Dalam buku yang menjadi salah satu rujukan
penting studi politik internasional, International Politics: A Framework for
Analysis, Holsti (1983:193) mengemukakan bahwa dengan perkembangan politik
massa-meluasnya keterlibatan warga negara atau subjek dalam hubungan-hubungan
politik-dan meluasnya lingkup hubungan-hubungan privat antarwarga negara dalam
hubungan internasional dan global, dimensi-dimensi kebijakan luar negeri akan
menjadi semakin penting. Sejauh sebagai rakyat, menurut Holsti, yang
digabungkan ke dalam berbagai kelas sosial, gerakan, dan kelompok-kelompok
kepentingan (interest group), peranan yang mereka mainkan akan semakin
penting dalam menentukan tujuan-tujuan dan alat-alat kebijakan yang digunakan
untuk meraih atau mempertahankan tujuan-tujuan tersebut meski pada waktu
bersamaan mereka sendiri juga menjadi target persuasi.
Di era sekarang, interaksi sebagaimana
dimaksud Holsti diperantarai oleh media dan teknologi komunikasi. Oleh
karenanya, di era globalisasi sekarang ini, peranan media menjadi semakin
penting dalam kehidupan politik internasional dan diplomasi. Kekuatan media
sebagai agen diplomasi ini muncul sebagai akibat luasnya cakupan dan
kemampuannya dalam membangun citra dan opini publik. Sebagai ilustrasi, pada
tahun 1987, dalam rangka meminimalkan bias berita Barat, CNN World Report telah
menyediakan laporan berita di seluruh dunia tanpa diedit dan disensor.
Menjelang tahun 1992, tidak kurang dari 10.000 item berita lokal disiarkan
dalam World Report yang berasal dari 185 organisasi berita dan mewakili
180 negara (Tehranian, 1999:46). Mengomentari hal ini, Tehranian mengatakan, “CNN
has thus become more than a news medium; it is also serving as a channel for
public diplomacy, often working faster than the private channels of traditional
diplomacy”.
Peranan media yang sangat besar tersebut telah melahirkan istilah
“media diplomacy” (Hachten, 1993:59), yang dalam sejarahnya merujuk pada
kasus Walter Cronkite dari CBS dan Barbara Walters dari ABC yangmenjadi
‘saluran’ komunikasi antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dengan Perdana Menteri
Israel, Menachem Begin. Menurut catatan Hachten, dampak paling dramatis dicapai
oleh stasiun CBS yang berhasil melakukan wawancara sambungan telepon secara
terpisah. Selanjutnya, penyiaran dua wawancara tersebut disunting dan
disambungkan bersama sehingga memberikan kesan sedang dilaksanakan wawancara
langsung antara kedua pemimpin dengan Cronkite sebagai pewawancaranya. Inilah
dimensi baru peranan media dalam politik internasional dewasa ini, yang dapat
dikatakan sebagai ’mediator’. Pada tataran tertentu, media menjembatani yang
mungkin juga penuh distorsi negosiasi dan diplomasi politik antar-para pejabat
politik.
Kemampuan
media dalam membangun citra juga telah menggeser dimensi politik internasional.
Dalam kaitan ini, Tehranian (1999:137) mengemukakan bahwa setengah kekuasaan
politik terdiri dari pembuatan citra (image making). Format media naratif
seperti drama atau gambar bergerak dapat membentuk kesadaran politik melalui
penggambaran pengalaman-pengalaman hidup dan membentuk suasana pengalaman
termediasi (Kluver, 2002:499). Di sini, politik citra tidak hanya beroperasi
dalam demokrasi nasional ataupun lokal, tetapi juga menjadi dimensi penting
dalam politik internasional. Perkembangan ini juga mendorong bagaimana
pencapaian kekuasaan diraih dalam hubungan antarnegara.
Sejalan
dengan pemikiran realis, kekuasaan dalam politik internasional seperti ‘life’s
blood’ (Henderson, 1998:99). Di sini, kekuasaan didefinisikan sebagai kapasitas
seorang aktor untuk membujuk atau memaksa aktor lain guna mengijinkan kontrol
atas aktor tersebut. Kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni soft
power dan hard power. Soft power merujuk pada kemampuan seorang aktor dalam
melakukan persuasi kepada aktor lain untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan
pengaruh. Ideologi suatu negara, budaya, prestise dalam hubungan internasional,
atau keberhasilan-keberhasilan negara tersebut mungkin akan membuat negara
tersebut menjadi pemimpin yang secara sukarela diikuti oleh yang lain
(Henderson, 1998:100). Sementara itu, hard power dimaknai sebagai kemampuan
suatu negara untuk memaksakan kepentingan dan kemauannya terhadap negara lain
baik melalui kekuatan ekonomi maupun invasi militer. Kemampuan suatu negara
untuk mengkombinasikan kedua kekuasaan ini, hard power dan soft power,
membuatnya menjadi sangat berpengaruh dalam politikinternasional sebagaimana
ditampilkan Amerika Serikat saat ini.
Kekuasaan sebagai tujuan utama politik internasional mengandung
enam dimensi utama, (Henderson, 1998:100-102), yang mengetahuinya menjadi
sangat penting untuk mengidentifikasi lebih dalam peranan media dalam
mentransformasi hubungan-hubungan antarnegara dan politik internasional.
Dimensi kekuasaan yang dimaksud adalah: Pertama, kekuasaan bersifat
situasional sebagai akibat sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kekuasaan tersebut berubah setiap waktu atau berubah sebagai akibat perubahan
konteks yang melingkupinya. Kedua, kekuasaan atau power selalu
berada dalam suatu state of change karena kemajuan-kemajuan teknologi.
Meluasnya teknologi komunikasi dan media jelas telah mengubah landscape kekuasaan
dalam masyarakat modern. Informasi adalah kekuasaan, dan siapa yang mengontrol
informasi berarti juga kontrol terhadap kekuasaan. Ketiga, kekuasaan
menjadi penting hanya karena hubungannya dengan aktor-aktor lain. Ini berarti
bahwa perbincangan mengenai kekuasaan hanya relevan jika dikaitkan dengan
hubungan-hubungan antaraktor dalam politik internasional. Dalam masyarakat
global, interaksi tidak lagi terbatas pada individu-individu dalam lingkup
teritorial negara bangsa, tetapi juga melintasi batas-batas geografis.
Interaksi ini menjadi mungkin karena perkembangan teknologi komunikasi dan
media. Persoalannya adalah bahwa pengusaaan atas teknologi dan media tidak
berjalan seimbang, negara-negara maju menguasai lebih banyak dibandingkan
dengan negara Dunia Ketiga. Keempat, kekuasaan dapat dibedakan antara
kekuasaan aktual dan potensial (actual power and potencial power).
Kekuatan militer suatu negara bangsa menjadi contoh paling konkret kekuasaan
aktual, sedangkan Gross National Product (GNP) menjadi contoh potencial
power. Kelima, berkenaan dengan pembedaan actual and potencial
power adalah apa yang disebut sebagai the fungibility power. Secara
khusus, kekuasaan fungible melibatkan kemampuan untuk melakukan konversi
kekuasaan ekonomi menjadi kemampuan militer dan selanjutnya menjadi kekuasaan
politik. Jepang menjadi contoh bagaimana kemampuan ekonomi dapat ditransformasi
dengan cepat menjadi kekuasaan militer atau politik. Meskipun saat ini Jepang
tidak mempunyai cukup kekuatan militer, tetapi dengan kemampuan ekonomi,
teknologi dan dengan menghabiskan sekitar 6 hingga 8 persen GNP-nya, Jepang
dengan cepat dapat menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani. Terakhir,
kekuasaan dapat dibedakan menjadi tangible dan intangible. Tangible
power merupakan sumber-sumber kekuasaan yang dapat disentuh dan dapat
dihitung (countable), sedangkan intangible power sebaliknya,
tidak dapat disentuh seperti kekuatan moral, wisdom, dan lain
sebagainya.
Di era globalisasi sekarang ini, kekuasaan telah banyak mengalami
perubahan. Kekuasaan menjadi lebih bersifat persuasif dibandingkan dengan coercive
dan pada akhirnya akan menuju ke arah peningkatan kebutuhan dan keinginan
dari banyak aktor dibandingkan dengan hanya mendasarkan pada keamanan negara
bangsa (Henderson, 1998:121). Dalam situasi semacam ini, propaganda melalui
media yang beroperasi secara global mempunyai peran penting. Amerika menjadi
contoh paling nyata bagi upaya-upaya membangun propaganda untuk mendukung
kebijakan-kebijakan luar negeri. Radio Voice of America menjadi stasiun
penyiaran yang dengan efektif telah digunakan oleh AS dalam mendukung kebijakan
luar negeri. Beroperasi sejak tahun 1943 dan berisi beragam acara mulai dari
berita dan hiburan dengan informasi tentang kehidupan di Amerika, VOA dapat
memberikan argumen-argumen yang mendukung bagi kebijakan luar negeri AS (Henderson,
1998:186). Stasiun-stasiun siaran swasta tampaknya juga tidak berbeda dalam
keikutsertaannya memperjuangkan kepentingan-kepentingan AS dalam politik
internasional.
0 comments:
Post a Comment