Thursday, July 21, 2016

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih


Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pilkada di Aceh strategi kampanye dan mobilisasi kurang efektif dalam mensosialisasikan prioritas-prioritas kebijakan para calon, dan kurang efektif dalam mendorong para politisi supaya tanggap terhadap kebutuhan dan prioritas warga pada umumnya. Bukan mengandalkan dialog kebijakan dan mobilisasi tingkat bawah menyangkut prioritas pemilih, para calon—terutama dalam persaingan di tingkat kabupaten/kota—malah lebih banyak bersandar pada upaya menyebarkan patronase, memengaruhi para pemimpin desa, politik uang, dan pamer kebesaran dan status. Bagian ini menganalisis praktek-praktek kampanye dan mobilisasi tersebut dan membahas implikasi-implikasi dari strategi-strategi semacam itu.
Empat kelompok pemimpin di Aceh seperti telah dipaparkan sebelumnya menonjol sebagai calon-calon dalam pilkada: ‘teknokrat’ (birokrat dan akademisi), tokoh GAM, ‘elite tandingan’ dari masyarakat sipil, dan kontraktor:
a.      Calon-calon teknokrat biasanya adalah orang-orang incumbent, para anggota DPRD (paling umum adalah ketua DPRD), birokrat (seringkali kepala dinas), pejabat militer atau pemimpin partai, dan lebih cenderung mewakili partai-partai politik nasional daripada maju sebagai calon independen.
b.      Calon-calon yang berafiliasi dengan GAM maju dalam pilkada di 15 kabupaten/kota, dan umumnya berasal dari lapisan ‘GAM sipil’. Kebanyakan maju sebagai calon independen, dengan pengecualian calon wakil gubernur Hasbi Abdullah, yang maju dengan dukungan PPP bersama Human Hamid.
c.       Calon-calon dari masyarakat sipil, yang menonjol di antara mereka adalah orangorang yang memiliki kaitan dengan SIRA, sebagian dari mereka maju sebagai calon independen (seringkali berpasangan dengan calon dari GAM) atau dengan dukungan partai.
d.      Para kontraktor seringkali maju sebagai calon wakil bupati, mungkin berperan untuk memberi dukungan dana untuk tokoh yang lebih terkenal yang maju sebagai calon bupati.

Ulama tidak tampil sebagai calon, namun dalam beberapa kasus mereka menyatakan dukungan secara terbuka terhadap calon-calon tertentu. Tidak ada keturunan ulèëbalang, yang dapat dikenali dari penggunaan gelar Teuku pada namanya, yang menonjol di antara calon, dan tidak pula di kalangan pemenang; hanya seorang Teuku yang tampil sebagai calon yang berhasil (lihat di bawah). Kotak 5 memberi tiga contoh calon dan apa yang dipandang sebagai kualitas yang membuat mereka layak menjadi calon.
Bagaimana para calon berkampanye untuk merebut kursi kepemimpinan di Aceh? Caloncalon independen yang berafiliasi dengan GAM umumnya memiliki dana yang sedikit, namun mereka mengandalkan jaringan tingkat akar-rumput yang mereka miliki, terutama di kalangan pemilih miskin dan pemilih di wilayah pedesaan, dengan pesan kampanye yang disebarkan melalui jaringan pendukung KPA yang besar. Sebaliknya, para calon dengan latar belakang teknokrat atau kontraktor, cenderung mengandalkan jaringan patronase yang lebih oportunistik (berlawanan dengan jaringan GAM yang lebih ideologis), dan kampanye media yang mencolok (dan mahal) untuk menjangkau para pemilih.
Bagian ini akan menguraikan lebih jauh empat ciri strategi kampanye para calon:
a.       Tidak adanya platform kebijakan yang jelas dan maraknya janji-janji;
b.      Mengandalkan jangkauan dan jaringan kepemimpinan;
c.       Membagi-bagikan sumbangan, ‘paket bantuan’, dan pemberian uang tunai (politik uang), seringkali diberikan ketika ada acara silaturrahmi atau kampanye terbuka;
d.      Pamer kekuatan melalui kampanye terbuka yang sengaja dibuat besar-besaran, dan dengan “mencap” wilayah tertentu sebagai wilayah kekuasaan calon tertentu.
Strategi-strategi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap tatakelola pemerintahan karena calon membentuk hubungan patron-klien dan membuat komitmen patronase yang akan membutuhkan pemberian-pemberian ilegal barang dan jasa secara terus-menerus. Praktek-praktek ini juga memiliki implikasi negatif terhadap persaingan politik karena praktek-praktek itu melibatkan mobilisasi ‘klien’ untuk bekerja atas nama patron politik mereka, bukan melalui pedebatan dan pernyataan kebijakan, melainkan melalui pendekatan personal, pemberian uang secara ilegal dan unjuk kekuatan. Hal ini dapat menjadi penyebab bagi munculnya dan meningkatnya berbagai pertikaian di masa mendatang.

0 comments: