Thursday, September 29, 2016

Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial)

Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa seseorang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung (Jatmiko, 2006 dalam Arum 2012). Menurut Bandura (1977) dalam Jatmiko (2006), proses dalam pembelajaran sosial meliputi:
a.       Proses perhatian (attentional)
b.      Proses penahanan (retention)
c.       Proses reproduksi motorik
d.      Proses penguatan (reinforcement)

Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut. Proses penahanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi mudah tersedia. Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan. Sedangkan proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model (Bandura, 1977 dalam Jatmiko, 2006).

(Jatmiko, 2006 dalam Arum 2012) menjelaskan bahwa teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya. Seseorang juga akan taat pajak apabila telah menaruh perhatian terhadap pelayanan pajak, baik fiskus maupun sistem pelayanan pajaknya. Terkait dengan proses penguatan, dimana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model, tampaknya cukup relevan apabila dihubungkan dengan pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan pajak.

POLITIK INTERNASIONAL

Dalam buku yang menjadi salah satu rujukan penting studi politik internasional, International Politics: A Framework for Analysis, Holsti (1983:193) mengemukakan bahwa dengan perkembangan politik massa-meluasnya keterlibatan warga negara atau subjek dalam hubungan-hubungan politik-dan meluasnya lingkup hubungan-hubungan privat antarwarga negara dalam hubungan internasional dan global, dimensi-dimensi kebijakan luar negeri akan menjadi semakin penting. Sejauh sebagai rakyat, menurut Holsti, yang digabungkan ke dalam berbagai kelas sosial, gerakan, dan kelompok-kelompok kepentingan (interest group), peranan yang mereka mainkan akan semakin penting dalam menentukan tujuan-tujuan dan alat-alat kebijakan yang digunakan untuk meraih atau mempertahankan tujuan-tujuan tersebut meski pada waktu bersamaan mereka sendiri juga menjadi target persuasi.
Di era sekarang, interaksi sebagaimana dimaksud Holsti diperantarai oleh media dan teknologi komunikasi. Oleh karenanya, di era globalisasi sekarang ini, peranan media menjadi semakin penting dalam kehidupan politik internasional dan diplomasi. Kekuatan media sebagai agen diplomasi ini muncul sebagai akibat luasnya cakupan dan kemampuannya dalam membangun citra dan opini publik. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1987, dalam rangka meminimalkan bias berita Barat, CNN World Report telah menyediakan laporan berita di seluruh dunia tanpa diedit dan disensor. Menjelang tahun 1992, tidak kurang dari 10.000 item berita lokal disiarkan dalam World Report yang berasal dari 185 organisasi berita dan mewakili 180 negara (Tehranian, 1999:46). Mengomentari hal ini, Tehranian mengatakan, “CNN has thus become more than a news medium; it is also serving as a channel for public diplomacy, often working faster than the private channels of traditional diplomacy”.

Peranan media yang sangat besar tersebut telah melahirkan istilah “media diplomacy” (Hachten, 1993:59), yang dalam sejarahnya merujuk pada kasus Walter Cronkite dari CBS dan Barbara Walters dari ABC yangmenjadi ‘saluran’ komunikasi antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dengan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin. Menurut catatan Hachten, dampak paling dramatis dicapai oleh stasiun CBS yang berhasil melakukan wawancara sambungan telepon secara terpisah. Selanjutnya, penyiaran dua wawancara tersebut disunting dan disambungkan bersama sehingga memberikan kesan sedang dilaksanakan wawancara langsung antara kedua pemimpin dengan Cronkite sebagai pewawancaranya. Inilah dimensi baru peranan media dalam politik internasional dewasa ini, yang dapat dikatakan sebagai ’mediator’. Pada tataran tertentu, media menjembatani yang mungkin juga penuh distorsi negosiasi dan diplomasi politik antar-para pejabat politik.
Kemampuan media dalam membangun citra juga telah menggeser dimensi politik internasional. Dalam kaitan ini, Tehranian (1999:137) mengemukakan bahwa setengah kekuasaan politik terdiri dari pembuatan citra (image making). Format media naratif seperti drama atau gambar bergerak dapat membentuk kesadaran politik melalui penggambaran pengalaman-pengalaman hidup dan membentuk suasana pengalaman termediasi (Kluver, 2002:499). Di sini, politik citra tidak hanya beroperasi dalam demokrasi nasional ataupun lokal, tetapi juga menjadi dimensi penting dalam politik internasional. Perkembangan ini juga mendorong bagaimana pencapaian kekuasaan diraih dalam hubungan antarnegara.
Sejalan dengan pemikiran realis, kekuasaan dalam politik internasional seperti ‘life’s blood’ (Henderson, 1998:99). Di sini, kekuasaan didefinisikan sebagai kapasitas seorang aktor untuk membujuk atau memaksa aktor lain guna mengijinkan kontrol atas aktor tersebut. Kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni soft power dan hard power. Soft power merujuk pada kemampuan seorang aktor dalam melakukan persuasi kepada aktor lain untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan pengaruh. Ideologi suatu negara, budaya, prestise dalam hubungan internasional, atau keberhasilan-keberhasilan negara tersebut mungkin akan membuat negara tersebut menjadi pemimpin yang secara sukarela diikuti oleh yang lain (Henderson, 1998:100). Sementara itu, hard power dimaknai sebagai kemampuan suatu negara untuk memaksakan kepentingan dan kemauannya terhadap negara lain baik melalui kekuatan ekonomi maupun invasi militer. Kemampuan suatu negara untuk mengkombinasikan kedua kekuasaan ini, hard power dan soft power, membuatnya menjadi sangat berpengaruh dalam politikinternasional sebagaimana ditampilkan Amerika Serikat saat ini.
Kekuasaan sebagai tujuan utama politik internasional mengandung enam dimensi utama, (Henderson, 1998:100-102), yang mengetahuinya menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi lebih dalam peranan media dalam mentransformasi hubungan-hubungan antarnegara dan politik internasional. Dimensi kekuasaan yang dimaksud adalah: Pertama, kekuasaan bersifat situasional sebagai akibat sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan kekuasaan tersebut berubah setiap waktu atau berubah sebagai akibat perubahan konteks yang melingkupinya. Kedua, kekuasaan atau power selalu berada dalam suatu state of change karena kemajuan-kemajuan teknologi. Meluasnya teknologi komunikasi dan media jelas telah mengubah landscape kekuasaan dalam masyarakat modern. Informasi adalah kekuasaan, dan siapa yang mengontrol informasi berarti juga kontrol terhadap kekuasaan. Ketiga, kekuasaan menjadi penting hanya karena hubungannya dengan aktor-aktor lain. Ini berarti bahwa perbincangan mengenai kekuasaan hanya relevan jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan antaraktor dalam politik internasional. Dalam masyarakat global, interaksi tidak lagi terbatas pada individu-individu dalam lingkup teritorial negara bangsa, tetapi juga melintasi batas-batas geografis. Interaksi ini menjadi mungkin karena perkembangan teknologi komunikasi dan media. Persoalannya adalah bahwa pengusaaan atas teknologi dan media tidak berjalan seimbang, negara-negara maju menguasai lebih banyak dibandingkan dengan negara Dunia Ketiga. Keempat, kekuasaan dapat dibedakan antara kekuasaan aktual dan potensial (actual power and potencial power). Kekuatan militer suatu negara bangsa menjadi contoh paling konkret kekuasaan aktual, sedangkan Gross National Product (GNP) menjadi contoh potencial power. Kelima, berkenaan dengan pembedaan actual and potencial power adalah apa yang disebut sebagai the fungibility power. Secara khusus, kekuasaan fungible melibatkan kemampuan untuk melakukan konversi kekuasaan ekonomi menjadi kemampuan militer dan selanjutnya menjadi kekuasaan politik. Jepang menjadi contoh bagaimana kemampuan ekonomi dapat ditransformasi dengan cepat menjadi kekuasaan militer atau politik. Meskipun saat ini Jepang tidak mempunyai cukup kekuatan militer, tetapi dengan kemampuan ekonomi, teknologi dan dengan menghabiskan sekitar 6 hingga 8 persen GNP-nya, Jepang dengan cepat dapat menjadi negara dengan kekuatan militer yang disegani. Terakhir, kekuasaan dapat dibedakan menjadi tangible dan intangible. Tangible power merupakan sumber-sumber kekuasaan yang dapat disentuh dan dapat dihitung (countable), sedangkan intangible power sebaliknya, tidak dapat disentuh seperti kekuatan moral, wisdom, dan lain sebagainya.

Di era globalisasi sekarang ini, kekuasaan telah banyak mengalami perubahan. Kekuasaan menjadi lebih bersifat persuasif dibandingkan dengan coercive dan pada akhirnya akan menuju ke arah peningkatan kebutuhan dan keinginan dari banyak aktor dibandingkan dengan hanya mendasarkan pada keamanan negara bangsa (Henderson, 1998:121). Dalam situasi semacam ini, propaganda melalui media yang beroperasi secara global mempunyai peran penting. Amerika menjadi contoh paling nyata bagi upaya-upaya membangun propaganda untuk mendukung kebijakan-kebijakan luar negeri. Radio Voice of America menjadi stasiun penyiaran yang dengan efektif telah digunakan oleh AS dalam mendukung kebijakan luar negeri. Beroperasi sejak tahun 1943 dan berisi beragam acara mulai dari berita dan hiburan dengan informasi tentang kehidupan di Amerika, VOA dapat memberikan argumen-argumen yang mendukung bagi kebijakan luar negeri AS (Henderson, 1998:186). Stasiun-stasiun siaran swasta tampaknya juga tidak berbeda dalam keikutsertaannya memperjuangkan kepentingan-kepentingan AS dalam politik internasional.

Pengertian Teori Konsesnsus

Salah satu cara sosiologi menjelaskan keteraturan dan memprediksi kehidupan sosial adalah dengan memandang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dipelajari. Pendekatan ini atas alasan-alasan yang akan dijelaskan nanti, disebut dengan teori konsensus.
Proses kunci yang ditekankan teori ini disebut sosialisasi. Istilah ini merujuk kepada cara manusia mempelajari perilaku tertentu yang diharapkan dari mereka diwujudkan dalam latar sosial. Dimana mereka menemukan diri mereka sendiri. Dari sudut pandang ini, masyarakat berbeda karena jenis-jenis perilaku yang di anggap sesuai ternyata berbedabeda.
Konsensus adalah sebuah frasa untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik.

Konsensus bisa berawal hanya dari sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada kelompok yanglebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan yang akan dikembangkan. Teori kosensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat.
Teori Konsensus berpendapat bahwa aturan kebudayaan suatu masyarakat, atau struktur, menentukan perilaku anggotanya, menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dari masyarakat yang lain. Hal ini seperti tata tertib yang diterapkan diberbagai bidang salah satunya setiap sekolah yang mempunyai batasanbatasan tertentu yang tidak boleh dilanggar. Begitupun Individu akan berperilaku yang sama dalam latar sosial karena mereka dibatasi oleh aturan-aturan oleh kebudayaan yang sama. Meskipun hal ini tidak nampak dalam hal struktur fisiknya, orang yang disosialisasikan dalam aturan ini menemukan hal yang menentukan dan kepastian.
Menurut teori sosiologi, sosialisasi menjadi norma dan nilai menghasilkan kesepakatan, atau konsensus. Salah satunya mengenai perilaku dan keyakinan orang-orang yang sesuai, tanpa kedua hal ini masyarakat tidak dapat hidup. Itulah sebabnya cara pandang ini disebut teori konsensus. Melalui sosialisasi, aturan-aturan kebudayaan menstrukturkan perilaku, menjamin konsensus dalam hal perilku yang di harapkan,dan oleh karena itu menjamin keteraturan sosial.
Emil Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama.
Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita”. Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.


MEDIA SEBAGAI INSTRUMEN PROPAGANDA

Herman (1998:200-201) mengemukakan bahwa perubahan dramatik di bidang ekonomi, industri komunikasi, dan juga politik dalam satu dekade belakangan adalah kecenderungan mulai diterapkannya model propaganda. Dua filter yang paling pokok bagi berlangsungnya proses ini adalah pengaruh kepemilikan dan periklanan yang semakin meningkat. Di era globalisasi sekarang ini, terdapat trend bahwa media dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok masyarakat. Akibatnya, liputan media menjadi cenderung menguntungkan pemilik modal dan demi dukungan periklanan yang lebih besar. Filter ketiga dan keempat adalah -sourcing and flak-yang telah pula memperkuat pengaruh elit dalam kehidupan politik. Hiperkomersialisasi telah memunculkan gejala baru dalam bentuk pendangkalan laporan jurnalisme sebagai akibat efisiensi. Laporan jurnalisme investigatif dikurangi, demikian juga dengan biayauntuk pelatihan jurnalis. Media hanya mengandalkan liputan-liputan yang berorientasi ke atas dengan mengandalkan sumber-sumber elit politik dan ekonomi. Filter kelima adalah ideologi antikomunis. Hancurnya Uni Soviet telah membuat keyakinan terhadap “keajaiban pasar” (miracle of the market) semakin kuat. Keyakinan ini berujung pada “pentasbihan” ideologi pasar sebagai satu-satunya mekanisme yang diyakini paling efisien dalam mengelola sumber-sumber ekonomi. Dalam kehidupan media, berkuasanya ideologi pasar ini telah menciptakan market-driven journalism, telah mendorong media yang semata berorientasi pada kepentingan pasar/profit dibandingkan dengan melayani warga negara dan sistem politik demokrasi.
Dalam politik internasional, propaganda telah memainkan peranan yang menentukan dalam upayanya suatu negara untuk meraih tujuan-tujuan politik yang sudah ditetapkan (Holsti, 1983). Peranan semacam ini akan semakin kuat dalam masyarakat demokratis. Edward L. Bernays mengemukakan bahwa manipulasi kesadaran yang diorganisasikan dalam kebiasaan dan opini massa merupakan ciri-ciri paling utama masyarakat demokrasi. Suatu esensi demokrasi yang juga merupakan cara untuk memelihara struktur kekuasaan, struktur otoritas, kesejahteraan, dan lain sebagainya (Dikutip dari Chomsky, 1998:181). Dalam kaitan ini, propaganda digunakan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan luar negeri dan sikap-sikap masyarakat yang menjadi target. Perkembangan teknologi komunikasi dan beroperasinya media-media lintas batas negara bangsa yang telah menstransformasi politik internasional membuat aktor-aktor propaganda tidak lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga warga negara (lihat gambar 1), dan dalam konteks tersebut media berperan dalam menyebarluaskan pesan-pesan propaganda melalui berita dan pesan-pesan lain ke target.
Realitas Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 menjadi contoh konkret bagaimana media menjadi agen propaganda yang efektif dalam membangun dukungan domestik untuk merencanakan perang besar. Bahkan, dalam konteks Perang Teluk, media terlibat dalam skandal ‘penipuan’ yang dilakukan oleh Pentagon melalui penyesatan informasi (Kellner, 1992). Kellner (1992:6) mengemukakan “the tv networks, by contrast, tended merely to reproduce what they were told or shown by US government and military”. Liputan media-media mainstream dan terutama televisi telah memengaruhi cara pandang orang tentang perang. Dalam hal ini, dukungan dan antipati sangat ditentukan oleh bagaimana media menyiarkan perang tersebut. Kondisi ini berulang ketika AS melakukan invasi ke Iraq guna menjatuhkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Di sini, media berperan besar dalam memobilisasi dukungan terhadap Perang Iraq dengan hanya menampilkan opini Gedung Putih (Chomsky, 2006). Media gagal memberikan konteks, dan karenanya gagal pula dalam memberikan informasi kepada warga negara AS secara lengkap. Seperti dikemukakan Dennet (2006: 80), dalam kasus Perang Iraq dan Terorisme, salah satu kelemahan besar laporan media arus utama (di AS) adalah kegagalan menempatkan konteks, dan ironisnya sekolah-sekolah dan universitas di Amerika juga mengidap kekurangan ini. Konteks yang dimaksud Dennet adalah apa sebenarnya motif dan latar belakang perang AS di Timur Tengah. Menurutnya, perang tersebut bukan karena motif perang melawan terorisme, tetapi dalam kajian sejarah yang panjang perang tersebut sebenarnya berkenaan dengan minyak. Media gagal menghadirkan informasi ini dan hanya mengandalkan apa yang disampaikan para pejabat Gedung Putih. Akibatnya, masyarakatAS mendukung invasi pemerintahan Bush secara keliru karena informasi yang disampaikan kepada mereka juga keliru.
Menurut Dennet (2006:80), hal ini menjelaskan mengapa orang Amerika tampak naif tidak ketulungan, bahkan bodoh. Padahal, tidaklah demikian. Orang-orang Amerika, sebagaimana dikemukakan Dennet, hanya memerlukan konteks, yang gagal dipenuhi oleh media mainstream. Faktor penyebabnya, salah satunya, adalah komersialisasi produk mediaatau bahkan hiperkomersialisasi. Merujuk pendapat para senior di CNN, Borjesson (2006:17) mengemukakan bahwa dalam kasus Perang Iraq, audiens hanya memerlukan pemandu sorak dan bukannya liputan kritis. Oleh karenanya, menyediakan peliputan yang sedikit atau tidak ada peminatnya buruk buat rating dan buruk buat bisnis. Oleh karena itu, di saat-saat kritis semacam itu, CNN sebagai “Nama Terpercaya untuk Berita” sengaja mengorbankan integritas jurnalistik demi memberikan khalayak pemirsa apa yang mereka inginkan.
Dimensi lain dari persoalan globalisasi media adalah konsentrasi kepemilikan media-media tersebut di tangan segelintir orang, dan sebagian besar beroperasi di negara maju. Dalam suatu struktur yang monopolistik dan oligopolistik, orientasi media akan cenderung menguntungkan elit politik, yang akhirnya mengerucut ke dalam elit-elit transnasional. Media global akan lebih menyerukan kepentingan negara-negara besar dibandingkan dengan sebaliknya. Sayangnya, banyak penonton televisi yang tidak mengetahui hal ini. Menurut Hacten (1993:57), berita-berita asing di televisi ditunjang oleh dua agen berita televisi yang didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris. Kondisi semacam ini, tentunya, tidak begitu mengherankan karena media-media AS dan Inggris memonopoli siaran-siaran nasional dan dunia. Seperti dicatat Chalaby (2003:457), saluran-saluran televisi transnasional telah mempunyai dampak-dampak yang berbeda pada pasar-pasar media dan juga meningkatkan isu-isu penting globalisasi. Saluran-saluran televisi transnasional ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan saluran-saluran nasional.
Media bukanlah kekuatan netral dan tidak akan pernah menjadi kekuatan netral. Meskipun para akademisi dan wartawan dengan gigih menyerukan pentingnya jurnalisme yang mengabdi pada kebenaran, obyektivitas, dan orientasi pada kepentingan warga negara (Kovach dan Rosenthiel, 2004), tetapi pada kenyataannya jurnalisme dan media selalu berpihak pada kelompok elit. Edward S. Herman dan Noam Chomsky (2002, xi) dengan tegas mengemukakan bahwa di luar fungsi-fungsi lainnya media melayani dan mempropagandakan kepentingan-kepentingan kelompok sosial yang mengontrol dan membiayainya.
Dalam artikel yang berjudul “Paternalisme Baru: Membentuk Opini Publik”, John Dewey (1918) mengemukakan bahwa “demokrasi dikontrol melalui opini mereka (baca jurnalis), opini yang dibentuk atas dasar materi yang mereka peroleh, dan bahwa propaganda disamarkan sebagai distribusi berita melalui cara yang termurah dan terefektif untuk mengembangkan perasaan publik yang paling diinginkan (dikutip dari Combs dan Nimmo, 1993:56). Selanjutnya, Dewey mengkritik lebih jauh dengan mengatakan bahwa para penguasa selalu menggunakan pengaruh terhadap opini, dan ketika penemuan media massa telah mulai menyebar dan menarik perhatian membuat propaganda menjadi suatu pengaruh komunikasi lebih besar pada era modern.
Di sini, rasanya menjadi sangat tepat ketika Combs dan Nimmo (1993:53) mengemukakan bahwa oleh karena peranan komunikasi dan media maka kontrol terhadap sumber komunikasi dan organisasi media dapat meningkatkan kemungkinan mencapai saat-saat Machiavelli dalam penggunaan kekuatan. Dalam kaitan ini, media massa menawarkan kesempatan bagi penyebarluasan pesan-pesan kepada populasi luas, menjadikan kondisi yang penting serta alat propaganda baru. Lebih lanjut, Combs dan Nimmo (1993:54) mengemukakan:
Era modern telah membuka dan meningkatkan pandangan para politisi terhadap media massa sebagai alat untuk meyakinkan setiap target untuk patuh-individual, publik, kumpulan, atau kelompok masyarakat- melalui “perbaikan struktur tingkah laku target melalui manipulasi simbolik.
Kasus Perang Iraq dan Terorisme, sekali lagi, menjadi contoh paling konkret bekerjanya sistem propaganda dalam politik internasional AS. Para pejabat Gedung Putih dengan sangat lihai memanfaatkan media sebagai alat propaganda mereka. Ini dapat dilihat dari peryataan-pernyataan Dick Cheney yang dikutip media secara luas. Pada 7 Agustus 2002, di Fairmont Hotel, San Fransisco, California Dick Cheney mengemukakan, “dalam kasus Saddam Husein, kita menghadapi seorang diktator yang jelas-jelas memburu kapabilitas-kapabilitas ini (nuklir dan senjata radiologi serta senjata-senjata biologi dan kimia) dan telah menggunakan keduanya dalam perang melawan Iran dan rakyatnya sendiri” Pada tanggal 26 Agustus 2006, Cheney mempertegas apa yang ia sampaikan dalam konvensi nasional ke103 VFW, “tidak diraqukan lagi Saddam Hussein punya senjata pemusnah massal. Dengan bantuan kita, Iraq yang terbebaskan dapat sekali lagi menjadi bangsa besar”. Pernyataan ini sekali lagi kembali ditegaskan Cheney di depan Veteran Perang Korea di San Fransisko, Texas. Ia mengatakan, “dapat dinyatakan dengan sederhana, tidak diraqukan lagi Saddam Hussein kini punya senjata pemusnah massal. Dia mengumpulkannya untuk digunakan terhadap sahabat-sahabat kita, terhadap sekutu kita, dan terhadap kita” (dikutip dari Borjesson, 2006:26). Liputan tidak kritis oleh media AS ini, membuatnya menjadi alat propaganda yang efektif Gedung Putih dalam usahanya mendapatkan dukungan Perang Iraq, yang diselewengkannya ke dalam perang melawan terorisme.


GLOBALISASI DAN PERAN MEDIA

Para ilmuwan politik dan hubungan internasional telah begitu gigih melakukan analisis terhadap globalisasi dan implikasinya bagi negara bangsa, sedangkan ilmuwan lainnya gigih memperdebatkan munculnya global culture, lokalisme, masyarakat global, dan lain sebagainya. Jika literatur-literatur tersebut dirunut, maka akan ditemukan betapa sulitnya menemukan kata sepakat atas apa yang disebut globalisasi dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan manusia, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, dan juga budaya. Meskipun demikian, argumentasi yang menyatakan bahwa globalisasi telah mempengaruhi hampir semua bidang kehidupan manusia tampaknya jauh lebih bisa diterima meskipun harus diberi catatan bahwa pengaruhnya berada dalam derajat yang berbeda-beda.
Di antara diskusi tentang globalisasi tersebut, perkembangan media dan teknologi komunikasi menjadi salah satu faktor penting meskipun pada awalnya tidak mendapatkan cukup perhatian (Rantanen, 1999). Integrasi, interkoneksi, dan bahkan interdependensi (Keohane dan Nye, 1977) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan media dan teknologi komunikasi yang beroperasi lintas batas negara bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa tanpa adanya teknologi komunikasi, maka tidak ada pasar-pasar global sebagaimana adanya sekarang. Tanpa adanyakomunikasi global maka tidak akan muncul pasar global (Tehranian, 1999: 4)
Mengenai peran media dalam proses globalisasi tersebut, Thompson (2000: 202) mengemukakan sebagaimana dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
The reordering of space and time brought about by the development of the media is part of broader set of processes which have transformed (and are still transforming) the modern world. These processes are commonly described today as ‘globalization’”
Pada bagian lain, Thompson (Rantanen, 2006:9) mengemukakan bahwa perkembangan media baru dan komunikasi tidak hanya dalam jaringan-jaringan transmisi informasi di antara individu yang masih mempunyai hubungan-hubungan sosial. Namun, perkembangan media dan komunikasi menciptakan bentuk-bentuk tindakan dan interaksi dan hubungan-hubungan sosial jenis baru-suatu bentuk hubungan yang berbeda jika dibandingkan dengan bentuk hubungan face-to-face yang hadir dalam hampir keseluruhan sejarah manusia. Di sini, komunikasi memberikan kontribusi bagi globalisasi dunia dalam tiga cara (Rantanen, 1999:4). Pertama, komunikasi global menyediakan “infrastructures” bagi aliran data, berita, dan citra lintas batas negara bangsa yang memungkinkan pan-kapitalisme berkembang. Kedua, komunikasi global telah mendorong peningkatan permintaan melalui “channels of desire” periklanan global. Ketiga, komunikasi global memberdayakan kelompok-kelompok marginal (the silent voices) di negara-negara periferi akan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dan keadilan sosial yang biasanya hadir dalam bentuk pemujaan mendalam atas identitas vis-a-vis komoditas di negara-negara center.

Jaringan televisi transnasional telah menantang hubungan-hubungan tradisional antara televisi dengan negara bangsa melalui jangkauan siarannya yang bersifat transnasional (Chalaby, 2003:460-462). Dalam kaitan ini, terdapat tiga tipe coverage, yakni multi-territory, pan-regional, dan global. Stasiun televisi yang mempunyai coverage multi-territory biasanya muncul karena tidak mempunyai cukup sumber daya untuk mengembangkan siaran pan-regional atau jika tidak demikian lebih karenaalasan-alasan ketakutan sebagai akibat ketiadaan brand dan bahan-bahan untuk menyelenggarakan siaran pan-regional. Di sisi lain, siaran-siaran televisi pan-regional biasanya mampu menjangkau keseluruhan kawasan regional. Saluran Pan-Eropa, misalnya, mampu menjangkau keseluruhan wilayah Eropa, Euronews, dan Eurosport (yang saat ini berada di bawah kendali TF1, stasiun siaran swasta Perancis), Mezzo, saluran musik klasik Lagardere, dan Fox Kids. Meskipun tidak menjangkau keseluruhan Eropa, tetapi setidaknya menjangkau 30 hingga 55 kawasan dengan 15 bahasa. Kelompok terakhir adalah jaringan televisi yang mempunyai jangkauan global. Jaringan televisi seperti MTV, CNN, dan Discovery telah menjangkau tidak hanya Eropa, tetapi juga lebih dari 150 negara yang berada di kawasan seperti Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Pasifik, Amerika dan kadang-kadang Afrika. Stasiun-stasiun ini mempunyai orientasi program global yang disiarkan selama 24 jam non-stop. Orientasi siarannya yang 24 jam ini telah membuatnya mempunyai kemampuan untuk meliput dunia secara real time. CNN World Report dan BBC World, misalnya, dapat meliput dan menyiarkan krisis dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia sebagaimana terjadi. Sebagai contoh, dalam krisis Timur Tengah, CNN World Report menyiarkan per jam kejadian.

Globalisasi yang ditopang oleh perkembangan teknologi komunikasi ini telah menciptakan apa yang sering disebut oleh ilmuwan Kanada, Marshal McLuhan, sebagai “perkampungan global” (“global village”). Suatu dunia yang diibaratkan sebagai perkampungan global di mana sekat-sekat antarwilayah tidak lagi berlaku, dan masing-masing individu dapat berinteraksi satu dengan yang lain melalui teknologi komunikasi. Berangkat dari gagasan McLuhan ini, Volkmer (2003) lantas memberikan argumentasi bahwa kemampuan berita yang dipancarkan melalui satelit secara simultan oleh stasiun penyiaran ke seluruh dunia dalam suatu waktu bersamaan telah menciptakan “global public sphere” dan kosmopolitanisme sebagai dasar terbentuknya warga negara dunia (global citizenship) (dikutip dari Rai dan Cottle, 2007:2). Teknologi komunikasi telah memungkinkan seseorang berhubungan secara langsung dengan orang-orang di seluruh dunia, termasuk dengan otoritas politik. Inilah yang mendorong munculnya kelompok-kelompok yang lebih bersifat kosmopolitan. Greenpeace, kelompok pecinta lingkungan hidup yang beroperasi lintas batas negara, menjadi salah satu contohnya. Persoalannyasekarang bagaimana globalisasi media tersebut berpengaruh terhadap politik internasional?

Tuesday, September 20, 2016

Defenisi Filsafat Ilmu

Defenisi   filsafat  ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu  filsafat adalah berfikirsecara mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan agama dalam mencari kebenaran sedang ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang(pengetahuan) yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan  untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu. Sebagaimana yang di rumuskan para ahli  Sebagaimana yang dikutip A. Susanto dalam Filsafat Ilmu  sebagai  berikut  :
1.    Menurut  Berry  Filsafat  Ilmu  adalah penelaahan tentang  logika intern  dan  teori – teori  ilmiah  dan  hubungan – hubungan   antara  percobaan  dan teori,  yakni tentang  metode  ilmiah. Bagi  Berry, filsafat  ilmu  adalah  ilmu  yang  di pakai  untuk menelaah  tentang  logika, teori – teori  ilmiah  serta  upaya  pelaksanaannya  untuk  menghasilkan suatu metode atau  teori  ilmiah.
2.    May  Brodbeck, Filsafat  ilmu  adalah suatu  analis netral  yang  secara  etis  dan  falasafi, pelukisan  dan penjelasan  mengenai  landasan – landasan  ilmu  menurut  Brodbck, ilmu  itu  harus  bisa  menganalisis, menggali, mengkaji  bahkan melukiskannya  sesuatu  secara  netral , etis  dan filosofis  sehingga  ilmu  itu  bisa di  manfaatkan secara  benar dan relevan.
  1. Lewis  White Filsafat  ilmu  atau  philosophy  of science  adalah  ilmu  yang  mengkaji  dan  mengevaluasi  metode – metode  pemikiran  ilmiah  serta  mencoba  menemukan dan pentingnya  upaya  ilmiah  sebagai  suatu  keseluruhan.Lebih jauh   Lewis menjelaskan   Filsafat  ilmu  adalah  ilmu  yang mempertanyakan  dan  menilai  metode – metode pemikiran  ilmiah  serta  mencoba menetapkan  nilai  dan pentingnya  usaha  ilmiah  sebagai  suatu  keseluruhan. Melalui  filsafat  ilmu  ini  kita  akan mampu  memahami  dan menetapkan  akan  arti  pentingnya  usaha  ilmiah, sebagai  suatu  keseluruhan
  2. A. Cornelius  Benyamin, mengemukakan  bahwa filsafat  ilmu  adalah  studi  sistematis  mengenai  sifat  dan  hakikat  ilmu, khususnya  yang  berkenaan  dengan  metodenya,  konsepnya, kedudukannya  di  dalam skhema umum  disiplin intelektual. Benyamin lebih melihat  sifat  dan hakikat  ilmu  ditinjau  dari  aspek  metode, konsep, dan kedudukannya  dalam disiplin keilmuan.
5.    Robert  Ackermann filsafat  ilmu  adalah sebuah  tinjauan  kritis tentang  pendapat – pendapat  ilmiah  dewasa  ini dengan perbandingan  terhadap  pendapat – pendapat  lampau  yang  telah dibuktikan  atau  dalam  rangka  ukuran – ukuran  yang  dikembangkan   dari  pendapat – pendapat  demikian itu, tetapi  filsafat  ilmu  demikian  jelas  bukan  suatu  cabang  ilmu  yang  bebas  dari  praktik  ilmiah senyatanya .
6.    Peter  Caw filsafat  ilmu  adalah suatu  bagian  filsafat  yang  mencoba  berbuat  bagi  ilmu  apa  yang  filsafat  umumnya  melakukan  pada  seluruh  pengalaman  manusia. Filsafat  melakukan dua  macam  hal di satu  pihak, ini  membangun teori – teori  tentang  manusia dan  alam  semesta, dan menyajikannya  landasan  bagi  keyakinan  dan tindakan  di pihak  lain, filsafat  memeriksa  secara kritis  segala  hal  yang  dapat  disajikan sebagai  suatu  landasan bagi  tindakan termasuk  teori – teori nya  sendiri dengan  harapan dan penghapusan tidak  ajegan   dan  kesalahan. Caw  yakin bahwa  melalui  filsat  ilmu seseoang  membangun  dua  hal, menyajikan  teori  sebagai  landasan  bagi  keyakinan  tindakan  dan memeriksa  secara  kritis  segala  sesuatu  sebagai  landasan  bagi  sebuah  keyakinan  atau  tindakan.
  1. Alfred  Cyril  Ewing  Filsafat  ilmu  menurutnya  adalah salah  satu  bagian  filsafat  yang  membahas  tentang  logika, di  mana  di dalamnya  membahas tentang  cara yang  di khususkan  metode – metode  dari  ilmu – ilmu  yang  berlainan . Lebih  lanjut menjelaskan tanfa  penguasaan  filsafat  ilmu, maka akan   sulitlah  seseorang  dalam  usahanya  untuk  memahami  tentang  ilmu  secara   baik  dan  profesional. 
  2. The Liang  Gie  Merumuskan  Filsafat  ilmu  merupakan  segenap pemikiran  reflektif  terhadap  persoalan – persoalan  mengenai  segala  hal  yang  menyangkut  landasan  ilmu  maupun  hubungan  ilmu  dengan  segala  segi  kehidupan  manusia. Bagi Gie, filsafat  ilmu  bukan  hanya  di  pahami  sebagai  ilmu  untuk  mengetahui  metode  dan analisis  ilmu – ilmu  lain, tetapi  filsafat  ilmu  sebagai  usaha  seseorang  dalam  mengkaji  persoalan – persoalan  yang  muncul  melalui  perenungan  yang  mendalam agar  dapat  diketahui  duduk  persoalannya   secara  mendasar  sehingga  dapat  di manfaatkan  dalam  kehidupan  manusia.
9.    Menurut  Beerling, filsafat ilmu  adalah  penyelidikan  tentang  ciri – ciri  mengenai  pengetahuan  ilmiah  dan  cara –  cara  untuk  memperoleh  pengetahuan tersebut. Filsafat  ilmu  erat  kaitannya  dengan  filsafat  pengetahuan atau  epistemologi  yang  secara  umum  menyelidiki  syarat –  syarat  serta  bentuk  bentuk  pengalamn  manusia juga  mengenai  logika  dan  metodologi
10.  Jujun  S, Suriasumantri  menjelaskan  bahwa  filsafat  ilmu  merupakan  suatu pengetahuan  atau  epistemologi  yang  mencoba  menjelaskan  rahasia  alam  agar  gejala  alamiah  tak  lagi  merupakan  misteri, secara  garis  besar, Jujun  menggolongkan pengetahuan  menjadi  tiga  kategori  umum, yakni  1) pengetahuan  tentang  yang  baik dan  yang  buruk  yang  disebut juga  dengan  etika  2) pengetahuan tentang  indah  dan jelek,  yang  disebut  dengan estetika  atau  seni   3)  pengetahuan  tentang  yang benar  dan salah, yang  disebut  dengan  logika.

Tujuan  Filsafat  ilmu sebagai  berikut  : 
1.      Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
2.      Memahami  sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai bidang sehingga kita mendapatkan gambaran tentang proses ilmu kontemporer  secara  historis.
3.      Menjadi  pedoman  para insan akademis di perguruan tinggi dalam mendalami studi diperguruan tinggi, terutama persoalan  yang ilmiah dan  yang non ilmiah

Sedangkan Manfaat Filsafat Ilmu Sebagai Berikut :
1.      Sebagai forum  atau lapangan diskusi yang sama sekali bebas.
2.         Sarana mencari hikmat di tengah semua pengetahuan.
3.      Sarana berpijak bagi kegiatan keilmuan (menurut pemikiran Will Durant : “ dapat diibaratkan pasukan mariner  yang merebut  pantai untuk tempat pendaratan pasukan infanteri “ ).
4.      Sebagai pendobrak pikiran manusia yang terpenjarakan oleh tradisi dan adat istiadat nenek moyang.
5.      Sebagai pembebas, yang membebaskan manusia dari penjara pemikiran dan kepercayaan yang bersifat tradisional yang bersumber  dari cerita-cerita mitos, sehingga manusia dibebaskan dari kepicikan dan kebodohan.
6.      Sebagai Pembimbing, dengan berfilsafat manusia dapat dibimbing  berpikir sistematis dan logis, berpikir lebih luas dan mendalam sampai menemukan hakikat atau esensi dari satu kebenaran, berpikir secara integral dan koheren ( berkaitan ).
7.      Membekali  bagi seorang dalam kegiatan berpikir , dalam menemukan kebenaran, melalui metode ilmiah dan sarana-sarana berpikir ilmiah dan pembahasannya secara sistematik dan terpadu .
8.         Orang dapat melatih diri untuk berpikir kritis dan harmonis serta dapat menyusun hasil pemikirannya secara sistematis.
9.      Menambah pandangan dan cakrawala  yang lebih luas agar tidak berpikir dan bersikap sempit dan tertutup
10.  Melatih diri melakukan penelitian, pengkajian dan memutuskan atau mengambil kesimpulan mengenai sesuatu hal secara mendalam dan konprehensif.
11.  Menjadikan diri bersifat dinamis dan terbuka dalam menghadapi berbagai masalah.
12.  Membuat diri menjadi manusia yang penuh toleransi dan tenggang rasa.
13.  Menjadikan manusia lebih taat pada Tuhan.



Pengelolaan Konflik Politik


Dalam konteks demokrasi ada perubahan pemahaman mengenai konflik politik, dimana konflik tidak lagi dipahami sebagai aktifitas yang negatif, buruk, dan merusak, tetapi sebaliknya konflik merupakan aktifitas yang positif dan dinamis. Hal ini berlanjut pada perubahan konsepsi penyelesaian konflik menjadi pengelolaan konflik (management conflict). Ini sebuah perbedaan sangat penting. Pertama, penyelesaian konflik menunjuk pada penghentian atau penghilangan suatu konflik, dengan demikian implikasinya adalah konflik merupakan sesuatu yang negatif, yang bisa diselesaikan, diakhiri, bahkan dihapuskan. Kedua, berbeda dengan penyelesaian konflik, pengelolan konflik lebih memberi pemahaman bahwa konflik bisa positif, bisa juga negatif. Meskipun makna istilah-istilah tadi tentu masih menjadi perdebatan (debatable) hal ini menunjukkan bahwa persoalan konflik memiliki berbagai pendekatan termasuk istilah-istilahnya.
Ada beberapa pendekatan untuk menangani konflik, yang terkadang juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses. Fisher, dkk (2001:6-7) menggambarkan sebagai berikut. Pertama, istilah pencegahan konflik yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras. Kedua, penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetjuan perdamaian. Ketiga, pengelolaan konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Keempat, resolusi konflik yaitu kegiatan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubunganbaru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Kelima, transformasi konflik yaitu kegiatan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Mengelola konflik yaitu bagaimana menanganinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses yang kooperatif, bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk mengelola perbedaan secara konstruktif, bukan sebaliknya mengadvokasi metode-metode untuk menghilangkan konflik (Harris dan Reilly, 2000:20). Sedangkan menurut Robinson dan Clifford ( Liliweri, 2005 : 288 ) manajemen konflik merupakan tindakan yang konstruktif yang direncanakan , diorganisasikan, digerakan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demimengakhiri konflik. Manajemen konflik harus dilakukan sejak pertama kali konflik mulai tumbuh. Karena itu sangat dibutuhkan kemampuan manajemen konflik, antara lain, melacak pelbagai faktor positif pencegah konflik daripada melacak faktor negatif yang mengancam konflik.
Manajemen konflik merupakan sebuah sistem tawar-menawar dan bernegosiasi, dimana dalam konteks demokrasi dapat membantu mengatasi konflik antar kelompok dan menggiring mereka ke dalam dialog dan debat politik, dan menjauhkan mereka dari kekerasan di jalan. Tujuan manajemen konflik adalah menjaga supaya perselisihan yang ada bisa disalurkan ke dalam arena negosiasi dan mencegahnya jangan sampai mengalami peningkatan yang berujung pada konfrontasi dan kekerasan (Sisk dkk, 2002:96).
Ada beberapa hal yang tercakup dalam konsep manajemen konflik menurut Boulding (Liliweri, 2005:289) seperti: (1) adanya pengakuan bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik; (2) Analisis situasi yang menyertai konflik, misalnya mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, apakah konflik berhubungan dengan nilai, tujuan, cara, teritori, atau kombinasi dari faktor-faktor tadi; (3) Analisis perilaku semua pihak yang terlibat; (4) Tentukan pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian; (5) Fasilitas komunikasi, yaitu mebuka semua jalur komunikasi baik langsung maupun tidak langsung, diskusi dan dialog, dalam rangka hearing; (6) Negosiasiyaitu teknik untuk melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; (7) Rumuskan beberapa anjuran, tekanan, dan konfirmasi bagi kelestarian relasi selanjutnya; (8) Hiduplah dengan konflik, karena semua konflik tidak dapat dihilangkan kecuali dapat ditekan atau ditunda kekerasannya.


Pengertian Pemilih


Menurut UU No 8 tahun 2012 pemilih adalah warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun, atau sudah pernah kawin. Tetapi dalam pelaksanaan pemilu yang berhak memberikan hak pilihnya adalah pemilih tersebut tidak sedang terganngu jiwanya, tidak dicabut hak pilihnya atas putusan pengadilan, pemilih tersebut tidak masuk dalam kategori TNI/POLRI.
Pemilih yang memenuhi sayarat akan di daftar sebagai pemilih di masukan dalam Daftar Pemilih Tetap arau DPT yang kemudian ditetapkan ditetapkan oleh komisi pemilihan umum (KPU) Pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok, terdapat kelompok masyarakat yang memang non partisipan, dimana ideology dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu . Mereka menunggu sampai ada satu partai politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.
Pengembangan Kapasitas Kelembagaan (Capacity Building)
Menurut Yeremias T. Keban (2000:75) lebih khusus dalam bidang pemerintahan berpendapat bahwa Pengembangan Kapasitas merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada pengembangan dimensi, sumber daya manusia, penguatan organisasi; dan reformasi kelembagaan atau lingkungan. Sedangkan menurut Soeprapto (2006:11) tentang pengertian Pengembangan Kapasitas, yaitu:

1.      Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses.
2.      Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan meliputi individu, grup, organisasi, dan sistem.
3.      Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap.
4.      Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionable learning dimana pengembangan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terusmenerus beradaptasi atas perubahan.

Pengertian Sosialisasi Politik

Menurut Efrizal (2012:4) sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan system politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sedangkan menurut Syarial dalam Efrizal (2012:8) sosialisasi politik ialah proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Berdasarkan penjelasan diatas menurut penulis bahwa sosialisasi politik merupakan suatu proses sosial yang didalamnya melakukan sosialisasi secara langsung kepada masyarakat guna mendapatkan informasi dibidang politik yang erat kaitannya dengan pemilu.



Model Pengelolaan Konflik Pilkada

Pilkada sebagai bentuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, kerap kali berujung pada konflik. Konflik itu sendiri biasanya diawali dari pelanggaran- pelanggaran yang selanjutnya menjadi sengketa diantara kelompok yang mencalonkan pasangan kepala daerah, penyelenggara pilkada, dan elemen lain yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada. Siapa pun yang ikut ambil bagian dalam arena pilkada tidak menginginkan konflik itu terjadi. Kalau pun pada kenyataannya konflik itu tidak terelakan, maka agar tidak menjadi eskalatif, konfrontatif, dan destruktif perlu adanya model resolusi yang tepat.
Analisis model resolusi konflik atas dasar hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Lombok Barat dengan memperhatikan catatan lapangan (field records), tepatnya atas dasar data emik yang dikumpulkan dari subyek-subyek penelitian, serta dengan mengikuti proses analisa data sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2008), maka data tentang resolusi konflik Pilkada tersebut dapat direduksi (data reduction) ke dalam tabel di bawah ini:
Hasil Reduksi Data Resolusi Konflik Pilkada No.
FOKUS
DESKRIPSI
1.
Persepsi tentang Penyabab Konflik

1. Dominasi ekonomi dan politik di kelompok tertentu;
2. Sikap tidak simpatik terhadap petugas dan sistem atau mekanisme adminstrasi Pilkada;
3. Rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi Pilkada;
4. Ketidakadilan perlakuan terhadap kontestan Pilkada.

2
Kategori Aktor Resolusi Konflik

1. Aktor Politik;
2. Aktor Ekonomi;
3. Aktor Sosial;
4. Aktor Agama

3
Peran Aktor dalam Resolusi Konflik

1. Pencegahan konflik;
2. Penyelesaian konflik (mengakiri);
3. Pengelolaan konflik (membatasi dan menghindari meluasnya kekerasan);
4. Resolusi konflik (membangun hubungan baru);
5. Transformasi konflik (merubah yang negatif menjadi positif)

4
Tujuan Resolusi

1. Menguji validitas bukti-bukti material;
2. Menghentikan konflik dan mengembalikan kerukunan antar pihak yang berkonflik

5
Strategi Resolusi

1. Mekanisme legal-formal;
2. Personal Approach

6
Tempat Resolusi

1. Kepolisian dan Pengadilan;
2. Arena social

7
Hasil Resolusi

1. Ketetapan hukum legal formal;
2. Transformasi


Berdasarkan hasil reduksi data di atas, selanjutnya kategori-kategori utama, atau konsep-konsep pokok yang ditemukan di lapangan yang terkait dengan proses resolusi konflik kemudian dijadikan bahan untuk dilakukannya display data. Tahap ini merupakan fase dimana kategori pokok yang ditemukan kemudian dicoba saling dihubungkan atau dikoneksikan dengan tujuan agar semakin nampak jelas model yang hendak dicari dalam suatu penelitian.
Penelitian ini menemukan model resolusi konflik yang kemudian kita sebut dengan fluidity resolution models atau model resolusi yang mencair sebagaimana tergambarkan dalam tabel di bawah ini. Disebut dengan model resolusi yang mencair karena menurut temuan di lapangan, ternyata model baku yang ditawarkan pemerintah melalui desk Pilkada tidak fungsional untuk merespon dinamika konflik yang muncul. Warga lebih memilih jalur formal resolution, jika konflik yang terjadi disebabkan oleh persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan pelanggaran ketentuan hukum positif. Namun jika akar konflik Pilkada itu disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi, maka warga lebih memilih jalur informal and accidental resolution. Ketidak-bakuan atau keluwesan mekanisme resolusi konflik semacam inilah yang kemudian penelitian ini menyebutnya sebagai model resolusi yang mencair.

Sebagaimana dipaparkan di bagian terdahulu, resolusi informal dan aksidental tersebut merupakan fungsi dari nilai-nilai dan atau norma-norma sosial budaya (termasuk di dalamnya tentu terkait dengan nilai-nilai agama) yang sangat dihormati oleh warga masyarakat, sekaligus juga merespon social personality warga masyarakat Indonesia yang sulit menyelesaikan konflik secara face to face di forum formal.

Sunday, September 18, 2016

Sejarah Konstitusi di Inggris


Kerajaan Inggris adalah negara monarki konstitusional, dengan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri dan menteri-menteri dalam kabinet yang mengepalai departemen-departemen. Menteri-menteri ini berasal dari dan sekaligus bertanggung jawab kepada Parlemen, lembaga legislatif. Kerajaan Inggris adalah salah satu dari sedikit negara-negara di dunia saat ini yang tidak memiliki konstitusi tunggal dan tertulis. Sebaliknya, yang berlaku di negara ini adalah, konvensi-konvensi, hukum yang berlaku umum, kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan bagian-bagian yang terpisah dari hukum tata negara.
Konstitusi Kerajaan Inggris memang tidak memiliki bentuk yang terkodifikasi, namun aturan-aturan hukum yang memuat berbagai hal tertentu dan saling terpisah banyak ditemukan dengan istilah “constitution”. Peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi di negara ini adalah “Constitutional of Clarendon 1164” yang disebut oleh Raja Henry II sebagai “constitutions”, “avitae constitution or leges, a recordatio vel recognition”, menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Raja Henry I.
Di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio sering pula digunakan bergantian dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai peraturan perundang-undangan (secular administrative enactments). Kata constitution juga sering digunakan untuk titah raja atau ratu (a royal edict). Arti constitution sendiri tercermin dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada sekitar tahun 1570-an, yaitu pengertian konstitusi dalam dua konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai bingkai alami sebuah negara, dan kedua, konstitusi sebagai hukum publik dalam kerajaan (jus publicum regni).

Hukum Dasar atau “Konstitusi” Kerajaan Inggris
Herman Heller menggunakan beberapa ukuran dalam mengartikan “konstitusi”, dan dengan ukuran tersebut akan terlihat bahwa konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari sekadar “undang-undang dasar”. Pandangan orang mengenai konstitusi pada negara-negara modern menyebabkan pengertian konstitusi saat ini disamakan dengan undang-undang dasar. Hal ini disebabkan oleh pengaruh paham kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum. Konstitusi yang ditulis itulah yang kemudian disebut sebagai undang-undang dasar.
Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, seringkali konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna. Ini dapat terjadi baik karena pasal-pasal di dalamnya tidak lagi dijalankan, maupun karena konstitusi yang disusun hanya merupakan perwujudan kepentingan suatu golongan tertentu, misalnya kepentingan penguasa. Oleh karena itu, yang paling penting bukanlah adanya sebuah konstitusi yang tertulis, melainkan terpenuhinya nilai normatif dalam pemberlakuan konstitusi, meskipun tidak tertulis. Karl Lowenstein menyebutkan bahwa apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu kenyataan (realitas), maka konstitusi itu telah dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Dalam hal tersebut, maka konstitusi itu telah bernilai normatif.
Walaupun tidak tertulis, hukum dasar (“konstitusi”) Kerajaan Inggris secara garis besar dapat dinyatakan telah mengatur hal-hal di bawah ini.
1.      Hak asasi manusia, yang di dalamnya mengatur pula mengenai:
a.       hak asasi manusia internasional;
b.      penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia; penghormatan terhadap persamaan derajat tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, status sosial, dsb.; jaminan keamanan; penghapusan perbudakan; pemberian hukuman; perkawinan dan keluarga; hak milik atas benda;
c.       perlindungan hukum, persamaan dalam hukum, penghormatan terhadap pengadilan, pemulihan nama baik, asas praduga tak bersalah;
d.      kebebasan individu, hak pribadi, kebebasan bergerak, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi;
e.       hak politik, suaka politik, kewarganegaraan, kebebasan berkumpul dan berserikat;
f.       hak sosial, hak bekerja, waktu kerja, hak memperoleh tempat tinggal yang layak, pendidikan, ilmu pengetahuan, seni, budaya;
g.      batasan-batasan hak asasi manusia.

2.      Organisasi negara, yang meliputi pengaturan tentang:
a.       bentuk umum pemerintahan;
b.      parlemen, House of Commons, partai, pengambilan keputusan, legislasi, komisi-komisi, House of Lords, keuangan, masyarakat Eropa, ombudsman parlemen;
c.       pemerintah, komposisi pemerintah, lobi, Dewan Penasihat;
d.      pemerintah lokal;
e.       peradilan, sistem hukum, pengadilan pidana, pengadilan perdata, Tribunal;
f.       Pengadilan Eropa.


Dengan demikian, walaupun hukum dasar atau “konstitusi” Kerajaan Inggris tidak berada dalam sebuah kesatuan peraturan tunggal, namun peraturan-peraturan yang terpisah dan berasal dari konvensi, statuta, dan kebiasaan tradisional tersebut telah mengatur banyak hal, layaknya berbagai konstitusi tertulis—undang-undang dasar—yang digunakan di kebanyakan negara.