Saturday, April 02, 2016

Sistem Pemilihan Mekanis.

2.  Sistem Pemilihan Mekanis.

Masih menurut Wolhoff, sistem pemilihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran bahwa : 6
a.  Rakyat  ddalam  suatu  negara  dipandang  sebagai  massa  individu- individu yang sama.



6 Loc.cit





b.  Individu-individu  inilah  yang  bertindak  sebagai  pengendali  hapilih aktif.
c.  Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan untuk satu Lembaga Perwakilan Rakyat.
d. Dalam  negara  liberal  mengutamakan  individu-individu  sebagai kesatuan otonom dan masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan  antar  individu  yanbersifat  kontraktual. Sedangkan di dalam negara sosialis-komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu-individu dalam totaliteit kolektif ini.
e.  Partai  politik  ataorganisasi  politik  berperan  dalam  mengorganisir pemilih,  sehingga  eksistensinya  (keberadaannya)  sangadiperlukan, baik menurut sistem satu partai, dua partai ataupun multi partai.
Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut di atas, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut sebagai Dewan Perwakila Rakya (DPR)   atau   Parlemen Denga adany sistem pemilihan  mekanis  inilah,  maka  dikenal  adanya  dusistePemilihan Umum, yaitu:
a.  Sistem Pemilihan distrik; dan

b.  Sistem Pemilihan Proporsional.





Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan Umum ini   membuk peluan adany kombinas antar keduanya Sistem Pemilihan yang mengkombinasikan antara sistem distrik dan Proporsional adala siste Pemiliha Umu yan dilaksanaka d Indonesia,
sebagaimana tertuang di dalam     UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu.7

Sistem yang dimaksud adalah "Sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka8

a.  Sistem Pemilihan Distrik.

TatanaPemilihan  umum seperti ini dapat digambarkan  sebagai berikut. Wilayah suatu negara yang menyelenggarakasuatu pemilihan untuwakil-wakil  di parlemen,  dibagi  atas  distrik-distrik  pemilihan  yang jumlahny sama  dengan  kursi  yang  tersedia   di  parleme (kursi  di Parlemen  yang  diperebutkan   dalam  Pemilihan  umum).  Setiap  distrik hanya memilih satu orang wakil untuk duduk di Parlemen dari beberapa calon untuk distrik tersebut.
Jikalau pembagian  distrik dirasa terlalu banyakmaka dapat juga dipergunakan  cara  penentuan  distriberdasarkan  kursi  di Parlemen  di bagi dua. Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa mengirimkan dua calon  untuk  duduk  di  kursi  Parlemen.   Contohnya Jumlah  Kursi  di Parlemen adalah 500. Untuk cara yang pertama dapat ditempuh dengan
membagi  wilayah  negara  menjadi  500  distrik.  Jikalau  cara  seperti  ini


7         Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan  Umum tersebut  masih dalam tahap pembicaraan di DPR-RI
8        Pasal 5 ayat (l)  UU tentang Pemilihan Umum.





mengakibatka jumla distrik  terlalu   banyak mak dapat   ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 250 distrik. Cara yang kedua ini mengakibatkan masing-masing distrik bisa mengirimkan wakil sebanyak 2 (dua) orang.
Berdasarkan tatanan (sistem) Pemilihan distrik semacam ini, maka keuntungan yang dapat diperoleh adalah :
1. Hubungan antara rakyat dengan "sang wakil" relatif dekat. Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan calon wakil rakyayang tidak populer di masing-masing  distrik. Selain itu dalam perkembangan lebih lanjut sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai Politik,  karendalam Pemilihan  distrik,  rakyat  memilih  orang. Bukan Partai Politik.
2.  Sistem ini mendorong  penyatuapartai-partai  (khususnya  jika suatu negara  itu  mempergunakan  sistem  multi  partai).  Hal  indisebabkan calon yang terpilih di masing-masing distrik hanya satu atau lebih dari satudan terpilihnya  mereka  ini semata-mata  hanya  karena kepopuleran dan kredibilitasnyaOleh sebab itulah ada kemungkinan partai-partai politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang yang lebih "mumpuni" diantara mereka. Calon yang mumpuni itu belum tentu berasal dari satu partai. Bahkan ada kemungkinan adalah calon independen dan non partisan.
3.  Organisasi  dari penyelenggaraan  pemilihadengan sistem distrik ini relati sederhana Tida memerluka banya oran da banyak





birokrasi untuk menyusun kepanitiaan Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah  dan  penyelenggaraanny relatif  singkat.   Sisa  suara  yang terbuang tidak perlu diperhitungkan.
4. Dengan mempergunakan sistem distrik, maka ada kemungkinan pertumbuhan Partai Politik yang cenderung sektarian, ideologis/aliran, dan primordialisme menjadi berkurang. Hal ini mengingat tokoh-tokoh politik yang terpilih menjadi wakil masing-masing distrik lebih mengedepankan  kepentingan  rakyat  dmasing-masing  distrik, ketimbang kepentingan kelompok Partai yang justru kadangkala menyimpang dari kepentingan rakyat banyak.
Sedangka kelemaha da siste pemiliha distrik dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.  Banya suar yan terbuang Bahka ad kemungkina terjadi fenomena  Low  representative  Versus  High  representative.   Artinya Calon yang menjadi  wakil dari suatu distrik,  pada hakikatnya  hanya memperoleh suara minoritas (Low Representative) yang ada di distrik yang  bersangkutan,  jikalau  dibandingkan  jumlah  total  suara  (High Representative) dari calon-calon lain di distrik tersebut. Contohnya : Calon A : 40 suara.
Calon B : 39 suara. Calon C : 25 suara. Calon D : 20 Suara. Calon E : 15 suara.





Berdasarkasuara tersebut maka Wakil Rakyat dari Distrik tersebut adala A.  Akan   tetapi   bila  diliha jumla total  peroleha suara (B+C+D+E), maka representasi dari calon A di distrik tersebut adalah rendah (Low representative).
2.  Menyulitkan  bagi Partai-partakecil dan golongan-golongan  minoritas untuk  mempunya wakil  di  Lembaga   Perwakila Rakyat.  Apalagi mereka ini terpencar dalam berbagai distrik pemilihan.



b.  Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).

Tatanan  (sistem)  pemilihan  umum  seperti  inadalah mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen  Pusat  diperebutkan   dalam  suatu  Pemilihan  Umum,  dibagi kepada Partai-Partai Politik atau golongan-golongan politik yang ikut serta dalam PemilihaUmum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk kepentingan ini ditentukan  suatu perimbangan  1 : 400.000.  Imbangan  suara seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara 400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai 1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkadari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan





Umu (Parta Politik/Golongan    Politik memperoleh    kursi/waki di

Parlemen Pusat.

Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilihan.
Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah pendudu dan   faktor-fakto politik  lainny -  kurs yan tersedi di ParlemePusat yang akan diperebutkan  dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan haru lebi dari   satu Inila yan serin disebu Multy   member constituency. Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.
Contoh  yang  dapadipergunakan  untuk  memperjelas  sistem  ini adalah : Misalnysuatu negara yang mempunyai  30 kursi di Parlemen akan  menyelenggarakan  Pemilihan  Umum  dengasistem proporsional. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah :
-    Pertama : dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada daerah-

daerah pemilihan, misalnya ada 4 (empat) daerah pemilihan.

-     Kedua: dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan sebagainya, maka ditentukan sebagai berikut :





Daerah Pemilihan A: 10 kursi. Daerah Pemilihan B : 7 kursi. Daerah Pemilihan C: 7 kursi. Daerah Pemilihan D : 6 kursi.
-    Ketiga  :  misalnya  kursi  yang  berada  di  daerah  pemilihan  A  yang

berjumlah 10 dibagikan kepada Partai politik/golongapolitik peserta Pemilihan  Umusesuai  dengan  imbangan  suara  yang  diperoleh dalam pemilihan umum yang bersangkutan.
-    Keempat  : dari hasil yang diperoleh  tersebut,  Partai politik/golongan

politik dapat menentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di Parlemen dengan berlandaskan pada stelsel daftar calon anggota Parlemen.  Stelsel  daftar  intersusun  berdasarkan  nomor  urut.  Oleh sebab itu nomor urut yang paling atas-lah yang memungkinkan untuk dapat dipilih oleh Partai politik yang bersangkutan sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan  Umum - maka cara yang ditempuh  adalah dengamembagi jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.





Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedikit, merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan  wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung
kelemahan yang cukup substansiil, yaitu :9

1.  Sistem  ini  mempermudah  fragmentasi  partai  dan  timbulnya  partai- partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan  sisteproposional  justru  menjurus  kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan  yanadaKurang  mendorong  untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan persamaan- persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta Politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2. Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya,  yaitu  PartaPolitik.  Kurang  memiliki  loyalitas  kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa keberadaan Partai Politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan dari pada kemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih Partai Politik. Bukan memilih seorang wakil.
3.  Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada





9 Ibid, hlm. 180





umumnya penentuan pemerintahan  didasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih.
Disamping kedua sistem tersebut di atas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, Partai politik hanya mengajukan  calon-calodalam daftar yang disusun berdasarkan abjad. Bukan nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat pemilih disamping "mencoblos" Partai Politik yang dikehendaki,  mereka juga memilih nama-namcalon wakil yang diajukan oleh Partai politik yang bersangkutan. Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan kepentingan Partai Politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini, diharapkan wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hal ini mengingat  walaupun  didicalonkan  oleh  Partai  politik,  namun  secara definitif dapat atau tidaknya dia duduk di DPR semata-mata sangat tergantung   pada  hasil  pilihan  rakyat  yang  diambil  dari  daftar  calon tersebut.
Menurut Pasal 2 Undang-undang tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan Pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,  adil,  dan  dapat  dipertanggungjawabkan Perluasan  asas  pemilu





semacam ini memang dirasa terlalu "membabi-buta". Akan tetapi. berdasarkan pengalaman Pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif,   penu intimidasi tidak   jujur sewenang-wenang maka memang  masuk  akal  jika  asas-asas  Pemilihan  umum  tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
Masih berkaitan dengan asas Pemilihan Umum. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-
2004 dan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraapemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasrakyat seluas-luasnya  atas dasar prinsip demokratis, langsung,  umum,  bebas,  rahasia,  jujuradil  dan  beradab.  Berkaitan denga ketentua semaca inilah mak Undang-undan tentang
Pemilihan Umum mengembangkan asas Pemilihan Umum.10

Pengertian  damakna  asas-asas  Pemilu  Indonesia  yang sedemikiakomplek tersebut di atas, kalau diterjemahkan  lebih singkat pada hakikatnya dipergunakan untuk memberikan landasan bagi seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu. Hal ini berbeda dengan asas- asas Pemilu yang pernah berlaku semasa Orde Baru. Semasa Orde Baru asas-asas Pemilu yang dipergunakan hanyalah "LUBER" (Langsung, UmumBebas, dan Rahasia).  Asas-asas  semacam ini pada hakikatnya hanya  dipergunakan  pada  saat  pemungutan  suara.  Sementara  untuk





10   Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.





memberikan     landasan     filosofis     bagi    seluruh    rangkaian    proses penyelenggaraan Pemilu belum ada asasnya.

C. Tahap-tahap Penyelenggaraan Pemilihan Umum

Tahapan Pemilihan Umum di Indonesia - sebagaimana dirancang oleh KPU - pada prinsipnya melalui 10 (sepuluh) tahapan teknis. Secara singkat ke sepuluh tahapan teknis sesuai Pasal 4 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu
(1)  Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali

(2)  Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi :

a.    Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih b.    Pendaftaran peserta pemilu
c.    Penetapan peserta pemilu

d.    Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan

e.    Pencalonan  anggota  DPR,  DPD,  DPRD  Provinsi,  dan  DPRD Kabupaten kota
f.     Masa kampanye g.    Masa tenang
h.    Pemungutan dan Penghitungan suara i.     Penetapan hasil Pemilu
j.     Pengucapan  sumpah  janji  anggota  DPR,  DPRD  Provinsi  dan

DPRD Kab/Kota.





D.   Kilas Balik Pemilu di Indonesia.

Dalam catatan sejarah Indonesia telah menyelenggarakan 9 (sembilan)  kali Pemilu. Sejak Pemilu  tahun 1955perkembangan  untuk mencapai masyarakayang demokratis  masih nampak suram. Kalaupun Pemilu  tahun  1955  daPemilu  tahun  1999  dikatakan  banyak  orang adalah Pemilu yang demokratisnamun kenyataan  menunjukkan  bahwa hasil-hasil  Pemilu  darkedua  penyelenggaraan  Pemilu  tersebut  tidak cukup signifikan untuk dipergunakan sebagai tolok ukur proses perjalanan sistem demokratis yang diidam-idamkan.
Dalam Pemilu tahun 1955 banyak analis politik dan pakar ketatanegaraan  menganggap  bahwa Pemilu tersebut merupakaPemilu yang paling demokratis yang pernah dilakukan di Indonesia. Kendatipun demikian, Herbert Feith mengemukakan  bahwa penyelenggaraaPemilu tahun 1955 sesungguhnya  merupakan  bentuk komprompolitik Sukarno terhada berbaga tekana yan muncu dari   TNI   soa otoritas pemerintahan  yang korup dan nepotispercekcokan  antar Partai Politik serta    bancinya    pemerintahan    dalam    menghadapi    urusan-urusan
ekonomi.11  Kondisi sebagaimana digambarkan oleh Feith ini juga nampak

jeladalam realitas  politik menjelang  dan sesudah  Pemilu  tahun 1999, yang  juga  diangga sebagai  salah  satu  Pemilu   di  Indonesi yang demokratis.





11 Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955.





Kondisi Politik menjelang Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)    secar sistemi yan pad giliranny mengakibatkan terjadinya  krisimulti-dimensional.  Kondisi semacam ini yang kemudian mengakibatka munculnya   kompromi-komprom dikalangan   elit  politik setelah  jatuhnya  Presiden  Soeharto  - untumempercepat  pelaksanaan Pemilu pada tahun 1999.
Tidak dapat dipungkirbahwa secara umum Pelaksanaan  Pemilu tahun 1999 memang lebih demokratis ketimbang Pemilu-pemilsemasa Orde Baru. Akan tetapi pelaksanaan yang demokratis tersebut tidak diimbangi dan dibarengi dengan kelanjutan mekanisme sistem ketatanegaraan  yandemokratis  pula.  Bahkan  disana-sini  cenderung kearaanarkhis.  Berbagai  kompromi  politik  pasca  Pemilu  tahun  1999 masih  tetap  mendominasi  dalapenyelenggaraan  sistem ketatanegaraan. Konflik antara Eksekutif dan Legislatif memuncak dan tak terkendali.
Dalam negara demokratis, kompromi-komprompolitik seharusnya diletakkan dalam lingkup konstitusional (kelembagaan) demokratis secara konstitusional. Tidak hanya sekedar pertemuan-pertemuan  informal antar elit Partai Politik yang sifatnya jelas ekstra-konstitusional. Kita bisa mengambil  beberapa  contohdiantaranya  adalah  penentuan  Kabinedi Era KH. Abdurrahman Gus Dur' Wahid dan Era Megawati Soekarno Putri





yang sarat dengan kompromi politik untuk bagi-bagi "kue" kekuasaan. Contoh lain adalah pertemuan-pertemuan elit Partai Politik yang dilakukan di luar Parlemen dan semakin marak guna mengambil kesepakatan- kesepakatan politik dalam rangka menghadapi suatu moment ketatanegaraan  tertentumisalnya  menghadapi  Sidang  Tahunan  (ST) MPR.
Contoh-contoh tersebut di atas mengakibatkan hasil Pemilu tahun

1999  hanya  bermakna  demokratis  yansemu.  Rakyat  sebagai  subyek utamprinsip  kedaulatan  rakyat  masitetap  diletakkan  sebagai  obyek dari Partai-partai Politik dalam menancapkan hegemoninya untuk melanggengkan kekuasaan. Tragisnya proses pembodohan rakyat masih terusajberlangsung.  Inilah gambaran  kilas  balik Pemilu  yang  dapat penulis kemukakan secara singkat. Semoga gambaran ini dapat dipergunakan  sebagai  refleksi  untuk  menyusun  sisteketatanegaraan dan Pemilu yang lebih demokratis dan aspiratif.


E.  Partai Politik.

Keberadaan    Parta Politi dala kehidupan    ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakafaktor yang patut diperhitungkan  serta diikut sertakan dalam proses  politik,  Dengan  adanya  gagasan  untuk melibatkan  rakyat dalam  proses  politik  (kehidupan  dan  aktifitas  ketatanegaraan) maka





secara  spontan  Partai  Politik  berkembang  menjadi  penghubung  antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.12
Dengan  demikian  dapat  ditaripengertian  bahwa  sebagai organisasi yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Suda banya definis yan dikemukaka ole para   sarjana mengenai   pengertia Partai  Politik  tersebut.   Definisi-definis tersebut antara lain :13
1.  Carl J. Friedrich: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil

dengan tujuan merebut atau mempertahankan  penguasaan  terhadap pemerintahan bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil.
2.  R.H.    Soltou:    Sekelompok    warganegara    yang    sedikit    banyak

terorganisir yan bertinda sebaga satu   kesatua politik yang dengan memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
3.  Sigmun Neumann Organisas dar aktivis-aktivi politi yang

berusaha  untuk  menguasai  kekuasaan  pemerintahan  serta  merebut





12   Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, him. 159.
13   Ibid, hlm. 160-161

0 comments: