Wednesday, April 06, 2016

PILKADA DAN DEMOKRASI KONSOSIASIONAL DI ACEH




The MOU Helsinky agreement between the government of Republic of Indonesia and Aceh people issued Aceh Government Act No. 11, 2006. As a pluralistic country, it is almost impossible to run the western democracy style in Indonesia. By using history method,  we will find that the Aceh Government Act No. 11, 2006, contains the Consociational Democracy. The Consociational Democracy is assumed to solve the democracy dillema which will meet the need of democratization in the developing country.


Keyword: Consociational Democracy

1. Pendahuluan
Pergolakan daerah Aceh pada akhirnya selesai secara demokratis dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MOU) di antara kedua belah pihak yang bersengketa, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI. Hasil dari kesepakatan tersebut adalah Undang Undang Pemerintah Aceh No.11 Tahun 2006, yaitu otonomi yang luas kepada Aceh. Kondisi ini tentu saja dapat dimaknai sebagai kemenangan bagi demokratisasi, yaitu menyelesaikan masalah Aceh tanpa menggunakan kekuatan senjata.
Dalam perpektif pembangunan politik, kesepakatan politik yang dicapai itu merupakan bagian dari proses pembangunan politik dan demokratisasi. Pokok masalahnya adalah bagaimana kedua hal tersebut dapat memberikan implikasi yang luas terhadap sistem politik nasional, khususnya terhadap pembangunan politik lokal. Secara teoritis, kasus penyelesaian konflik Aceh tersebut dapat memberikan inspirasi untuk menguji dan mengembangkan konsep teori dalam konteks hubungan pemerintah pusat dan daerah ataupun model politik lokal yang khas di dunia ketiga, khususnya bagi Indonesia.
 Selanjutnya, Demokrasi dan Demokratisasi adalah merupakan dua konsep yang saling berkaitan satu sama lain. Secara umumnya, demokrasi menunjukkan pada makna konsep kedaulatan rakyat, sedangkan demokratisasi menunjukkan pada makna proses perubahan mengarah pada tujuan yang menguatkan kedaulatan rakyat serta terbangunnya nilai-nilai demokrasi (Rauf, 1997:13). Namun, kedua istilah atau konsep tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya, demokrasi menunjukkan pada makna sebuah konsep kekuasaan rakyat, atau kehendak rakyat. Dalam pandangan lain, demokratisasi dapat juga diartikan sebagai proses perubahan politik ke arah yang lebih demokratis, yaitu ditandai dengan berakhirnya rezim otoriter, pembangunan sebuah rezim yang demokratis, dan terjadinya pengonsolidasian rezim demokrasi (John Markoff 2002)
.
Demokratisasi dapat dicapai melalui pelbagai strategi, misalnya, perundingan, kompromi, dan perjanjian dengan menempuh prosedur yang demokratis seperti demonstrasi, kampanye, dan pemilihan umum serta penyelesaian perbedaan tanpa kekerasan (Huntington, 1991:212). Dalam pandangan Mayo (1960:82), demokrasi akan terwujud dalam sebuah negara apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut, pertama, menyelesaikan perselisihan dengan damai secara institusi (institutionalized peaceful settlement of conflict); kedua, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dengan menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers); ketiga, membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion); keempat, mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat, yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku; kelima, menjamin tegaknya keadilan.
Pandangan teoritis tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan proses pendemokrasian di tingkat politik lokal. Huntington (1991) menjelaskan, keberlangsungan demokrasi ditentukan oleh perimbangan kekuatan politik yang membentuk sifat proses demokratisasi. Apabila kelompok konservatif mendominasi pemerintah, sedangkan kelompok radikal mendominasi kelompok oposan, maka, besar kemungkinan demokratisasi sukar   tercapai. Transisi menuju demokrasi akan lebih mudah dicapai jika kelompok-kelompok prodemokrasi sama-sama dominan, baik di pihak pemerintah maupun pihak oposisi. Perubahan perimbangan tentu sangat bergantung pada sejauhmana suatu kelompok politik tertentu memiliki kecenderungan pada tiga hal, yaitu isu-isu demokratisasi, agenda demokratisasi dan faktor kepentingan. Ketiga faktor ini pula yang akan memengaruhi konsolidasi demokrasi dan status-quo, konflik dan perpecahan kelompok pembaharu. Faktor yang sangat mungkin berpeluang memengaruhi jalannya demokratisasi adalah kelompok strategis, terutama elit politik (Huntington,1991).
Pertumbuhan demokrasi sangat terkait dengan pelbagai masalah pembangunan politik seperti masalah pelembagaan politik, kestabilan politik, dan integrasi politik. Pembangunan politik (Political Development) diartikan oleh Crouch (1982) ke dalam tiga makna, yakni perubahan, perkembangan, dan pembangunan. Perubahan politik merupakan proses yang biasanya dipersepsikan hanya sekadar sebagai pertumbuhan lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokratik. Dalam perkembangannya, hal tersebut lebih diasosiasikan dengan komplesitas, spesialisasi, dan diferensiasi yang semakin melekat pada institusi- institusi politik dalam masyarakat tanpa adanya pembedaan karakter, baik demokratik maupun otoritarian. Dengan kata lain, pembangunan politik tidak sekadar menggambarkan adanya perubahan dan perkembangan, tetapi yang paling mendasar adalah tujuan dari perubahan atau perkembangan itu sendiri (Crouch, 1982:8). Pada abad 21, menurut Fukuyama (1996), perubahan atau perkembangan politik ditandai dengan kemenangan demokrasi. Menurut Huntington (1991), kecenderungan itu sudah dimulai pada akhir 70-an. Tujuan perubahan politik kebanyakan negara lebih memilih demokrasi sebagai pilihan sekaligus menjadi  tujuan dari pembangun sistem politiknya. Secara empirik, pertumbuhan dan jumlah negara yang demokratis meningkat tajam. Diamond (2002:8), mengatakan bahwa pada 1997 terdapat 117 negara demokratis, kemudian jumlahnya telah meningkat menjadi 121 negara pada rentang 2002.
Gejala politik yang menarik adalah penerapan demokrasi pada banyak negara tersebut ditandai dengan keberhasilan membangun sistem politik yang relatif lebih stabil. Fenomena ini berbeda dengan pertumbuhan sistem demokrasi yang lahir pada awal 1940-an atau pada gelombang demokratisasi kedua yang berlangsung singkat (Huntington, 1991). Banyak hal yang menyebabkan negara demokrasi berjalan secara tidak stabil, misalnya, karena krisis pemerintahan, antara lain, pertama, tidak adanya akuntabilitas dan rule of law. Keadaan ini  ditandai  dengan  korupsi yang  merajalela,  penyeludupan,  kekerasaankriminal, personalisasi, kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia; kedua, ketidakmampuan untuk mengatur pembagian etnis serta wilayah secara damai dan terbuka; ketiga, krisis ekonomi atau stagnasi yang disebabkan oleh dari kegagalan menjalankan liberalisasi reformasi ekonomi serta kegagalan dalam meningkatkan tingkat integritas, kemampuan, dan profesionalisme birokrasi negara. Masalah ini adalah tantangan sekaligus ancaman pada negara demokrasi baru di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Pandangan teoritis di atas dapat digunakan untuk mejelaskan penyebab konflik dan ketidakstabilan politik pada masa lalu maupun pada era demokrasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam beberapa kasus, misalnya, munculnya pemberontakan Komunis 1947, DI/TII/ 1952, Permesta 1958, Gerakan Aceh Merdeka, Pemberontakan Rakyat Irian pada 1970-an 2006. Sejarah panjang konflik antara pusat dengan daerah menjadi sumber ketidakstabilan politik dan melemahkan integrasi politik di Indonesia. Dan pandangan teoritis di atas sangat relevan sebagai alat analisis untuk menjelaskan fenomena politik paska orde baru, dengan demokratisasi sebagai tesis baru bagi perubahan dan pembangunan sistem politik di Indonesia di masa mendatang, termasuk pembangunan politik lokal yang demokratik.
Sebagai upaya untuk membangun kembali integrasi politik, setiap negara melakukan proses pembangunaan politik. Agpalo (1973), salah satu pakar ilmu politik yang menawarkan konsep pembangunan politik, menjelaskan bahwa suatu pembangunan politik perlu didahului dengan pembaharuan politik yang diasosiasikan sebagai suatu proses perubahan dari tingkat otoritas, integrasi nasional, dan partisipasi popular, kemudian dilanjutkan dengan pembangunan politik yang diartikan sebagai suatu proses perubahan dari kurang berkembang dan berfungsinya peraturan perundang-undangan (rule of law), keberadaban (civility) dan keadilan sosial (social justice) menuju ke arah kesempurnaan kualitas dan penegakannya. Dalam kaitan hubungan antara pemerintah pusat dan lokal, elemen dari pembangunan politik itu menjadi nilai substantif pada proses demokratisasi politik lokal.
2. Dari Politik Kekerasan ke Jalan Demokrasi
Konflik politik di Aceh dapat dipahami melalui pendekatan sejarah politik, sehingga dapat ditelusuri apa yang menjadi penyebab konflik berlangsung dalam waktu yang  panjang. Di samping itu, perbedaan budaya politik antara




Aceh dan Jawa sebagai langgam kekuasaan Jawa sangat mempengaruhi relasi antara kekuasaan pusat dan daerah.

2.1 sejarah dan  perbedaan budaya politik
Pada abad XV, Kerajaan Aceh Darussalam, di bawah kepemimpinan Sultan Alaudsin al-Kahrar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Maeukuta Alam, adalah kerajaan Islam terbesar di Nusantara sampai ke Semenanjung Malaka, serta kelima terbesar dunia. Penaklukan yang dilakukan Aceh bukan menjajah suku bangsa lain tetapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis. Pada masa kejayaannya, Aceh sudah menjalin hubungan perdagangan dan  diplomatik  dengan  negara-negara  tetangga, Timur Tengah  dan  Eropa, antara lain, dalam bentuk jalinan hubungan dengan kerajaan Demak, Pattani, Brunei Darussalam, Turki Usmani, Inggris, Belanda, dan Amerika (Hasjmy,
Eksistensi Aceh  ketika  itu  adalah  sebagai  suatu  bangsa  dan  negara yang telah memiliki pengaruh atas sebagian wilayah Nusantara dan memiliki hubungan diplomatik serta perdagangan dengan negara-negara besar di dunia. Peperangan dengan kolonial Belanda adalah peperangan antar negara. Pada saat itu, Aceh melakukan peperangan untuk memertahankan kedaulatan negara, bangsa dan agamanya, bahkan ikut melindungi wilayah negara lain dari intervensi negara asing. Nilai-nilai historis ini sangat memengaruhi persepsi, sikap, dan orientasi politik rakyat Aceh dalam hubungan kekuasaan, bernegara, dan hubungan dengan struktur kekuasaan di luar Aceh.
Kekerasan politik diAceh mulai berkembang ketika ada usaha kolonialisasi Barat, yaitu Portugis dan Belanda. Semenjak itu, perang di Aceh tidak pernah berhenti. Untuk dapat memahami makna kekerasan dalam politik Aceh, kita dapat menyimak ungkapan Van de Vier, seorang sejarawan Belanda, sekaligus penulis buku Perang Aceh yang judul aslinya adalah De Acehhoorlog. Dia mengatakan,“orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tidak dapat ditaklukan“ (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977). Ungkapan sejarawan ini merupakan pengalaman sejarah yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda yang tidak berhasil menduduki wilayah Aceh. Lebih lanjut, Van de Vir mengatakan,“tahun
1873 peperangan Belanda di Aceh harus dianggap sebagai peperangan besar dan dahsyat yang berangsung terus menerus sejak tahun 1873 sampai saat Belanda mengundurkan diri dari Aceh untuk selama-selamanya dalam tahun




1942” (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977:26). Oleh karena itu, Adan (2003:23-26), menyimpulkan bahwa dalam perjalanan sejarah Aceh, wacana kekerasan pun tidak pernah surut. Dalam perjalanan sejarah, kekerasan di Aceh seolah matarantai yang tidak pernah putus. Mulai zaman prakolonial abad 17 dan bahkan jauh sebelumnya hingga sekarang.
Sejak awal, budaya rakyat Aceh sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam dan nilai-nilai heroisme-populisme yang kemudian membentuk identitas politiknya. Aceh adalah pintu gerbang pertama masuk Islam ke Nusantara. Penguatan nilai-nilai Islam di Aceh sudah berlangsung lama, sehingga Aceh dijuluki  sebagai  Serambi  Mekah.  Pembudayaan  nilai-nilai  Islam  di Aceh memiliki kekhasan yang berbeda dengan negeri-negeri lainnya di Indonesia corak Islam di Aceh mengalami akulturasi dengan nilai-nilai setempat. Wujud nilai-nilai Islam di Aceh lebih murni daripada di Jawa atau negeri-negeri lain yang berakulturasi dengan nilai Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan strategi dakwah para Wali Songo yang cenderung kompromi dengan nilai-nilai tradisi Jawa, sehingga sosialisasi nilai Islam lebih menempuh jalan evolusi (Nurcholis Majid, 2001) .
Berbeda dengan penyebaran Islam di pesisir terutama di Jawa Timur dan sebagian pesisir Jawa Tengah, di pesisir ini nilai-nilai Islam lebih murni karena disebarkan oleh para pedagang. Daerah pesisir Jawa ini merupakan tempat kelahiran dari partai-partai Islam modernis seperti Masyumi pada 1955 dan PPP pada masa Orde Baru, sedangkan budaya Jawa-Hindu sangat dominan di daerah Jawa Tengah yang merupakan pusat dari kerajaan Jawa --- Keraton Yogyakarta dan Solo. Di Daerah Jawa Tengah ini yang merupakan tempat kelahiran dari partai Nasionalis seperti PNI 1955 dan PDI Orde Baru, pada umumnya elit-elit politik, birokrasi, dan militer berasal dan didominasi oleh etnis Jawa Tengah.
Sepanjang sejarah, partai-partai islam seperti Masyumi dan PPP unggul di Aceh, sedangkan partai pemerintah (Golkar) pada masa Orba Baru hanya berjaya pada pemilu 1992. Namun, ketika konflik muncul, Golkar mengalami kekalahan dan para pemilih beralih kembali ke partai islam PPP. Bahkan, ketika Pemilu, Amien Rais, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadyah memperoleh kemenangan di Aceh, sementara itu, di Jawa Tengah, tempat Amien Rais bermukim justru dia kalah telak oleh Megawati dan Soesilo Bambang Yudhono dari partai nasionalis sekuler. Fenomena partai politik ini menggambarkan, dari segi orientasi politik, Aceh dan Jawa memang berbeda.
Pembenaran tesis ini diperkuat oleh sejarah konflik antara pemerintah Pusat dengan Aceh yang memiliki perbedaan sudut pandang di dalam melihat sistem pemerintahan dan relasi kekuasaan antara pusat-daerah (Jakarta-Aceh).

0 comments: