Tuesday, September 20, 2016

Model Pengelolaan Konflik Pilkada

Pilkada sebagai bentuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, kerap kali berujung pada konflik. Konflik itu sendiri biasanya diawali dari pelanggaran- pelanggaran yang selanjutnya menjadi sengketa diantara kelompok yang mencalonkan pasangan kepala daerah, penyelenggara pilkada, dan elemen lain yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada. Siapa pun yang ikut ambil bagian dalam arena pilkada tidak menginginkan konflik itu terjadi. Kalau pun pada kenyataannya konflik itu tidak terelakan, maka agar tidak menjadi eskalatif, konfrontatif, dan destruktif perlu adanya model resolusi yang tepat.
Analisis model resolusi konflik atas dasar hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Lombok Barat dengan memperhatikan catatan lapangan (field records), tepatnya atas dasar data emik yang dikumpulkan dari subyek-subyek penelitian, serta dengan mengikuti proses analisa data sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008), maka data tentang resolusi konflik Pilkada tersebut dapat direduksi (data reduction) ke dalam tabel di bawah ini:
Hasil Reduksi Data Resolusi Konflik Pilkada No.
FOKUS
DESKRIPSI
1.
Persepsi tentang Penyabab Konflik

1. Dominasi ekonomi dan politik di kelompok tertentu;
2. Sikap tidak simpatik terhadap petugas dan sistem atau mekanisme adminstrasi Pilkada;
3. Rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi Pilkada;
4. Ketidakadilan perlakuan terhadap kontestan Pilkada.

2
Kategori Aktor Resolusi Konflik

1. Aktor Politik;
2. Aktor Ekonomi;
3. Aktor Sosial;
4. Aktor Agama

3
Peran Aktor dalam Resolusi Konflik

1. Pencegahan konflik;
2. Penyelesaian konflik (mengakiri);
3. Pengelolaan konflik (membatasi dan menghindari meluasnya kekerasan);
4. Resolusi konflik (membangun hubungan baru);
5. Transformasi konflik (merubah yang negatif menjadi positif)

4
Tujuan Resolusi

1. Menguji validitas bukti-bukti material;
2. Menghentikan konflik dan mengembalikan kerukunan antar pihak yang berkonflik

5
Strategi Resolusi

1. Mekanisme legal-formal;
2. Personal Approach

6
Tempat Resolusi

1. Kepolisian dan Pengadilan;
2. Arena social

7
Hasil Resolusi

1. Ketetapan hukum legal formal;
2. Transformasi


Berdasarkan hasil reduksi data di atas, selanjutnya kategori-kategori utama, atau konsep-konsep pokok yang ditemukan di lapangan yang terkait dengan proses resolusi konflik kemudian dijadikan bahan untuk dilakukannya display data. Tahap ini merupakan fase dimana kategori pokok yang ditemukan kemudian dicoba saling dihubungkan atau dikoneksikan dengan tujuan agar semakin nampak jelas model yang hendak dicari dalam suatu penelitian.
Penelitian ini menemukan model resolusi konflik yang kemudian kita sebut dengan fluidity resolution models atau model resolusi yang mencair sebagaimana tergambarkan dalam tabel di bawah ini. Disebut dengan model resolusi yang mencair karena menurut temuan di lapangan, ternyata model baku yang ditawarkan pemerintah melalui desk Pilkada tidak fungsional untuk merespon dinamika konflik yang muncul. Warga lebih memilih jalur formal resolution, jika konflik yang terjadi disebabkan oleh persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan pelanggaran ketentuan hukum positif. Namun jika akar konflik Pilkada itu disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi, maka warga lebih memilih jalur informal and accidental resolution. Ketidak-bakuan atau keluwesan mekanisme resolusi konflik semacam inilah yang kemudian penelitian ini menyebutnya sebagai model resolusi yang mencair.

Sebagaimana dipaparkan di bagian terdahulu, resolusi informal dan aksidental tersebut merupakan fungsi dari nilai-nilai dan atau norma-norma sosial budaya (termasuk di dalamnya tentu terkait dengan nilai-nilai agama) yang sangat dihormati oleh warga masyarakat, sekaligus juga merespon social personality warga masyarakat Indonesia yang sulit menyelesaikan konflik secara face to face di forum formal.

0 comments: