Monday, July 18, 2016

Pilkada Serentak dan Keistimewaan Aceh

           
Meskipun tahapannya sudah dimulai, dan di tengah masifnya pemberitaan tentang Pilkada, ternyata dalam beberapa kesempatan dialog dan diskusi didapati bahwa masih banyak yang pihak belum memahami sepenuhnya tentang hal ini. Bahkan termasuk pihak-pihak yang erat kaitannya dengan proses pemilihan Kepala Daerah itu sendiri, seperti LSM, kalangan kampus, dan pemerintah bahkan politisi. Hal ini memberikan dorongan untuk mencoba secara singkat menjelaskan tentang regulasi yang mengatur Pilkada dan dalam konteks apa saja aturan nasional ini mungkin akan berbeda pelaksanaanya di Aceh.

Pilkada serentak sudah ditetapkan akan diselenggarakan di 269 daerah baik Kab/Kota maupun provinsi pada tanggal 9 Desember 2015. Pilkada ini merupakan gelombang pertama dari rangkaian 7 gelombang yang dirancang menuju pilkada serentak se-Indonesia pada tahun 2027 menurut akhir masa jabatannya. Dengan perincian : (1) Daerah yang masa jabatannya berakhir di 2015 dan semester pertama 2016 dilaksanakan di Desember 2017; (2) Daerah yang berakhir masa jabatan di semester kedua 2016 dan tahun 2017 dilaksanakan di bulan Februari 2017;(3) Daerah yang berakhir di 2018 dan 2019 dilaksanakan pada bulan Juni 2018; (4) Pilkada kepala daerah yang berlangsung pada desember 2015 dilaksanakan pada tahun 2020; (5) untuk daerah hasil pemilihan 2017, pilkada dilaksanakan pada tahun 2022; (6) daerah hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023; (7) dan pemungutan suara serentak secara nasional dilaksanakan pada tanggal, bulan dan tahun yang sama di tahun 2027 (pasal 201 UU No 8 tahun 2015).

Dasar hukum pilkada adalah UU no 8 2015, yang ditetapkan setelah melalui sebanyak 5 kali proses pergantian dan revisi dari UU no 32 tahun 2004 yg merupakan dasar hukum terakhir yg digunakan dalam pilkada. Proses pembuatan dan penetapan Undang Undang ini menjadi drama tersendiri sehingga disebut sebagai UU dengan rekor terbanyak diganti/direvisi. Dimulai pada awal tahun 2012 pemerintah mengajukan revisi UU Pilkada, terjadi tarik ulur antara pemerintah, DPR, dan publik terutama terkait apakah pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD. Ada juga keinginan untuk melakukan kombinasi diantara keduanya, yakni pemilihan bupati/walikota dipilih langsung, sementara gubernur melalui DPRD atau sebaliknya.

Pasca pilpres 9 Oktober 2014, koalisi di DPR, yang mengikuti peta koalisi pilpres 2014 terbagi dalam 2 arus besar yaitu KMP dan KIH. KMP yang notabene lebih besar persentase wakilnya di DPR, berkeinginan agar pilkada baik provinsi maupun kabupaten/kota tidak dipilih langsung, melainkan melalui DPRD. Bisa jadi hal ini dikarenakan perhitungan bahwa KMP akan mampu menguasai lebih banyak kursi kepala daerah apabila pilkada melalui DPRD. Kemenangan KMP pada perhitungan suara, setelah Fraksi Demokrat melakukan walk out, menghasilkan ditetapkannya UU no 22 tahun 2014 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD pada tanggal 26 September 2014. Tak lama berselang, tepatnya 2 Oktober 2014 Presiden SBY membatalkan UU no 22 tahun 2014 dengan menerbitkan Perppu no 1 tahun 2014 yang disebut SBY sebagai bentuk perjuangannya bersama rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. Ahok, Gubernur DKI adalah satu-satuya kepala daerah yang sempat menggunakan Perppu ini dalam memilih wakilnya. Kemudian pada tanggal 20 Januari 2015 DPR menyetujui Perppu no 1 tahun 2014 menjadi UU no 1 tahun 2015 yang kemudian berdasarkan kebutuhan dilakukan perubahan dan ditetapkan sebagai UU no 8 tahun 2015 melalui rapat paripurna DPR pada tanggal 17 Februari 2015 dan disahkan presiden Jokowi pada tanggal 18 Maret 2015.


Banyaknya perubahan yang terjadi ini tentu saja membingungkan masyarakat awam, bahkan termasuk penyelenggara pemilu sendiri. Misalnya saja bahwa di Perppu No 1 tahun 2014 disebutkan bahwa yang dipilih hanya Gubernur dan Bupati/Walikota, sementara wakilnya dipilih oleh Gubernur/Walikota/Bupati terpilih dan jumlahnya bisa sampai 3 orang mengikuti jumlah penduduk. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku di UU No 8 Tahun 2015.

Di tengah derasnya perubahan tersebut yang penting dicermati adalah perubahan apa saja yang terjadi dari antara UU no 32 tahun 2004 dan diatur oleh PP no 6 tahun 2005 yang menjadi referensi pilkada terakhir dengan UU no 8 tahun 2015. Dan sesuai dengan bunyi UU no 8 tahun 2015 pasal 199, “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi papua dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri”. Dalam konteks Aceh yang memiliki UU no 11 tahun 2006 (UUPA) yang mengatur keistimewaan Aceh, hal-hal apa saja tentang pelaksanaan Pilkada ini yang kemungkinan akan berbeda dengan daerah lain?

Dalam hal kampanye, merujuk pasal 65 UU no 8 tahun 2015 untuk mengatasi tingginya biaya politik pada pelaksanaan kampanye, Pasangan Calon dan Tim Kampanye dibatasi hanya membiayai pertemuan terbatas serta pertemuan tatap muka & dialog. Sedangkan kampanye dalam bentuk debat publik/debat terbuka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, serta iklan media cetak & media massa elektronik didanai oleh APBD. Hal ini untuk sedapatnya memberikan kesempatan kepada figur-figur berkualitas yang tidak memiliki dukungan kapital yang besar dan juga untuk menekan tingginya cost politik yang ditengarai menjadi penyebab banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebagai akibat upaya mengembalikan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam proses pemilihan.

Upaya pembuatan regulasi ini, yang melibatkan semua pihak, Pemerintah, DPR, dan KPU selaku penyelenggara tentu saja dimaksudkan untuk perbaikan dan mengatasi permasalahan yang dominan di seluruh Indonesia selama ini. Penyelenggaraan Pilkada serentak juga dimaksudkan untuk mengurangi biaya penyelenggaraan. Yang pasti honor untuk lembaga-lembaga ad hoc cukup sekali saja. Disamping itu pilkada serentak juga diharapkan menghindarkan masyarakat dari kebosanan terhadap proses pemilu yang terlalu banyak sehingga berpotensi menghilangkan animo masyarakat untuk berpartisipasi.


Sementara untuk subjek yang mengalami perubahan dalam tabel di atas, yang tidak diatur dalam UUPA tentu akan berlaku untuk Aceh. Sedangkan subjek yang ada diatur dalam UUPA, kemungkinan akan mengikuti UUPA, tentu saja menunggu aturan lebih lanjut, baik dengan Qanun, PKPU, ataupun Keputusan yang lain. Namun apabila kita amati, perbedaan yang ada dalam UU No 8 dan UUPA lihat tidak terlalu prinsipil. Sehingga akan sangat bijaksana apabila Pemerintah Pusat dan KPU RI dapat memberikan penghargaan terhadap keistimewaan Aceh dengan menyetujui pelaksanaan subjek yang berbeda tersebut seperti yang diatur dalam UUPA.

0 comments: