Thursday, September 29, 2016

POLITIK INTERNASIONAL

Dalam buku yang menjadi salah satu rujukan penting studi politik internasional, International Politics: A Framework for Analysis, Holsti (1983:193) mengemukakan bahwa dengan perkembangan politik massa-meluasnya keterlibatan warga negara atau subjek dalam hubungan-hubungan politik-dan meluasnya lingkup hubungan-hubungan privat antarwarga negara dalam hubungan internasional dan global, dimensi-dimensi kebijakan luar negeri akan menjadi semakin penting. Sejauh sebagai rakyat, menurut Holsti, yang digabungkan ke dalam berbagai kelas sosial, gerakan, dan kelompok-kelompok kepentingan (interest group), peranan yang mereka mainkan akan semakin penting dalam menentukan tujuan-tujuan dan alat-alat kebijakan yang digunakan untuk meraih atau mempertahankan tujuan-tujuan tersebut meski pada waktu bersamaan mereka sendiri juga menjadi target persuasi.
Di era sekarang, interaksi sebagaimana dimaksud Holsti diperantarai oleh media dan teknologi komunikasi. Oleh karenanya, di era globalisasi sekarang ini, peranan media menjadi semakin penting dalam kehidupan politik internasional dan diplomasi. Kekuatan media sebagai agen diplomasi ini muncul sebagai akibat luasnya cakupan dan kemampuannya dalam membangun citra dan opini publik. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1987, dalam rangka meminimalkan bias berita Barat, CNN World Report telah menyediakan laporan berita di seluruh dunia tanpa diedit dan disensor. Menjelang tahun 1992, tidak kurang dari 10.000 item berita lokal disiarkan dalam World Report yang berasal dari 185 organisasi berita dan mewakili 180 negara (Tehranian, 1999:46). Mengomentari hal ini, Tehranian mengatakan, “CNN has thus become more than a news medium; it is also serving as a channel for public diplomacy, often working faster than the private channels of traditional diplomacy”.

Peranan media yang sangat besar tersebut telah melahirkan istilah “media diplomacy” (Hachten, 1993:59), yang dalam sejarahnya merujuk pada kasus Walter Cronkite dari CBS dan Barbara Walters dari ABC yangmenjadi ‘saluran’ komunikasi antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dengan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin. Menurut catatan Hachten, dampak paling dramatis dicapai oleh stasiun CBS yang berhasil melakukan wawancara sambungan telepon secara terpisah. Selanjutnya, penyiaran dua wawancara tersebut disunting dan disambungkan bersama sehingga memberikan kesan sedang dilaksanakan wawancara langsung antara kedua pemimpin dengan Cronkite sebagai pewawancaranya. Inilah dimensi baru peranan media dalam politik internasional dewasa ini, yang dapat dikatakan sebagai ’mediator’. Pada tataran tertentu, media menjembatani yang mungkin juga penuh distorsi negosiasi dan diplomasi politik antar-para pejabat politik.
Kemampuan media dalam membangun citra juga telah menggeser dimensi politik internasional. Dalam kaitan ini, Tehranian (1999:137) mengemukakan bahwa setengah kekuasaan politik terdiri dari pembuatan citra (image making). Format media naratif seperti drama atau gambar bergerak dapat membentuk kesadaran politik melalui penggambaran pengalaman-pengalaman hidup dan membentuk suasana pengalaman termediasi (Kluver, 2002:499). Di sini, politik citra tidak hanya beroperasi dalam demokrasi nasional ataupun lokal, tetapi juga menjadi dimensi penting dalam politik internasional. Perkembangan ini juga mendorong bagaimana pencapaian kekuasaan diraih dalam hubungan antarnegara.
Sejalan dengan pemikiran realis, kekuasaan dalam politik internasional seperti ‘life’s blood’ (Henderson, 1998:99). Di sini, kekuasaan didefinisikan sebagai kapasitas seorang aktor untuk membujuk atau memaksa aktor lain guna mengijinkan kontrol atas aktor tersebut. Kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni soft power dan hard power. Soft power merujuk pada kemampuan seorang aktor dalam melakukan persuasi kepada aktor lain untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan pengaruh. Ideologi suatu negara, budaya, prestise dalam hubungan internasional, atau keberhasilan-keberhasilan negara tersebut mungkin akan membuat negara tersebut menjadi pemimpin yang secara sukarela diikuti oleh yang lain (Henderson, 1998:100). Sementara itu, hard power dimaknai sebagai kemampuan suatu negara untuk memaksakan kepentingan dan kemauannya terhadap negara lain baik melalui kekuatan ekonomi maupun invasi militer. Kemampuan suatu negara untuk mengkombinasikan kedua kekuasaan ini, hard power dan soft power, membuatnya menjadi sangat berpengaruh dalam politikinternasional sebagaimana ditampilkan Amerika Serikat saat ini.
Kekuasaan sebagai tujuan utama politik internasional mengandung enam dimensi utama, (Henderson, 1998:100-102), yang mengetahuinya menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi lebih dalam peranan media dalam mentransformasi hubungan-hubungan antarnegara dan politik internasional. Dimensi kekuasaan yang dimaksud adalah: Pertama, kekuasaan bersifat situasional sebagai akibat sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan kekuasaan tersebut berubah setiap waktu atau berubah sebagai akibat perubahan konteks yang melingkupinya. Kedua, kekuasaan atau power selalu berada dalam suatu state of change karena kemajuan-kemajuan teknologi. Meluasnya teknologi komunikasi dan media jelas telah mengubah landscape kekuasaan dalam masyarakat modern. Informasi adalah kekuasaan, dan siapa yang mengontrol informasi berarti juga kontrol terhadap kekuasaan. Ketiga, kekuasaan menjadi penting hanya karena hubungannya dengan aktor-aktor lain. Ini berarti bahwa perbincangan mengenai kekuasaan hanya relevan jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan antaraktor dalam politik internasional. Dalam masyarakat global, interaksi tidak lagi terbatas pada individu-individu dalam lingkup teritorial negara bangsa, tetapi juga melintasi batas-batas geografis. Interaksi ini menjadi mungkin karena perkembangan teknologi komunikasi dan media. Persoalannya adalah bahwa pengusaaan atas teknologi dan media tidak berjalan seimbang, negara-negara maju menguasai lebih banyak dibandingkan dengan negara Dunia Ketiga. Keempat, kekuasaan dapat dibedakan antara kekuasaan aktual dan potensial (actual power and potencial power). Kekuatan militer suatu negara bangsa menjadi contoh paling konkret kekuasaan aktual, sedangkan Gross National Product (GNP) menjadi contoh potencial power. Kelima, berkenaan dengan pembedaan actual and potencial power adalah apa yang disebut sebagai the fungibility power. Secara khusus, kekuasaan fungible melibatkan kemampuan untuk melakukan konversi kekuasaan ekonomi menjadi kemampuan militer dan selanjutnya menjadi kekuasaan politik. Jepang menjadi contoh bagaimana kemampuan ekonomi dapat ditransformasi dengan cepat menjadi kekuasaan militer atau politik. Meskipun saat ini Jepang tidak mempunyai cukup kekuatan militer, tetapi dengan kemampuan ekonomi, teknologi dan dengan menghabiskan sekitar 6 hingga 8 persen GNP-nya, Jepang dengan cepat dapat menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani. Terakhir, kekuasaan dapat dibedakan menjadi tangible dan intangible. Tangible power merupakan sumber-sumber kekuasaan yang dapat disentuh dan dapat dihitung (countable), sedangkan intangible power sebaliknya, tidak dapat disentuh seperti kekuatan moral, wisdom, dan lain sebagainya.

Di era globalisasi sekarang ini, kekuasaan telah banyak mengalami perubahan. Kekuasaan menjadi lebih bersifat persuasif dibandingkan dengan coercive dan pada akhirnya akan menuju ke arah peningkatan kebutuhan dan keinginan dari banyak aktor dibandingkan dengan hanya mendasarkan pada keamanan negara bangsa (Henderson, 1998:121). Dalam situasi semacam ini, propaganda melalui media yang beroperasi secara global mempunyai peran penting. Amerika menjadi contoh paling nyata bagi upaya-upaya membangun propaganda untuk mendukung kebijakan-kebijakan luar negeri. Radio Voice of America menjadi stasiun penyiaran yang dengan efektif telah digunakan oleh AS dalam mendukung kebijakan luar negeri. Beroperasi sejak tahun 1943 dan berisi beragam acara mulai dari berita dan hiburan dengan informasi tentang kehidupan di Amerika, VOA dapat memberikan argumen-argumen yang mendukung bagi kebijakan luar negeri AS (Henderson, 1998:186). Stasiun-stasiun siaran swasta tampaknya juga tidak berbeda dalam keikutsertaannya memperjuangkan kepentingan-kepentingan AS dalam politik internasional.

0 comments: