Sunday, July 17, 2016

Teori Peranan

2.2.1 Teori Peranan
            Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka hal ini berarti ia menjalankan suatu peranan. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling bertentangan satu sama lain. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal tersebut seklaigus berarti bahwa “peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya. Peranan lebih banyak menekankan pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses”.[1]
            Menurut Abdulsyani[2] “pernana adalah suatu perubuatan seseorang atau sekelompok orang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya”. Perlaku peranan dikatakan berperan jika telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya dengan masyarakat. Jika seseorang mempunyai status tertentu dalam kehidupan masyarakat maka selanjutnya akan ada kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru.
            Menurut Soerjono Soekanto[3], unsur-unsur peranan atau role adalah :
1.      Aspek dinamis dari kedudukan
2.      Perangkat hak-hak dan kewajiban
3.      Perilaku sosial dan pemegang kedudukan
4.      Bagian dari aktivitas yang dimainkan seseorang.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Sementara peranan itu sendiri diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Jadi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Menurut Soerjono Soekanto[4] peranan mencakup tiga hal, yaitu:
1.      Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan.
2.      Membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan peran adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.      Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
  2.2.2 Pengertian Pemilikada
            Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.[5]
            Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang “ pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
            Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan.

2.2.3 Konsep Pemilukada Langsung
            Pelaksanaan pilkada langsung pada hakikatnya  tidak hanya untuk tujuan mengoptimalkan demokratisasi didaerah, melaikan merupakan perwujudkan dari prinsip otomi daerah seluas-luasnya. Pasal 56 ayat 1 Undang-undang No 32 tahun 2004 berbunyik “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dala satu calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan atas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.[6]           
            pemilihan kepala daerah secara langsung adalah momentum yang paling strategis untuk memilih kepala daerah yang berkualitas. Keberhasilan tidak hanya diukur dari proses penyelenggaraannya yang berlangsung lancar dan damai terapi juga diukur dai hasil yang diperoleh, apakah telah menghasilkan pemipin yang berkualitas terutama dari sisi manajerial dan kompetesi. Bila pemilihan ini hanya dijadikan sebagai ajang perebutkan kekuasaan melalui voting yang hanya populasi dan diterima secara luas, namun tidak mempunyai kecakapan dan kemampuan dalam mengelola daerah.
            Penguatan demokrasi lokal melalui pemilihan ini adalah bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Upaya penguatan demokrasi lokal melalui pemilukada langsung ini adalah mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobosan atas mandengnya pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah secara langsung dimulai pada tahun 2005, yang diselenggarakan di 226 daerah, yang meliputi 11 Provinsi, 180 kabupaten, dan 35 kota.
            Pemilukada adalah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering disingkat dengan pilkada. Pemilihan umum ini dilaksanakan untuk memilih Kepala Daerah yaitu Gubernur Wakil Gubernur untuk tingkat privinsi, Bupati Wakil Bupati untuk kabupaten dan Walikota Wakil Walikota untuk kota madya yang dipilih secara langsung oleh masyarakat diwilayah tersebut. Secara nasional pemilukada pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 diantaranya pemilihan walikota dan wakil wali kota Depok, Pilkada Kabupaten Sukabumi, dan Pilkada Kabupaten Sumenep.
            Pemilukada Aceh secara langsung diselenggarakan pada tahun 2006. Tepatnya pada 11 Desember 2006. Pilkada Aceh dilaksanakan secara serentak di 4 Kota dan 15 Kabupaten. Kota melakukan pilkada, yakni Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa. Sedangkan kabupaten yang melaksanakan pilkada adalah Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Simeulue. Berbeda dengan daerah lainnya  di Indonesia Pilkada Aceh ini tergolong unik karena diikuti oleh mantan kombatan GAM yang notabenenya adalah pemberontak, dari 20 jabatan kepala daerah GAM berhasil memperoleh 9 jabatan yaitu 8 posisi bupati/walikota 1 gubernur.
            Disamping itu Pilkada Aceh tahun 2006 bukanlah Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang terjadi landasan hukumnya sebagaimana pelaksanaan pilkada untuk daerah lainnya di Indonesia. Namun, Aceh memiliki landasan hukum khusus tersendiri yaitu Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang  pemerintah Aceh. Bahkan yang lebih uniknya Pilkada Aceh adanya kenderaan politik bagi para mantan kombatan GAM yang tidak ingin maju lewat partai politik nasional.
2.2.4 Penyelenggara Pemilu di Aceh
            Dalam bab ketentuan umum pasal 1 ayat 12 Undang-undang No 11 tahun 2006 tetang pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.[7]
            Dari aturan ini dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan Pemilihan umum di Aceh baik legislatif maupun pemilihan eksekutif akan diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan. KIP Aceh sebagaimana pasal 56 ayat 1 bertugas menyelenggarakan pemilihan umum presiden/wakil presiden, anggota PDR, anggota DPD, pemilihan Gubernur/ Wakil Gubenur. Sedangkan KIP Kabupaten/Kota selain melaksanakan tugas turunan dari KIP Aceh juga melaksanakan pemilu untuk pemilih Bupati/Wakil Bupati dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota.[8]
            Berdasarkan Undang-undang No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa KIP memiliki tugas, wewenang dan kewajiban, diantaranya :[9]
a.       Merancang dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gebernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
b.      Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
c.       Mengoordinasika, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
d.      Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilih pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
e.       Menerima pendaftaran pasangan calon sebagai peserta pemilihan
f.       Menerima persyaratan calon pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
g.      Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan
h.      Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye
i.        Melakukan audit dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye
j.        Menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
Dalam Qanun Aceh No 5 tahun 2012 tentang pemilukada juga disebutkan bahwa pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota akan diselenggarakan secara berkala selama 5 tahun sekali.[10] Untuk melaksanaan pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur akan dilaksanakan diseluruh Aceh seabagi satu kesatuan daerah pemilihan.[11]   Sedangkan untuk pelaksanaan pemilhan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Walikota akan dilaksanakan diseluruh kabupaten/kota masing-masing sebagai satu kesatuan daerah pemilihan.[12]    
2.2.5 Hak Pilih dalam Pemilu
            Pada azasnya setiap warga negara berhak ikut serta dalam Pemilih Umum. Hak warga negara untuk ikut serta dalam pemilihan umum disebut Hak Pilih, yang terdiri dari:
a.       Hak pilih aktif (hak memilih)
b.      Hak pilih pasif (hak dipilih)
Setiap warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur tujuh belas tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih. Seorang warha negara Indonesia yang telah mempunyai hak memilih, baru bisa menggunakan haknya, apabila telah terdaftar sebagai pemilih.[13]
Masalah dan gejolak seringkali terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak akuratnya data pemilih. Ada warga masyarakat yang telah memenihi persyaratan sebagai pemilih, ternyata tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), malah sebaliknya orang-orang yang sudah meninggal dunia namanya masihtercantum dalam DPT. Sebenarnya masalah ini lebih bersifat teknis dan administratif, tetapi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, masalah ini dipolitisasi sehingga tidak jarang menimbulkan gejolak dan konflik.

2.2.6 Sistem Pemilu

Pada umumnya Anggota Partai Politik dapat duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat melalui Pemilihan Umum, tetapi karena ada kelompokkelompok fungsional yang hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat serta dibutuhkan keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka dikenal pula adanya cara-cara pengangkatan maupun penunjukkan. Kendatipun demikian dalam negara yang menganut prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, tentunya keberadaan anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari Pemilihan Umum komposisinya harus lebih banyak ketimbang anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari pengangkatan atau penunjukkan. 
Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat dapat digolongkan kedalam dua sistem, yaitu:[14]
1.      Sistem Pemilihan Organis,  yakni mengisi keanggotaan Lembaga Perwakilan rakyat melalui pengangkatan atau penujukan.
2.      Sistem Pemilihan Mekanis. Sistem ini sering disebut juga Pemilihan Umum.
            Berkaitan dengan adanya dua sistem tersebut, dibawah ini akan penulis sampaikan pokok-pokok pikiran yang dikembangkan oleh masing-masing sistem di atas.
1.      Sistem Pemilihan Organis.
Menurut Wolhoff, sistem pemilihan organis ini dilandasi oleh pokok pikiran bahwa :[15]
a.       Rakyat dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah individu yang harus bersama dalam beraneka ragam persekutuan hidup, seperti genealogi (keluarga), teritorial (daerah), fungsional spesialis (cabang industri), lapisan-lapisan sosial (buruh) dan lembaga-lembaga sosial (LSM/ORNOP).
b.      Persekutuan-persekutuan hidup inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih. Artinya yang mempunyai kewenangan atau hak untuk mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai anggota Lembaga Perwakilan Rakyat adalah Persekutuan-persekutuan hidup tersebut.
c.       Partai-partai Politik dalam struktur kehidupan kemasyarakatan seperti ini tidak dibutuhkan keberadaannya. Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan diselenggarakan dipimpin sendiri oleh masing-masing persekutuan hidup tersebut.
Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat, menurut sistem pemilihan organis tidak lebih hanya merupakan “ Lembaga Perwakilan Persekutuan-persekutuan hidup”. Dengan kata lain Lemabaga Perwakilan yang hanya berfungsi untuk mengurus kepentingan-kepentingan khusus dari persekutuan-persekutuan hidup yang ada di dalam masyarakat suatu negara. Dengan demikian melalui sistem pemilihan organis ini kedudukan Lembaga Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat representasinya sangat rendah. Oleh sebab itu apabila Lembaga Perwakilan jenis ini akan menetapkan suatu Undang – Undang  yang menyakut hak-hak rakyat, maka Undang – Undang tersebut dapat berlaki efektif jika rakyat telah menyetujui, misalnya melalui referendum.

2.      Sistem Pemilihan Mekanis
            Masih menurut Wolhoff, sistem pemlihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran bahwa :[16]
a.       Rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagi massa individu-individu yang sama.
b.      Individu-individu inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih aktif.
c.       Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan untuk suatu Lembaga Perwakilan Rakyat.
d.      Dalam negara liberal mengutamakan individu-individu sebagai kesatuan otonom dan masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam negara sosialis-komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu-individu dalam kotaliteit kolektif ini.
e.       Partai politik atau organisasi politik berperan dalam mengorganisir pemilih, sehingga eksistensinya (keberadaannya) sangat diperlukan, baik menurut sistem satu partai, dua partai ataupun multi partai.
            Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut diatas, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan inilah, maka dikenal adanya dua sistem Pemilihan Umum, yaitu:
a.       Sistem Pemilihan distrik; dan
b.      Sistem Pemilihan Proporsional.
            Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan Umum ini membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya. Sistem Pemilihan yang mengkombinasikan antara sistem distrik dan Proporsional adalah sistem Pemilihan Umum yang dilaksanakan di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu.[17] Sistem yang dimaksud adalah “Sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka.[18]
a.      Sistam Pemilihan Distrik.
            Tatanan Pemilihan umum seperti ini dapat digabarkan sebagi berikut. Wilayah suatu negara yang menyelenggarakan suatu pemilihan untuk wakil-wakil di parlemen, dibagi atas distrik-distrik pemilih yang jumlahnya sama dengan kursi yang tersedia di parlemen (kursi di Parlemen yang diperebutkan dalam Pemilihan Umum). Setiap distrik hanya memilih satu orang wakil untuk duduk di Parlemen dari beberapa calon untuk distrik tersebut.

            Jikalau pembagian distrik dirasa terlalu banyak, maka dapat juga dipergunakan cara penentuan distrik berdasarkan kursi di Parlemen di bagi dua. Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa mengirimkan dua calon untuk duduk di kursi Parlemen.
            Berdasarkan tatanan (sistem) Pemilihan distrik semacam ini, maka keuntungan yang dapat diperoleh:
1.      Hubungan antara rakyat dengan “sang wakil” relatif dekat. Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan wakil rakyat yang tidak populer di masing-masing distrik. Selain itu dalam perkembangan lebih lanjut sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai Politik, karena dalam Pemilihan distrik, takyat memilih orang. Bukan Partai Politik.
2.      Sistem ini mendorong penyatuan partai-partai (khususnya jika suatu negara itu mempergunakan sistem multi partai). Hal ini disebabkan calon yang terpilih di masing-masing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan terpilihnya mereka ini semata-mata hanya karena kepopuleran dan kredibilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partai-partai politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang yang  lebih “mampu” diantara mereka
3.      Organisasi dari penyelenggaraan pemilihan dengan sistem distrik ini relatif sederhana. Tidak memerlukan banyaj orang dan banyak birokrasi untuk menysusun kepanitiaan Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah dan penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang terbuang tidak perlu diperhitungkan.
b.      Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000. Imbangan suara seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara 400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai 1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan Umum (Partai Politik/Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di Parlemen Pusat.
Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilihan.

Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan faktor-faktor politik lainnya - kursi yang tersedia di Parlemen Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang sering disebut Multy member constituency. Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan Umum - maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedikit, merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung kelemahan yang cukup substansiil, yaitu :[19]
1.      Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan sistem proposional justru menjurus kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2.      Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya, yaitu partai politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanyaanggapan bahwa keberadaan partai politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan dari padakemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih partai politik. Bukan memilih seorang wakil.
3.      Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada  umumnya penentuan pemerintahan didasarkan pada kolisi dari dua partai atau lebih.
            Disamping kedua sistem tersebut diatas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu pada tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, partai politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan abjad. Bukan nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat pemilih disamping “mencoblos” partai politik yang dikehendaki mereka juga memilih nama-nama calon wakil yang diajukan oleh partai politik yang bersangkutan. Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan kepentingan partai politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini, diharapkan wakil-wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hal ini mengingat walapun dia dicalonkan oleh partai politik namun secara definitif dapat atau tidaknya dia duduk di DPR semata-mata sangat tergantung pada hasil pilihan rakyat yang diambil dari daftar calon tersebut.
            Menurut Pasal 2 Undang-undnag tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan Pemilu berdasarkan asa langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dapat dipertanggung jawabkan. Perluasan asas pemilu semacam ini memang dirasa terlalu “membabi-buta”. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika asas-asas pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
            Masih berkaitan dengan asas pemilihan umum. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 dan ketentuan pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab. Berkaitan dengan ketentuan semacam inilah, maka Unang-undang tentang Pemilihan Umum mengembangkan asas Pemilihan Umum.[20]


2.2.8        Beberapa Variabel Penjelas dalam Perilaku Politik Pemilih
a.       Figur Kandidat dan Perilaku Pemilih
Person adalah profil dari kandidat yang akan dipilih melalui suatu kontestasi politik, yang secara otomatis dapat membentuk sikap politis pemilih dalam menetapkan pilihannya. Bahkan person atau figur kandidat seringkali menentukan keputusan pilihan dibandingkan dengan policy. Hal ini berkaitan dengan proses pembentukan keyakinan para pemilih, bahwa para pemilih lebih mudah diyakinkan dengan menawarkan figur manusia. Orang lebih muda terinformasi oleh fakta mengenai manusia dibandingkan policy.[21]
Kualitas kandidat dapat dilihat dari tiga dimensi sebagai berikut[22]:
(1) Kualitas instrumen, yaitu kompetensi kandidat yang meliputi kompetensi manajerial, berkitan dengan kemampuan untuk menyusun rencana, pengorganisasian, pengendalian, dan pemecahan masalah untuk mencapai sasaran objektif tertentu, dan kompetensi fungsional, terkait dengan keahlian bidang-bidang tertentu. (2) faktor simbolis, yang meliputi prinsip-prinsip hidup maupun nilai-nilai dasar yang dianut oleh seorang kandidat, aura emosional, aura inspirasional, dan aura sosial, (3) fenotipeoptis, yakni penampakan visual seorang kandidat yang terdiri dari faktor pesona fisik, faktor kesehatan dan gaya kepemimpinan.

Suatu literatur yang signifikan dan berkembang yang menyatakan bahwa kandidat – kandidat itu sendiri adalah sumber yang penting untuk mendapatkan suara di beberapa Negara dan beberapa pemilihan yang signifikan. Kandidat – kandidat dapat menarik dukungan untuk siapakah mereka, atau apa yang telah mereka lakukan, atau apa yang akan mereka lakukan, bukan hanya atas pertimbangan partai yang mengusung mereka. Ada beberapa pertimbangan yang bagus untuk itu. Di bawah sistim pemilihan tertentu, kandidat secara individu memiliki dorongan yang kuat untuk membedakan diri mereka sendiri dari yang lain dalam partai mereka dan berguna untuk mengembangkan “personal following”. Stimulus akan lebih tinggi dimana suara berdasarkan kandidat bukan partai dan dimana suara secara signifikan berpengaruh tidak hanya kepada partai pemenang kursi namun diikuti oleh pengaruh kandidat.[23]
Newman dalam Sugiono, The Mass Marketing of Politics, Democracy in Age of Manufacture Image, menegaskan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih, selalu berusaha untuk melihat secara utuh sang kandidat.[24] Perbedaan antara individu dan kualitas strategi bukan berarti keduanya tidak terkait, keduanya mungkin berkontribusi secara langsung pada prospek pemilihan dari kandidat yang potensial dan incumbents. Mereka seharusnya saling berhubungan juga. Jika para pemilih memperhatikan kualitas personal dari kandidat untuk menjabat, maka para penyokong dana dan orang – orang yang mengendalikan sumber daya kandidat perlu untuk menawarkan suatu kampanye yang efektif.
b.      Identifikasi Partai dan Perilaku Pemilih
Identifikasi partai diartikan sebagai ikatan psikologis seseorang kepada suatu partai tertentu.[25] Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita - cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.[26]
Partai adalah perkumpulan atau segolongan orang yang seasas, sehaluan, dan setujuan terutama dibidang politik.[27] Identifikasi kepartaian adalah ikatan emosional individu dengan suatu partai. Ikatan itu merupakan identifikasi psikologi tanpa pengakuan formal atau dinyatakan dalam bentuk keanggotaan formal dan bahkan tidak dinyatakan dalam bentuk keanggotaan formal dan bahkan tidak harus konsisten untuk mendukung suatu partai. Identifikasi partai telah diperoleh dari masa kanak-kanak dan dianggap relatif stabil dalamkehidupan seseorang, tetapi kadang-kadang bisa menguat atau melemah sewaktu masa dewasa.[28]
Peranan identifikasi partai mungkin menurun atau kurang signifikan untuk menjelaskan perilaku pemilih apabila faktor isu dan kandidat lebih dominan. Tetapi apabila individu tidak memiliki persepsi yang utuh tentang isu dan prestasi partai atau kandidat, maka peranan identifikasi partai akan sangat kuat.[29] Sejarah identifikasi partai telah menjadi suatu konsep ekstensi yang digunakan dalam hubungannya dengan pemilih. Dasar pemikiran untuk itu telah dianggap stabil, menjadi penyebab utama pemilih untuk memilih dan kemampuannya untuk meramalkan secara lebih baik mengenai hasil pemilihan.[30]
2.2.9 Teori Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi warga masyarakat dakam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pada abad 14, hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, untuk memberu suara, atau menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya dan keturunan orang terpandang.[31] Kecenderungan keara partisipasi rakyat yang lebih luas dalam politik bermula pada masa renaisance dan reformasi abad 15 sampai abad 17, abad 18 dan 19. Tetapi cara-cara  bagaimana berbagao golongan masyarakat (pedagang, tukang,orang-orang profesional, buruh kota, wiraswasta , indurstri, petani desa dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk berpartisipasi lebih luas dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di berbagai negara.[32]
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partispasi politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik Di negara Berkembang memaknai partispasi politik sebagai :
By political participation w mean activity by private citizens designed to influence government decision-making. Particition may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective. ( partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif )[33]
Menurut Myron Weiner sperti dikutip oleh Mas’oed, paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi lebih luas dalam proses politik.
Dengan demikian, pengertian Huntington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pemberontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.


1.      Modernisasi
Ketika penduduk kota baru ( yaitu buruh, pedagang, dan kaum profesional) melakukan komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan dan pengembangan media massa, mereka merasa dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri, makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2.      Perubahan-perubahan strukrural kelas sosial
Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, maslah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.

2.4  Pemilih Pemula
Dalam udang-undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum disebutkan bahwa pemilih pemula adalah mereka yang baru pertama kali untuk memilih dan telah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/belum menikah mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum (dan Pemilukada). Keberadaan kalangan pemilih pemula telah menjadi objek kajian politis bagi hitungan pemilu mendatang. Kurang lebih 20% pemilih pemula, yang merupakan generasi muda, akan menjadi sasaran empuk bagi para partai politik yang ada. Tentu hal ini tidak akan disia-siakan begitu saja, lantaran jumlahnya yang cukup signifikan. Adapun menurut Riswanda Imawan, Pemilih Pemula adalah mereka yang baru pertama kali akan ikut dalam pemilu.[34] Pemilih pemula juga dianggap menjadi “ ladang emas “ suara bagi keseluruhan partai politik. Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan ini tentu akan bisa dirasakan keuntungannya.
           
Pemilih pemula juga memiliki ciri khas seperti, memiliki antusiasme tinggi, relatif rasional, haus akan perubahan, dan tipis kadar pragmatisme.[35] Bahkan Pemilih pemula cenderung apatis dengan elite parpol, apalagi mayoritas parpol masih menonjolkan figur tua.
3.      Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern
Kaum intelektual (sarjana, filosof, pengarang, wartawan) sering mengemukakan ide-ide seperti egalisterisme dan nasionalisme kepada masyarakat untuk membangkitkan tuntutan akan partispasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik. Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern memudahkan dan mempercepat penyebaran ide-ide baru.
4.      Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik
Kalau timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari dukungan dari rakyat. Dalam hal ini mereka tentu menganggap sah dan memperjuangkan ide-ide partisipasi massa dan akibatnya menimbulkan geraka-gerakan yang menuntut agar “hak-hak” ini dipenuhi. Jadi kelas-kelas menengah dalam perjuangannya melawan kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
5.      Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan
Peluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijaksanaan baru biasanya berati bahwa konsekuensi tindakan-tindaka pemerintah menjadi seakin penyusup pada kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisiapasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah yang mungkin dapat merugikan kepentingannya. Maka dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.




[1] Budiarjo, Miriam. 1981. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai”. Jakarta: PT. Gramedia.
[2]Abdulsyani. 2007 Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 441
[4] Ibid. Hlm 246
[5] Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, hlm 44.
[6]  Pasal 56 ayat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[7] Pasal 11 ayat 12 Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
[8] Pasal 56 ayat 1
[9] Pasal 58 ayat 1
[10] Pasal 3 ayat 1, Qanun Aceh No 5 tahun 2012, Tentang Penyelenggaraan Pemilikada
[11] Ayat 2
[12]  Ayat 10 Pasal 1 Bab Ketentuan Umum
[13] Prof. H. Rozali Abdullah, S.H. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 168.
[14]   Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988, hal. 171, dst.
[15] Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, Loc.cit.
[16] Loc.cit
[17]   Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan Umum tersebut masih tahap pembicaraan di DPR-RI
[18]   Pasal 5 ayat (l) UU tentang Pemilihan Umum.
[19]  Ibid, hlm. 180
[20] Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.
[21] Nursal, Adman, 2004, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu,PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm 206
[22] Ibid Hlm.207
[23] Mars, 2005, Candidat or Parties? Objects Of Electorals Choice in Ireland.
[24] Sugiono, 2005, Faktor yang Mempegaruhi Pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Perspektif Political Marketing, hlm 7
[25] Gaffar Afan, Javanese Voters.Jogakarta .1992
[26] Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
[27] Marbun, BN, 2003, Kamus Politik, hlm 402
[28] Noris, Pippa, 2005, Political and Parties and Democracy in Theoretical and Practical Prespectives : Development in Party Communicatins.
[29] Kristiadi, Op.cit hlm 57
[30] Hinkle James R, 2004, Causes of Voter Choice : An Analysis of the 2004 Presidential Elections and the Choice of American Voters to re-elect George W. Bush to the Office of President, Hlm 7
[31]  Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press 2001), hlm. 45
[32] Ibid, hlm. 45
[33] Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4  
[34] Riswanda Imawan 1997, Membedah Politik orde baru. Pustaka Pelajar(anggota IKAPI). Yogjakarta.
[35] http://bataviase.co.id/node/763639 di akses kamis 13/05/2016

0 comments: