Thursday, July 21, 2016

Pilkada Pasca Konflik di Aceh dan Implikasinya



a.      Pilkada Pasca Konflik di Aceh: Melampaui Pendekatan ‘Bebas, Jujur dan Adil’
            Makalah ini berargumen bahwa meskipun pilkada pasca konflik di Aceh telah berlangsung sukses—dalam arti pilkada berlangsung bebas, adil dan damai—pelaksanaan pilkada juga memperlihatkan praktek-praktek politik yang cenderung tidak memperkuat manajemen persaingan politik antar elite lokal dan kurang membantu membentukkan pemerintahan yang akuntabel, bertanggung jawab dan responsif pada jangka menengah dan panjang.

b.      Pelaksanaan Kelembagaan
Tingkat kekerasan yang terjadi pada pilkada Aceh dapat dikatakan rendah. Kalau mengingat Aceh baru damai setelah 30 tahun dilanda konflik kekerasan, pencapaian ini patut dihargai. Meski demikian, konflik dan sengketa terkait pilkada sering terjadi walaupun jarang disertai kekerasan. Pada konflik-konflik tanpa kekerasan ini, tingkat keterlibatan institusi pemerintahan dapat dikatakan tinggi, baik sebagai pihak yang bertikai maupun sebagai pelaku pelanggaran pilkada. Pengamatan terhadap masalah-masalah ini memperlihatkan beberapa kelemahan yang signifikan pada pelaksanaan pilkada secara kelembagaan: pengawasan pilkada masih rendah; penyelidikan sengketa dan pelanggaran pilkada tidak efektif; terdapat indikasi adanya petugas pilkada yang kurang netral; dan beberapa prosedur penting ternyata tidak dilaksanakan, misalnya prosedur pengawasan dana kampanye.
            Di satu sisi, kelemahan-kelemahan ini akan berdampak pada cara-cara penanganan konflik politik di kemudian hari serta upaya membangunkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) di Aceh. Meskipun tidak terjadi manipulasi yang meluas, namun banyaknya pelanggaran dan gagalnya lembaga-lembaga resmi menyelesaikan berbagai masalah secara efektif telah menimbulkan kekecewaan di antara fraksi-fraksi elit, dan telah mengurangi legitimasi para kandidat yang menang. Di sisi lain, karena buruknya pelaksanaan peraturan dana kampanye, maka masyarakat dan komponen masyarakat sipil (civil society) kehilangan suatu alat penting dalam menuntut akuntabilitas pemerintah pada masa mendatang. Hal ini mungkin akan berdampak buruk terhadap upaya-upaya membangun pemerintahan yang bersih dan pembuatan kebijakan yang efektif.

c.       Strategi Kampanye dan Mobilisasi oleh para Kandidat
Partai-partai dan rencana-rencana kebijakan tidak secara signifikan membentuk strategi kampanye kandidat pada pilkada Aceh. Justru strategi-strategi lain lebih menonjol dalam kampanye dan cara memobilisasikan pendukung seperti pembentukan aliansi pragmatis melalui tim sukses, serta menyebarkan ‘patronase’ dan janji-janji. Para kandidat bersaing untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, dan mempekerjakan brokerbroker politik yang menjual jasa mobilisasinya kepada kandidat yang membayar paling
tinggi. Khususnya di antara kandidat yang berafiliasi GAM, mereka menggunakan jaringan luas yang mereka memiliki pada era konflik. Melalui strategi-strategi kampanye seperti ini, banyak kandidat tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten terlibat hutang, baik hutang politik maupun hutang finansial, yang harus dilunasi pada masa mendatang. Kandidat-kandidat yang menang akan menghadapi tekanan kuat untuk membayar hutangnya melalui jasa-jasa politik yang cenderung mengkompromikan prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik. Hal ini berlaku untuk kandidat-kandidat yang berafiliasi dengan GAM maupun yang lain. Sebaliknya, kalau kandidat yang menang enggan melunasi hutang politik dengan cara tersebut, diperkirakan dapat menimbulkan konflik politik di antara elite lokal, ketika pendukung menjadi kecewa karena tidak menerima balasan dan akhirnya justru menyerang balik kandidat tersebut.
d.      Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih jarang ditentukan berdasarkan kesamaan antara pemilih dan kandidat pada rencana-rencana kebijakan yang ditawarkan. Pemilih justru memilih kandidat berdasarkan faktor lain. Pertama, masyarakat memilih kandidat yang sudah memiliki hubungan khusus dengan desa mereka. Cara ini (diharapkan) dapat memfasilitasikan akses mereka terhadap sumberdaya negara. Kedua, bila tidak ada hubungan khusus, pemilih kadang berusaha untuk menghubungkan dirinya dengan salah seorang kandidat yang cenderung akan menang, dengan tujuan dukungan mereka dapat membawa keuntungan khusus di kemudian hari. Ketiga, pemilihan di Aceh seringkali bersifat komunal. Pemimpin desa seringkali berpengaruh dalam menentukan pilihan warganya, dan dia dapat mempengaruhi sebagian besar warga untuk memilih salah satu kandidat. Terakhir, beberapa kasus intimidasi terjadi di daerah yang masih didominasi GAM, meski tidak sebanyak yang diperkirakan dapat terjadi pada wilayah pasca konflik.

Pola perilaku pemilih seperti ini menunjukkan bahwa warga sangat tidak yakin bahwa pemerintah bisa melaksanakan pembangunan dan melakukan reformasi kebijakan, tetapi pada saat yang sama warga juga sepertinya mengharapkan mendapatkan keuntungan yang disalurkan melalui jaringan patronase dan hubungan pribadi. Adanya dua faktor itu, kekecewaan terhadap negara dan harapan mendapat keuntungan khusus, berpotensi menjadi landasan munculnya sengketa dan mobilisasi masa di kemudian hari, yang dapat meningkatkan kemungkinanan pecahnya kekerasan yang lebih luas.

e.       Dampak-dampak Awal terhadap Persaingan Politik dan Tatakelola Pemerintahan
Pada periode pasca pilkada, terdapat tanda-tanda awal bahwa praktek-praktek politik yang digambarkan di atas memang telah berakibat buruk pada manejemen persaingan politik dan penetapan landasan yang kuat bagi tatakelola pemerintahan yang baik dan pembuatan kebijakan. Terdapat empat perkembangan penting yang telah timbul pada awal periode pasca pilkada.
Pertama, kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pilkada berujung pada sengketa pasca pilkada dan kekecewaan yang berlanjut. Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkada gagal menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak tempat telah meningkatkan persaingan politik yang tidak sehat antar elit-elit. Persaingan yang tidak sehat ini telah menghentikan roda pemerintahan pada satu kabupaten. Di tempat lain sengketa berujung pada perjanjian-perjanjian terselubung untuk meredam ketegangan antar kedua belah pihak yang bersengketa.
Kedua, metode-metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau memperkuat hubungan-hubungan ‘patronase’ yang mendorong penyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah melalui jalur tidak resmi, sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerintahan yang korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara para elite lokal yang saling berebut dukungan, dan menurut sejumlah indikasi yang ada sekarang, akan terus mempersempit peluang untuk memperbaiki pemerintahan di Aceh.

Ketiga, hasil pilkada dimana sebagian dimenangkan oleh kandidat yang berafiliasi dengan GAM, telah meningkatkan tekanan terhadap pememang yang berafiliasi dengan GAM itu untuk menyalurkan sumberdaya pemerintah kepada kelompok-kelompok mantan GAM. Tekanan ini berdampak buruk terhadap pemerintahan, dan juga telah menyebabkan keretakan baru, dan memperparah keretakan lama, di tubuh GAM sendiri. Karena masih belum jelas sejauh mana kepemimpinan GAM akan mampu menangani keretakankeretakan ini, maka perpecahan di dalam tubuh GAM masih tetap berpotensi sebagai sumber konflik ke depan.
Terakhir, terdapat beberapa tanda-tanda awal bahwa jaringan ‘patronase’ yang dikembangkan selama pilkada akan dimanfaatkan untuk memobilisasi kekecewaan di tingkat desa. Mobilisasi seperti ini dapat digunakan untuk meraih kepentingan politik desa, namun juga bisa dimanipulasikan dan dimanfaatkan sehingga memperparah konflik politik tingkat kabupaten.
Praktek-praktek politik dan kelemahan-kelemahan pelaksanaan pilkada yang digambarkan di atas memiliki banyak kesamaan dengan apa yang telah digambarkan oleh pengamat pemilu dan peneliti mengenai situasi di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya. Bila tantangan-tantangan utama dalam menegakkan demokrasi di Aceh kini mirip dengan tantangan yang dihadapi pada daerah lain, maka ini bisa dianggap sebuah pencapaian yang signifikan. Namun demikian, Aceh menghadapi tantangan yang lebih berat dan lebih beragam dibandingkan daerah lain di negeri ini, seperti adanya sejarah konflik, masyarakat yang telah mengalami banyak trauma, munculnya dinamika yang unik di mana mantan kombatan kini menjadi pimpinan pemerintah, tingginya tingkat kemiskinan dan korupsi, ketegangan antar etnis, serta gerakan-gerakan untuk memekarkan propinsi baru.


Kondisi perpolitikan dalam konteks Aceh cenderung memiliki resiko untuk terjadinya praktek politik negatif ini. Keadaan yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa kekecewaan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan kinerja pemerintah, yang pada masa lalu melatarbelakangi konflik separatis, akan tetap ada. Walaupun kekerasan skala luas telah berhenti dengan adanya MoU Helsinki, konflik-konflik politik antara elite lokal tetap sering terjadi, dan apabila pemerintah daerah gagal menepati janji-janji dari kampanye pilkada, konflik dan kekecewaan ini bisa semakin parah. Memang komitmen politik terhadap proses perdamaian masih tetap kuat pada kedua belah pihak. Namun, bila politik lokal terus berjalan melalui sistem patronase, maka hanya sebagian kecil masyarakat akan merasakan peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kekecewaan yang dapat menjadi dasar mobilisasi, dan juga insentif-insentif bagi elite untuk memobilisasi, masih tetap ada. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi Aceh untuk terus memperkuat dasar-dasar dari sistem demokrasi di Aceh, agar perdamaian bertahan sampai jangka panjang.

0 comments: