Saturday, April 09, 2016

Analisis Teori Konflik


BAB I
PENDAHULUAN

            Manusia hidup memiliki status sebagai makhluk sosial. Secara sederhana bisa diartikan manusia memiliki keterbutuhan akan manusia  lainnya.Namun, manusia juga memiliki naluri alamiah untuk menginginkan sesuatu atau memenuhi kebutuhan. Faktor dasar ini menjadi acuan bahwa manusia akan senantiasa memenuhi kebutuhan, sementara sumber daya yang ada bisa diakatakan terbatas. Hal itu menjadikan manusia baik sebagai individu ataupun kelompok saling bertentangan.Pertentangan adalah sebuah bagian penyebab konflik.Atau bahkan konflik sendiri ialah pertentangan.
            Teori Konflik muncul sebagai gagasan yang menentang teori fungsionalisme struktural. Teori fungsionalisme strukturalmemandang  masyarakat cenderung kepada konsensus atau harmoni. Marx dan Weber menolak tegas hal tersebut.Tidak mengeherankan karena struktural sosial masyarakat begitu kompleks.Pengorganisasian sosial tidak sesederhana yang dibayangkan.Anggapan masyarakat harmoni dianggap cenderung normatif. Keterbatasan akan sumber daya itulah yang membuat manusia satu yang lainnya terlihat membuat konsensus padahal terus berkonflik.
           
Rumusan Masalah
            Dengan melihat faktor diatas, maka teori konflik menjadi menarik untuk dikaji.Hal itu berkaitan dengan bagaimana sejarah dari teori konflik.Para tokoh yang menggaggasnya.Subtansi dari teori ini. Kemudian, seperti apa relevansi teori konflik terhadap realitas sosial.Bagiamanapun, pendekatan konflik adalah sebuah cara untuk mengupas fakta sosial secara mendalam.

BAB II
PEMBAHASAN

            Sebelum Teori konflik muncul, teori fungsionalisme struktural  telah mapan di dalam kajian sosiologi. Penggagasnya yaitu Augeste Comte (1798-1857), Herbert Spencer ((1820-1930), Emile Durkheim (1858-1917), A.R Radcliffe-Brown (1881-1955), Brownislaw Malinowski (1884-1942), Talcott Parsons (1902-1979), Robert K. Merton (1911-2003). Teori ini berusaha menaganologikan masyarakat dengan organisme biologis.
            Teori ini memandang bahwa sistem sosial harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu sebagai syarat keberlangsungan sistem sosial tersebut.Teori ini mementingkan keteraturan dalam sistem sosial dan mengabaiakan konflik. Artinya adanya konflik hanyalah pergesekan kecil yang kemudian tidak akan merusak sistem sosial dan justru menguatkan sistem sosial. Selanjutnya, disfungsi akan teratasi sendiri melalui proses institusionalisasi. Menurut Parsons, sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna namun sistem sosial akan bergerak ke arah equilibrium.
            Teori konflik bertentangan dengan fungsionalisme struktural.Hal itu karena teori konflik memandang tidak mungkin terjadi keseimbangan atau equilibrium jika dalam masyarakat atau sistem sosial terdapat konflik.Konflik lahir karena keterbatasan sumber daya dan menurut Hobbes naluri alamiah manusia untuk memenuhi ego. Sehingga konflik akan senantiasa ada dalam sistem sosial.
            Tokoh teori konflik adalah Karl Marx dan Max weber.Keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai konflik.Perbedaan gagasan keduanya terletak pada Marx yang cenderung memandang konflik dari sudut pandang material sementara Weber non-material. Oleh karena itu, teori konflik modern pun terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu teori konflik neo-Marxian dan teori konflik neo-Weberian.

            Pemikiran Marx memandang masyarakat dalam pendekatan kelas.Karl Mark (stepehen K. Anderson, 1993:12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi.Sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi.Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelas-kelas sosial berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan produksi. Dalam masyarakat yang telah terbagi berdasarkan kelas, maka kelas sosial yang memiliki kekuatan-kekuatan produksi dapat mensub-ordinasikan kelas-kelas sosial yang lain sekaligus memaksanya untuk bekerja memenuhi kepentingannya. Jadilah kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. Secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersub-ordinasi ini akan marah karena dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelasnya. Dalam situasi ini, hanya Negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.
            Dengan pemikiran demikian, Marx telah melakukan pendekatan konflik. Artinya masyarakat terpecah dan akan berkonflik ketika kelas tertentu memiliki faktor produksi sementara kelas yang lain tidak memiliki faktor produksi. Dalam uraian selanjutnya, Marx menyebut kelas yang memiliki faktor produksi adalah kaum borjuis dan kelas yang tidak  memilikifaktor produksi adalah kaum proletar. Maka yang terjadi adalah adanya “penindasan” oleh kaum borjuis kepada kaum proletar.“Penindasan” itu berupa pemaksaan terhadap kaum proletar untuk memenuhi kepentingan kaum borjuis.Inilah yang disebut ekploitasi ekonomi. Sekeras apapun usaha kaum proletar justru akan memperkaya kaum borjuis. Dampaknya, akanada kemarahan yang berujung revolusi untuk membuat ketertiban sosial dari kaum proletar.
Analisis Marx menjadi inspirasi pendekatan konflik modern.Dalam hal ini Stephen k Sanderson (1993:12) menyebutkan bahwa, beberapa strategi konflik marsian-modern adalah sebagai berikut:
1.      Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan diantara dan didalam kelompok-kelompok yang bertentangan.
2.      Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politik merupakan hal penting, sehingga berbagai kelompok berusaha merebutnya.
3.      Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
4.      Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5.      Konflik dan pertentangan sosial didalam dan diantara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakan perubahan sosial.
6.      Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial menjadi hal yang umum dan sering terjadi.

Selanjutnya Weber memiliki pandangan yang berbeda. Menurut R. Collins (Stephen K. Anderson 1993: 13), Weber meyakini bahwa konflik terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui bahwa konflik dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial. Tetapi jangan dilupakan bahwa banyak tipe-tipe konflik lain yang juga terjadi. Diantara berbagai tipe konflik tersebut, Weber menekankan dua tipe yang sangat penting.
Pertama, yaitu bahwa konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri ; ia berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi- organisasi politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti organisasi keagamaan dan pendidikan.
Kedua, adalah tipe konflik dalam hal gagasan dan cita-cita.Ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia terbuka, baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup kultual yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan, tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnya, misalnya pertentangan politik. Jadi orang dapat berkelahi untuk memperoleh kekuasaan dan pada saat yang sama, berusaha saling meyakinkan satu sama lain bahwa bukan kekuasaan itu yang mereka tuju tetapi kemenangan prinsip-prinsip yang secara etis dan filosofis benar.
Jadi, secara subtansial perbedaan antara Marx dan Weber adalah 1) Marx berpendapat bahwa konflik disebabkan adanya pertentangan antar kelas.Dalam hal ini antara kaum proletar dan kaum borjuis.Konflik tersebut disebabkan karena faktor kepemilikan faktor produksi. Sehingga menurut Marx ketika kapitalis dihentikan dan diganti dengan sosialis maka konflik akan terhenti. 2) Weber berpendapat bahwa pertentangan adalah kesemestian dalam kehidupan masyarakat. Ia percaya sistem apapun, baik kapitalis ataupun sosialis orang akan senantiasa berkonflik untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas.
Tokoh utama setelah Marx dan Weber adalah Ralp dahdendorf dan Lewis  A.Coser. Lewis A. Coser memiliki pandangan berbeda dalam sudut pandang tertentu dengan pendahulunya. Ia tidak memandang teori konflik itu versus dari fungsionalismestruktural. Coser berkomitmen untuk menggabungkan kedua pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Margaret M.Poloma, 1992:103) mengakui bahwa beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukan pada proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistis dan tidak realistis.Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan ditunjuk pada obyek yang dianggap mengecewakan.Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen merupakan contoh dari konflik realistis, sejauh manajemen memang berkuasa dalam hal kenaikan gaji serta berbagai keuntungan buruh lainnya. Adapun konflik yang tidak realistis adalah yang bukan dari tujuan-tujuan saingan antagonis,  tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan., paling tidak dari satu pihak. Contoh lain dalam hubungan antar kelompok, pengkambing hitaman digunakan untuk menggambarkan keadaan saat seseorang menggunakan kelompok pengganti sebagai objek tersangka dengan tidak melepaskan prasangka mereka terhadap kelompok lawan.
Dengan demikian, teori konflik menurut Coser memiliki 2 pendekatan.Yaitu, Konflik realistis dan tidak realistis.Selanjutnya Coser mengemukakan bahwa pemisahan keduanya sulit ketika konflik terjadi dalam hubungan sosial yang intim.Coser juga mengutip hasil pengamatan George Simmel yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat justru dapat memantapkan keseimbangan dan keutuhan.Sejauh ini, jelas Coser melakukan penyatuan atas teori konflik dan teori fungsionalisme struktural.
Selain Coser, tokoh konflik kontemporer ialah Ralf Dahdendorf. Pemikirannya menggunakan landasan teori dengan menolak dan menerima bagian-bagian tertentu dari Marx.Ralf Dahdenrof (Margaret M. Poloma, 1952:45) menggunakan teori perjuangan kelas marsian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat indistri kontemporer.Kelas tidak berarati pemilikan saran-sarana produksi seperti yang mencakup hak absah untuk mengusai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada diseputar pengendalian kekuasaan.Dahdenrof melihat kelompok-kelompok pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mamapu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui perubahan semua kelompok menjadi kelompok kepentingan yang mampu memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari kepentingan- kepentingan itu dan kemudian merupakan jembatan di atas mana perubahan sosial terjadi.Berbagai usaha harus diarahkan untuk mengatur pertentangan sosial melalui institusionalisasi yang efektif daripada melalui penekanan pertentangan itu.
Ia juga mengkritisi teori Marx. Pandangan Dahdenrof (Margaret M. Poloma, 1992: 134) tentang alasan teoritis utama mengapa revolusi ala Marx tidak terjadi, ini disebabkan karena pertentangan yang ada cenderung diatur melalui institusionalisasi.Pengaturan atau institusionalisasi terbukti dari timbulnya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial serta mengatur konflik antara buruh dan manajemen.Melalui institusionalisasi pertentangan tersebut, setiap masyarakat mampu mengatasi masalah-masalah baru yang timbul.Dahdenrof menyatakan bahwa institusionalisasi pertentangan kelas bermula dari pengakuan bahwa buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok kepentingan yang sah. Organisasi mengisyaratkan keabsahan kelompok-kelompok kepentingan, sehingga keberadaanya akan menghilangkan ancaman perang gerilya yang bersifat permanen dan biasanya dapat diperhitungkan. Pada saat yang sama hal ini membuat pengaturan pertentangan secara sistematis dimungkinkan, karena organisasi adalah institusionalisasi. Di dalam melancarkan kritik sosiologis terhadap teori Karl Marx, Dahdenrof mendukung dan menolak beberapa pernyataan Marx.Oleh karena perubahan sosial, sebagaimana yang diramalkan Marx melalui revolusi, ternyata tidak terjadi di Negara-negara Industri.Lebih daripada itu adalah jelas bahwa kelas-kelas sosial tidak lagi berdasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi sebagaimana yang dinyatakan Marx. Walaupun demikian ia mnerima ide pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian ia memodifikasi teori pertentangan kelas Marx dengan memasukkan perkembangan- perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Dengan demikian, Dahdendorf begitu cerdas menjawab mengapa ramalan Marx tidak terjadi. Selama ini, ramalan Marx yang fenomenal bahkan hingga mengatakan Negara akan lenyap seperti akan terbukti. Namun, Penyikapan dua kelas tersebut yang terinstitusionaliasi mampu meredam konflik yang parah dan mencapai konsensus.Penolakan beberapa pernyataan Marx juga sekaligus menjadi “revisi” bagi teori pertentangan kelas Marx.
Dahdendorf memberi tambahan yang mengaggumkan.Menurut Dahdenrof (Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan kelas harus dilihat sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi- asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Jika kelompok-kelompok yang bertentangan itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan maka mereka akan terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur sosial. Pertentangan antara buruh dan manajemen yang merupakan topik pembahasan utama bagi Marx misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh. Pada gilirannya serikat  buruh akan terlibat dalam pertentangan yang mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan perubahan-perubahan konkrit dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru, sebenarnya merupakan suatu perubahan yang berasal dari institusionalisasi pertentangan kelas.
Menurut Margaret M. Poloma (1992: 137-138), Dahdenrof menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua kelas yang sederhana dari Karl Marx.Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisis, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian.Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya dan tidak punya. Dalam menggantikan hubungan- hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahdenrof menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak bisa diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi- asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Kekayaan, status ekonomi dan status sosial, walaupun bukan merupakan determinan pencerminan kelas tetapi dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Dalam hal ini Dahdendorf mengajukan proposisinya yaitu, “ semakin rendah korelasi ekonomi lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya”. Dengan kata lain kelompok- kelompok yang menikmatri status ekonomi relatrif tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.









BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ulasan teori konflik yang diuraikan Marx, Weber, Coser, dan Dahdendorf menggambarkan sebuah sistem sosial tidak bisa lepas dari konflik.Namun, pandangan ini juga bisa dianggap terlalu pesimistis.Bagaiamana tidak, konflik dalam sudut tertentu bisa saja positif dan membangun. Karena dengan adanya konflik manusia akan berpikir. Berpikir untruk mencari pemecahan. Dan, Pemecahan konflik akan berujung konsensus yang tentu saja akan berdamapak pada pembaharuan nilai sosial yang jauh lebih baik. Memang pandangan Coser sedikit lebih halus karena berbicara akan fungsionalisme konflik. Sehingga cakupannya lebih kepada konflik yang berasal dari ketegangan yang tidak terinstitusionalisasi. Namun, teori konflik juga berhasil memaparkan realitas sosial apa adanya dan tidak normatif.
Dalam memahami atau membaca teori konflik perlu mengetahui terlebih dahulu teori fungsionalisme struktural.Karena menurut sudut pandang tertentu, seperti yang dikatakan Marx dan Weber, teori konflik merupakan penolakan terhadap teori fungsionalisme structural.Bagiamanapun, masyarakat yang menurut teori fungsionalisme structural adem ayem bertentangan sekali dengan teori konflik yang mengatakan pada dasarnya masyarakat senantiasa berkonflik dan bahkan konflik adalah kesemestian yang tidak bisa dihindarkan. Atau ungkapan penyatuan kedua teori ala Coser tidak akan bisa dipahami ketika tidak bisa memahami teori fungsionalisme structural.









Daftar Pustaka
Praja, Juhaya S. 2012. Teori-Teori Politik.Bandung: Pustaka Setia.
Wahyu, Ramdani.2007. Ilmu Sosial Dasar.Bandung: Pustaka Setia.
Naszir, Nasrullah. 2008. Sosiologi-Sosiologi. Bandung: Widya Padjdjaran.
Woodman, Davis. 1991. Konflik dan Konsensus dalam Sejarah Amerika Modern. Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press.
Zubir, Zaiyardam. 2010. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan  Sleman: INSISTPress.
Yuwanto.“ Gagasan Pengaduan Konstitusional dalam Konsepsi Negara Kesejahteraan di Indonesia. dalam FORUM, 1 Februari 2012.
Sulistyowati.Pro-Kontra Susunan Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu Tahap II.dalam FORUM, 1 Februari 2010.

0 comments: