Pilkada
sebagai bentuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, kerap kali berujung pada
konflik. Konflik itu sendiri biasanya diawali dari pelanggaran- pelanggaran
yang selanjutnya menjadi sengketa diantara kelompok yang mencalonkan pasangan
kepala daerah, penyelenggara pilkada, dan elemen lain yang terkait dengan
penyelenggaraan pilkada. Siapa pun yang ikut ambil bagian dalam arena pilkada
tidak menginginkan konflik itu terjadi. Kalau pun pada kenyataannya konflik itu
tidak terelakan, maka agar tidak menjadi eskalatif, konfrontatif, dan
destruktif perlu adanya model resolusi yang tepat.
Analisis
model resolusi konflik atas dasar hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Tuban dan Kabupaten Lombok Barat dengan memperhatikan catatan lapangan (field
records), tepatnya atas dasar data emik yang dikumpulkan dari subyek-subyek
penelitian, serta dengan mengikuti proses analisa data sebagaimana dikemukakan
oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008), maka data tentang resolusi
konflik Pilkada tersebut dapat direduksi (data reduction) ke dalam tabel
di bawah ini:
Hasil Reduksi Data Resolusi Konflik Pilkada No.
|
FOKUS
|
DESKRIPSI
|
1.
|
Persepsi tentang Penyabab Konflik
|
1. Dominasi ekonomi dan politik di kelompok tertentu;
2. Sikap tidak simpatik terhadap petugas dan sistem atau
mekanisme adminstrasi Pilkada;
3. Rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi Pilkada;
4. Ketidakadilan perlakuan terhadap kontestan Pilkada.
|
2
|
Kategori Aktor Resolusi Konflik
|
1. Aktor Politik;
2. Aktor Ekonomi;
3. Aktor Sosial;
4. Aktor Agama
|
3
|
Peran Aktor dalam Resolusi Konflik
|
1. Pencegahan konflik;
2. Penyelesaian konflik (mengakiri);
3. Pengelolaan konflik (membatasi dan menghindari meluasnya
kekerasan);
4. Resolusi konflik (membangun hubungan baru);
5. Transformasi konflik (merubah yang negatif menjadi
positif)
|
4
|
Tujuan Resolusi
|
1. Menguji validitas bukti-bukti material;
2. Menghentikan konflik dan mengembalikan kerukunan antar
pihak yang berkonflik
|
5
|
Strategi Resolusi
|
1. Mekanisme legal-formal;
2. Personal Approach
|
6
|
Tempat Resolusi
|
1. Kepolisian dan Pengadilan;
2. Arena social
|
7
|
Hasil Resolusi
|
1. Ketetapan hukum legal formal;
2. Transformasi
|
Berdasarkan
hasil reduksi data di atas, selanjutnya kategori-kategori utama, atau
konsep-konsep pokok yang ditemukan di lapangan yang terkait dengan proses
resolusi konflik kemudian dijadikan bahan untuk dilakukannya display data.
Tahap ini merupakan fase dimana kategori pokok yang ditemukan kemudian dicoba
saling dihubungkan atau dikoneksikan dengan tujuan agar semakin nampak jelas
model yang hendak dicari dalam suatu penelitian.
Penelitian
ini menemukan model resolusi konflik yang kemudian kita sebut dengan fluidity
resolution models atau model resolusi yang mencair sebagaimana tergambarkan
dalam tabel di bawah ini. Disebut dengan model resolusi yang mencair karena
menurut temuan di lapangan, ternyata model baku yang ditawarkan pemerintah
melalui desk Pilkada tidak fungsional untuk merespon dinamika konflik yang
muncul. Warga lebih memilih jalur formal resolution, jika konflik yang terjadi
disebabkan oleh persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan pelanggaran
ketentuan hukum positif. Namun jika akar konflik Pilkada itu disebabkan oleh
persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi, maka warga lebih memilih
jalur informal and accidental resolution. Ketidak-bakuan atau keluwesan
mekanisme resolusi konflik semacam inilah yang kemudian penelitian ini
menyebutnya sebagai model resolusi yang mencair.
Sebagaimana
dipaparkan di bagian terdahulu, resolusi informal dan aksidental tersebut
merupakan fungsi dari nilai-nilai dan atau norma-norma sosial budaya (termasuk
di dalamnya tentu terkait dengan nilai-nilai agama) yang sangat dihormati oleh
warga masyarakat, sekaligus juga merespon social personality warga masyarakat
Indonesia yang sulit menyelesaikan konflik secara face to face di forum formal.
0 comments:
Post a Comment