Herman (1998:200-201) mengemukakan bahwa perubahan dramatik di
bidang ekonomi, industri komunikasi, dan juga politik dalam satu dekade
belakangan adalah kecenderungan mulai diterapkannya model propaganda. Dua
filter yang paling pokok bagi berlangsungnya proses ini adalah pengaruh
kepemilikan dan periklanan yang semakin meningkat. Di era globalisasi sekarang
ini, terdapat trend bahwa media dimiliki oleh segelintir orang atau
kelompok masyarakat. Akibatnya, liputan media menjadi cenderung menguntungkan
pemilik modal dan demi dukungan periklanan yang lebih besar. Filter ketiga dan
keempat adalah -sourcing and flak-yang telah pula memperkuat pengaruh
elit dalam kehidupan politik. Hiperkomersialisasi telah memunculkan gejala baru
dalam bentuk pendangkalan laporan jurnalisme sebagai akibat efisiensi. Laporan
jurnalisme investigatif dikurangi, demikian juga dengan biayauntuk pelatihan
jurnalis. Media hanya mengandalkan liputan-liputan yang berorientasi ke atas
dengan mengandalkan sumber-sumber elit politik dan ekonomi. Filter kelima
adalah ideologi antikomunis. Hancurnya Uni Soviet telah membuat keyakinan
terhadap “keajaiban pasar” (miracle of the market) semakin kuat.
Keyakinan ini berujung pada “pentasbihan” ideologi pasar sebagai satu-satunya
mekanisme yang diyakini paling efisien dalam mengelola sumber-sumber ekonomi.
Dalam kehidupan media, berkuasanya ideologi pasar ini telah menciptakan market-driven
journalism, telah mendorong media yang semata berorientasi pada kepentingan
pasar/profit dibandingkan dengan melayani warga negara dan sistem politik
demokrasi.
Dalam
politik internasional, propaganda telah memainkan peranan yang menentukan dalam
upayanya suatu negara untuk meraih tujuan-tujuan politik yang sudah ditetapkan
(Holsti, 1983). Peranan semacam ini akan semakin kuat dalam masyarakat
demokratis. Edward L. Bernays mengemukakan bahwa manipulasi kesadaran yang
diorganisasikan dalam kebiasaan dan opini massa merupakan ciri-ciri paling
utama masyarakat demokrasi. Suatu esensi demokrasi yang juga merupakan cara untuk
memelihara struktur kekuasaan, struktur otoritas, kesejahteraan, dan lain
sebagainya (Dikutip dari Chomsky, 1998:181). Dalam kaitan ini, propaganda
digunakan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri dan sikap-sikap
masyarakat yang menjadi target. Perkembangan teknologi komunikasi dan
beroperasinya media-media lintas batas negara bangsa yang telah
menstransformasi politik internasional membuat aktor-aktor propaganda tidak
lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga warga negara (lihat gambar 1),
dan dalam konteks tersebut media berperan dalam menyebarluaskan pesan-pesan
propaganda melalui berita dan pesan-pesan lain ke target.
Realitas
Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 menjadi contoh konkret bagaimana
media menjadi agen propaganda yang efektif dalam membangun dukungan domestik
untuk merencanakan perang besar. Bahkan, dalam konteks Perang Teluk, media
terlibat dalam skandal ‘penipuan’ yang dilakukan oleh Pentagon melalui
penyesatan informasi (Kellner, 1992). Kellner (1992:6) mengemukakan “the tv
networks, by contrast, tended merely to reproduce what they were told or shown
by US government and military”. Liputan media-media mainstream dan terutama
televisi telah memengaruhi cara pandang orang tentang perang. Dalam hal ini,
dukungan dan antipati sangat ditentukan oleh bagaimana media menyiarkan perang
tersebut. Kondisi ini berulang ketika AS melakukan invasi ke Iraq guna
menjatuhkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Di sini, media berperan besar dalam
memobilisasi dukungan terhadap Perang Iraq dengan hanya menampilkan opini
Gedung Putih (Chomsky, 2006). Media gagal memberikan konteks, dan karenanya
gagal pula dalam memberikan informasi kepada warga negara AS secara lengkap.
Seperti dikemukakan Dennet (2006: 80), dalam kasus Perang Iraq dan Terorisme,
salah satu kelemahan besar laporan media arus utama (di AS) adalah kegagalan
menempatkan konteks, dan ironisnya sekolah-sekolah dan universitas di Amerika
juga mengidap kekurangan ini. Konteks yang dimaksud Dennet adalah apa
sebenarnya motif dan latar belakang perang AS di Timur Tengah. Menurutnya,
perang tersebut bukan karena motif perang melawan terorisme, tetapi dalam
kajian sejarah yang panjang perang tersebut sebenarnya berkenaan dengan minyak.
Media gagal menghadirkan informasi ini dan hanya mengandalkan apa yang
disampaikan para pejabat Gedung Putih. Akibatnya, masyarakatAS mendukung invasi
pemerintahan Bush secara keliru karena informasi yang disampaikan kepada mereka
juga keliru.
Menurut
Dennet (2006:80), hal ini menjelaskan mengapa orang Amerika tampak naif tidak
ketulungan, bahkan bodoh. Padahal, tidaklah demikian. Orang-orang Amerika,
sebagaimana dikemukakan Dennet, hanya memerlukan konteks, yang gagal dipenuhi
oleh media mainstream. Faktor penyebabnya, salah satunya, adalah komersialisasi
produk mediaatau bahkan hiperkomersialisasi. Merujuk pendapat para senior di
CNN, Borjesson (2006:17) mengemukakan bahwa dalam kasus Perang Iraq, audiens
hanya memerlukan pemandu sorak dan bukannya liputan kritis. Oleh karenanya,
menyediakan peliputan yang sedikit atau tidak ada peminatnya buruk buat rating
dan buruk buat bisnis. Oleh karena itu, di saat-saat kritis semacam itu, CNN
sebagai “Nama Terpercaya untuk Berita” sengaja mengorbankan integritas
jurnalistik demi memberikan khalayak pemirsa apa yang mereka inginkan.
Dimensi
lain dari persoalan globalisasi media adalah konsentrasi kepemilikan
media-media tersebut di tangan segelintir orang, dan sebagian besar beroperasi
di negara maju. Dalam suatu struktur yang monopolistik dan oligopolistik,
orientasi media akan cenderung menguntungkan elit politik, yang akhirnya
mengerucut ke dalam elit-elit transnasional. Media global akan lebih menyerukan
kepentingan negara-negara besar dibandingkan dengan sebaliknya. Sayangnya,
banyak penonton televisi yang tidak mengetahui hal ini. Menurut Hacten
(1993:57), berita-berita asing di televisi ditunjang oleh dua agen berita
televisi yang didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris. Kondisi
semacam ini, tentunya, tidak begitu mengherankan karena media-media AS dan
Inggris memonopoli siaran-siaran nasional dan dunia. Seperti dicatat Chalaby
(2003:457), saluran-saluran televisi transnasional telah mempunyai
dampak-dampak yang berbeda pada pasar-pasar media dan juga meningkatkan isu-isu
penting globalisasi. Saluran-saluran televisi transnasional ini mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan saluran-saluran nasional.
Media
bukanlah kekuatan netral dan tidak akan pernah menjadi kekuatan netral.
Meskipun para akademisi dan wartawan dengan gigih menyerukan pentingnya jurnalisme
yang mengabdi pada kebenaran, obyektivitas, dan orientasi pada kepentingan
warga negara (Kovach dan Rosenthiel, 2004), tetapi pada kenyataannya jurnalisme
dan media selalu berpihak pada kelompok elit. Edward S. Herman dan Noam Chomsky
(2002, xi) dengan tegas mengemukakan bahwa di luar fungsi-fungsi lainnya media
melayani dan mempropagandakan kepentingan-kepentingan kelompok sosial yang
mengontrol dan membiayainya.
Dalam
artikel yang berjudul “Paternalisme Baru: Membentuk Opini Publik”, John Dewey
(1918) mengemukakan bahwa “demokrasi dikontrol melalui opini mereka (baca
jurnalis), opini yang dibentuk atas dasar materi yang mereka peroleh, dan bahwa
propaganda disamarkan sebagai distribusi berita melalui cara yang termurah dan
terefektif untuk mengembangkan perasaan publik yang paling diinginkan (dikutip
dari Combs dan Nimmo, 1993:56). Selanjutnya, Dewey mengkritik lebih jauh dengan
mengatakan bahwa para penguasa selalu menggunakan pengaruh terhadap opini, dan
ketika penemuan media massa telah mulai menyebar dan menarik perhatian membuat
propaganda menjadi suatu pengaruh komunikasi lebih besar pada era modern.
Di
sini, rasanya menjadi sangat tepat ketika Combs dan Nimmo (1993:53)
mengemukakan bahwa oleh karena peranan komunikasi dan media maka kontrol
terhadap sumber komunikasi dan organisasi media dapat meningkatkan kemungkinan
mencapai saat-saat Machiavelli dalam penggunaan kekuatan. Dalam kaitan ini,
media massa menawarkan kesempatan bagi penyebarluasan pesan-pesan kepada
populasi luas, menjadikan kondisi yang penting serta alat propaganda baru.
Lebih lanjut, Combs dan Nimmo (1993:54) mengemukakan:
Era
modern telah membuka dan meningkatkan pandangan para politisi terhadap media
massa sebagai alat untuk meyakinkan setiap target untuk patuh-individual,
publik, kumpulan, atau kelompok masyarakat- melalui “perbaikan struktur tingkah
laku target melalui manipulasi simbolik.
Kasus
Perang Iraq dan Terorisme, sekali lagi, menjadi contoh paling konkret
bekerjanya sistem propaganda dalam politik internasional AS. Para pejabat
Gedung Putih dengan sangat lihai memanfaatkan media sebagai alat propaganda
mereka. Ini dapat dilihat dari peryataan-pernyataan Dick Cheney yang dikutip
media secara luas. Pada 7 Agustus 2002, di Fairmont Hotel, San Fransisco,
California Dick Cheney mengemukakan, “dalam kasus Saddam Husein, kita
menghadapi seorang diktator yang jelas-jelas memburu kapabilitas-kapabilitas
ini (nuklir dan senjata radiologi serta senjata-senjata biologi dan kimia) dan
telah menggunakan keduanya dalam perang melawan Iran dan rakyatnya sendiri”
Pada tanggal 26 Agustus 2006, Cheney mempertegas apa yang ia sampaikan dalam
konvensi nasional ke103 VFW, “tidak diraqukan lagi Saddam Hussein punya senjata
pemusnah massal. Dengan bantuan kita, Iraq yang terbebaskan dapat sekali lagi
menjadi bangsa besar”. Pernyataan ini sekali lagi kembali ditegaskan Cheney di
depan Veteran Perang Korea di San Fransisko, Texas. Ia mengatakan, “dapat
dinyatakan dengan sederhana, tidak diraqukan lagi Saddam Hussein kini punya
senjata pemusnah massal. Dia mengumpulkannya untuk digunakan terhadap
sahabat-sahabat kita, terhadap sekutu kita, dan terhadap kita” (dikutip dari
Borjesson, 2006:26). Liputan tidak kritis oleh media AS ini, membuatnya menjadi
alat propaganda yang efektif Gedung Putih dalam usahanya mendapatkan dukungan
Perang Iraq, yang diselewengkannya ke dalam perang melawan terorisme.
0 comments:
Post a Comment