Salah
satu teori perdamaian yang sering dijadikan sebagai landasan dalam sebuah
kajian adalah yang diperkenalkan oleh Johan Galtung (1975). Perdamaian atau “peace-building”
yang pertama kali diperkenalkan dalam artikel berjudul “Three Approaches to
Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding”. Di dalam artikel ini
Galtung menyatakan bahwa perdamaian harus memiliki sebuah struktur yang berbeda
ketika konflik, dimana dalam struktur tersebut harus menghilangkan setiap benih
konflik baru baik struktur pemerintahan maupun relasi sosial masyarakat. Lebih
jauh ia mengatakan bahwa peace building itu harus menghilangkan penyebab
dasar dari konflik dan perlu adanya dukungan kapasitas terhadap lokal dalam
upaya mengelola perdamaian serta penyelesaian konflik.
Sementara
menurut Lederach, “peace building” itu sebagai suatu konsep yang komprehensif
yang mencakup, menghasilkan, dan memelihara suatu proses, pendekatan, dan
tahapan yang diperlukan untuk mengubah konflik ke arah perdamaian secara
berkelanjutan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa perdamaian dipandang bukan hanya
sebagai tahapan rekonstruksi perjanjian semata, namun ia adalah konstruksi
sosial yang dinamis. Lederach juga mengatakan bahwa transformasi konflik ke
damai harus dilakukan dengan pendekatan secara holistik dan menyeluruh dalam
upaya mengelola setiap potensi kekerasan baru. Artinya proses pembangunan
perdamaian harus mewujudkan nilai-nilai negatif menjadi nilai-nilai positif. Pendekatan
ini harus dilakukan dengan membangun hubungan antara pihak-pihak yang terlibat
dalam dinamika konflik, baik hubungan dalam kontekspsikologi, spritual, relasi
sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Kondisi
seperti ini menurut Galtung dinamakan dengan perdamaian positif (positive
peace), yaitu adanya kondisi damai secara struktural, baik secara struktur
relasi penguasa dengan rakyat, maupun relasi sesama rakyat. Relasi secara
struktural ini juga mampu menghilangkan benih-benih ketidakpuasan yang dapat
melahirkan konflik baru. Positive peace juga didasarkan kepada
perdamaian yang berbasis keadilan, persamaan dan kesetaraan. Sebaliknya jika
kondisi dimana “perdamaian” hanya dianggap sebagai ketiadaan konflik kekerasan (the
absence of violent conflict), tapi ketidakadilan terus terjadi dinamakan
dengan perdamaian negatif (negative peace).
Terkait
dengan kekerasan, Galtung, seperti dikutip oleh Grewal mendefinisikan kekerasan
sebagai keadaan jasmani dan rohani seseorang yang sedang berada di bawah
realisasi potensinya. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada
segi akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak membeda-kan violent
acts (tindakan tindakan yang keras, keras sebagai sifat) dengan acts of
violence (tindakan- tindakan kekerasan).
Galtung
juga membagi enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu:
1.
Kekerasan
fisik dan psikologis; kekerasan fisik adalah adanya tindakan yang menyakiti
secara jasmani, baik dalam bentuk penganiayaan maupun pembunuhan. Sedangkan
kekerasan psiko-logis adalah tekanan yang di-maksudkan menekan mental.
2.
Pengaruh
positif dan negatif; yaitu adanya sistem orientasi imbalan (reward oriented)
yang sebenarnya terdapat "pengendalian", tidak bebas, kurang
terbuka, cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
3.
Ada
objek atau tidak; yaitu adanya tindakan tertentu dan tetap terdapatnya ancaman kekerasan
secara fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi tindakan
tersebut akan membatasi tindakan dan pilihan manusia.
4.
Ada
subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya,
dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan
tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan
menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang
hidup tidak sama.
5.
Disengaja
atau tidak, yaitu adanya tindakan yang menyebabkan suatu akibat, pemahaman yang
hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi
kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut
korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
6.
Yang
tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang
personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung.
Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan
(latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika
situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat
menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu
struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau revolusihasil
dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hirarkis
setelah tantangan utama terlewati.
Galtung
juga membedakan kekerasan personal dan struktural. Sifat kekerasan personal
adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat
menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan
stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan
personal akan diperhatikan karena dianggap berbahaya dan salah, sementara
kekerasan struktural dianggap wajar.
0 comments:
Post a Comment