Friday, July 29, 2016

Teori Konflik


Konflik merupakan suatu fenomena yang lumrah terjadi (sunnatullah). Hal ini tidak terlepas dari berbagai kepentingan manusia yang saling berbeda namun tidak dapat diorganisir dengan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongandorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Sementara menurut Richard E. Crable (1981) “conflict is a disagreement or a lack of harmony”. Kalimat  tersebut dapat diartikan dengan “konflik merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan”. Sedangkan Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan.
Teori konflik merupakan anti-tesis dari teori struktural fungsional, dimana teori strukturalfungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori ini melihat bahwa di dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan yang dikarenakan karena adanya dominasi, kohesi, kekuasaan, perbedaan dan lain-lain.
Konflik merupakan suatu fenomena yang lumrah terjadi (sunnatullah). Hal ini tidak terlepas dari berbagai kepentingan manusia yang saling berbeda namun tidak dapat diorganisir dengan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Teori konflik merupakan anti-tesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori ini melihat bahwa di dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau keteganganketegangan yang dikarenakan karena adanya dominasi, kohesi, kekuasaan, perbedaan dan lain-lain.
Teori fungsionalisme struktural menyatakan bahwa: (1) masyarakat berada pada kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, (2) setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, (3) anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, dan (4) konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium)
Sementara teori konflik menyatakan hal sebaliknya, yaitu; (1) masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsurunsurnya, (2) setiap elemen memberikan sumbangan terhadap desintegrasi sosial, (3) keteraturan dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa, (4) konsep-konsep sentral teori konflik adalah wewenang dan posisi, keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa terkecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis, (5) perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat.
Menurut Dahrendorf (2009) kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan bawah dalam setiap struktur. Karenawewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut sebagai Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imferatively coordinated associations).
Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dengan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur. Artinya, teori konflik Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut.

Menurut Dahrendorf terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan danpembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.

0 comments: