah naungan Partai Aceh seperti terlindungi oleh keberadaan GAM, dalam kasus ini seolah mengingatkan kembali kenangan pahit akan konflik yang berkepanjangan di bumi Serambi Mekkah ini. Karena dugaan akan keberadaan aparat keamanan yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati meskipun pada faktanya mereka berfungsi untuk mengamankan jalannya pilkada dari pergerakan GAM yang bisa saja berulah.
Sudah pasti imbasnya pada masyarakat itu sendiri, karena dibingungkan oleh opini-opini publik yang tak beralasan, namun menyikapi kasus tersebut ternyata masyarakat mulai menyadari bahwa sudah saatnya mereka bangkit dari keterpurukan sejak konflik berkepanjangan melanda daerah ini, dengan bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat untuk bebas dari segala bentuk penindasan adalah solusinya. Agar mewujudkan sistem yang demokratis di tingkat daerah sebagai wujud nyata pendemokratisasian di era reformasi yang sejalan pada UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana tujuan dari penetapan UU tersebut adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

Selain itu merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan begitu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi. Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung yang bebas dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.
Dengan demikian, pada kasus ini sifat keterbukaan pada pilkada Aceh Tamiang dikatakan relatif baik, artinya masyarakat tamiang telah mengokohkan komitmen untuk menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian guna menciptakan sistem yang demokratis pasca reformasi diterapkan di negeri ini. Mereka mulai menyadari bahwa kebebesan sipil sangat diprioritaskan dalam hal memilih, masyarakat tidak perlu takut akan adanya bentuk intimidasi dan tekanan dari PA karena pada dasarnya masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.


0 comments: