2. Sistem Pemilihan Mekanis.
Masih menurut Wolhoff, sistem pemilihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran bahwa : 6
a. Rakyat
di dalam suatu
negara
dipandang sebagai massa
individu- individu yang sama.
6 Loc.cit
b. Individu-individu inilah
yang bertindak
sebagai
pengendali
hak
pilih aktif.
c. Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan untuk satu Lembaga Perwakilan Rakyat.
d. Dalam negara liberal mengutamakan
individu-individu sebagai kesatuan otonom
dan masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan
antar
individu yang bersifat kontraktual.
Sedangkan di dalam negara sosialis-komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat dan
mengecilkan peranan individu-individu dalam totaliteit kolektif ini.
e. Partai
politik
atau organisasi
politik berperan dalam mengorganisir pemilih, sehingga eksistensinya
(keberadaannya)
sangat diperlukan, baik menurut sistem satu partai, dua partai ataupun multi partai.
Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut di atas, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan mekanis inilah, maka
dikenal adanya dua sistem Pemilihan Umum, yaitu:
a. Sistem Pemilihan distrik; dan
b. Sistem Pemilihan Proporsional.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan Umum ini membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya. Sistem Pemilihan yang mengkombinasikan antara sistem distrik dan Proporsional adalah sistem Pemilihan Umum yang dilaksanakan di Indonesia,
sebagaimana tertuang di dalam
UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu.7
Sistem yang dimaksud adalah "Sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka8
a. Sistem Pemilihan Distrik.
Tatanan Pemilihan
umum seperti ini dapat digambarkan sebagai berikut. Wilayah suatu negara yang menyelenggarakan suatu pemilihan untuk wakil-wakil di parlemen, dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan
kursi
yang tersedia di parlemen (kursi
di Parlemen
yang
diperebutkan
dalam Pemilihan umum).
Setiap
distrik hanya memilih satu orang wakil untuk duduk di
Parlemen dari beberapa calon untuk distrik tersebut.
Jikalau pembagian
distrik dirasa terlalu banyak, maka dapat juga dipergunakan cara
penentuan
distrik berdasarkan kursi di Parlemen
di bagi dua. Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa mengirimkan dua calon untuk
duduk di
kursi
Parlemen. Contohnya: Jumlah
Kursi di Parlemen adalah 500. Untuk cara yang pertama dapat ditempuh dengan
membagi wilayah
negara
menjadi
500 distrik.
Jikalau cara
seperti ini
7 Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan Umum tersebut
masih dalam tahap pembicaraan di DPR-RI
8 Pasal 5 ayat (l) UU tentang Pemilihan Umum.
mengakibatkan jumlah distrik
terlalu banyak, maka dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 250 distrik. Cara
yang kedua ini mengakibatkan masing-masing distrik bisa mengirimkan wakil sebanyak 2 (dua) orang.
Berdasarkan tatanan (sistem) Pemilihan distrik semacam ini, maka keuntungan yang dapat diperoleh adalah :
1. Hubungan antara rakyat dengan "sang wakil" relatif dekat. Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan calon wakil rakyat yang tidak populer di masing-masing
distrik. Selain itu dalam perkembangan lebih lanjut
sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai Politik, karena dalam Pemilihan
distrik,
rakyat memilih
orang. Bukan Partai Politik.
2. Sistem ini mendorong penyatuan partai-partai
(khususnya
jika suatu negara itu
mempergunakan sistem multi
partai). Hal
ini disebabkan calon yang terpilih di masing-masing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan terpilihnya
mereka ini semata-mata
hanya karena kepopuleran dan kredibilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partai-partai politik itu
bergabung untuk mencalonkan seseorang yang lebih "mumpuni" diantara mereka. Calon yang mumpuni itu belum tentu
berasal dari satu partai. Bahkan ada kemungkinan adalah calon independen dan non partisan.
3. Organisasi
dari penyelenggaraan pemilihan dengan sistem distrik ini relatif sederhana. Tidak memerlukan banyak orang dan banyak
birokrasi untuk
menyusun kepanitiaan Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah dan penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang terbuang tidak perlu diperhitungkan.
4. Dengan mempergunakan sistem distrik, maka ada kemungkinan pertumbuhan Partai
Politik yang cenderung sektarian, ideologis/aliran, dan primordialisme menjadi berkurang. Hal ini mengingat tokoh-tokoh politik
yang terpilih menjadi wakil masing-masing distrik lebih mengedepankan
kepentingan rakyat
di masing-masing
distrik, ketimbang kepentingan kelompok Partai yang justru kadangkala menyimpang dari kepentingan rakyat banyak.
Sedangkan kelemahan dan sistem pemilihan distrik, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Banyak suara yang terbuang. Bahkan ada kemungkinan
terjadi fenomena Low
representative Versus
High
representative.
Artinya Calon yang menjadi
wakil dari suatu distrik, pada hakikatnya
hanya memperoleh suara minoritas (Low Representative) yang ada di distrik yang
bersangkutan,
jikalau
dibandingkan
jumlah total suara (High Representative) dari calon-calon lain di distrik tersebut. Contohnya : Calon A : 40 suara.
Calon B : 39 suara. Calon C : 25
suara. Calon D : 20 Suara. Calon E : 15 suara.
Berdasarkan suara tersebut maka Wakil Rakyat dari Distrik tersebut adalah A.
Akan tetapi bila dilihat
jumlah total perolehan
suara (B+C+D+E), maka representasi dari calon A di distrik tersebut adalah rendah (Low representative).
2. Menyulitkan bagi Partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas untuk
mempunyai wakil di
Lembaga
Perwakilan Rakyat.
Apalagi mereka ini terpencar dalam berbagai distrik pemilihan.
b. Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum
seperti ini adalah mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen
Pusat
diperebutkan dalam suatu
Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam
pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000.
Imbangan suara seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara 400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai 1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini,
negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan
Umum (Partai Politik/Golongan
Politik) memperoleh kursi/wakil di
Parlemen Pusat.
Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu
negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilihan.
Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan faktor-faktor politik
lainnya - kursi yang
tersedia di Parlemen Pusat yang akan diperebutkan
dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu
dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang sering disebut Multy
member constituency. Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.
Contoh yang
dapat dipergunakan
untuk memperjelas sistem ini adalah : Misalnya suatu negara yang mempunyai 30 kursi di Parlemen akan menyelenggarakan
Pemilihan Umum dengan sistem proporsional. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah :
- Pertama : dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada daerah-
daerah pemilihan, misalnya ada 4 (empat) daerah pemilihan.
- Kedua: dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan sebagainya, maka ditentukan sebagai berikut :
Daerah Pemilihan A: 10 kursi. Daerah Pemilihan B : 7 kursi. Daerah Pemilihan C: 7 kursi. Daerah Pemilihan D : 6 kursi.
- Ketiga
:
misalnya kursi yang
berada di
daerah
pemilihan A yang
berjumlah 10 dibagikan kepada Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan
Umum sesuai dengan imbangan
suara
yang diperoleh dalam pemilihan umum yang bersangkutan.
- Keempat :
dari hasil yang diperoleh
tersebut, Partai politik/golongan
politik dapat menentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di Parlemen dengan berlandaskan pada stelsel daftar calon anggota Parlemen.
Stelsel
daftar ini tersusun berdasarkan
nomor
urut. Oleh sebab itu nomor urut yang paling atas-lah yang memungkinkan untuk dapat dipilih oleh
Partai politik yang bersangkutan sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik
peserta Pemilihan
Umum - maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa
suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang
terbuang sangat sedikit, merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan
wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung
kelemahan yang cukup substansiil, yaitu :9
1. Sistem ini mempermudah
fragmentasi
partai dan timbulnya partai- partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan
sistem proposional justru menjurus
kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada.
Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan
memanfaatkan persamaan- persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta Politik
justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2. Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya,
yaitu Partai Politik.
Kurang memiliki
loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini
disebabkan oleh adanya anggapan bahwa keberadaan Partai
Politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan dari pada kemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih Partai Politik. Bukan memilih seorang wakil.
3. Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem
ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada
9 Ibid, hlm. 180
umumnya penentuan pemerintahan
didasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih.
Disamping kedua sistem tersebut di
atas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, Partai politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan abjad. Bukan nomor urut.
Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara,
rakyat pemilih disamping "mencoblos" Partai Politik yang dikehendaki,
mereka juga memilih nama-nama calon wakil yang diajukan oleh Partai politik yang bersangkutan. Cara semacam ini
dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih
condong mementingkan kepentingan Partai Politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini,
diharapkan wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hal
ini mengingat
walaupun
dia dicalonkan
oleh Partai politik, namun secara definitif dapat atau tidaknya dia
duduk di DPR semata-mata sangat tergantung pada
hasil
pilihan
rakyat yang
diambil
dari daftar
calon tersebut.
Menurut Pasal 2 Undang-undang tentang Pemilihan Umum,
pelaksanaan Pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
adil, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Perluasan
asas pemilu
semacam ini
memang dirasa terlalu "membabi-buta". Akan tetapi. berdasarkan pengalaman Pemilu di
Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang
masuk
akal jika
asas-asas Pemilihan umum tersebut
dikembangkan sedemikian rupa.
Masih berkaitan dengan asas Pemilihan Umum. Di
dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-
2004 dan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan
pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya
atas dasar prinsip demokratis, langsung,
umum,
bebas,
rahasia,
jujur, adil
dan beradab.
Berkaitan dengan ketentuan semacam inilah, maka Undang-undang tentang
Pemilihan Umum mengembangkan asas Pemilihan Umum.10
Pengertian dan makna
asas-asas
Pemilu
Indonesia yang sedemikian komplek tersebut di atas, kalau diterjemahkan lebih singkat pada hakikatnya dipergunakan untuk memberikan landasan bagi
seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu. Hal ini berbeda dengan asas- asas Pemilu yang
pernah berlaku semasa Orde
Baru. Semasa Orde Baru asas-asas Pemilu yang dipergunakan hanyalah "LUBER" (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Asas-asas semacam ini pada hakikatnya hanya
dipergunakan pada
saat pemungutan suara.
Sementara untuk
10 Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.
memberikan landasan filosofis
bagi seluruh
rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu belum ada asasnya.
C. Tahap-tahap Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Tahapan Pemilihan Umum di Indonesia - sebagaimana dirancang oleh KPU -
pada prinsipnya melalui 10 (sepuluh) tahapan teknis. Secara singkat ke sepuluh tahapan teknis sesuai Pasal 4 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu
(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali
(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi :
a. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih b. Pendaftaran peserta pemilu
c. Penetapan peserta pemilu
d. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan
e. Pencalonan anggota
DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten kota
f. Masa kampanye g. Masa tenang
h. Pemungutan dan Penghitungan suara i. Penetapan hasil Pemilu
j. Pengucapan sumpah
janji anggota
DPR,
DPRD
Provinsi dan
DPRD Kab/Kota.
D. Kilas Balik Pemilu di Indonesia.
Dalam catatan sejarah Indonesia telah
menyelenggarakan 9 (sembilan)
kali Pemilu. Sejak Pemilu
tahun 1955, perkembangan
untuk mencapai masyarakat yang demokratis masih nampak suram. Kalaupun Pemilu
tahun
1955
dan Pemilu
tahun
1999
dikatakan banyak orang adalah Pemilu yang demokratis, namun kenyataan menunjukkan bahwa hasil-hasil
Pemilu dari kedua penyelenggaraan
Pemilu tersebut
tidak cukup signifikan untuk dipergunakan sebagai tolok ukur proses perjalanan sistem demokratis yang diidam-idamkan.
Dalam Pemilu tahun 1955 banyak analis politik dan
pakar ketatanegaraan
menganggap
bahwa Pemilu tersebut merupakan Pemilu yang paling demokratis yang pernah dilakukan di Indonesia. Kendatipun demikian, Herbert Feith mengemukakan
bahwa penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 sesungguhnya
merupakan bentuk kompromi politik Sukarno terhadap berbagai
tekanan yang muncul dari TNI soal
otoritas
pemerintahan yang korup dan nepotis, percekcokan
antar Partai Politik serta bancinya pemerintahan dalam menghadapi urusan-urusan
ekonomi.11 Kondisi sebagaimana digambarkan oleh Feith ini juga nampak
jelas dalam realitas politik menjelang
dan sesudah Pemilu
tahun 1999, yang
juga
dianggap sebagai salah satu Pemilu di Indonesia yang demokratis.
11 Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955.
Kondisi Politik menjelang Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru
sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) secara sistemik yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya
krisis multi-dimensional. Kondisi semacam ini yang kemudian mengakibatkan munculnya kompromi-kompromi dikalangan elit politik setelah
jatuhnya
Presiden Soeharto - untuk mempercepat pelaksanaan Pemilu pada tahun 1999.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara umum Pelaksanaan
Pemilu tahun 1999 memang lebih demokratis ketimbang Pemilu-pemilu semasa Orde Baru. Akan tetapi pelaksanaan yang demokratis tersebut tidak diimbangi dan dibarengi dengan kelanjutan mekanisme sistem ketatanegaraan yang demokratis pula. Bahkan
disana-sini cenderung kearah anarkhis.
Berbagai
kompromi politik pasca Pemilu tahun
1999 masih tetap
mendominasi
dalam penyelenggaraan
sistem ketatanegaraan. Konflik antara Eksekutif dan Legislatif memuncak dan tak terkendali.
Dalam negara demokratis, kompromi-kompromi politik seharusnya diletakkan dalam lingkup konstitusional (kelembagaan) demokratis secara konstitusional. Tidak hanya sekedar pertemuan-pertemuan
informal antar elit Partai Politik yang sifatnya jelas ekstra-konstitusional. Kita bisa mengambil beberapa contoh, diantaranya adalah penentuan Kabinet di Era KH. Abdurrahman ‘Gus Dur' Wahid dan Era Megawati Soekarno Putri
yang sarat dengan kompromi politik untuk
bagi-bagi "kue" kekuasaan. Contoh lain adalah pertemuan-pertemuan elit Partai Politik yang dilakukan di luar Parlemen dan semakin marak guna mengambil kesepakatan- kesepakatan politik dalam rangka menghadapi suatu moment ketatanegaraan tertentu, misalnya
menghadapi Sidang
Tahunan
(ST) MPR.
Contoh-contoh tersebut di atas mengakibatkan hasil Pemilu tahun
1999 hanya bermakna
demokratis
yang semu.
Rakyat sebagai subyek utama prinsip kedaulatan rakyat
masih tetap diletakkan
sebagai
obyek dari Partai-partai Politik dalam menancapkan hegemoninya untuk melanggengkan kekuasaan. Tragisnya proses
pembodohan rakyat masih terus saja berlangsung. Inilah gambaran
kilas balik Pemilu
yang dapat penulis kemukakan secara singkat. Semoga gambaran ini
dapat dipergunakan sebagai refleksi
untuk menyusun sistem ketatanegaraan dan Pemilu yang lebih demokratis dan aspiratif.
E. Partai Politik.
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di
Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan
dalam proses politik,
Dengan adanya gagasan
untuk melibatkan rakyat dalam proses
politik
(kehidupan dan aktifitas
ketatanegaraan), maka
secara spontan
Partai Politik
berkembang
menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.12
Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa
sebagai organisasi yang
secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham demokrasi dan
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Sudah banyak definisi yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai pengertian Partai
Politik tersebut. Definisi-definisi tersebut
antara lain :13
1. Carl J. Friedrich: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil.
2. R.H. Soltou: Sekelompok warganegara yang sedikit banyak
terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
3. Sigmund
Neumann: Organisasi dari aktivis-aktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan
serta
merebut
12 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, him. 159.
13 Ibid, hlm. 160-161
0 comments:
Post a Comment