Kebebasan
sipil dapat dikatakan sebagai masyarakat sipil (civil society) yang
mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikutserta dalam membangun Negara.
Dengan kata lain kebebasan sipil sifatnya lebih mengarah pada makna
keterbukaan, yang mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan
bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa pada dasarnya
manusia itu memiliki hak yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat.
Hak-hak
tersebut dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan kelamin,
karenanya bersifat azasi dan universal, yang menyangkut hak hidup, hak hidup
tanpa adanya perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak untuk bebas
dan hak untuk memilih sesuatu. Kriteria ini lebih diarahkan pada makna analisis
terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas
menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari
pihak manapun.
Berdasarkan
UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang
semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakat. Secara umum ini merupakan
kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya
dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun demikian secara lebih mendalam masih
banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kekhawatiran itu
ditandai dengan adanya porsi atas kebebasan warga untuk memilih berbagai
alternatif politik, sehingga tidak mengurangi kapabilitas terhadap hal yang
akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sudah menjadi rahasia umum jika pilkada
di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan intimidasi, pemaksaan terhadap
masyarakat agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi memberi ancaman
akan keselamatan keluarganya jika mereka tidak memilih calon yang dimaksud,
atau bahkan kekerasan fisik sering ditemui disejumlah daerah di Aceh kala
pilkada menjelang, begitu pula halnya yang terjadi di Aceh Tamiang. Keluhan
masyarakat akan tindakan intimidasi memang sering terjadi baik dari pihak
Hamdan Sati (Koalisi Partai) maupun dari pihak Agussalim (Partai Aceh), tidak
diketahui secara jelas kubu mana yang memang benar-benar salah soal
mengintimidasi masyarakat namun penelusuran di lapangan yang dilakukan oleh
penulis dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk intimidasi dari pendukung PA
benar adanya namun tidak begitu berat sehingga mengakibatkan hal tersebut tidak
perlu diproses secara hukum.
Di
sisi lain, masyarakat sempat dibuat bingung oleh fenomena kecurangan yang
dilakukan bupati terpilih Hamdan Sati saat ia dinyatakan menang oleh KIP Aceh
Tamiang, berita tersebut semakin berkembang kala pendukung dari PA semakin
menggencarkan isu politik tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi, mereka
menganggap bahwa proses pilkada putaran kedua berlangsung dengan sangat tidak
demokratis dikarenakan adanya tekanan dan tindakan depresik aparat keamanan di
lapangan.
Namun
isu tersebut seolah hilang begitu saja saat bupati terpilih menduduki masa
jabatannya, masyarakat seolah dilupakan oleh fenomena yang menggencarkan warga
kala mereka berdemonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang, ternyata dalam
hal kelanjutan gugatan yang dilayangkan mereka ke Mahkamah tidak dapat
dipertanggungjawabkan, secara perlahan mereka mencabut gugatan tersebut karena
tidak dapat menjelaskan bukti-bukti nyata akan kecurangan yang dilakukan oleh
rivalnya tersebut.
Melihat
hal ini, tentu masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas calon
pemimpin daerah yang akan mereka pilih, sebuah ancaman tidak menjadi persoalan
karena pada faktanya masyarakat sudah jelas menentukan pilihan pada calon
terpilih 2012 lalu. Jika benar pihak Hamdan Sati melakukan kecurangan tentu
masyarakat tidak akan mau memilihnya. Secara tidak langsung pendewasaan akan
kehidupan berdemokrasi di Aceh Tamiang sudah mulai terlihat, ditandai oleh
keberanian masyarakat untuk menentang bentuk penindasan atau ancaman tersebut,
mereka tidak takut akan ancaman yang menghampiri karena pada dasarnya mereka
menyadari bahwa mereka adalah masyarakat politik yang bebas dalam menentukan
hak pilihnya, kepada siapa mereka akan memilih orang lain tidak berhak mengintervensinya,
dengan kata lain pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa
adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.
Melihat
fenomena yang terjadi, dapat dikatakan bahwa posisi Hamdan Sati saat itu terasa
diuntungkan oleh kebijakan pusat atas pengerahan aparat keamanan (dalam hal ini
TNI/Polri) dalam proses pemilihan umum, dikarenakan penulis melihat pertarungan
pilkada putaran kedua tersebut tidak lagi kompetisi antar calon maupun antar
partai nasional dan partai lokal, melainkan sudah mengarah pada pertarungan
antar NKRI dan GAM, karena dalam hal ini posisi Hamdan seperti terlindungi oleh
keberadaan aparat keamanan sementara Agussalim yang dibawah naungan Partai Aceh
seperti terlindungi oleh keberadaan GAM, dalam kasus ini seolah mengingatkan
kembali kenangan pahit akan konflik yang berkepanjangan di bumi Serambi Mekkah
ini. Karena dugaan akan keberadaan aparat keamanan yang lebih memihak pada
calon terpilih Hamdan Sati meskipun pada faktanya mereka berfungsi untuk
mengamankan jalannya pilkada dari pergerakan GAM yang bisa saja berulah.
Sudah pasti
imbasnya pada masyarakat itu sendiri, karena dibingungkan oleh opini-opini
publik yang tak beralasan, namun menyikapi kasus tersebut ternyata masyarakat
mulai menyadari bahwa sudah saatnya mereka bangkit dari keterpurukan sejak
konflik berkepanjangan melanda daerah ini, dengan bermodalkan keberanian dan
tekad yang kuat untuk bebas dari segala bentuk penindasan adalah solusinya.
Agar mewujudkan sistem yang demokratis di tingkat daerah sebagai wujud nyata
pendemokratisasian di era reformasi yang sejalan pada UU No.32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, dimana tujuan dari penetapan UU tersebut adalah
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam
sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.
Selain itu
merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin
di daerah. Dengan begitu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan
pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.
Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung yang bebas dianggap sebagai sebuah
peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah
negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung
tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.
Dengan demikian,
pada kasus ini sifat keterbukaan pada pilkada Aceh Tamiang dikatakan relatif
baik, artinya masyarakat tamiang telah mengokohkan komitmen untuk
menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian guna menciptakan sistem yang
demokratis pasca reformasi diterapkan di negeri ini. Mereka mulai menyadari
bahwa kebebesan sipil sangat diprioritaskan dalam hal memilih, masyarakat tidak
perlu takut akan adanya bentuk intimidasi dan tekanan dari PA karena pada
dasarnya masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, pemilih
bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan
dari pihak manapun.
0 comments:
Post a Comment