Salah
satu keberhasilan pemilihan umum dapat dilihat dari tingkat partisipasi pemilihnya,
di samping parameter-parameter lainnya seperti kemampuan mengelola konflik dan
terpilihnya individu yang kredibel. Pemilihan umum bukan hanya sebagai sebuah
aktifitas administratif belaka, namun lebih menekankan pada makna substansinya.
Pada konteks ini, pemilihan harus didesain agar dapat menjadi sebuah pesta
rakyat yang menghibur (electiontainment).
Trend
menurunnya tingkat partisipasi masyarakat tersebut disebabkan banyak faktor,
antara lain dipengaruhi oleh jumlah parpol peserta pemilu. Di dalam tabel di atas,
hingga tahun 1999, saat pemilu diikuti oleh sedikit parpol, tampak partisipasi masyarakat
berada tingkat tertinggi. Tetapi di masa reformasi, yang diikuti kembali oleh
banyak parpol dan dilaksanakannya pemilukada langsung, maka tingkat partisipasi
mulai tampak menurun. Pencermatan fenomena ini tiba pada beberapa faktor pemengaruh,
antara lain : sistem kepartaian, sistem kepemiluan, dan terutama bergantung
pada tingkat pragmatisme para pemilih yang berbeda latar pendidikan, status
ekonomi dan latar belakang komunitasnya.
Menurut
Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan
seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan
pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau
dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai,
tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Sedangkan partisipasi
masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam
proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan
dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah,
pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi. Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi
menjadi 5 (lima) pengertian, yaitu:
1.
Partisipasi
adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam
pengambilan keputusan;
2.
Partisipasi
adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan
menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyekproyek pembangunan;
3.
Partisipasi adalah suatu proses yang aktif,
yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil
inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
4.
Partisipasi
adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
5.
Partisipasi
adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan
lingkungan mereka.
Dari
tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, partisipasi politik
adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak
pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang
untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Konsep partisipasi politik ini
menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy. Pemikiran
ini muncul karena terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat
(hanya berkisar 50–60%).
Pentingnya
partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: pertama,
partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai
kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya
program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat
akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan
dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui
seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan
dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.
Untuk
meningkatkan partisipasi politik pada pemilihan umum anggota DPD, DPR, dan DPRD
tahun 2014, KPU Pusat telah mengerahkan para penyelenggara pemilu se-Indonesia
untuk mencapai target partisipasi 75 % dengan cara melakukan berbagai inovasi
teknik sosialisasi. Inovasi upaya peningkatan partisipasi masyarakat tersebut
dapat dilakukan dengan metode BRIDGE (Building Resources in Democracy, Governance
and Elections) , atau dengan electiontaiment dan menugaskan
agen-agen sosialisasi dan RELASI (Relawan Demokrasi) ke dalam lima komunitas,
yaitu komunitas pemilih pemula, komunitas kelompok tokoh agama, komunitas
kelompok perempuan, komunitas kelompok disabilitas, dan komunitas kelompok
pinggiran. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang
dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department
for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004:
106-107) adalah:
a.
Cakupan.
Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari
hasil-hasil suatu keputusan atau proses pemilihan umum.
b.
Kesetaraan
dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai
keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan
prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa
memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.
c.
Transparansi.
Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi
terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
d.
Kesetaraan
kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat
harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
e.
Kesetaraan
Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai
tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan
kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan
keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
f.
Pemberdayaan
(Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan
aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan
saling memberdayakan satu sama lain.
g.
Kerjasama.
Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi
kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan
dengan kemampuan sumber daya manusia.
Selain
penyelenggara pemilu yang mengupayakan peningkatan partisipasi , maka para peserta
pemilu (partai politik) pun harus melaksanakan ketentuan pasal 34 UU no.2 tahun
2011 yaitu melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat
dalam upaya membangun etika dan budaya politik. Demikian pula peran pemerintah pun
diperlukan dengan cara mengubah budaya birokrasinya dengan merealisasikan
prinsip pemerintahan yang smaller (struktur kecil, efisien), faster
(kinerja cepat, efektif), cheaper (operasional murah), dan kompetitif
(optimal dan akuntabel).
0 comments:
Post a Comment