Landasan Teori
Atau Tinjauan Pustaka
A. Peranan
Peranan (role)
merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Artinya apabila seseorang
melaksanakan
hak dan
kewajibanya
sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang tersebut telah menjalankan suatu peranan. Pentingnya peranan
adalah
karena
peranan itu
mengatur
perilaku
seseorang.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu
dalam masyarakat
(Soekanto 2010:212-213).
Berdasarkan
pendapat Soerjono Soekanto tersebut, peranan didefenisikan
sebagai suatu aspek yang dinamis
dari kedudukan, yang mana menurut penulis
peranan itu
tidak
akan
pernah diam, peranan akan selalu
berganti-ganti ketika terkait terhadap
hak dan kewajiban
seseorang.
Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku. Peranan lebih banyak
menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.
Soekanto dalam
(Sudiro 2012:19) menjelaskan bahwa peranan mencakup tiga hal
:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang
dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang
dalam kehidupan masyarakat.
2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat
sebagai organisasi.
3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi
struktur sosial masyarakat.
Adanya peranan menuntut seseorang untuk dapat menjalankan peranannya
dengan baik.
Tapi terkadang seseorang mengalami
role-distance,
yaitu gejala yang timbul apabila individu
merasakan dirinya tertekan. Hal ini terjadi karena
dia merasa dirinya tidak sesuai untuk melaksanakan peranan yang diberikan
masyarakat kepadanya, dengan demikian dia tidak melaksanakan peranannya dengan sempurna
atau bahkan menyembunyikan dirinya apabila
dia berada dalam
lingkungan sosial yang berbeda.
B. Komisi Pemilihan Umum
1. Tinjauan Umum Komisi
Pemilihan Umum
Kemerdekaan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat
merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa
dan
bernegara
dalam menegakkan
demokrasi bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai
negara yang
menganut demokrasi,
bagi rakyat bebas dalam menentukan
pilihannya dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri, kebebasan memilih ini
antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan Pemilihan
Umum.
Daniel S Paringga (2003:107) mengatakan bahwa
pemilihan secara
langsung oleh rakyat
dipahami sebagai institusi politik yang meningkatkan
kualitas demokrasi yang bersandar
pada
dua
pilar
yaitu parlemen dan
civil
liberties
membuat rakyat mengambil posisi aktif dari
waktu ke waktu dalam
berbagai proses politik. Pilar ini menghimpun semua bentuk kelembagaan politik non partai, dari perorangan hingga organisasi massa yang berbasis afiliasi etnis
kultural, profesi dan kepentingan. Pilar ini juga
menggenapkan ajaran demokrasi
yang sejati yakni kedaulatan memang sungguh
berada ditangan rakyat dan tidak berkurang
sedikitpun hanya karena sistem demokrasi ini memiliki parlemen (Daniel, 2003).
2.
Tugas dan Kewenangan Komisi Pemilihan Umum
KPU menurut UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu adalah pelaksana
dan
sekaligus pengawas pelaksanaan pemilu. Seharusnya
KPU adalah penyelenggara yang
mana
dalam konsep penyelenggaraan itu tercakup pengertian dan
pengawasan.
Karena itu,
KPU
sebagai penyelenggara cukup menjalakan
fungsi sebagai policy maker dan regulator. Sedangkan untuk pelaksanaan pemilu KPU membentuk Panitia
Pelaksana Pemilu, dan
untuk pengawasan oleh KPU dapat dibentuk
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Baik panitia pelaksana
pemilu maupun panitia
pengawas pemilu bersifat ad hoc, dibentuk oleh dan
bertanggungjawab kepada KPU, serta anggota-anggota dan pimpinannya
diangkat
dan diberhentikan
oleh KPU (Asshiddiqie, 2006:238).
C. Komisi Pemilihan Umum
Daerah
Sejak disahkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan
Kepala Daerah, pemilihan Kepala Daerah
dan
Wakil Kepala Daerah
tidak lagi dipilih
melalui sistem perwakilan atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat yang memiliki hak pilih
melalui pemungutan suara
di tempat-tempat pemungutan suara (TPS) di daerah
yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
yakni tercantum
dalam
pasal 56 ayat 1 yaitu: “Kepala Daerah
dan
Wakil Kepala Daerah
dipilih dalam satu pasangan
calon yang
dilaksanakan secara
demokratif berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia juga jujur dan adil” (Yepi, 2013 :
2).
Selanjutnya menurut Yepi (2013 :
2) Komisi Pemilihan Umum (KPU)
adalah
lembaga yang bersifat nasional tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan pemilu dan untuk di daerah tersebut dinamai Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) yang ditugaskan untuk melaksanakan
Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
yang merupakan bagian dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi
(pasal
66 ayat 2).
D. Partisipasi Politik
Masyarakat dalam
Pemilihan Umum
1. Pengertian Partisipasi
Politik
Partisipasi politik itu
merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan
negara
demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.
Partisipasi politik memiliki pengertian yang
beragam. Ada beberapa ahli yang
mengungkapkan pendapatnya tentang partisipasi
politik. Menurut
Ramlan Surbakti (2007:140)
yang dimaksud
dengan partisipasi
politik adalah keikutsertaan warga
negara
biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Herbert Mc Closky seorang tokoh
masalah
partisipasi berpendapat bahwa partisipasi
politik
adalah kegiatan-
kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana
mereka
mengambil bagian
dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung
atau tidak langsung, dalam
proses pembentukan kebijakan umum
(Budiarjo, 2008:367).
Dalam hubunganya dengan negara-negara berkembang Samuel
P.Hutington dan Joan
M. Nelson memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tindakan
ilegal
dan kekerasan. Partisipasi politik
adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,
yang dimaksud
untuk memengaruhi pembuatan
keputusan
oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, teroganisir
atau spontan, mantap atau
sporadik,
secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau
illegal, efektif atau tidak efektif (Budiarjo, 2008:368).
Dari penjelasan di atas jelas bahwa partisipasi politik erat sekali kaitannya
dengan kesadaran politik, karena
semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang
kemudian menuntut
hak bersuara
dalam penyelenggaraan pemerintah. Karena
perasaan kesadaran ini dimulai
dari orang yang berpendidikan,
yang
kehidupannya lebih baik dan orang-orang
terkemuka. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang
rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa masyarakat tidak
peduli terhadap
masalah kenegaraannya.
2.
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi
politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata
kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1990:16-18)
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
a. Kegiatan Pemilihan yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
b. Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang
suatu
isu;
c. Kegiatan Organisasi yaitu
partisipasi individu ke
dalam organisasi, baik selaku anggota maupun
pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan
oleh pemerintah;
d. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan
dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka,
dan
e. Tindakan kekerasan (violence)
yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara
menciptakan
kerugian fisik
manusia atau harta
benda, termasuk di sini adalah
huru- hara, teror, kudeta,
pembutuhan
politik (assassination),
revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik
menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik
dalam studi
partisipasi
politik.
Keduanya tidak
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal
atau ilegal.
Sebab itu,
penyuapan,
ancaman,
pemerasan,
dan sejenisnya di tiap
bentuk partisipasi
politik
adalah masuk ke dalam kajian
ini.
E. Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Pemilukada
Pemilu merupakan sarana
pengamalan demokrasi. Dapat dikatakan tidak ada
demokrasi, tanpa pemilu. Walaupun
begitu, pemilu bukanlah
tujuan. Pemilu
hanya sebagai sarana untuk memilih anggota parlemen dan pemimpin eksekutif di pusat dan daerah. Adapun tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah instrument untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang
diharapkan. Meskipun demikian, di negara-negara
lain, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri. Ia ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya politik
di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi
politik lokal yang amat heterogen, kesadaran
dan
pengetahuan politik masyarakat
yang rendah,
buruknya sistem pencatatan
kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan
(electoral governance) sering menyebabkan
kegagalan tujuan pilkada langsung (Hadiawan,
2009 : 637).
. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Kelancaran Penyelenggaraan
Pemilukada
Di Kabupaten Bintan Tahun 2010.
Kelemahan-kelemahan dalam penyelenggaraan pilkada
tahun 2010 di Kabupaten Bintan juga dapat dilihat dari adanya beberapa
hambatan-hambatan yang
dialami KPU Kabupaten Bintan dari tahap persiapan hingga penyelenggaraannya. Faktor-faktor yang menjadi hambatan dan kendala yang
dihadapi KPU Kabupaten Bintan dalam penyelenggaraan pilkada tahun
2010 di antaranya:
1. Perencanaan
atas penyelesaian
pilkada
simultan dan
pembiayaan
bersama antara Kabupaten dan
Provinsi mengalami keterlambatan
yang mengakibatkan finansial Rencana Kerja Bersama ditingkat Kabupaten juga terhambat.
Pemilu Bupati dan Wakil Bupati yang disejalankan atau simultan dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Kepri memberikan
dampak pada anggaran
dan logistik
sehingga
menghambat rencana kerja bersama yang telah disiapkan dan secara otomatis juga menghambat rencana kerja ditingkat kabupaten (Suciati, wawancara:
2015).
2. Penetapan hari pencoblosan antara kabupaten yang simultan dengan provinsi juga mengalami keterlambatan yang
mengakibatkan
penetapan tahapan program dan jadwal penyelenggaraan pilkada di kabupaten
terhambat.
Karena terjadinya kendala dalam hal pendanaan dan logistik secara
tidak langsung akan berpengaruh dan menghambat jadwal hari pencoblosan
di Kabupaten
Bintan. Dalam
hal
penyelenggaraan secara
simultan ini menghambat pelaksanaan pilkada karena sumber
anggaran
antara Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten waktunya berbeda-
beda sehingga apabila dilakukan serentak
dan simultan tentu akan
menyebabkan terhambatnya proses pelaksanaan pilkada karena bisa saja
salah satu pemerintah daerah belum siap dananya (Suciati, wawancara: 2015).
3. Penggunaan DP4 (Daftar Potensial
Penduduk Pemilih Pemilu) sebagai dasar pendataan justru
menimbulkan kerumitan baru.
DP4 adalah sebagai bahan acuan penyusunan daftar
pemilih sementara Pilkada 2010 Kabupaten Bintan yang mana proses penyampaian ke PPS
akan
melalui
PPK. Namun,
karena
dalam prakteknya
menimbulkan kerumitan baru,
sehingga data
pemilu terakhir dapat dijadikan data awal pemilih yang
kemudian disandingkan dengan DP4
(Todo Tua, wawancara:
2015)
4. Standarisasi dikeluarkan justru menimbulkan multi tafsir dan
pelaksanaannya di lapangan
yang berpengaruh
pada proses
pelaksanaan pilkada seperti
tahapan pencalonan
dan kelembagaan.
Formulir pendataan antara KPU Provinsi dengan KPU Kab/Kota tidak
dilakukan secara dini dan bentuk formulir pendataan yang
banyak dan
berbeda dengan pemilu terakhir membuat petugas
di lapangan harus
beradaptasi untuk memahami dengan
tingkat pemahaman yang beragam.
Namun hal ini dapat disiasati demi kelancaran jalannya pemilu yaitu dengan kewenangan atributifnya KPU Kabupaten
Bintan dapat
melaksanakan pendataan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada sepanjang
tidak melanggar peraturan dan kepada petugas pemutakhir data pemilih harus diberikan pelatihan atau sosialisasi secara
intensif
sehingga dapat meminimalisir terjadi perbedaan
pemahaman (Todo Tua,
wawancara:
2015).
5. Pembentukan Panwaslukada Kabupaten seharusnya mengacu pada UU
22 Tahun 2007 justru mengabaikan UU tersebut dan Persyaratan
penyelenggara pemilu (PPK, PPS, KPPS
dan Panwas) tidak sesuai
dengan kondisi sosial di wilayah Kabupaten
Bintan.
Ketentuan Pasal 71 Undang-Undang
Nomor
22 Tahun 2007 mewajibkan panwaslukada
dibentuk paling lambat satu bulan sebelum tahapan pertama peyelenggaraan
pemilu dimulai dan
berakhir
paling lambat dua bulan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu selesai. Namun,
karena keterlambatan
pecairan
anggaran sehingga pembentukan Panwaslukada tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Keterlambatan tersebut juga terjadi karena
kondisi geografis
Kabupaten Bintan
yang terdiri
dari pulau-pulau
sehingga
sangat
menyulitkan untuk dikunjungi dalam waktu singkat dan kesulitan lain misalnya dalam distribusi anggaran dan logistik. (Suciati, wawancara:
2015).
6. Keterlambatan sosialisasi coblos tembus
menimbulkan persoalan dari tingkat KPPS sampai ke
kabupaten. Adanya kasus coblos tembus simetris pada surat suara.
Keterlambatan sosialisasi juga
sebagian besar
diakibatkan oleh lambatnya kesediaan anggaran yang
ada. Selain itu bimtek kepada KPPS lebih dipertajam dan komprehensif sehingga mereka paham
tentang tugasnya untuk memberikan pemahaman
kepada
pemilih
terkait mekanisme
pemilihan dan pencoblosan yang baik dan benar
(Suciati, wawancara: 2015).
7. Tidak adanya standarisasi pelaporan
tentang pemilu. Terkait standarisasi pelaporan tentang
pemilu merupakan salah satu yang menjadi kendala bagi kesekretariatan dalam menyusun laporan atas penyelenggaraan pilkada. Pelaporan yang dibuat adalah semata mata atas inisiatif dan
kreatifitas dari kesekretariatan
KPU Kabupaten Bintan.
(Sumber: Laporan Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Kepala
Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Bintan Tahun
2010).
Hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
pilkada tahun
2010 ini seharusnya dapat menjadi bahan masukan bagi pelaksanaan pilkada tahun 2015, supaya hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi
dan tidak terulang kembali.
Sehingga cita-cita dari penyelenggaraan pilkada dapat tercapai yaitu terciptanya
suatu kehidupan bernegara yang
demokratis
dan outputnya
adalah
kehidupan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera.
I. PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian hasil penelitian serta analisis terhadap rumusan masalah yang telah
dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya,
kemudian
dapat diambil
kesimpulan sebagai
berikut :
1. Peranan Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Bintan pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah tahun
2010, dapat dikatakan telah berhasil dilaksanakan dengan tertib dan terkendali. Secara umum hampir
seluruh rangkaian proses pelaksanaan penyelenggaraan pilkada
tahun 2010 berjalan sesuai dengan yang
diatur dan diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala
Daerah Dan Wakil Kepala
Daerah. Walaupun masih terdapat kekurangan terutama dalam hal
transparansi dan
independensi KPU Kabupaten Bintan.
Kekurangan lainnya juga ditemukan pada tahapan-tahapan teknis penyelenggaraan, tahapan penyeleksian
berkas
calon
kepala daerah dan penetapan calon kepala daerah.
2. Faktor-faktor menjadi kendala dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah tahun 2010 di Kabupaten Bintan
adalah
kendala
yang sangat-
sangat bersifat teknis di lapangan. Kendala-kendala
tersebut disebabkan
karena terbatasnya
sumber
daya manusia dan
letak kondisi geografis daerah di Kabupaten Bintan yang sulit ditempuh. Selain itu ada juga
kendala yang bersumber dari regulasi
dan
administrasi.
B.
Saran
Berdasarkan permasalahan yang
ada, maka penulis dalam kesempatan ini
memberikan beberapa saran atau masukan kepada
pihak-pihak yang terkait
sehubungan dengan
skripsi ini, yaitu:
1. Hendaknya pihak KPU Kabupaten Bintan melakukan usaha-usaha peningkatan kemampuan anggotanya
secara kuantitas dan kualitas. Sehingga
mampu bertindak efektif dan efesien guna
mengantisipasi berbagai macam kendala yang sering
terjadi pada tingkatan teknis di
lapangan.
2. Hendaknya
pihak KPU Kabupaten Bintan bisa bersikap netral, tidak berpihak pada salah satu calon.
3. Diharapkan pihak KPU
Kabupaten
Bintan agar lebih terbuka
atau
transparan dan independen dalam
menjalankan tugas
dn fungsi sebagai sebuah lembaga yang
diberi peranan penting
oleh
undang-undang untuk menciptakan suatu
kehidupan bermasyarkat yang demokratis dan
sejahtera.
4. Output dari kajian penelitian ini
harapannya adalah
Pemilukada
mendatang KPU dapat menyelenggarakan dengan lebih akuntabel, transparan dan
meningkatkan independensinya.
KPU harus lebih giat
dalam tahapan sosialisasi dan
memberikan informasi terkait dengan
pelaksanaan pemilu keseluruh masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Arikunto, Suharsimi.
2006. Prosedur Penelitian (Suatu
Pendekatan Praktik).
Rineka Cipta:
Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka
Utama.
Sparingga, Daniel T. 2003.
“Multikulturalisme
dalam Multiperspektif di Indonesia”, dalam Hidup
Berbangsa & Etika Multikultural.
Ed. Martono (dkk). Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul
Jawa
Timur Universitas Surabaya.
Daryanto,
Rukhmini. 1998. Tingkat
Keberhasilan Program, Badan
Penelitian Dan Pengembangan
Kesejahteraan
Sosial.
Departemen Sosial
Republik Indonesia.
Edi, Suhartono. 2010. Membangun masyarakat memberdayakan rakyat. Cetakan
keempat. Bandung:
PT Refika Aditama.
Hamid Abidin dan Mimin Rukmini, 2002. Buku Kritik dan Otokritik LSM :
Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. LP3ES, Jakarta.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Ndraha Talizduhu.
2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru).
Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Prihatmoko, Joko
J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen
Teknis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Soedarsono.
2005. MK sebagai pengawal demokrasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK
RI.
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke-43. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Sugiyono.
2006. Metodologi Penelitian Administratif.
Bandung: Alfabeta.
B.
Karya
Ilmiah, Kamus dan Peraturan Perundang-undangan
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab
Masyarakat Tidak Memilih dalam
Pemilu. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik. Universitas
Maritim Raja Ali Haji.
Tanjungpinang.
Hadiawan, Agus. Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Di Propinsi
Lampung (Studi Di Kabupaten Lampung
Selatan, Kota Metro Dan
Kota Bandarlampung), Jurnal Ilmiah Administrasi
Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7,
Juli-Desember 2009.
Hlm. 637.
Kristianto,
Sony. 2013. Peran Kepala Desa Dalam
Meningkatkan Pemebrdayaan Masyarakat Di Desa Lidung Kemenci
Kecamatan
Mentarang Kabupaten Malinau. Jurnal. Universitas
Mulawarman. http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/ diakses 21
April 2014, 17.00 WIB.
Sudiro, Lingga. 2012. Pemulung Anak-Anak Yang Masih Sekolah (Studi: Fungsi Keluarga Pada Keluarga Pemulung Anak-Anak Di
Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Ganet
Tanjungpinang). Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
Yepi, Yulestri Arna. 2013. Kinerja
Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD)
Pada Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala
Daerah di Kabupaten Kuantan Singingi Tahun 2011. Jurnal. Universitas Riau. https://repository.unri.ac.id,
diakses 21 April 2014, 17.00 WIB.
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan
Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian
Kepala Daerah
Dan Wakil Kepala
Daerah.
C. Internet dan Lain-Lain
Wandra.
2014.
Peranan
Komisi Pemilihan
Umum Daerah Kabupaten
Bintan dalam Penyelenggaraan Pilkada Di
Kabupaten Bintan Tahun 2010.
Wawancara.
Ketua Komisioner KPU Kabupaten Bintan.
Bintan.
Idris, Muhammad. 2014. Peranan Komisi
Pemilihan Umum Daerah Kabupaten
Bintan dalam Penyelenggaraan Pilkada Di Kabupaten Bintan Tahun
2010. Wawancara. Tanjungpinang.
Taher, Mastur.
2014. Peranan Komisi Pemilihan Umum
Daerah Kabupaten Bintan
dalam Penyelenggaraan Pilkada Di
Kabupaten Bintan Tahun
2010. Wawancara. Tanjungpinang.
Toha. 2014. Peranan Komisi Pemilihan
Umum Daerah Kabupaten Bintan
dalam Penyelenggaraan Pilkada Di Kabupaten Bintan Tahun 2010. Wawancara. Bintan.
Suciati.
2014. Peranan
Komisi
Pemilihan Umum Daerah
Kabupaten Bintan dalam
Penyelenggaraan Pilkada Di Kabupaten Bintan Tahun 2010. Wawancara. Bintan.
Tua, Todo. 2014. Peranan Komisi
Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Bintan
dalam Penyelenggaraan Pilkada Di
Kabupaten Bintan Tahun 2010.
Wawancara. Bintan.
Tomas. 2014. Peranan Komisi Pemilihan Umum
Daerah Kabupaten Bintan dalam Penyelenggaraan Pilkada
Di Kabupaten Bintan Tahun 2010.
Wawancara. Bintan.
Junianto, Hari.
2015. Peranan Komisi Pemilihan Umum
Daerah Kabupaten Bintan
dalam Penyelenggaraan Pilkada Di
Kabupaten Bintan Tahun 2010. Wawancara. Bintan.
http://berita-lampung.blogspot.com, diakses 10
Mei
2014, 13.00 WIB http://www.indonesia-1.com, diakses 02 Mei 2014, 17.00 WIB. http://www.scribd.com, diakses 02 Mei 2014, 17.00 WIB.
0 comments:
Post a Comment