Latar Belakang
Pemilihan
umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada
atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang
memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan pilkada
adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
undang-undang ini, pilkada (pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah)
belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama
"Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah" atau
"Pemilukada".
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pemilukada adalah pasangan calon
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta
Pemilukada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung
oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Didalam
UU RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pengertian pemilukada
adalah ”Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Namun sejak ditetapkannya UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu istilah Pemilukada diuraikan langsung sehingga
menjadi ”Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk
memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Perumusan Masalah
1. Apakah
Pilkada langsung sejalan dengan demokrasi?
2. Apakah
Pilkada tidak langsung sejalan dengan demokrasi?
3. Dari
Pilkada secara langsung dan Pilkada tidak langsung yang manakah yang lebih
dekat dengan ideologi Pancasila dan apakah dibenarkan UUD 1945?
Pembahasan
Setelah diundangkannya UU no 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan diderivasi berbagai penjelasan
teknisnya oleh PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahaan, Pengangkatan
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak
baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia. Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang makin menunjukan orientasi yang jelas, yakni
penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas berbagai kekuatan
politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan
menghegemoni.
Keputusan untuk memilih sistem
pilkada langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendukung
percepatan digunakannya sistem langsung tersebut, dengan semangat utamanya
memperbaiki kehidupan demokrasi.
Sistem Pilkada dapat dikatakan
sistem yang ideal karena berbagai alasan yaitu :
demokrasi langsung menunjukan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat, akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat, permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Pilkada yang sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pilkada juga bagian dari sistem politik di daerah.
demokrasi langsung menunjukan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat, akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat, permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Pilkada yang sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik di daerah. Sistem pilkada juga bagian dari sistem politik di daerah.
Keterlibatan secara sukarela dalam
pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya rakyat daerah sebagai warga
yang mempunyai hak politik sebagai voter.
Tentu saja rakyat sebagai warga negara agar dapat berperan aktif dalam
partisipasi politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya.
Tanpa terpaan itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang
baik dalam kerangka demokrasi.
Bentuk partispasi politik rakyat
daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari berbagai bentuknya, mulai
dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis, pengamat, maupun
partisipan. Seperti pada dua pemilu yang lalu maka akan
ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang termasuk tak
acuh dalam kegiatan dan proses politik. Di Indonesia, prosentase rakyat yang
apolitis masih di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat merupakan
porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses
politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan voter. Sementara dalam bentuk
partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktivis partai, dan kelompok
kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik rakyat sudah mengarah pada
derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/ politik.
Aktor
utama sistem pilkada adalah rakyat, partai politik, dan calon kepala daerah.
Ketiga aktor inilah yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung , yaitu
:
1.
Pendaftaran pemilih
2. Pendaftaran calon
3. Penetapan calon
4. Kampanye
5. Pemungutan dan penghitungan suara, dan
6. Penetapan calon terpilih.
2. Pendaftaran calon
3. Penetapan calon
4. Kampanye
5. Pemungutan dan penghitungan suara, dan
6. Penetapan calon terpilih.
Karena pilkada merupakan
implementasi dari demokrasi, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter
keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan
melalui azas-azas pilkada langsung yang terdiri dari : langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil.
Partai-partai politik mempunyai
kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin
menyerahkan penyelenggaraan pada mereka. Catatan pilkada selama ini menunjukan
, penyelenggaraan pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan bias
demokrasi, seperti persekongkolan, nepotisme, dan politik uang. Oleh karena
itu, kegiatan-kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur
secara ketat untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai
keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
Berdasarkan
pelaksanaan pilkada di beberapa daerah , terdapat hambatan-hambatan yang
berkaitan dengan persiapan daerah dalam menyelenggarkan pilkada.
Pertama, berkaitan
dengan beratnya syarat pengajuan calon. Dalam UU no 32 tahun 2004 disebutkan
bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara
15% kursi DPRD atau 15% suara pileg yang berhak mengajukan calon.
Persyaratan inilah yang terlalu memberatkan. Karena dengan ketentuan seperti
ini, daerah-daerah dimana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang
bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu calon.
Kedua, sistem pilkada
dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana bagi beberapa daerah untuk
mengajukan anggaran pilkada secara besar-besaran.
Ketiga, berkaitan
dengan prosedur perhitungan suara-suara dab penetapan calon yang terpilih.
Untuk mengatur prosedur dan cara perhitungan secara jelas bagaimana kalau ada
calon yang memiliki suara sama disemua tingkatan seharusnya ada SK KUPD agar
mencari jalan keluar dari masalah ini.
Keempat,
maraknya praktik-praktik money politics. Pemilihan kepala daerah langsung
banyak diwarnai kegiatan money politics. Jauh sebelum pelaksanaan pilkada, para
pasangan calon banyak mengeluarkan miliaran rupiah, bahkan puluhgan miliar,
untuk hanya jadi calon.
Kelima, besarnya daerah
pemilihan, yaity seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan gubernur, dan seluruh
wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses kampanya sulit
dikendalikan.
Keenam, caraq
pemilihan kepala daerah dengan memilih orang menempatkan figur sebagai
pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. Untuk memilih partai
saja, kebanyakan pemulih masih mempertimbangkan figur masing-masing tokohnya.
Ketujuh,
sebagai konsekuensi memilih orang, bentuk black propogandan akan banyak
mewarnai kampanye kepala daerah ketimbang model kampanya yang berupaya
membangun image positif masing-masing pasangan calon.
Kedelapan,
ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon pendukungnya akibat sistem
pemilihan dua tahap yang memungkinkan calon terbesar kedua keluar sebagai
pemenang. Termasuk, tidak siapnya para pendukung menerima kekalahan jagoannya.
Kesembilan,
sebagai konsekuensi memilih orang, akan banyak split voting pada pemilihan
presiden. Maksudnya banyak pendukung partai memberikan dukungan secara
menyilang.
Selain hambatan-hambatan tersebut
pilkada langsung juga menimbulkan pro-kontra. Kelompok pro berpandangan bahwa
pilkada langsung mengeliminasi distorsi-distorsi demokrai dalam praktik pilkada
sistem perwakilan. Pilkada langsung dinilai sebagai jalan masuk bagi
demokratisasi politik didaerah kerena dapat mengeliminasi atau mengikis politik
uang, memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberikan
kesempatan rakyat memilih pimpinan daerah secara objektif.
Dilain pihak, kelompok kontra
berpendirian bahwa pilkada langsung merupakan ide dan keputusan prematur untuk
tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi karena kalitas demokrasi di daerah
lebih ditentukan oleh faktor lain terutama kualitas anggota DPRD dan kualitas
pemilih. Bagi kelompok kontra, pemilih masih bersifat konservatif dan
patriarkhi sehingga pilkada langsung bisa menimbulkan bias demokrasi.
Namun konstitusi di Indonesia tidak
mewajibkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-Undang Dasar 1945
hanya mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis. Berbeda
dengan Pemilu maupun pemilihan presiden yang pelaksanaannya diwajibkan secara
langsung. Jadi di sini saya tidak
melakukan pembelaan kepada pihak yang mengajukan RUU Pilkada secara tidak
langsung karena secara hukum mereka berhak dan secara konstitusi mereka tidak
melanggar.
Kesimpulan dan Saran
Pemilihan
Kepala Daerah atau Pilkada secara langsung atau tidak langsung memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing masing. Dalam Pilkada secara langsung yang
memilih kepala daerah dengan menggunakan voting
rakyat sudah mengarah ke demokrasi yang kita inginkan, namun Pilkada secara
tidak langsung juga dibenarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena Pilkada
tidak langsung masih bersifat demokratis karena DPRD yang memilih dan
menetapkan dimana DPRD merupakan salah satu wakil rakyat. Jadi entah itu
Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung tujuannya harus sama yakni
mementingkan kepentingan rakyat.
Namun penulis masih menyayangkan
bahwa Indonesia masih melakukan sistem voting
yang jauh dari ideologi kita yakni Pancasila. Pancasila menyebutkan bahwa kita
menentukan sesuatu dalam hal ini memilih Kepala Daerah dilakukan dengan cara
musyawarah mufakat yang tidak mengenal kata voting
tersebut. Yang penulis tahu bahwa demokrasi berasal dari Amerika, demokrasi
Amerika merupakan demokrasi liberal yang bersifat individualis, jadi sifat
individualis ini bertentangan dengan ideologi Pancasila yang kita anut yang
bersifat kekeluargaan dan musyawarah. Maka penulis berharap bahwa pemerintah
dapat membuat suatu sistem pemilihan baru yang berlandaskan Pancasila.
Daftar
Pustaka
0 comments:
Post a Comment