Tuesday, April 05, 2016

PILKADA LANGSUNG ATAU PILKADA TIDAK LANGSUNG

Latar Belakang
            Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah) belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
            Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah" atau "Pemilukada".
            Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pemilukada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta Pemilukada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
            Didalam UU RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pengertian pemilukada adalah ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara   Kesatuan   Republik   Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Namun sejak ditetapkannya UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu istilah Pemilukada diuraikan langsung sehingga menjadi ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Perumusan Masalah
1.      Apakah Pilkada langsung sejalan dengan demokrasi?
2.      Apakah Pilkada tidak langsung sejalan dengan demokrasi?
3.      Dari Pilkada secara langsung dan Pilkada tidak langsung yang manakah yang lebih dekat dengan ideologi Pancasila dan apakah dibenarkan UUD 1945?



Pembahasan
            Setelah diundangkannya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan diderivasi berbagai penjelasan teknisnya oleh PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang makin menunjukan orientasi yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas berbagai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni.
            Keputusan untuk memilih sistem pilkada langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendukung percepatan digunakannya sistem langsung tersebut, dengan semangat utamanya memperbaiki kehidupan demokrasi.             
            Sistem Pilkada dapat dikatakan sistem yang ideal karena berbagai alasan yaitu :
demokrasi langsung menunjukan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat, akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat, permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Pilkada yang sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pilkada juga bagian dari sistem politik di daerah.
            Keterlibatan secara sukarela dalam pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya rakyat daerah sebagai warga yang mempunyai hak politik sebagai voter. Tentu saja rakyat sebagai warga negara agar dapat berperan aktif dalam partisipasi politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya. Tanpa terpaan itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang baik dalam kerangka demokrasi.
            Bentuk partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis, pengamat, maupun  partisipan.  Seperti pada dua pemilu yang lalu maka akan ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang  termasuk tak acuh dalam kegiatan dan proses politik. Di Indonesia, prosentase rakyat yang apolitis masih di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat merupakan porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan voter. Sementara dalam bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktivis partai, dan kelompok kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik rakyat sudah mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/ politik.
            Aktor utama sistem pilkada adalah rakyat, partai politik, dan calon kepala daerah. Ketiga aktor inilah yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung , yaitu :
1.      Pendaftaran pemilih
2.      Pendaftaran calon
3.      Penetapan calon
4.      Kampanye
5.      Pemungutan dan penghitungan suara, dan
6.      Penetapan calon terpilih.
            Karena pilkada merupakan implementasi dari demokrasi, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azas-azas pilkada langsung yang terdiri dari : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
            Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan penyelenggaraan pada mereka. Catatan pilkada selama ini menunjukan , penyelenggaraan pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan bias demokrasi, seperti persekongkolan, nepotisme, dan politik uang. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
            Berdasarkan pelaksanaan pilkada di beberapa daerah , terdapat hambatan-hambatan yang berkaitan dengan persiapan daerah dalam menyelenggarkan pilkada.
Pertama, berkaitan dengan beratnya syarat pengajuan calon. Dalam UU no 32 tahun 2004 disebutkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara 15%  kursi DPRD atau 15%  suara pileg yang berhak mengajukan calon. Persyaratan inilah yang terlalu memberatkan. Karena dengan ketentuan seperti ini, daerah-daerah dimana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu calon.
Kedua, sistem pilkada dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana bagi beberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara besar-besaran.
Ketiga, berkaitan dengan prosedur perhitungan suara-suara dab penetapan calon yang terpilih. Untuk mengatur prosedur dan cara perhitungan secara jelas bagaimana kalau ada calon yang memiliki suara sama disemua tingkatan seharusnya ada SK KUPD agar mencari jalan keluar dari masalah ini.
Keempat, maraknya praktik-praktik money politics. Pemilihan kepala daerah langsung banyak diwarnai kegiatan money politics. Jauh sebelum pelaksanaan pilkada, para pasangan calon banyak mengeluarkan miliaran rupiah, bahkan puluhgan miliar, untuk hanya jadi calon.
Kelima, besarnya daerah pemilihan, yaity seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan gubernur, dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses kampanya sulit dikendalikan.
Keenam, caraq pemilihan kepala daerah dengan memilih orang menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. Untuk memilih partai saja, kebanyakan pemulih masih mempertimbangkan figur masing-masing tokohnya.
Ketujuh, sebagai konsekuensi memilih orang, bentuk black propogandan akan banyak mewarnai kampanye kepala daerah ketimbang model kampanya yang berupaya membangun image positif masing-masing pasangan calon.
Kedelapan, ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon pendukungnya akibat sistem pemilihan dua tahap yang memungkinkan calon terbesar kedua keluar sebagai pemenang. Termasuk, tidak siapnya para pendukung menerima kekalahan jagoannya.
Kesembilan, sebagai konsekuensi memilih orang, akan banyak split voting pada pemilihan presiden. Maksudnya banyak pendukung partai memberikan dukungan secara menyilang.
            Selain hambatan-hambatan tersebut pilkada langsung juga menimbulkan pro-kontra. Kelompok pro berpandangan bahwa pilkada langsung mengeliminasi distorsi-distorsi demokrai dalam praktik pilkada sistem perwakilan. Pilkada langsung dinilai sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik didaerah kerena dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang, memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberikan kesempatan rakyat memilih pimpinan daerah secara objektif.
            Dilain pihak, kelompok kontra berpendirian bahwa pilkada langsung merupakan ide dan keputusan prematur untuk tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi karena kalitas demokrasi di daerah lebih ditentukan oleh faktor lain terutama kualitas anggota DPRD dan kualitas pemilih. Bagi kelompok kontra, pemilih masih bersifat konservatif dan patriarkhi sehingga pilkada langsung bisa menimbulkan bias demokrasi.
            Namun konstitusi di Indonesia tidak mewajibkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. Berbeda dengan Pemilu maupun pemilihan presiden yang pelaksanaannya diwajibkan secara langsung. Jadi di sini saya tidak melakukan pembelaan kepada pihak yang mengajukan RUU Pilkada  secara tidak langsung karena secara hukum mereka berhak dan secara konstitusi mereka tidak melanggar.



Kesimpulan dan Saran
            Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada secara langsung atau tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangannya masing masing. Dalam Pilkada secara langsung yang memilih kepala daerah dengan menggunakan voting rakyat sudah mengarah ke demokrasi yang kita inginkan, namun Pilkada secara tidak langsung juga dibenarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena Pilkada tidak langsung masih bersifat demokratis karena DPRD yang memilih dan menetapkan dimana DPRD merupakan salah satu wakil rakyat. Jadi entah itu Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung tujuannya harus sama yakni mementingkan kepentingan rakyat.
            Namun penulis masih menyayangkan bahwa Indonesia masih melakukan sistem voting yang jauh dari ideologi kita yakni Pancasila. Pancasila menyebutkan bahwa kita menentukan sesuatu dalam hal ini memilih Kepala Daerah dilakukan dengan cara musyawarah mufakat yang tidak mengenal kata voting tersebut. Yang penulis tahu bahwa demokrasi berasal dari Amerika, demokrasi Amerika merupakan demokrasi liberal yang bersifat individualis, jadi sifat individualis ini bertentangan dengan ideologi Pancasila yang kita anut yang bersifat kekeluargaan dan musyawarah. Maka penulis berharap bahwa pemerintah dapat membuat suatu sistem pemilihan baru yang berlandaskan Pancasila.






  

Daftar Pustaka



0 comments: