a.
Faktor
Sosial Ekonomi
Kondisi
sosial ekonomi yang menunjukan karakter masyarakat dengan tingkat pendidikan
dan tingkat kesejahteraan masyarakat nagari. Berdasarkan data dilapangan
menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat cukup tinggi. Proporsi
terbesar, dalam bentuk pendidikan formal (52,7%), jumlah anggota keluarga
(49,5%) adalah proporsi faktor sosial ekonomi yang cukup besar, sedangkan pendapatan
perbulan (41,9%) adalah ukuran faktor sosial ekonomi yang sangat minimal. Oleh
karena lingkungan sosial ekonomi jauh dari pusat industri, sehingga banyak
spesialisasi pekerjaan mengikuti pola agraris dan tradisional. Dalam indeks
faktor sosial ekonomi, ditemukan sebanyak 47,31% responden kondisi sosial
ekonomi masyarakat cukup tinggi di nagari ini. Rata-rata pendidikan formal
adalah tamatan SLTP, pendapatan perbulan Rp.301.000,00– Rp.400.000,00 dan
jumlah anggota keluarga rata-rata berjumlah 4 orang bagi masyarakat desa
torgolong taraf sosial ekonomi yang cukup tinggi.
Dengan
nilai rata-rata faktor sosial ekonomi sebesar 3,45 tergolong cukup tinggi. Bagi
masyarakat nagari ini, kondisi sosial ekonomi berdasarkan stratifikasi sosial ekonomi,
tergolong middle class. Secara relatif kurang begitu khawatir akan pendapatan
perbulan yang diperolehnya dari pekerjaan pokoknya. Sebaliknya dengan kondisi
sosial ekonomi lower class, mereka mempunyai kecemasan yang cukup tinggi
terhadap pendapatannya. Sebab masyarakat yang mayoritas memiliki pekerjaan
pokok sebagai petani (30,11%), buruh tani, tukang atau sopir (24,73%) dan
pedagang (22,58%). Meski sosial ekonominya cukup baik bagi masyarakat nagari,
hal ini sudah dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Sebagaimana
tradisi pemikiran klasik masyarakat desa mempunyai persepsi bahwa masyarakat
desa adalah masyarakat tani adalah masyarakat pasif dan “nrimo”
(Sosialismanto,2001:219).
b.
Faktor Politik
Faktor
politik berkaitan dengan kesadaran politik, pendidikan politik dan pandangan
luas yang mendorong demokrasi desa (Juliantara, 2003:75). Ditinjau dari faktor
politik masyarakat adalah cukup tinggi. Proporsi terbesar dalam bentuk
kesadaran politik masyarakat (47,32 %), kemudian komunikasi politik (40,86%), proporsi
yang cukup besar adalah pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan (36,48%). Sementara itu kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik
(27,96%) adalah ukuran faktor politik yang sangat minimal. Kondisi ini
dikarenakan berbagai sebab:
1.
Hubungan
kekuasaan dalam musyawarah dan mufakat adalah paternalisme.
2.
Kondisi
di nagari ini masih menunjukkan bahwa pemerintah nagari secara esensial masih
mempunyai otoritas yang besar sekaligus menjadi sumber legitimasi dan mempunyai
peranan yang sangat otoritatif dalam prosespengambilan keputusan (decision making process).
3.
Lemahnya
pendidikan politik masyarakat mengakibatkan proses politik dalam hal ini adalah
kebijakan program pembangunan nagari yang sesuai kebutuhan dan harapan
masyarakat tidak dikawal secara ketat oleh rakyat.
4.
Kurangnya
keterbukaan Pemerintah Nagari dan kelembagaan nagari terhadap masyarakat.
5.
Daya
serap aspirasi yang dimiliki kelembagaan nagari dan keterbukaan ruang publik (public space)
masih belum optimal.
6.
Masih
tertanamnya pandangan bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintah, masyarakat hanya
menerima dan hanya ikut melaksanakan.
7.
Lembaga
politik desa (BPN) belum berfungsi sepenuhnya sebagai pengayom, legislasi,
pengawasan dan menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
8.
Masih
adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit nagari.
9.
Masih
adanya budaya “titip” aspirasi kepada pejabat nagari maupun beberapa tokoh
masyarakat. Nasib rakyat menjadi tergantung pada jasa baik mereka. Ini berarti
bahwa meskipun di tingkat nagari infrastruktur yang memungkinkan terjadinya
demokratisasi sudah banyak tersedia, namun proses demokratisasi belum
sepenuhnya terwujud. Ini menunjukkan ketidakmampuan infrastruktur yang turut
melemahkan bargaining position rakyat dalam penentuan kebijakan
program dana pembangunan di nagari ini.
Dengan
nilai rata-rata faktor politik sebesar 3,66 tergolong cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa secara politik cukup tinggi posisi masyarakat dalam struktur
sosial politik dalam lingkup pemerintahan nagari, cukup tinggi kesadaran kritis
(political awareness) dan political empowerment masyarakat nagari. Masyarakat nagari cukup memahami
politik demokratis, terutama hak-hak dan kesetaraan sosial politik dan
kesadaran politik masyarakat dalam pembangunan nagari kearah kesejahteraan
masyarakat (Bahtiar Effendy, 2000:25).
c.
Faktor Fisik
Individu dan Lingkungan
Faktor
fisik individu dan lingkungan yang difokuskan pada dimensi fasilitas fisik
individu dan lingkungan membentuk social interaction yang
merefleksikan suatu integrasi sosial (Usman, 2003:237). Berdasarkan
data dilapangan, faktor fisik individu dan lingkungan tergolong cukup tinggi.
Proporsiterbesar dalam bentuk dukungan kelembagaan (55,9%). Lokasi tempat
tinggal dan sarana/prasarana nagari (25,2%) adalah ukuran faktor fisik individu
dan lingkungan yang sangat minimal. Dalam indeks faktor fisik individu dan lingkungan,
ditemukan sebanyak 44,09% responden kondisi fisik individu dan lingkungan cukup
tinggi di nagari tersebut.
Nilai
rata-rata faktor fisik individu dan lingkungan sebesar 3,55 tergolong cukup tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa cukup tingginya masyarakat saling menjaga keseimbangan
untuk membentuk kedekatan hubungan sosial yang relatif akrab. Kondisi
lingkungan yang cukup baik, maka terjalin hubungan sosial bersifat horisontal
dalam arti membuka kesempatan berdialog, mengembangkan komunikasi dua arah dan
menghargai kemungkinan terjadinya perbedaan pemahaman sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang melembaga dalam
masyarakat (Usman, 2003:237)
d.
Faktor Nilai Budaya
Nilai
budaya yang difokuskan pada nilai budaya politik merupakan keterlibatan dengan
masalah politik secara psikologis, ideologis, bukan keterlibatan dalam aksi konkret (Affan Gaffar, 1999:99), dalam
hal ini berkaitan dengan politik pembangunan nagari. Berdasarkan data
dilapangan, faktor nilai budaya masyarakat cukup tinggi. Proporsi yang paling
besar dalam bentuk kepercayaan sangat baik (45,2 %), kemudian persepsi
berkategori cukup baik (55,9%). Proporsi yang cukup besar adalah dalam bentuk
pengetahuan (43%). Sementara itu sikap (41,9 %) adalah ukuran faktor nilai
budaya yang sangat minimal. Masyarakat nagari ini yang memiliki kepercayaan
yang lebih baik, meski prosentase hanya berkisar antara 40-50%. Temuan diatas
masih dapat menyulitkan pertumbuhan demokrasi dilevel nagari, sehingga
membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial yang berbasis social political trust dan jaringan sosial (safety networks)
(Effendy,2001:44).
Semakin
tinggi sikapnya, biasanya akan diikuti dengan kepercayaan yang tinggi pula
kepada lembaga nagari dalam menjalankan fungsi public service-nya. Fukuyama
(1992:98) menulis, “the expectation …of regular, honest, and cooperative
behavior, based on commonly shared norms”. Semangat nilai kultur politik ini
akan mendorong masyarakat untuk saling bekerjasama dan berasosiasi antara satu
dengan lainnya dalam pelaksanaan program pembangunan nagari.
Sikap
saling percaya (political trust) menjadi landasan tumpuan bagi “arises from the
prevelence of trust in a society” (Fukuyama, 1992:99). Temuan ini juga menunjukkan,
masih didominasi dan masih tertanamnya masyarakat nagari akan sikap budaya
politik tradisional dan masih tertanamnya budaya lama “rente proyek”. Diagram
berikut menunjukkan tingkat kuantitas faktor nilai budaya, ditemukan sebanyak
46,24% responden faktor nilai budaya masyarakat adalah cukup tinggi.
Nilai
rata-rata faktor nilai budaya sebesar 3,38 tergolong cukup tinggi. Ini menunjukkan
bahwa nilai budaya politik dari kehidupan masyarakat nagari yang cukup bercorak
demokratis. Kondisi di nagari ini menunjukkan bahwa masyarakat nagari ini masih
dalam tahap mulai menerapkan nilai budaya demokratis, masih mulai melaksanakan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam hal ini
berkaitan dengan Pemerintah Desa. Nilai budaya politik didesa Sumatera Barat
ini masih ditandai oleh orientasi fatalistis, cenderung bersolidaritas vertikal
dan sikap loyalitas tunggal dan sikap rasa hormat yang tradisional (Sayogyo,
2002:57). Dinagari ini masih dalam proses transformasi dari budaya otoriter
yang tidak hanya dipahami oleh elit politik yang sedang berkuasa tetapi juga
oleh masyarakat luas, sekarang ini justru sedang beralih ke budaya yang
dipahami masyarakat untuk digunakan elit nagari.
0 comments:
Post a Comment