The MOU Helsinky agreement between the government of Republic
of Indonesia and Aceh people issued
Aceh Government Act No. 11, 2006.
As a pluralistic country, it is almost impossible to run the
western democracy style in Indonesia. By using history method,
we will find that the Aceh Government
Act No. 11, 2006, contains the Consociational Democracy. The Consociational
Democracy is assumed to solve the democracy dillema which will meet the need of
democratization in the developing country.
Keyword: Consociational Democracy
1. Pendahuluan
Pergolakan daerah
Aceh pada akhirnya
selesai secara demokratis dengan ditandatanganinya Memorandum
of Understanding (MOU) di antara kedua
belah pihak yang bersengketa, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI. Hasil dari kesepakatan tersebut adalah Undang Undang Pemerintah Aceh No.11 Tahun 2006, yaitu
otonomi yang luas kepada Aceh.
Kondisi ini tentu
saja dapat dimaknai sebagai kemenangan bagi demokratisasi, yaitu
menyelesaikan masalah Aceh tanpa
menggunakan kekuatan senjata.
Dalam perpektif pembangunan politik, kesepakatan politik
yang dicapai itu merupakan bagian
dari proses pembangunan politik dan demokratisasi. Pokok masalahnya adalah bagaimana kedua hal tersebut dapat
memberikan implikasi yang luas terhadap sistem politik nasional, khususnya
terhadap pembangunan politik lokal. Secara
teoritis, kasus penyelesaian konflik Aceh tersebut dapat memberikan inspirasi
untuk menguji dan mengembangkan konsep teori dalam konteks
hubungan pemerintah pusat dan daerah ataupun model politik lokal yang khas di
dunia ketiga, khususnya bagi Indonesia.
Selanjutnya, Demokrasi dan Demokratisasi adalah merupakan
dua konsep yang saling berkaitan satu sama lain. Secara umumnya, demokrasi
menunjukkan pada makna konsep kedaulatan rakyat, sedangkan demokratisasi menunjukkan pada makna proses perubahan mengarah
pada tujuan yang menguatkan kedaulatan rakyat serta terbangunnya nilai-nilai demokrasi (Rauf, 1997:13). Namun, kedua istilah
atau konsep tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya, demokrasi menunjukkan pada
makna sebuah konsep kekuasaan rakyat, atau kehendak rakyat. Dalam pandangan
lain, demokratisasi dapat juga diartikan sebagai proses
perubahan politik ke arah yang lebih demokratis, yaitu ditandai dengan berakhirnya rezim otoriter, pembangunan sebuah rezim yang
demokratis, dan terjadinya pengonsolidasian rezim demokrasi (John Markoff 2002)
.
Demokratisasi dapat dicapai melalui pelbagai strategi, misalnya, perundingan, kompromi, dan
perjanjian dengan menempuh prosedur yang demokratis seperti demonstrasi,
kampanye, dan pemilihan umum serta penyelesaian perbedaan tanpa kekerasan
(Huntington, 1991:212). Dalam pandangan Mayo (1960:82), demokrasi akan terwujud
dalam sebuah negara apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut, pertama, menyelesaikan perselisihan dengan
damai secara institusi (institutionalized peaceful
settlement of conflict); kedua, menjamin
terselenggaranya perubahan secara
damai dengan menyelenggarakan
pergantian pimpinan secara teratur (orderly
succession of rulers); ketiga,
membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion); keempat, mengakui
serta menganggap wajar
adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat, yang tercermin dalam
keanekaragaman pendapat,
kepentingan, serta tingkah laku; kelima,
menjamin tegaknya keadilan.
Pandangan teoritis tersebut
dapat digunakan untuk menjelaskan proses pendemokrasian di tingkat politik lokal. Huntington (1991) menjelaskan,
keberlangsungan demokrasi ditentukan oleh perimbangan kekuatan politik yang membentuk
sifat proses demokratisasi. Apabila kelompok
konservatif mendominasi pemerintah, sedangkan kelompok radikal
mendominasi kelompok oposan, maka,
besar kemungkinan demokratisasi sukar tercapai. Transisi menuju demokrasi
akan lebih mudah dicapai jika kelompok-kelompok
prodemokrasi sama-sama dominan,
baik di pihak pemerintah maupun pihak oposisi.
Perubahan perimbangan tentu sangat bergantung
pada sejauhmana suatu kelompok politik tertentu memiliki kecenderungan pada
tiga hal, yaitu isu-isu demokratisasi, agenda demokratisasi dan faktor
kepentingan. Ketiga faktor ini pula yang akan memengaruhi konsolidasi demokrasi dan status-quo,
konflik dan perpecahan kelompok pembaharu. Faktor yang sangat mungkin
berpeluang memengaruhi jalannya demokratisasi adalah kelompok strategis,
terutama elit politik (Huntington,1991).
Pertumbuhan demokrasi sangat terkait dengan pelbagai
masalah pembangunan politik seperti masalah pelembagaan politik, kestabilan politik, dan integrasi politik. Pembangunan politik (Political Development) diartikan oleh Crouch (1982) ke dalam tiga makna, yakni perubahan, perkembangan, dan pembangunan. Perubahan politik
merupakan proses yang
biasanya dipersepsikan hanya
sekadar sebagai pertumbuhan lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokratik.
Dalam perkembangannya, hal tersebut lebih diasosiasikan dengan komplesitas, spesialisasi, dan diferensiasi yang semakin melekat
pada institusi- institusi politik
dalam masyarakat tanpa adanya pembedaan
karakter, baik demokratik
maupun otoritarian. Dengan kata lain, pembangunan politik tidak sekadar menggambarkan adanya perubahan dan perkembangan, tetapi yang paling mendasar
adalah tujuan dari perubahan atau perkembangan itu sendiri (Crouch, 1982:8).
Pada abad 21, menurut Fukuyama (1996), perubahan atau perkembangan politik
ditandai dengan kemenangan demokrasi. Menurut Huntington (1991), kecenderungan itu sudah dimulai
pada akhir 70-an.
Tujuan perubahan politik
kebanyakan negara lebih memilih demokrasi
sebagai pilihan sekaligus
menjadi tujuan dari pembangun sistem
politiknya. Secara empirik,
pertumbuhan dan jumlah negara yang demokratis meningkat tajam. Diamond
(2002:8), mengatakan bahwa pada 1997 terdapat 117
negara demokratis, kemudian jumlahnya telah meningkat menjadi 121 negara pada
rentang 2002.
Gejala politik yang menarik adalah penerapan demokrasi pada
banyak negara tersebut ditandai dengan keberhasilan membangun sistem politik yang
relatif lebih stabil. Fenomena ini berbeda dengan
pertumbuhan sistem demokrasi yang lahir pada awal 1940-an
atau pada gelombang demokratisasi kedua yang berlangsung singkat (Huntington, 1991). Banyak hal yang menyebabkan negara demokrasi berjalan secara tidak stabil, misalnya, karena
krisis pemerintahan, antara lain, pertama, tidak adanya akuntabilitas dan rule of law.
Keadaan ini ditandai dengan korupsi yang merajalela,
penyeludupan,
kekerasaan kriminal,
personalisasi, kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia; kedua, ketidakmampuan untuk mengatur
pembagian etnis serta wilayah secara damai dan terbuka; ketiga, krisis ekonomi atau stagnasi yang disebabkan oleh dari
kegagalan menjalankan liberalisasi reformasi ekonomi serta kegagalan dalam
meningkatkan tingkat integritas, kemampuan, dan profesionalisme birokrasi
negara. Masalah ini adalah tantangan
sekaligus ancaman pada negara demokrasi baru di seluruh dunia, tidak
terkecuali di Indonesia.
Pandangan teoritis di atas dapat digunakan untuk mejelaskan
penyebab konflik dan ketidakstabilan politik pada masa lalu maupun pada era demokrasi dalam hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah. Dalam beberapa kasus, misalnya, munculnya pemberontakan Komunis 1947, DI/TII/ 1952, Permesta 1958, Gerakan Aceh Merdeka,
Pemberontakan Rakyat Irian
pada 1970-an 2006. Sejarah panjang konflik antara pusat dengan daerah menjadi sumber ketidakstabilan politik dan
melemahkan integrasi politik di Indonesia. Dan pandangan teoritis di atas sangat relevan
sebagai alat analisis
untuk menjelaskan fenomena politik
paska orde baru,
dengan demokratisasi sebagai
tesis baru bagi perubahan dan pembangunan sistem
politik di Indonesia di masa mendatang, termasuk pembangunan politik lokal yang
demokratik.
Sebagai upaya untuk
membangun kembali integrasi politik, setiap negara melakukan proses pembangunaan politik.
Agpalo (1973), salah satu pakar ilmu
politik yang menawarkan konsep pembangunan politik, menjelaskan bahwa suatu
pembangunan politik perlu didahului dengan pembaharuan politik yang
diasosiasikan sebagai suatu proses perubahan dari tingkat otoritas, integrasi
nasional, dan partisipasi popular,
kemudian dilanjutkan dengan pembangunan politik yang diartikan sebagai
suatu proses perubahan dari kurang berkembang dan berfungsinya peraturan
perundang-undangan (rule of law),
keberadaban (civility) dan keadilan
sosial (social justice) menuju ke
arah kesempurnaan kualitas dan penegakannya. Dalam kaitan hubungan antara
pemerintah pusat dan lokal, elemen dari pembangunan politik itu menjadi
nilai substantif pada proses
demokratisasi politik lokal.
2. Dari Politik Kekerasan ke Jalan Demokrasi
Konflik
politik di Aceh
dapat dipahami melalui
pendekatan sejarah politik, sehingga dapat ditelusuri apa yang menjadi penyebab konflik berlangsung dalam waktu yang
panjang. Di samping itu, perbedaan budaya politik antara
Aceh
dan Jawa sebagai langgam kekuasaan
Jawa sangat mempengaruhi relasi antara kekuasaan pusat dan daerah.
2.1 sejarah dan perbedaan budaya politik
Pada abad XV, Kerajaan Aceh Darussalam, di bawah kepemimpinan
Sultan Alaudsin al-Kahrar dan dilanjutkan oleh
Sultan Iskandar Muda
Maeukuta Alam, adalah kerajaan Islam terbesar di Nusantara sampai ke
Semenanjung Malaka, serta kelima terbesar dunia. Penaklukan yang dilakukan
Aceh bukan menjajah suku bangsa lain
tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis. Pada masa kejayaannya, Aceh sudah menjalin
hubungan perdagangan dan diplomatik
dengan negara-negara tetangga, Timur Tengah
dan Eropa, antara lain, dalam
bentuk jalinan hubungan dengan kerajaan Demak, Pattani, Brunei Darussalam, Turki Usmani,
Inggris, Belanda, dan Amerika (Hasjmy,
Eksistensi Aceh ketika
itu adalah sebagai
suatu bangsa dan
negara yang telah memiliki pengaruh
atas sebagian wilayah Nusantara dan memiliki hubungan
diplomatik serta perdagangan dengan negara-negara besar di dunia. Peperangan
dengan kolonial Belanda adalah peperangan antar negara. Pada saat itu, Aceh
melakukan peperangan untuk memertahankan kedaulatan negara, bangsa dan agamanya,
bahkan ikut melindungi wilayah negara lain dari
intervensi negara asing. Nilai-nilai historis ini sangat memengaruhi persepsi,
sikap, dan orientasi politik rakyat
Aceh dalam hubungan
kekuasaan, bernegara, dan
hubungan dengan struktur kekuasaan di luar Aceh.
Kekerasan politik diAceh mulai
berkembang ketika ada
usaha kolonialisasi Barat, yaitu Portugis dan Belanda. Semenjak
itu, perang di Aceh tidak pernah
berhenti. Untuk dapat memahami makna kekerasan dalam politik
Aceh, kita dapat menyimak ungkapan
Van de Vier, seorang sejarawan
Belanda, sekaligus penulis buku Perang Aceh
yang judul aslinya
adalah De Acehhoorlog. Dia
mengatakan,“orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tidak dapat ditaklukan“ (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977). Ungkapan sejarawan ini merupakan
pengalaman sejarah yang dialami oleh pemerintah kolonial
Belanda yang tidak berhasil menduduki wilayah Aceh.
Lebih lanjut, Van de Vir mengatakan,“tahun
1873 peperangan Belanda di Aceh harus dianggap sebagai
peperangan besar dan dahsyat
yang berangsung terus menerus sejak tahun 1873 sampai saat Belanda mengundurkan diri dari Aceh untuk selama-selamanya dalam tahun
1942” (Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1977:26). Oleh karena itu, Adan
(2003:23-26), menyimpulkan bahwa dalam perjalanan
sejarah Aceh, wacana kekerasan pun tidak pernah
surut. Dalam perjalanan sejarah, kekerasan
di Aceh seolah matarantai yang tidak pernah putus. Mulai zaman prakolonial
abad 17 dan bahkan jauh sebelumnya hingga sekarang.
Sejak awal, budaya rakyat Aceh sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam dan nilai-nilai heroisme-populisme yang kemudian membentuk
identitas politiknya. Aceh adalah pintu gerbang pertama
masuk Islam ke Nusantara.
Penguatan nilai-nilai Islam di
Aceh sudah berlangsung lama, sehingga Aceh dijuluki sebagai
Serambi Mekah. Pembudayaan
nilai-nilai Islam di Aceh
memiliki kekhasan yang berbeda dengan negeri-negeri lainnya di Indonesia corak Islam di Aceh mengalami
akulturasi dengan nilai-nilai setempat. Wujud nilai-nilai Islam di Aceh lebih murni daripada di Jawa atau negeri-negeri lain yang berakulturasi dengan
nilai Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan strategi
dakwah para Wali Songo yang cenderung kompromi dengan nilai-nilai tradisi Jawa, sehingga sosialisasi nilai Islam lebih menempuh jalan
evolusi (Nurcholis Majid,
2001) .
Berbeda dengan penyebaran Islam di pesisir
terutama di Jawa Timur dan
sebagian pesisir Jawa Tengah,
di pesisir ini nilai-nilai Islam lebih murni karena
disebarkan oleh para pedagang. Daerah pesisir Jawa ini
merupakan tempat kelahiran dari partai-partai Islam modernis seperti
Masyumi pada 1955 dan PPP pada
masa Orde Baru, sedangkan budaya Jawa-Hindu sangat dominan di daerah
Jawa Tengah yang merupakan
pusat dari kerajaan
Jawa --- Keraton
Yogyakarta dan Solo. Di Daerah Jawa
Tengah ini yang merupakan
tempat kelahiran dari partai Nasionalis seperti PNI 1955 dan PDI Orde Baru, pada umumnya elit-elit politik, birokrasi, dan militer
berasal dan didominasi oleh etnis Jawa Tengah.
Sepanjang sejarah, partai-partai islam seperti Masyumi
dan PPP unggul di Aceh, sedangkan
partai pemerintah (Golkar)
pada masa Orba Baru hanya berjaya pada pemilu 1992. Namun, ketika konflik muncul, Golkar mengalami kekalahan dan para pemilih
beralih kembali ke partai islam PPP. Bahkan, ketika Pemilu, Amien Rais, mantan Ketua Umum Pengurus
Pusat Muhammadyah memperoleh kemenangan di Aceh, sementara itu, di Jawa Tengah,
tempat Amien Rais bermukim justru dia kalah telak oleh Megawati dan
Soesilo Bambang Yudhono dari partai nasionalis
sekuler. Fenomena
partai politik ini menggambarkan, dari segi orientasi
politik, Aceh dan Jawa memang berbeda.
Pembenaran tesis ini diperkuat
oleh sejarah konflik antara pemerintah Pusat dengan Aceh yang memiliki perbedaan sudut pandang
di dalam melihat sistem pemerintahan dan relasi kekuasaan antara pusat-daerah
(Jakarta-Aceh).
0 comments:
Post a Comment