2.2.1
Teori Peranan
Peranan merupakan aspek yang dinamis
dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka hal ini berarti ia menjalankan suatu peranan.
Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling bertentangan satu sama lain. Setiap
orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan
hidupnya. Hal tersebut seklaigus berarti bahwa “peranan menentukan apa yang
diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya. Peranan lebih banyak menekankan pada
fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses”.[1]
Menurut Abdulsyani[2]
“pernana adalah suatu perubuatan seseorang atau sekelompok orang dengan cara
tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang
dimilikinya”. Perlaku peranan dikatakan berperan jika telah melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya dengan masyarakat. Jika
seseorang mempunyai status tertentu dalam kehidupan masyarakat maka selanjutnya
akan ada kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru.
Menurut Soerjono Soekanto[3],
unsur-unsur peranan atau role adalah :
1. Aspek
dinamis dari kedudukan
2. Perangkat
hak-hak dan kewajiban
3. Perilaku
sosial dan pemegang kedudukan
4. Bagian
dari aktivitas yang dimainkan seseorang.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat,
merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Sementara
peranan itu sendiri diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Jadi
seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu
peranan. Menurut Soerjono Soekanto[4]
peranan mencakup tiga hal, yaitu:
1. Peranan
meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam
masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan.
2. Membimbing
seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan peran adalah suatu konsep tentang apa
yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peranan
juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.
2.2.2 Pengertian Pemilikada
Pemilihan umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah,
karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan
kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur
pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih
siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang
selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.[5]
Pemilukada menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang “ pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
pasal 56 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah
peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang telah memenuhi persyaratan.
2.2.3
Konsep Pemilukada Langsung
Pelaksanaan pilkada langsung pada
hakikatnya tidak hanya untuk tujuan
mengoptimalkan demokratisasi didaerah, melaikan merupakan perwujudkan dari
prinsip otomi daerah seluas-luasnya. Pasal 56 ayat 1 Undang-undang No 32 tahun
2004 berbunyik “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dala satu calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan atas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil”.[6]
pemilihan
kepala daerah secara langsung adalah momentum yang paling strategis untuk
memilih kepala daerah yang berkualitas. Keberhasilan tidak hanya diukur dari
proses penyelenggaraannya yang berlangsung lancar dan damai terapi juga diukur
dai hasil yang diperoleh, apakah telah menghasilkan pemipin yang berkualitas
terutama dari sisi manajerial dan kompetesi. Bila pemilihan ini hanya dijadikan
sebagai ajang perebutkan kekuasaan melalui voting yang hanya populasi dan
diterima secara luas, namun tidak mempunyai kecakapan dan kemampuan dalam
mengelola daerah.
Penguatan demokrasi lokal melalui
pemilihan ini adalah bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Upaya penguatan demokrasi lokal melalui pemilukada langsung ini adalah
mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobosan atas mandengnya pembangunan
demokrasi di tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah secara langsung dimulai
pada tahun 2005, yang diselenggarakan di 226 daerah, yang meliputi 11 Provinsi,
180 kabupaten, dan 35 kota.
Pemilukada adalah pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering disingkat dengan pilkada.
Pemilihan umum ini dilaksanakan untuk memilih Kepala Daerah yaitu Gubernur
Wakil Gubernur untuk tingkat privinsi, Bupati Wakil Bupati untuk kabupaten dan
Walikota Wakil Walikota untuk kota madya yang dipilih secara langsung oleh
masyarakat diwilayah tersebut. Secara nasional pemilukada pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2005 diantaranya pemilihan walikota dan wakil wali kota
Depok, Pilkada Kabupaten Sukabumi, dan Pilkada Kabupaten Sumenep.
Pemilukada Aceh secara langsung
diselenggarakan pada tahun 2006. Tepatnya pada 11 Desember 2006. Pilkada Aceh
dilaksanakan secara serentak di 4 Kota dan 15 Kabupaten. Kota melakukan
pilkada, yakni Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa. Sedangkan
kabupaten yang melaksanakan pilkada adalah Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh
Utara, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Barat
Daya, Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Simeulue. Berbeda
dengan daerah lainnya di Indonesia
Pilkada Aceh ini tergolong unik karena diikuti oleh mantan kombatan GAM yang notabenenya
adalah pemberontak, dari 20 jabatan kepala daerah GAM berhasil memperoleh 9
jabatan yaitu 8 posisi bupati/walikota 1 gubernur.
Disamping
itu Pilkada Aceh tahun 2006 bukanlah Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah yang terjadi landasan hukumnya sebagaimana pelaksanaan
pilkada untuk daerah lainnya di Indonesia. Namun, Aceh memiliki landasan hukum
khusus tersendiri yaitu Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. Bahkan yang lebih uniknya
Pilkada Aceh adanya kenderaan politik bagi para mantan kombatan GAM yang tidak
ingin maju lewat partai politik nasional.
2.2.4 Penyelenggara
Pemilu di Aceh
Dalam
bab ketentuan umum pasal 1 ayat 12 Undang-undang No 11 tahun 2006 tetang
pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Komisi Independen Pemilihan selanjutnya
disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dai
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK,
pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.[7]
Dari
aturan ini dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan Pemilihan
umum di Aceh baik legislatif maupun pemilihan eksekutif akan diselenggarakan
oleh Komisi Independen Pemilihan. KIP Aceh sebagaimana pasal 56 ayat 1 bertugas
menyelenggarakan pemilihan umum presiden/wakil presiden, anggota PDR, anggota
DPD, pemilihan Gubernur/ Wakil Gubenur. Sedangkan KIP Kabupaten/Kota selain melaksanakan
tugas turunan dari KIP Aceh juga melaksanakan pemilu untuk pemilih Bupati/Wakil
Bupati dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota.[8]
Berdasarkan Undang-undang No 11
tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa KIP memiliki tugas,
wewenang dan kewajiban, diantaranya :[9]
a. Merancang
dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gebernur, Bupati/Wakil Bupati,
dan Walikota/Wakil Walikota.
b. Menetapkan
tata cara pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan
Walikota/ Wakil Walikota
c. Mengoordinasika,
menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pelaksanaan pemilih
Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
d. Menetapkan
tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pemilih
pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/
Wakil Walikota
e. Menerima
pendaftaran pasangan calon sebagai peserta pemilihan
f. Menerima
persyaratan calon pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
g. Menetapkan
pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan
h. Menerima
pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye
i.
Melakukan audit dan mengumumkan laporan
sumbangan dana kampanye
j.
Menetapkan hasil rekapitulasi
perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan pelaksanaan pemilih Gubernur/
Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
Dalam
Qanun Aceh No 5 tahun 2012 tentang pemilukada juga disebutkan bahwa pelaksanaan
pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil
Walikota akan diselenggarakan secara berkala selama 5 tahun sekali.[10]
Untuk melaksanaan pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur akan dilaksanakan
diseluruh Aceh seabagi satu kesatuan daerah pemilihan.[11] Sedangkan untuk pelaksanaan pemilhan
Bupati/Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Walikota akan dilaksanakan diseluruh
kabupaten/kota masing-masing sebagai satu kesatuan daerah pemilihan.[12]
2.2.5
Hak Pilih dalam Pemilu
Pada
azasnya setiap warga negara berhak ikut serta dalam Pemilih Umum. Hak warga
negara untuk ikut serta dalam pemilihan umum disebut Hak Pilih, yang terdiri
dari:
a. Hak
pilih aktif (hak memilih)
b. Hak
pilih pasif (hak dipilih)
Setiap warga negara Indonesia yang pada hari
pemungutan suara sudah berumur tujuh belas tahun atau lebih atau sudah/pernah
kawin, mempunyai hak memilih. Seorang warha negara Indonesia yang telah
mempunyai hak memilih, baru bisa menggunakan haknya, apabila telah terdaftar
sebagai pemilih.[13]
Masalah dan gejolak seringkali terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak akuratnya data
pemilih. Ada warga masyarakat yang telah memenihi persyaratan sebagai pemilih,
ternyata tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), malah sebaliknya
orang-orang yang sudah meninggal dunia namanya masihtercantum dalam DPT.
Sebenarnya masalah ini lebih bersifat teknis dan administratif, tetapi oleh
pihak-pihak yang merasa dirugikan, masalah ini dipolitisasi sehingga tidak
jarang menimbulkan gejolak dan konflik.
2.2.6
Sistem Pemilu
Pada umumnya Anggota Partai Politik dapat duduk di
Lembaga Perwakilan Rakyat melalui Pemilihan Umum, tetapi karena ada
kelompokkelompok fungsional yang hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat
serta dibutuhkan keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka dikenal
pula adanya cara-cara pengangkatan maupun penunjukkan. Kendatipun demikian
dalam negara yang menganut prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, tentunya
keberadaan anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari
Pemilihan Umum komposisinya harus lebih banyak ketimbang anggota-anggota
Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari pengangkatan atau penunjukkan.
Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga
Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di
Lembaga Perwakilan Rakyat dapat digolongkan kedalam dua sistem, yaitu:[14]
1. Sistem
Pemilihan Organis, yakni mengisi
keanggotaan Lembaga Perwakilan rakyat melalui pengangkatan atau penujukan.
2. Sistem
Pemilihan Mekanis. Sistem ini sering disebut juga Pemilihan Umum.
Berkaitan
dengan adanya dua sistem tersebut, dibawah ini akan penulis sampaikan
pokok-pokok pikiran yang dikembangkan oleh masing-masing sistem di atas.
1. Sistem
Pemilihan Organis.
Menurut Wolhoff, sistem pemilihan organis ini
dilandasi oleh pokok pikiran bahwa :[15]
a. Rakyat
dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah individu yang harus bersama dalam
beraneka ragam persekutuan hidup, seperti genealogi (keluarga), teritorial
(daerah), fungsional spesialis (cabang industri), lapisan-lapisan sosial (buruh)
dan lembaga-lembaga sosial (LSM/ORNOP).
b. Persekutuan-persekutuan
hidup inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih. Artinya yang
mempunyai kewenangan atau hak untuk mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai
anggota Lembaga Perwakilan Rakyat adalah Persekutuan-persekutuan hidup
tersebut.
c. Partai-partai
Politik dalam struktur kehidupan kemasyarakatan seperti ini tidak dibutuhkan
keberadaannya. Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan diselenggarakan dipimpin
sendiri oleh masing-masing persekutuan hidup tersebut.
Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan
Lembaga Perwakilan Rakyat, menurut sistem pemilihan organis tidak lebih hanya
merupakan “ Lembaga Perwakilan Persekutuan-persekutuan hidup”. Dengan kata lain
Lemabaga Perwakilan yang hanya berfungsi untuk mengurus kepentingan-kepentingan
khusus dari persekutuan-persekutuan hidup yang ada di dalam masyarakat suatu
negara. Dengan demikian melalui sistem pemilihan organis ini kedudukan Lembaga
Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat representasinya sangat rendah. Oleh sebab
itu apabila Lembaga Perwakilan jenis ini akan menetapkan suatu Undang –
Undang yang menyakut hak-hak rakyat,
maka Undang – Undang tersebut dapat berlaki efektif jika rakyat telah
menyetujui, misalnya melalui referendum.
2. Sistem
Pemilihan Mekanis
Masih
menurut Wolhoff, sistem pemlihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran bahwa
:[16]
a. Rakyat
di dalam suatu negara dipandang sebagi massa individu-individu yang sama.
b. Individu-individu
inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih aktif.
c. Masing-masing
individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan untuk suatu
Lembaga Perwakilan Rakyat.
d. Dalam
negara liberal mengutamakan individu-individu sebagai kesatuan otonom dan
masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antar individu
yang bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam negara sosialis-komunis lebih
mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan
individu-individu dalam kotaliteit kolektif ini.
e. Partai
politik atau organisasi politik berperan dalam mengorganisir pemilih, sehingga
eksistensinya (keberadaannya) sangat diperlukan, baik menurut sistem satu
partai, dua partai ataupun multi partai.
Berpangkal
tolak dari pemikiran tersebut diatas, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat
yang terbentuk bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan
politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut sebagai
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan
inilah, maka dikenal adanya dua sistem Pemilihan Umum, yaitu:
a. Sistem
Pemilihan distrik; dan
b. Sistem
Pemilihan Proporsional.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan Umum ini membuka peluang
adanya kombinasi antara keduanya. Sistem Pemilihan yang mengkombinasikan antara
sistem distrik dan Proporsional adalah sistem Pemilihan Umum yang dilaksanakan
di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang
Pemilu.[17]
Sistem yang dimaksud adalah “Sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka.[18]
a.
Sistam Pemilihan Distrik.
Tatanan
Pemilihan umum seperti ini dapat digabarkan sebagi berikut. Wilayah suatu
negara yang menyelenggarakan suatu pemilihan untuk wakil-wakil di parlemen,
dibagi atas distrik-distrik pemilih yang jumlahnya sama dengan kursi yang
tersedia di parlemen (kursi di Parlemen
yang diperebutkan dalam Pemilihan Umum). Setiap distrik hanya memilih satu
orang wakil untuk duduk di Parlemen dari beberapa calon untuk distrik tersebut.
Jikalau pembagian distrik dirasa
terlalu banyak, maka dapat juga dipergunakan cara penentuan distrik berdasarkan
kursi di Parlemen di bagi dua. Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa
mengirimkan dua calon untuk duduk di kursi Parlemen.
Berdasarkan tatanan (sistem)
Pemilihan distrik semacam ini, maka keuntungan yang dapat diperoleh:
1. Hubungan
antara rakyat dengan “sang wakil” relatif
dekat. Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan wakil
rakyat yang tidak populer di masing-masing distrik. Selain itu dalam
perkembangan lebih lanjut sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai
Politik, karena dalam Pemilihan distrik, takyat memilih orang. Bukan Partai
Politik.
2. Sistem
ini mendorong penyatuan partai-partai (khususnya jika suatu negara itu
mempergunakan sistem multi partai). Hal ini disebabkan calon yang terpilih di
masing-masing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan terpilihnya mereka
ini semata-mata hanya karena kepopuleran dan kredibilitasnya. Oleh sebab itulah
ada kemungkinan partai-partai politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang
yang lebih “mampu” diantara mereka
3. Organisasi
dari penyelenggaraan pemilihan dengan sistem distrik ini relatif sederhana.
Tidak memerlukan banyaj orang dan banyak birokrasi untuk menysusun kepanitiaan
Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah dan penyelenggaraannya relatif singkat.
Sisa suara yang terbuang tidak perlu diperhitungkan.
b.
Sistem
Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah mempergunakan
mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan
dalam suatu Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau
golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan
imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk
kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000. Imbangan suara
seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara
400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai
1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu
daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang
diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari
suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta
Pemilihan Umum (Partai Politik/Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di
Parlemen Pusat.
Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan,
namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar,
maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk
daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam
daerah-daerah pemilihan.
Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara,
jumlah penduduk dan faktor-faktor politik lainnya - kursi yang tersedia di Parlemen
Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan ke
daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh
satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang
sering disebut Multy member constituency.
Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu
orang.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan
jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik
peserta Pemilihan Umum - maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah
suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah
pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini
mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat
sedikit, merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan
wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung kelemahan yang cukup
substansiil, yaitu :[19]
1. Sistem
ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Dengan
keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan sistem proposional justru
menjurus kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam
perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari
dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta
politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2. Wakil-wakil
yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya, yaitu
partai politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan
oleh adanyaanggapan bahwa keberadaan partai politik dalam menentukan seseorang
menjadi wakil rakyat lebih dominan dari padakemampuan individu dari sang wakil.
Rakyat hanya memilih partai politik. Bukan memilih seorang wakil.
3. Dengan
membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru mempersulit
terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada umumnya penentuan pemerintahan didasarkan
pada kolisi dari dua partai atau lebih.
Disamping
kedua sistem tersebut diatas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka.
Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu pada
tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional.
Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, partai
politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan
abjad. Bukan nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat
pemilih disamping “mencoblos” partai politik yang dikehendaki mereka juga
memilih nama-nama calon wakil yang diajukan oleh partai politik yang
bersangkutan. Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan
rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan
kepentingan partai politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini,
diharapkan wakil-wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat
pemilih. Hal ini mengingat walapun dia dicalonkan oleh partai politik namun
secara definitif dapat atau tidaknya dia duduk di DPR semata-mata sangat
tergantung pada hasil pilihan rakyat yang diambil dari daftar calon tersebut.
Menurut Pasal 2 Undang-undnag
tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan Pemilu berdasarkan asa langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, adil, dan dapat dipertanggung jawabkan. Perluasan asas
pemilu semacam ini memang dirasa terlalu “membabi-buta”. Akan tetapi,
berdasarkan pengalaman pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif,
penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika
asas-asas pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
Masih berkaitan dengan asas
pemilihan umum. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara tahun 1999-2004 dan ketentuan pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan
bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas
dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab. Berkaitan dengan
ketentuan semacam inilah, maka Unang-undang tentang Pemilihan Umum
mengembangkan asas Pemilihan Umum.[20]
2.2.8
Beberapa
Variabel Penjelas dalam Perilaku Politik Pemilih
a. Figur
Kandidat dan Perilaku Pemilih
Person
adalah profil dari kandidat yang akan dipilih melalui suatu kontestasi politik,
yang secara otomatis dapat membentuk sikap politis pemilih dalam menetapkan
pilihannya. Bahkan person atau figur kandidat seringkali menentukan keputusan
pilihan dibandingkan dengan policy. Hal ini berkaitan dengan proses pembentukan
keyakinan para pemilih, bahwa para pemilih lebih mudah diyakinkan dengan
menawarkan figur manusia. Orang lebih muda terinformasi oleh fakta mengenai
manusia dibandingkan policy.[21]
Kualitas
kandidat dapat dilihat dari tiga dimensi sebagai berikut[22]:
(1)
Kualitas instrumen, yaitu kompetensi kandidat yang meliputi kompetensi
manajerial, berkitan dengan kemampuan untuk menyusun rencana, pengorganisasian,
pengendalian, dan pemecahan masalah untuk mencapai sasaran objektif tertentu,
dan kompetensi fungsional, terkait dengan keahlian bidang-bidang tertentu. (2)
faktor simbolis, yang meliputi prinsip-prinsip hidup maupun nilai-nilai dasar
yang dianut oleh seorang kandidat, aura emosional, aura inspirasional, dan aura
sosial, (3) fenotipeoptis, yakni penampakan visual seorang kandidat yang
terdiri dari faktor pesona fisik, faktor kesehatan dan gaya kepemimpinan.
Suatu
literatur yang signifikan dan berkembang yang menyatakan bahwa kandidat –
kandidat itu sendiri adalah sumber yang penting untuk mendapatkan suara di
beberapa Negara dan beberapa pemilihan yang signifikan. Kandidat – kandidat
dapat menarik dukungan untuk siapakah mereka, atau apa yang telah mereka
lakukan, atau apa yang akan mereka lakukan, bukan hanya atas pertimbangan
partai yang mengusung mereka. Ada beberapa pertimbangan yang bagus untuk itu.
Di bawah sistim pemilihan tertentu, kandidat secara individu memiliki dorongan
yang kuat untuk membedakan diri mereka sendiri dari yang lain dalam partai
mereka dan berguna untuk mengembangkan “personal following”. Stimulus akan
lebih tinggi dimana suara berdasarkan kandidat bukan partai dan dimana suara
secara signifikan berpengaruh tidak hanya kepada partai pemenang kursi namun
diikuti oleh pengaruh kandidat.[23]
Newman dalam Sugiono, The
Mass Marketing of Politics, Democracy in Age of Manufacture Image,
menegaskan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih, selalu
berusaha untuk melihat secara utuh sang kandidat.[24]
Perbedaan antara individu dan kualitas strategi bukan berarti keduanya tidak
terkait, keduanya mungkin berkontribusi secara langsung pada prospek pemilihan
dari kandidat yang potensial dan incumbents. Mereka seharusnya saling
berhubungan juga. Jika para pemilih memperhatikan kualitas personal dari
kandidat untuk menjabat, maka para penyokong dana dan orang – orang yang
mengendalikan sumber daya kandidat perlu untuk menawarkan suatu kampanye yang
efektif.
b. Identifikasi Partai dan Perilaku Pemilih
Identifikasi
partai diartikan sebagai ikatan psikologis seseorang kepada suatu partai
tertentu.[25]
Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita - cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945.[26]
Partai
adalah perkumpulan atau segolongan orang yang seasas, sehaluan, dan setujuan
terutama dibidang politik.[27]
Identifikasi kepartaian adalah ikatan emosional individu dengan suatu partai.
Ikatan itu merupakan identifikasi psikologi tanpa pengakuan formal atau
dinyatakan dalam bentuk keanggotaan formal dan bahkan tidak dinyatakan dalam
bentuk keanggotaan formal dan bahkan tidak harus konsisten untuk mendukung
suatu partai. Identifikasi partai telah diperoleh dari masa kanak-kanak dan
dianggap relatif stabil dalamkehidupan seseorang, tetapi kadang-kadang bisa
menguat atau melemah sewaktu masa dewasa.[28]
Peranan
identifikasi partai mungkin menurun atau kurang signifikan untuk menjelaskan
perilaku pemilih apabila faktor isu dan kandidat lebih dominan. Tetapi apabila
individu tidak memiliki persepsi yang utuh tentang isu dan prestasi partai atau
kandidat, maka peranan identifikasi partai akan sangat kuat.[29]
Sejarah identifikasi partai telah menjadi suatu konsep ekstensi yang digunakan
dalam hubungannya dengan pemilih. Dasar pemikiran untuk itu telah dianggap
stabil, menjadi penyebab utama pemilih untuk memilih dan kemampuannya untuk
meramalkan secara lebih baik mengenai hasil pemilihan.[30]
2.2.9 Teori Partisipasi
Politik
Partisipasi
merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf
partisipasi warga masyarakat dakam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat
aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang tidak langsung guna
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pada
abad 14, hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, untuk
memberu suara, atau menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk
kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya dan keturunan orang terpandang.[31]
Kecenderungan keara partisipasi rakyat yang lebih luas dalam politik bermula
pada masa renaisance dan reformasi abad 15 sampai abad 17, abad 18 dan 19.
Tetapi cara-cara bagaimana berbagao
golongan masyarakat (pedagang, tukang,orang-orang profesional, buruh kota,
wiraswasta , indurstri, petani desa dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk
berpartisipasi lebih luas dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di
berbagai negara.[32]
Partisipasi
politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Istilah partispasi
politik telah digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan dengan
perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi partisipasi
politik. Huntington dan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik Di negara
Berkembang memaknai partispasi politik sebagai :
By political
participation w mean activity by private citizens designed to influence
government decision-making. Particition may be individual or collective,
organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or
illegal, effective or ineffective. ( partisipasi politik
adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif )[33]
Menurut
Myron Weiner sperti dikutip oleh Mas’oed, paling tidak terdapat lima hal yang
menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi lebih luas dalam proses
politik.
Dengan
demikian, pengertian Huntington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu :
pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup
kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan
komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan
politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan
perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan
pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang
mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada
warga negara biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud
untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya
membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek
sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk
kekerasan pemberontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut
sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan
yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,
berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak
langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara,
tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat
menyalurkan ke pemerintah.
Dalam
definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik
rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau
kegiatan politik lain yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan
politik oleh Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan demikian partisipasi politik tidak mencakup kegiatan
pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang
bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
1. Modernisasi
Ketika
penduduk kota baru ( yaitu buruh, pedagang, dan kaum profesional) melakukan
komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat,
penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan dan pengembangan media
massa, mereka merasa dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri, makin banyak
menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2. Perubahan-perubahan
strukrural kelas sosial
Begitu
terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah
selama proses industrialisasi dan modernisasi, maslah tentang siapa yang berhak
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
2.4 Pemilih Pemula
Dalam
udang-undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum disebutkan bahwa pemilih
pemula adalah mereka yang baru pertama kali untuk memilih dan telah berusia 17
tahun atau lebih atau sudah/belum menikah mempunyai hak memilih dalam pemilihan
umum (dan Pemilukada). Keberadaan kalangan pemilih pemula telah menjadi objek
kajian politis bagi hitungan pemilu mendatang. Kurang lebih 20% pemilih pemula,
yang merupakan generasi muda, akan menjadi sasaran empuk bagi para partai
politik yang ada. Tentu hal ini tidak akan disia-siakan begitu saja, lantaran
jumlahnya yang cukup signifikan. Adapun menurut Riswanda Imawan, Pemilih
Pemula adalah mereka yang baru pertama kali akan ikut dalam pemilu.[34]
Pemilih pemula juga dianggap menjadi “ ladang emas “ suara bagi keseluruhan
partai politik. Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan ini tentu
akan bisa dirasakan keuntungannya.
Pemilih
pemula juga memiliki ciri khas seperti, memiliki antusiasme tinggi, relatif
rasional, haus akan perubahan, dan tipis kadar pragmatisme.[35] Bahkan Pemilih pemula
cenderung apatis dengan elite parpol, apalagi mayoritas parpol masih
menonjolkan figur tua.
3. Pengaruh
kaum intelektual dan komunikasi massa modern
Kaum
intelektual (sarjana, filosof, pengarang, wartawan) sering mengemukakan ide-ide
seperti egalisterisme dan nasionalisme kepada masyarakat untuk membangkitkan
tuntutan akan partispasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik.
Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern memudahkan dan mempercepat
penyebaran ide-ide baru.
4. Konflik
di antara kelompok-kelompok pemimpin politik
Kalau
timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh
kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari dukungan dari rakyat.
Dalam hal ini mereka tentu menganggap sah dan memperjuangkan ide-ide
partisipasi massa dan akibatnya menimbulkan geraka-gerakan yang menuntut agar
“hak-hak” ini dipenuhi. Jadi kelas-kelas menengah dalam perjuangannya melawan
kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
5. Keterlibatan
pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan
Peluasan
kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijaksanaan baru biasanya berati
bahwa konsekuensi tindakan-tindaka pemerintah menjadi seakin penyusup pada
kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisiapasi politik,
individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat
dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah yang mungkin dapat merugikan
kepentingannya. Maka dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah
sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut
serta dalam pembuatan keputusan politik.
[1] Budiarjo,
Miriam. 1981. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai”.
Jakarta: PT. Gramedia.
[3]
Soerjono Soekanto, Penelitian
Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 441
[5] Yusdianto, Identifikasi
Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme
PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, hlm 44.
[6]
Pasal 56 ayat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
[7] Pasal 11 ayat 12 Undang-Undang
No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
[8] Pasal 56 ayat 1
[9] Pasal 58 ayat 1
[10] Pasal 3 ayat 1, Qanun Aceh No 5
tahun 2012, Tentang Penyelenggaraan Pemilikada
[11] Ayat 2
[12]
Ayat 10 Pasal 1 Bab Ketentuan Umum
[13] Prof. H. Rozali Abdullah, S.H. Mewujudkan
Pemilu yang Lebih Berkualitas (Pemilu Legislatif), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2009, hlm. 168.
[14]
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya
Media Pratama, Jakarta, 1988, hal. 171, dst.
[15] Wolhoff, dalam Bintan R.
Saragih, Loc.cit.
[16] Loc.cit
[17]
Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan Umum tersebut masih tahap
pembicaraan di DPR-RI
[18]
Pasal 5 ayat (l) UU tentang Pemilihan Umum.
[19] Ibid, hlm. 180
[20] Lihat Penjelasan Umum dalam
Draft RUU tentang Pemilihan Umum.
[21]
Nursal, Adman, 2004,
Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu,PT.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. hlm 206
[22]
Ibid Hlm.207
[23]
Mars, 2005, Candidat or
Parties? Objects Of Electorals Choice in Ireland.
[24]
Sugiono, 2005, Faktor
yang Mempegaruhi Pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Perspektif
Political Marketing, hlm 7
[25] Gaffar Afan, Javanese
Voters.Jogakarta .1992
[26]
Undang-Undang No 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik
[27]
Marbun, BN, 2003, Kamus
Politik, hlm 402
[28] Noris, Pippa, 2005, Political
and Parties and Democracy in Theoretical and Practical Prespectives :
Development in Party Communicatins.
[29] Kristiadi, Op.cit hlm 57
[30]
Hinkle James R, 2004, Causes
of Voter Choice : An Analysis of the 2004 Presidential Elections and the Choice
of American Voters to re-elect George W. Bush to the Office of President,
Hlm 7
[31] Mas’oed,
Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta
: Gajah Mada University Press 2001), hlm. 45
[32]
Ibid,
hlm. 45
[33]
Samuel P
Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,
Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 4
[34]
Riswanda Imawan 1997,
Membedah Politik orde baru. Pustaka Pelajar(anggota IKAPI). Yogjakarta.
[35]
http://bataviase.co.id/node/763639 di akses kamis 13/05/2016
0 comments:
Post a Comment