a.
Pilkada Pasca Konflik di Aceh: Melampaui Pendekatan
‘Bebas, Jujur dan Adil’
Makalah
ini berargumen bahwa meskipun pilkada pasca konflik di Aceh telah berlangsung sukses—dalam
arti pilkada berlangsung bebas, adil dan damai—pelaksanaan pilkada juga memperlihatkan
praktek-praktek politik yang cenderung tidak memperkuat manajemen persaingan
politik antar elite lokal dan kurang membantu membentukkan pemerintahan yang
akuntabel, bertanggung jawab dan responsif pada jangka menengah dan panjang.
b.
Pelaksanaan Kelembagaan
Tingkat
kekerasan yang terjadi pada pilkada Aceh dapat dikatakan rendah. Kalau mengingat
Aceh baru damai setelah 30 tahun dilanda konflik kekerasan, pencapaian ini patut
dihargai. Meski demikian, konflik dan sengketa terkait pilkada sering terjadi walaupun
jarang disertai kekerasan. Pada konflik-konflik tanpa kekerasan ini, tingkat keterlibatan
institusi pemerintahan dapat dikatakan tinggi, baik sebagai pihak yang bertikai
maupun sebagai pelaku pelanggaran pilkada. Pengamatan terhadap masalah-masalah
ini memperlihatkan beberapa kelemahan yang signifikan pada pelaksanaan pilkada
secara kelembagaan: pengawasan pilkada masih rendah; penyelidikan sengketa dan
pelanggaran pilkada tidak efektif; terdapat indikasi adanya petugas pilkada
yang kurang netral; dan beberapa prosedur penting ternyata tidak dilaksanakan,
misalnya prosedur pengawasan dana kampanye.
Di
satu sisi, kelemahan-kelemahan ini akan berdampak pada cara-cara penanganan
konflik politik di kemudian hari serta upaya membangunkan tatakelola
pemerintahan yang baik (good governance) di Aceh. Meskipun tidak terjadi
manipulasi yang meluas, namun banyaknya pelanggaran dan gagalnya
lembaga-lembaga resmi menyelesaikan berbagai masalah secara efektif telah
menimbulkan kekecewaan di antara fraksi-fraksi elit, dan telah mengurangi
legitimasi para kandidat yang menang. Di sisi lain, karena buruknya pelaksanaan
peraturan dana kampanye, maka masyarakat dan komponen masyarakat sipil (civil
society) kehilangan suatu alat penting dalam menuntut akuntabilitas
pemerintah pada masa mendatang. Hal ini mungkin akan berdampak buruk terhadap
upaya-upaya membangun pemerintahan yang bersih dan pembuatan kebijakan yang
efektif.
c.
Strategi Kampanye dan Mobilisasi oleh
para Kandidat
Partai-partai
dan rencana-rencana kebijakan tidak secara signifikan membentuk strategi kampanye
kandidat pada pilkada Aceh. Justru strategi-strategi lain lebih menonjol dalam kampanye
dan cara memobilisasikan pendukung seperti pembentukan aliansi pragmatis melalui
tim sukses, serta menyebarkan ‘patronase’ dan janji-janji. Para kandidat
bersaing untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, dan
mempekerjakan brokerbroker politik yang menjual jasa mobilisasinya kepada
kandidat yang membayar paling
tinggi.
Khususnya di antara kandidat yang berafiliasi GAM, mereka menggunakan jaringan luas
yang mereka memiliki pada era konflik. Melalui strategi-strategi kampanye
seperti ini, banyak kandidat tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten terlibat
hutang, baik hutang politik maupun hutang finansial, yang harus dilunasi pada
masa mendatang. Kandidat-kandidat yang menang akan menghadapi tekanan kuat
untuk membayar hutangnya melalui jasa-jasa politik yang cenderung mengkompromikan
prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik. Hal ini berlaku untuk
kandidat-kandidat yang berafiliasi dengan GAM maupun yang lain. Sebaliknya, kalau
kandidat yang menang enggan melunasi hutang politik dengan cara tersebut, diperkirakan
dapat menimbulkan konflik politik di antara elite lokal, ketika pendukung menjadi
kecewa karena tidak menerima balasan dan akhirnya justru menyerang balik kandidat
tersebut.
d.
Perilaku Pemilih
Perilaku
pemilih jarang ditentukan berdasarkan kesamaan antara pemilih dan kandidat pada
rencana-rencana kebijakan yang ditawarkan. Pemilih justru memilih kandidat
berdasarkan faktor lain. Pertama, masyarakat memilih kandidat yang sudah
memiliki hubungan khusus dengan desa mereka. Cara ini (diharapkan) dapat
memfasilitasikan akses mereka terhadap sumberdaya negara. Kedua, bila tidak ada
hubungan khusus, pemilih kadang berusaha untuk menghubungkan dirinya dengan
salah seorang kandidat yang cenderung akan menang, dengan tujuan dukungan
mereka dapat membawa keuntungan khusus di kemudian hari. Ketiga, pemilihan di
Aceh seringkali bersifat komunal. Pemimpin desa seringkali berpengaruh dalam
menentukan pilihan warganya, dan dia dapat mempengaruhi sebagian besar warga
untuk memilih salah satu kandidat. Terakhir, beberapa kasus intimidasi terjadi di
daerah yang masih didominasi GAM, meski tidak sebanyak yang diperkirakan dapat terjadi
pada wilayah pasca konflik.
Pola
perilaku pemilih seperti ini menunjukkan bahwa warga sangat tidak yakin bahwa pemerintah
bisa melaksanakan pembangunan dan melakukan reformasi kebijakan, tetapi pada
saat yang sama warga juga sepertinya mengharapkan mendapatkan keuntungan yang disalurkan
melalui jaringan patronase dan hubungan pribadi. Adanya dua faktor itu, kekecewaan
terhadap negara dan harapan mendapat keuntungan khusus, berpotensi menjadi landasan
munculnya sengketa dan mobilisasi masa di kemudian hari, yang dapat meningkatkan
kemungkinanan pecahnya kekerasan yang lebih luas.
e.
Dampak-dampak Awal terhadap Persaingan Politik dan
Tatakelola Pemerintahan
Pada
periode pasca pilkada, terdapat tanda-tanda awal bahwa praktek-praktek politik
yang digambarkan di atas memang telah berakibat buruk pada manejemen persaingan
politik dan penetapan landasan yang kuat bagi tatakelola pemerintahan yang baik
dan pembuatan kebijakan. Terdapat empat perkembangan penting yang telah timbul
pada awal periode pasca pilkada.
Pertama,
kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pilkada berujung pada sengketa pasca pilkada
dan kekecewaan yang berlanjut. Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkada
gagal menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak tempat telah meningkatkan
persaingan politik yang tidak sehat antar elit-elit. Persaingan yang tidak sehat
ini telah menghentikan roda pemerintahan pada satu kabupaten. Di tempat lain sengketa
berujung pada perjanjian-perjanjian terselubung untuk meredam ketegangan antar kedua
belah pihak yang bersengketa.
Kedua,
metode-metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau memperkuat hubungan-hubungan
‘patronase’ yang mendorong penyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah
melalui jalur tidak resmi, sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerintahan yang
korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara para elite lokal yang saling
berebut dukungan, dan menurut sejumlah indikasi yang ada sekarang, akan terus mempersempit
peluang untuk memperbaiki pemerintahan di Aceh.
Ketiga,
hasil pilkada dimana sebagian dimenangkan oleh kandidat yang berafiliasi dengan
GAM, telah meningkatkan tekanan terhadap pememang yang berafiliasi dengan GAM
itu untuk menyalurkan sumberdaya pemerintah kepada kelompok-kelompok mantan
GAM. Tekanan ini berdampak buruk terhadap pemerintahan, dan juga telah
menyebabkan keretakan baru, dan memperparah keretakan lama, di tubuh GAM
sendiri. Karena masih belum jelas sejauh mana kepemimpinan GAM akan mampu
menangani keretakankeretakan ini, maka perpecahan di dalam tubuh GAM masih
tetap berpotensi sebagai sumber konflik ke depan.
Terakhir,
terdapat beberapa tanda-tanda awal bahwa jaringan ‘patronase’ yang dikembangkan
selama pilkada akan dimanfaatkan untuk memobilisasi kekecewaan di tingkat desa.
Mobilisasi seperti ini dapat digunakan untuk meraih kepentingan politik desa, namun
juga bisa dimanipulasikan dan dimanfaatkan sehingga memperparah konflik politik
tingkat kabupaten.
Praktek-praktek
politik dan kelemahan-kelemahan pelaksanaan pilkada yang digambarkan di atas
memiliki banyak kesamaan dengan apa yang telah digambarkan oleh pengamat pemilu
dan peneliti mengenai situasi di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya.
Bila tantangan-tantangan utama dalam menegakkan demokrasi di Aceh kini mirip
dengan tantangan yang dihadapi pada daerah lain, maka ini bisa dianggap sebuah
pencapaian yang signifikan. Namun demikian, Aceh menghadapi tantangan yang
lebih berat dan lebih beragam dibandingkan daerah lain di negeri ini, seperti
adanya sejarah konflik, masyarakat yang telah mengalami banyak trauma,
munculnya dinamika yang unik di mana mantan kombatan kini menjadi pimpinan
pemerintah, tingginya tingkat kemiskinan dan korupsi, ketegangan antar etnis,
serta gerakan-gerakan untuk memekarkan propinsi baru.
Kondisi
perpolitikan dalam konteks Aceh cenderung memiliki resiko untuk terjadinya praktek
politik negatif ini. Keadaan yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa kekecewaan
mengenai pemanfaatan sumberdaya dan kinerja pemerintah, yang pada masa lalu
melatarbelakangi konflik separatis, akan tetap ada. Walaupun kekerasan skala
luas telah berhenti dengan adanya MoU Helsinki, konflik-konflik politik antara
elite lokal tetap sering terjadi, dan apabila pemerintah daerah gagal menepati
janji-janji dari kampanye pilkada, konflik dan kekecewaan ini bisa semakin
parah. Memang komitmen politik terhadap proses perdamaian masih tetap kuat pada
kedua belah pihak. Namun, bila politik lokal terus berjalan melalui sistem
patronase, maka hanya sebagian kecil masyarakat akan merasakan peningkatan
kesejahteraan. Dengan demikian, kekecewaan yang dapat menjadi dasar mobilisasi,
dan juga insentif-insentif bagi elite untuk memobilisasi, masih tetap ada. Hal
ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi Aceh untuk terus memperkuat dasar-dasar
dari sistem demokrasi di Aceh, agar perdamaian bertahan sampai jangka panjang.
0 comments:
Post a Comment