Konflik merupakan suatu
fenomena yang lumrah terjadi (sunnatullah). Hal ini tidak terlepas dari
berbagai kepentingan manusia yang saling berbeda namun tidak dapat diorganisir
dengan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Degenova (2008) konflik adalah
sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah
selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey &
Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongandorongan di
dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Sementara menurut Richard E.
Crable (1981) “conflict is a disagreement or a lack of harmony”. Kalimat tersebut dapat diartikan dengan “konflik
merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan”. Sedangkan Weiten (2004)
mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau
dorongan berperilaku yang tidak sejalan.
Teori
konflik merupakan anti-tesis dari teori struktural fungsional, dimana teori
strukturalfungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori
konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori ini melihat
bahwa di dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan yang dikarenakan karena adanya dominasi, kohesi,
kekuasaan, perbedaan dan lain-lain.
Konflik
merupakan suatu fenomena yang lumrah terjadi (sunnatullah). Hal ini tidak
terlepas dari berbagai kepentingan manusia yang saling berbeda namun tidak
dapat diorganisir dengan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Degenova
(2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana
dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin
(dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan
dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir
sama kekuatannya.
Teori
konflik merupakan anti-tesis dari teori struktural fungsional, dimana teori
struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori
konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori ini melihat
bahwa di dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
keteganganketegangan yang dikarenakan karena adanya dominasi, kohesi,
kekuasaan, perbedaan dan lain-lain.
Teori
fungsionalisme struktural menyatakan bahwa: (1) masyarakat berada pada kondisi
statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, (2) setiap elemen
atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, (3) anggota
masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas
umum, dan (4) konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi latent,
fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium)
Sementara
teori konflik menyatakan hal sebaliknya, yaitu; (1) masyarakat senantiasa
berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus
menerus di antara unsurunsurnya, (2) setiap elemen memberikan sumbangan terhadap
desintegrasi sosial, (3) keteraturan dalam masyarakat hanyalah disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa, (4)
konsep-konsep sentral teori konflik adalah wewenang dan posisi, keduanya
merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata
tanpa terkecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara
sistematis, (5) perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai
posisi dalam masyarakat.
Menurut
Dahrendorf (2009) kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi
atas dan bawah dalam setiap struktur. Karenawewenang itu adalah sah, maka
setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena
sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut sebagai Dahrendorf sebagai
persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imferatively coordinated associations).
Oleh
karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dengan yang
dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling
bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang
berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang
dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan
kepentingan ini selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur. Artinya,
teori konflik Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta
perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah
pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada
sistem tersebut.
Menurut
Dahrendorf terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya
memimpin ke arah perubahan danpembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang
terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur
sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan
bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan
kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.
0 comments:
Post a Comment