Tuesday, November 15, 2016

RESONANSI POLITIK PARTISIPAN

Salah satu keberhasilan pemilihan umum dapat dilihat dari tingkat partisipasi pemilihnya, di samping parameter-parameter lainnya seperti kemampuan mengelola konflik dan terpilihnya individu yang kredibel. Pemilihan umum bukan hanya sebagai sebuah aktifitas administratif belaka, namun lebih menekankan pada makna substansinya. Pada konteks ini, pemilihan harus didesain agar dapat menjadi sebuah pesta rakyat yang menghibur (electiontainment)


Trend menurunnya tingkat partisipasi masyarakat tersebut disebabkan banyak faktor, antara lain dipengaruhi oleh jumlah parpol peserta pemilu. Di dalam tabel di atas, hingga tahun 1999, saat pemilu diikuti oleh sedikit parpol, tampak partisipasi masyarakat berada tingkat tertinggi. Tetapi di masa reformasi, yang diikuti kembali oleh banyak parpol dan dilaksanakannya pemilukada langsung, maka tingkat partisipasi mulai tampak menurun. Pencermatan fenomena ini tiba pada beberapa faktor pemengaruh, antara lain : sistem kepartaian, sistem kepemiluan, dan terutama bergantung pada tingkat pragmatisme para pemilih yang berbeda latar pendidikan, status ekonomi dan latar belakang komunitasnya.

Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Sedangkan partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 5 (lima) pengertian, yaitu:
1.      Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
2.      Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyekproyek pembangunan;
3.       Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
4.      Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
5.      Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy. Pemikiran ini muncul karena terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat (hanya berkisar 50–60%).

Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Untuk meningkatkan partisipasi politik pada pemilihan umum anggota DPD, DPR, dan DPRD tahun 2014, KPU Pusat telah mengerahkan para penyelenggara pemilu se-Indonesia untuk mencapai target partisipasi 75 % dengan cara melakukan berbagai inovasi teknik sosialisasi. Inovasi upaya peningkatan partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan dengan metode BRIDGE (Building Resources in Democracy, Governance and Elections) , atau dengan electiontaiment dan menugaskan agen-agen sosialisasi dan RELASI (Relawan Demokrasi) ke dalam lima komunitas, yaitu komunitas pemilih pemula, komunitas kelompok tokoh agama, komunitas kelompok perempuan, komunitas kelompok disabilitas, dan komunitas kelompok pinggiran. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:

a.       Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses pemilihan umum.
b.      Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.
c.       Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
d.      Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk  menghindari terjadinya dominasi.
e.       Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
f.       Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.
g.      Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.


Selain penyelenggara pemilu yang mengupayakan peningkatan partisipasi , maka para peserta pemilu (partai politik) pun harus melaksanakan ketentuan pasal 34 UU no.2 tahun 2011 yaitu melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat dalam upaya membangun etika dan budaya politik. Demikian pula peran pemerintah pun diperlukan dengan cara mengubah budaya birokrasinya dengan merealisasikan prinsip pemerintahan yang smaller (struktur kecil, efisien), faster (kinerja cepat, efektif), cheaper (operasional murah), dan kompetitif (optimal dan akuntabel).

0 comments: