Di Provinsi Aceh tepatnya di kota Banda Aceh, konsep
ruang publik sebagai ruang demokrasi, sebagaimana yang disinyalir oleh Habermas
sebagai ruang publik yang dapat memediasi antara kepentingan publik dengan
pemerintah (penguasa) sebenarnya telah ada, bahkan sejak berlangsungnya
kerajaan Islam. Ruang publik itu ialah warung kopi yang dalam bahasa lokal Aceh
dikenal dengan keudee kupi. Ruang itu menjadi tempat yang secara fisik
sangat nyaman untuk mengundang kehadiran orang – orang. Warung kopi menjadi
arena wajib bagi masyarakat untuk berbincang mengenai apa saja, mulai dari
topik berat hingga gosip di masyarakat.
Dalam kehidupan
sosial, beberapa ruang yang menjadi milik publik juga tumbuh ditengah
masyarakat Aceh. Akan tetapi, ruang tersebut telah terorganisir secara formal
mengikuti sistem birokrasi negara. Substansi yang diperbincangkan dalam ruang
tersebut senantiasa berkaitan dengan rutinitas kegiatan yang disepakati sebagai
tujuan dari organisasi. Beberapa organisasi tersebut adalah organisasi
keagamaan (kelompok pengajian) dan organisasi sosial (kegiatan PKK, Koperasi,
Kelompok Dagang). Ekslusivitas tercermin dari ruang tersebut karena
dikategorikan berdasarkan latar belakang masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Ruang ini sangat berbeda dengan keudee kupi karena mereka yang hadir di keudee
kupi sepertinya tidak memiliki tujuan spesifik yang menjadi alasan kenapa
mereka berkumpul di satu tempat tersebut.
Provinsi Aceh
memiliki tingkat keberadaan keudee kupi cukup tinggi. Di provinsi ini,
minum kopi merupakan budaya, karena kopi diminum setiap saat, tempat dan pada
banyak acara adat (seperti coffee break, kendurian, pernikahan, kegiatan
adat dan lain sebagainya) oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan. Kebiasaan
minum kopi pada masyarakat kota Banda Aceh sudah menjadi perilaku yang tidak
dapat ditinggalkan, karena faktanya banyak keudee kupi yang buka sejak
subuh hingga tengah malam dan selalu ramai dikunjungi pengunjung. Tak heran
dengan jumlahkeudee kupi yang tersebar di seantero Provinsi Aceh
terkhusus Banda Aceh sehingga menjadikan kota ini terkenal sebagai negeri
seribu warung kopi.
Para pengunjung setia keudee kupi di Banda Aceh
berasal dari latar belakang profesi dan status sosial yang beragam. Mereka
biasa datang setiap hari, bahkan dalam satu hari mereka bisa mendatangi keudee
kupi hingga tiga kali, yakni pagi hari sebelum berangkat kerja, siang hari
ketika waktu istirahat makan siang, dan sore atau malam hari sepulang dari
bekerja. Yang menarik dari keudee kupi di Banda Aceh adalah keudee
kupi menjadi ruang publik bagi masyarakat, dimana masyarakat setiap harinya
menghabiskan waktu disana. Disana orang bisa melakukan transaksi bisnis,
transaksi politik, interaksi sosial, nongkrong, ngenet hingga menonton
bola. Bahkan seminar pun bisa dilakukan di keudee kupi ketika itu berada
di Aceh. Disanalah proses berwacana berlangsung terus – menerus. Topik
pembicaraan yang diangkat beraneka ragam.
Keudee kupi menjadi
tempat bagi masyarakat Aceh untuk berkumpul, membicarakan segala hal yang
menyangkut kepentingan masyarakat luas serta kepentingan individu warganya. Tak
hanya itu, beberapa keudee kupi menyediakan acara talkshow untuk
merangkum pemikiran – pemikiran masyarakat dalam merespon peristiwa yang
terjadi di keseharian mereka. Bahkan Kepolisian Aceh sengaja membuat kegiatan
“Saweu Keudee kupi” atau “Geh Ku Keudee kupi” untuk menjaring
aspirasi warga Aceh dalam menunjang kinerja kepolisian. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) juga menggagas ide obrolan di keudee kupi yaitu “Warung
Kopi Anti Korupsi” sebagai media pembelajaran, sosialisasi serta transfer ilmu
bagi masyarakat Aceh mengenai pendidikan korupsi sejak dini.
Keudee kupi yang
saat ini marak bermunculan dan terus berkembang di Aceh adalah keudee kupi yang
menyediakan fasilitas internet (Wi-Fi), live music accoustic hingga
ruang karaoke dan fasilitas nonton bareng sepak bola. Keudee kupi ini
banyak diminati pengunjung usia pelajar dan mahasiswa. Pengunjung keudee
kupi ini dengan bermodalkan laptop dan secangkir kopi bisa leluasa
memanfaatkan fasilitas yang ada. Selain itu, masih dijumpai keudee kupi yang
tetap mempertahankan konsep tradisional dengan hanya berisikan meja panjang dan
kursi yang memberikan keleluasaan berdiskusi antar sesama pengunjung yang
datang. Keudee kupi Solong (Jasa Ayah) salah satu keudee kupi yang
tetap memegang konsep ini. Keudee kupi tradisional (tanpa Wi-Fi) adalah keudee
kupi konsep asli yang banyak ditemui sebelum tsunami Aceh terjadi dan
semakin menyusut jumlahnya saat ini.
Perbincangan yang terjadi di keudee kupi berlangsung
natural. Semua pengunjung bebas berkomentar mengenai hal apapun terutama
mengenai isu politik yang sering menjadi bahan perbincangan antarpengunjung keudee
kupi yang didominasi oleh kaum lelaki. Kondisi politik Aceh yang terus
menggeliat pasca MoU memberikan ruang bagi masyarakat untuk berbicara di muka
umum. Belum lagi kondisi sosial masyarakat Aceh yang mengalami pasang surut
setelah tsunami tahun 2004. Nuansa politik yang terus hangat di Aceh menjadikan
pembicaraan politik di kalangan masyarakat hal lumrah yang bisa ditemui dimana
saja. Keudee kupi memfasilitasi perbincangan masyarakat Aceh.
Hasil prapenelitian yang dilakukan oleh peneliti
mengenai aktivitas pengunjung keudee kupi beberapa waktu lalu menyatakan
bahwa para informan mengakui setiap harinya menghabiskan waktu di keudee
kupi. Kegiatan yang dilakukan beragam. Ada yang menjawab berdiskusi
mengenai isu politik yang tengah hangat diperbincangkan. Kemudian ada juga yang
mengatakan bahwa keudee kupi menjadi tempat bertemu untuk melakukan lobi
bisnis, serta tak jarang membahas masalah ekonomi daerah. Informan yang
berstatus sebagai mahasiswa menerangkan bahwa aktivitasnya di keudee kupi tak
jauh dari menyelesaikan tugas kampus dan menjadi tempat nongkrong sambil
mengakses internet.
Isu politik dan konflik yang terjadi di Aceh menjadi
hal yang biasa ditemui. Sejumlah penelitian mengenai konflik di Aceh termasuk
yang dilakukan oleh The World Bank dengan akuratnya melaporkan hasil pemantauan
kekerasan pascakonflik di Aceh. Misalkan saja, dari bulan Januari hingga
Desember 2006 dimana isu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perdana mulai
menggema, hanya tiga saja insiden konflik antara GAM dan RI yang terjadi pada
periode tersebut. Bulan Januari hingga Agustus, konflik di tingkat lokal tetap
tinggi dan mulai menurun pada September hingga Oktober kemudian melonjak tajam
pada bulan November hingga Desember dengan disertai beberapa insiden berdimensi
kekerasan yang bersifat fluktuatif dimanadiantaranya melibatkan mantan GAM (The
World Bank, LPK Aceh Januari – Desember 2006).
Konflik yang terjadi pascadamai merupakan upaya
tranformasi politik dimana ke depan menuntut Aceh yang lebih demokratis. Adanya
MoU Helsinki lebih merupakan upaya transformasi politik yang kemudian salah
satunya dibuktikan dengan penekanan pada terintegrasinya GAM ke dalam
masyarakat sipil, kebebasan partisipasi politik, adanya calon independen dan
isyarat akan adanya partai politik lokal. Saat ini Aceh memiliki tiga partai
lokal yakni Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh
(PDA) yang bersiap bertarung pada Pemilu Legislatif April 2014.
Suasana politik yang terus memanas di Aceh menimbulkan
berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari mulai
munculnya beberapa tindak kekerasan berlatar belakang pilihan politik atau
partai akhir – akhir ini. Keadaan semakin kompleks ketika tindak kekerasan
sengaja dilabeli kepentingan politik tertentu. Persaingan dua partai lokal Aceh
yakni Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) terus berlangsung
terutama dalam suasana prapemilihan legislatif April mendatang mengisyaratkan
tranformasi politik dan kepentingan di kedua belah pihak yang bertikai. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa tindakan kekerasan berlatar politik kekuasaan
terjadi di Aceh. Hal serupa juga terjadi pada Pemilukada 2012 yang lalu dimana
memakan korban jiwa bahkan dari rakyat sipil.
Situasi politik ini menimbulkan bermacam opini di
masyarakat Aceh. Perbincangan hadir untuk menjawab keresahan masyarakat atas
suasana politik yang terus memanas. Adanya keudee kupi yang mewadahi
masyarakat dalam menyampaikan pendapat mengenai kondisi keseharian masyarakat
menjadikan keudee kupi sebagai pilihan yang tepat untuk berbincang.
Sebagai contoh, tema perbincangan mengenai pengukuhan dan pelantikan Wali
Nanggroesempat menjadi perbincanganyang
hangat di keudee kupi. Beberapa informan prapenelitian menyatakan
awalnya ia merasa Wali Nanggroe memang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh, namun
ketika melihat begitu besar dana yang akan dikeluarkan untuk pengangkatan Wali
Nanggroe, pikiran itu pun sontak berubah. Tergantikan dengan pemikiran baru
sebagai hasil pembicaraan di keudee kupi. Munculnya perubahan pola pikir
ini menunjukkan adanya tindakan komunikasi bertujuan yang digunakan untuk
pemikiran pribadi si pengunjung.
0 comments:
Post a Comment