Wednesday, September 14, 2016

Deskripsi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pembangunan Desa


a.      Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi yang menunjukan karakter masyarakat dengan tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan masyarakat nagari. Berdasarkan data dilapangan menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat cukup tinggi. Proporsi terbesar, dalam bentuk pendidikan formal (52,7%), jumlah anggota keluarga (49,5%) adalah proporsi faktor sosial ekonomi yang cukup besar, sedangkan pendapatan perbulan (41,9%) adalah ukuran faktor sosial ekonomi yang sangat minimal. Oleh karena lingkungan sosial ekonomi jauh dari pusat industri, sehingga banyak spesialisasi pekerjaan mengikuti pola agraris dan tradisional. Dalam indeks faktor sosial ekonomi, ditemukan sebanyak 47,31% responden kondisi sosial ekonomi masyarakat cukup tinggi di nagari ini. Rata-rata pendidikan formal adalah tamatan SLTP, pendapatan perbulan Rp.301.000,00– Rp.400.000,00 dan jumlah anggota keluarga rata-rata berjumlah 4 orang bagi masyarakat desa torgolong taraf sosial ekonomi yang cukup tinggi.
Dengan nilai rata-rata faktor sosial ekonomi sebesar 3,45 tergolong cukup tinggi. Bagi masyarakat nagari ini, kondisi sosial ekonomi berdasarkan stratifikasi sosial ekonomi, tergolong middle class. Secara relatif kurang begitu khawatir akan pendapatan perbulan yang diperolehnya dari pekerjaan pokoknya. Sebaliknya dengan kondisi sosial ekonomi lower class, mereka mempunyai kecemasan yang cukup tinggi terhadap pendapatannya. Sebab masyarakat yang mayoritas memiliki pekerjaan pokok sebagai petani (30,11%), buruh tani, tukang atau sopir (24,73%) dan pedagang (22,58%). Meski sosial ekonominya cukup baik bagi masyarakat nagari, hal ini sudah dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Sebagaimana tradisi pemikiran klasik masyarakat desa mempunyai persepsi bahwa masyarakat desa adalah masyarakat tani adalah masyarakat pasif dan “nrimo” (Sosialismanto,2001:219).

b.      Faktor Politik

Faktor politik berkaitan dengan kesadaran politik, pendidikan politik dan pandangan luas yang mendorong demokrasi desa (Juliantara, 2003:75). Ditinjau dari faktor politik masyarakat adalah cukup tinggi. Proporsi terbesar dalam bentuk kesadaran politik masyarakat (47,32 %), kemudian komunikasi politik (40,86%), proporsi yang cukup besar adalah pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan (36,48%). Sementara itu kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik (27,96%) adalah ukuran faktor politik yang sangat minimal. Kondisi ini dikarenakan berbagai sebab:
1.      Hubungan kekuasaan dalam musyawarah dan mufakat adalah paternalisme.
2.      Kondisi di nagari ini masih menunjukkan bahwa pemerintah nagari secara esensial masih mempunyai otoritas yang besar sekaligus menjadi sumber legitimasi dan mempunyai peranan yang sangat otoritatif dalam prosespengambilan keputusan (decision making process).
3.      Lemahnya pendidikan politik masyarakat mengakibatkan proses politik dalam hal ini adalah kebijakan program pembangunan nagari yang sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat tidak dikawal secara ketat oleh rakyat.
4.      Kurangnya keterbukaan Pemerintah Nagari dan kelembagaan nagari terhadap masyarakat.
5.      Daya serap aspirasi yang dimiliki kelembagaan nagari dan keterbukaan ruang publik (public space) masih belum optimal.
6.      Masih tertanamnya pandangan bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintah, masyarakat hanya menerima dan hanya ikut melaksanakan.
7.      Lembaga politik desa (BPN) belum berfungsi sepenuhnya sebagai pengayom, legislasi, pengawasan dan menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
8.      Masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit nagari.
9.      Masih adanya budaya “titip” aspirasi kepada pejabat nagari maupun beberapa tokoh masyarakat. Nasib rakyat menjadi tergantung pada jasa baik mereka. Ini berarti bahwa meskipun di tingkat nagari infrastruktur yang memungkinkan terjadinya demokratisasi sudah banyak tersedia, namun proses demokratisasi belum sepenuhnya terwujud. Ini menunjukkan ketidakmampuan infrastruktur yang turut melemahkan bargaining position rakyat dalam penentuan kebijakan program dana pembangunan di nagari ini.

Dengan nilai rata-rata faktor politik sebesar 3,66 tergolong cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa secara politik cukup tinggi posisi masyarakat dalam struktur sosial politik dalam lingkup pemerintahan nagari, cukup tinggi kesadaran kritis (political awareness) dan political empowerment masyarakat nagari. Masyarakat nagari cukup memahami politik demokratis, terutama hak-hak dan kesetaraan sosial politik dan kesadaran politik masyarakat dalam pembangunan nagari kearah kesejahteraan masyarakat (Bahtiar Effendy, 2000:25).

c.       Faktor Fisik Individu dan Lingkungan

Faktor fisik individu dan lingkungan yang difokuskan pada dimensi fasilitas fisik individu dan lingkungan membentuk social interaction yang merefleksikan suatu integrasi sosial (Usman, 2003:237). Berdasarkan data dilapangan, faktor fisik individu dan lingkungan tergolong cukup tinggi. Proporsiterbesar dalam bentuk dukungan kelembagaan (55,9%). Lokasi tempat tinggal dan sarana/prasarana nagari (25,2%) adalah ukuran faktor fisik individu dan lingkungan yang sangat minimal. Dalam indeks faktor fisik individu dan lingkungan, ditemukan sebanyak 44,09% responden kondisi fisik individu dan lingkungan cukup tinggi di nagari tersebut.
Nilai rata-rata faktor fisik individu dan lingkungan sebesar 3,55 tergolong cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa cukup tingginya masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk membentuk kedekatan hubungan sosial yang relatif akrab. Kondisi lingkungan yang cukup baik, maka terjalin hubungan sosial bersifat horisontal dalam arti membuka kesempatan berdialog, mengembangkan komunikasi dua arah dan menghargai kemungkinan terjadinya perbedaan pemahaman sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang melembaga dalam masyarakat (Usman, 2003:237)

d.      Faktor Nilai Budaya

Nilai budaya yang difokuskan pada nilai budaya politik merupakan keterlibatan dengan masalah politik secara psikologis, ideologis, bukan    keterlibatan dalam aksi konkret (Affan Gaffar, 1999:99), dalam hal ini berkaitan dengan politik pembangunan nagari. Berdasarkan data dilapangan, faktor nilai budaya masyarakat cukup tinggi. Proporsi yang paling besar dalam bentuk kepercayaan sangat baik (45,2 %), kemudian persepsi berkategori cukup baik (55,9%). Proporsi yang cukup besar adalah dalam bentuk pengetahuan (43%). Sementara itu sikap (41,9 %) adalah ukuran faktor nilai budaya yang sangat minimal. Masyarakat nagari ini yang memiliki kepercayaan yang lebih baik, meski prosentase hanya berkisar antara 40-50%. Temuan diatas masih dapat menyulitkan pertumbuhan demokrasi dilevel nagari, sehingga membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial yang berbasis social political trust dan jaringan sosial (safety networks) (Effendy,2001:44).
Semakin tinggi sikapnya, biasanya akan diikuti dengan kepercayaan yang tinggi pula kepada lembaga nagari dalam menjalankan fungsi public service-nya. Fukuyama (1992:98) menulis, “the expectation …of regular, honest, and cooperative behavior, based on commonly shared norms”. Semangat nilai kultur politik ini akan mendorong masyarakat untuk saling bekerjasama dan berasosiasi antara satu dengan lainnya dalam pelaksanaan program pembangunan nagari.
Sikap saling percaya (political trust) menjadi landasan tumpuan bagi “arises from the prevelence of trust in a society” (Fukuyama, 1992:99). Temuan ini juga menunjukkan, masih didominasi dan masih tertanamnya masyarakat nagari akan sikap budaya politik tradisional dan masih tertanamnya budaya lama “rente proyek”. Diagram berikut menunjukkan tingkat kuantitas faktor nilai budaya, ditemukan sebanyak 46,24% responden faktor nilai budaya masyarakat adalah cukup tinggi.

Nilai rata-rata faktor nilai budaya sebesar 3,38 tergolong cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa nilai budaya politik dari kehidupan masyarakat nagari yang cukup bercorak demokratis. Kondisi di nagari ini menunjukkan bahwa masyarakat nagari ini masih dalam tahap mulai menerapkan nilai budaya demokratis, masih mulai melaksanakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam hal ini berkaitan dengan Pemerintah Desa. Nilai budaya politik didesa Sumatera Barat ini masih ditandai oleh orientasi fatalistis, cenderung bersolidaritas vertikal dan sikap loyalitas tunggal dan sikap rasa hormat yang tradisional (Sayogyo, 2002:57). Dinagari ini masih dalam proses transformasi dari budaya otoriter yang tidak hanya dipahami oleh elit politik yang sedang berkuasa tetapi juga oleh masyarakat luas, sekarang ini justru sedang beralih ke budaya yang dipahami masyarakat untuk digunakan elit nagari.

0 comments: