Tuesday, July 19, 2016

isu – isu politik diwacanakan dalam komunikasi antarpengunjung keudee kupi di ruang publik sepanjang Maret 2014

Di Provinsi Aceh tepatnya di kota Banda Aceh, konsep ruang publik sebagai ruang demokrasi, sebagaimana yang disinyalir oleh Habermas sebagai ruang publik yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa) sebenarnya telah ada, bahkan sejak berlangsungnya kerajaan Islam. Ruang publik itu ialah warung kopi yang dalam bahasa lokal Aceh dikenal dengan keudee kupi. Ruang itu menjadi tempat yang secara fisik sangat nyaman untuk mengundang kehadiran orang – orang. Warung kopi menjadi arena wajib bagi masyarakat untuk berbincang mengenai apa saja, mulai dari topik berat hingga gosip di masyarakat.

 Dalam kehidupan sosial, beberapa ruang yang menjadi milik publik juga tumbuh ditengah masyarakat Aceh. Akan tetapi, ruang tersebut telah terorganisir secara formal mengikuti sistem birokrasi negara. Substansi yang diperbincangkan dalam ruang tersebut senantiasa berkaitan dengan rutinitas kegiatan yang disepakati sebagai tujuan dari organisasi. Beberapa organisasi tersebut adalah organisasi keagamaan (kelompok pengajian) dan organisasi sosial (kegiatan PKK, Koperasi, Kelompok Dagang). Ekslusivitas tercermin dari ruang tersebut karena dikategorikan berdasarkan latar belakang masyarakat yang terlibat di dalamnya. Ruang ini sangat berbeda dengan keudee kupi karena mereka yang hadir di keudee kupi sepertinya tidak memiliki tujuan spesifik yang menjadi alasan kenapa mereka berkumpul di satu tempat tersebut.

 Provinsi Aceh memiliki tingkat keberadaan keudee kupi cukup tinggi. Di provinsi ini, minum kopi merupakan budaya, karena kopi diminum setiap saat, tempat dan pada banyak acara adat (seperti coffee break, kendurian, pernikahan, kegiatan adat dan lain sebagainya) oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan. Kebiasaan minum kopi pada masyarakat kota Banda Aceh sudah menjadi perilaku yang tidak dapat ditinggalkan, karena faktanya banyak keudee kupi yang buka sejak subuh hingga tengah malam dan selalu ramai dikunjungi pengunjung. Tak heran dengan jumlahkeudee kupi yang tersebar di seantero Provinsi Aceh terkhusus Banda Aceh sehingga menjadikan kota ini terkenal sebagai negeri seribu warung kopi.

Para pengunjung setia keudee kupi di Banda Aceh berasal dari latar belakang profesi dan status sosial yang beragam. Mereka biasa datang setiap hari, bahkan dalam satu hari mereka bisa mendatangi keudee kupi hingga tiga kali, yakni pagi hari sebelum berangkat kerja, siang hari ketika waktu istirahat makan siang, dan sore atau malam hari sepulang dari bekerja. Yang menarik dari keudee kupi di Banda Aceh adalah keudee kupi menjadi ruang publik bagi masyarakat, dimana masyarakat setiap harinya menghabiskan waktu disana. Disana orang bisa melakukan transaksi bisnis, transaksi politik, interaksi sosial, nongkrong, ngenet hingga menonton bola. Bahkan seminar pun bisa dilakukan di keudee kupi ketika itu berada di Aceh. Disanalah proses berwacana berlangsung terus – menerus. Topik pembicaraan yang diangkat beraneka ragam.

Keudee kupi menjadi tempat bagi masyarakat Aceh untuk berkumpul, membicarakan segala hal yang menyangkut kepentingan masyarakat luas serta kepentingan individu warganya. Tak hanya itu, beberapa keudee kupi menyediakan acara talkshow untuk merangkum pemikiran – pemikiran masyarakat dalam merespon peristiwa yang terjadi di keseharian mereka. Bahkan Kepolisian Aceh sengaja membuat kegiatan “Saweu Keudee kupi” atau “Geh Ku Keudee kupi” untuk menjaring aspirasi warga Aceh dalam menunjang kinerja kepolisian. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menggagas ide obrolan di keudee kupi yaitu “Warung Kopi Anti Korupsi” sebagai media pembelajaran, sosialisasi serta transfer ilmu bagi masyarakat Aceh mengenai pendidikan korupsi sejak dini.

Keudee kupi yang saat ini marak bermunculan dan terus berkembang di Aceh adalah keudee kupi yang menyediakan fasilitas internet (Wi-Fi), live music accoustic hingga ruang karaoke dan fasilitas nonton bareng sepak bola. Keudee kupi ini banyak diminati pengunjung usia pelajar dan mahasiswa. Pengunjung keudee kupi ini dengan bermodalkan laptop dan secangkir kopi bisa leluasa memanfaatkan fasilitas yang ada. Selain itu, masih dijumpai keudee kupi yang tetap mempertahankan konsep tradisional dengan hanya berisikan meja panjang dan kursi yang memberikan keleluasaan berdiskusi antar sesama pengunjung yang datang. Keudee kupi Solong (Jasa Ayah) salah satu keudee kupi yang tetap memegang konsep ini. Keudee kupi tradisional (tanpa Wi-Fi) adalah keudee kupi konsep asli yang banyak ditemui sebelum tsunami Aceh terjadi dan semakin menyusut jumlahnya saat ini.

Perbincangan yang terjadi di keudee kupi berlangsung natural. Semua pengunjung bebas berkomentar mengenai hal apapun terutama mengenai isu politik yang sering menjadi bahan perbincangan antarpengunjung keudee kupi yang didominasi oleh kaum lelaki. Kondisi politik Aceh yang terus menggeliat pasca MoU memberikan ruang bagi masyarakat untuk berbicara di muka umum. Belum lagi kondisi sosial masyarakat Aceh yang mengalami pasang surut setelah tsunami tahun 2004. Nuansa politik yang terus hangat di Aceh menjadikan pembicaraan politik di kalangan masyarakat hal lumrah yang bisa ditemui dimana saja. Keudee kupi memfasilitasi perbincangan masyarakat Aceh.
Hasil prapenelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai aktivitas pengunjung keudee kupi beberapa waktu lalu menyatakan bahwa para informan mengakui setiap harinya menghabiskan waktu di keudee kupi. Kegiatan yang dilakukan beragam. Ada yang menjawab berdiskusi mengenai isu politik yang tengah hangat diperbincangkan. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa keudee kupi menjadi tempat bertemu untuk melakukan lobi bisnis, serta tak jarang membahas masalah ekonomi daerah. Informan yang berstatus sebagai mahasiswa menerangkan bahwa aktivitasnya di keudee kupi tak jauh dari menyelesaikan tugas kampus dan menjadi tempat nongkrong sambil mengakses internet.
Isu politik dan konflik yang terjadi di Aceh menjadi hal yang biasa ditemui. Sejumlah penelitian mengenai konflik di Aceh termasuk yang dilakukan oleh The World Bank dengan akuratnya melaporkan hasil pemantauan kekerasan pascakonflik di Aceh. Misalkan saja, dari bulan Januari hingga Desember 2006 dimana isu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perdana mulai menggema, hanya tiga saja insiden konflik antara GAM dan RI yang terjadi pada periode tersebut. Bulan Januari hingga Agustus, konflik di tingkat lokal tetap tinggi dan mulai menurun pada September hingga Oktober kemudian melonjak tajam pada bulan November hingga Desember dengan disertai beberapa insiden berdimensi kekerasan yang bersifat fluktuatif dimanadiantaranya melibatkan mantan GAM (The World Bank, LPK Aceh Januari – Desember 2006).
Konflik yang terjadi pascadamai merupakan upaya tranformasi politik dimana ke depan menuntut Aceh yang lebih demokratis. Adanya MoU Helsinki lebih merupakan upaya transformasi politik yang kemudian salah satunya dibuktikan dengan penekanan pada terintegrasinya GAM ke dalam masyarakat sipil, kebebasan partisipasi politik, adanya calon independen dan isyarat akan adanya partai politik lokal. Saat ini Aceh memiliki tiga partai lokal yakni Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh (PDA) yang bersiap bertarung pada Pemilu Legislatif April 2014.
Suasana politik yang terus memanas di Aceh menimbulkan berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari mulai munculnya beberapa tindak kekerasan berlatar belakang pilihan politik atau partai akhir – akhir ini. Keadaan semakin kompleks ketika tindak kekerasan sengaja dilabeli kepentingan politik tertentu. Persaingan dua partai lokal Aceh yakni Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) terus berlangsung terutama dalam suasana prapemilihan legislatif April mendatang mengisyaratkan tranformasi politik dan kepentingan di kedua belah pihak yang bertikai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tindakan kekerasan berlatar politik kekuasaan terjadi di Aceh. Hal serupa juga terjadi pada Pemilukada 2012 yang lalu dimana memakan korban jiwa bahkan dari rakyat sipil.

Situasi politik ini menimbulkan bermacam opini di masyarakat Aceh. Perbincangan hadir untuk menjawab keresahan masyarakat atas suasana politik yang terus memanas. Adanya keudee kupi yang mewadahi masyarakat dalam menyampaikan pendapat mengenai kondisi keseharian masyarakat menjadikan keudee kupi sebagai pilihan yang tepat untuk berbincang. Sebagai contoh, tema perbincangan mengenai pengukuhan dan pelantikan Wali Nanggroesempat menjadi perbincanganyang hangat di keudee kupi. Beberapa informan prapenelitian menyatakan awalnya ia merasa Wali Nanggroe memang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh, namun ketika melihat begitu besar dana yang akan dikeluarkan untuk pengangkatan Wali Nanggroe, pikiran itu pun sontak berubah. Tergantikan dengan pemikiran baru sebagai hasil pembicaraan di keudee kupi. Munculnya perubahan pola pikir ini menunjukkan adanya tindakan komunikasi bertujuan yang digunakan untuk pemikiran pribadi si pengunjung.

0 comments: