Saturday, July 30, 2016

Pengertian Pelayanan


Pelayanan dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada suatu organisasi tertentu. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain ataumesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Menurut Poerwadarminto, pelayanan secara epistimologi dapat diartikan sebagai berikut :
“ Berasal dari kata “layan” yang berarti membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang , kemudian pelayanan dapat diartikan sebagai , perihal atau cara melayani service atau jasa , sehubungan dengan jual – beli barang atau jasa” (Poerwadarminta, 1995:571).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan pelayanan adalah perihal atau cara melayani servis atau jasa. Pelayanan merupakan suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik.
Pelayanan pada dasarnya ditunjukan untuk memenuhi mutu dan kualitas dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan dalam bidang pelayanan publik. Pemerintah dalam bidang layanan publik mempunyai peran yang sangat berpengaruh sekali untuk seluruh masyarakat. Pelayanan yang diberikan pemerintah semakin terasa dengan adanya kesadaran antara masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Sadu Wasistiono mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut:
“Pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah atau pun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pelayanan guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat” (Wasistiono, 2001:51-52).
Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah pemberian jasa oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swata kepada masyarakat. Pemerintahan pada hakekatnya adalah pemberi pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah dalam hal pelayanan tidaklah untukmelayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Ratminto berpendapat bahwa pelayanan yang baik akan dapat diwujudkan apabila:
“Penguatan posisi tawar pengguna jasa pelayanana (masyarakat) mendapat prioritas utama. Dengan demikian , pengguna jasa diletakkan dipusat yang mendapat dukungan dari :
a. Kultur pelayanan pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khusussnya pengguna jasa,
b. Sistem pelayanan dalam organisasai penyelenggara pelayanan
c. Sumber daya manusia yang berorientasi pada pengguna jasa (Ratminto, 2006:52-53).

Berdasarkan penjelasan di atas, suatu pelayanan agar dapat berjalan dengan baik harus didukung oleh kultur pelayanan, sistem pelayanan dan sumber daya manusia. Pengguna jasa dalam rangka mewujudkan pelayanan yang baik harus mendapatkan prioritas yang utama. Pengguna jasa sebagai prioritas utama dalam rangka mewujudkan pelayanan yang baik, maka harus didukung oleh Kultur pelayanan yang memperioritaskan pengguna jasa, adanya sistem pelayanan dipihak penyelenggara pelayanan dan sumber daya manusia yang terdapat di institusi tersebut dapat berjalan dengan selaras dengan pengguna jasa.

Indikator Efektivitas Pelayanan


Studi mengenai efektivitas bertolak dari variabel-variabel artinya konsep yang mempunyai variasi nilai, dimana nilai-nilai tersebut merupakan ukuran daripada efektivitas. Menurut Sudarwan Danim dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok yang menyebutkan beberapa variabelyang mempengaruhi efektivitas, yaitu:
1. Variabel bebas (independent variable)
Yaitu variabel pengelola yang mempengaruhi variabel terikat yang sifatnya given dan adapun bentuknya, sebagai berikut:
a. Struktur yaitu tentang ukuran;
b. Tugas yaitu tugas dan tingkat kesulitan;
c. Lingkungan yaitu keadaan fisik baik organisasi, tempat kerja maupun lainnya;
d. Pemenuhan kebutuhan yaitu kebutuhan fisik organisasi, kebutuhan di tempat kerja dan lain-lain.
2. Variabel terikat (dependent variable)
Yaitu variabel yang dapat dipengaruhi atau dapat diikat oleh variabel lain dan berikut adalah contoh dari variabel terikat, yaitu:
a. Kecepatan dan tingkat kesalahan pengertian;
b. Hasil umum yang dapat dicapai pada kurun waktu tertentu.
3. Variabel perantara (interdependent variable)
Yaitu variabel yang ditentukan oleh suatu proses individu atau organisasi yang turut menentukan efek variabel bebas. (Danim, 2004:121-122).
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa terdapat tiga variabel yang mempengaruhi efektivitas, yaitu pengelola (variabel bebas), variabel terikat dan variabel perantara. Struktur, tingkat kesulitan dan kebutuhan fisik organisasi mempengaruhi hasil umum yang dicapai dengan dipengaruhi juga oleh suatu proses individu atau organisasi yang ikut menentukan efek variabel bebas. Variabel bebas dan variabel perantara secara bersamaan mempengaruhi kecepatan atau tujuan yang hendak dicapai.
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, berkenaan dengan efektivitas pelayanan, Gibson, et.al (1996 : 30), menyebutkan bahwa “masing-masing tingkat efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab variabel oleh variabel lain (ini berarti sebab efektivitas)”.
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa tingkat efektivitas merupakan suatu sebab variabel berpengaruh terhadap variabel lain. Adanya suatu variabel yangmempengaruhi variabel lain menjadi sebab variabel yang terikat dapat berjalan efektif. Berdasar pada penjelasan tersebut, maka terlihat adanya faktor-faktor yang mengindikasi suatu variabel agar berjalan efektif.
Efektivitas dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktorfaktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya adalah faktor internal maupun faktor eksternal suatu organisasi. Ronald 0’ Reffly mengemukakan faktorfaktor yang mempengaruhi efektivitas pelayanan adalah sebagai berikut:
1. Rancangan Tugas
2. Komposisi
3. Konteks
4. Proses (2003 : 119),
Pendapat di atas menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelayanan diantaranya adalah Rancangan Tugas, Komposisi, Konteks, dan Proses. Pertama mengenai Rancangan Tugas, bahwa tim-tim kerja akan dapat berjalan dengan baik dalam memberikan pelayanan apabila memiliki kebebasan, kesempatan untuk memanfaatkan keterampilan-keterampilan dan bakat-bakat yang berbeda-beda, kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau produk secara menyeluruh dan sebuah tugas atau proyek yang memiliki dampak yang substansial terhadap pihak-pihak lain. Kedua mengenai Komposisi, bahwa kategori ini meliputi variabel-variabel yang berkaitan dengan bagaimana karakter dan tim kerja. Bagaimana kemampuan dan kepribadian dan para anggota tim kerja, ukuran tim kerja, fleksibilitas tim kerja dan preferensi para anggota untuk bekerja secara tim. Ketiga mengenai Konteks, yaitu bahwa tiga faktor konseptual yang signifikan berkaitan dengan kinerja tim adalah kehadiransumberdaya yang mencukupi, adanya kepemimpinan yang efektif dan sebuah evaluasi kinerja dan sistem imbalan yang menghargai sumbangan dan tim kerja. Kategori yang terakhir berkaitan dengan efektivitas adalah variabel proses. Variabel proses meliputi komitmen anggota terhadap sebuah tujuan bersama, penetapan tujuan ketetapan waktu dan yang terakhir adalah kelengkapan. Apabila keempat hal tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi, maka kualitas yang akan dicapai terpenuhi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh organisasi.
Amsyah menyebutkan indikator efektivitas pelayanan sistem informasi sebagai berikut:
1. Volume pekerjaan
Volume pekerjaan pengolahan data semakin banyak dan meluas;
2. Akurasi
Informasi harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya;
3. Informasi tepat waktu
Informasi itu harus tersedia atau ada pada saat informasi tersebul diperlukan;
4. Biaya.
Peningkatan biaya personel dan bahan baku pemakaian komputer adalah sama dengan pada operasional pengolahan data nonkomputer. (Amsyah, 2005:131)
Indikator efektivitas tersebut di atas terdiri dari faktor-faktor sebagai berikutt:
a. Volume pekerjaan
Volume pekerjaan pengolahan data semakin banyak dan meluas, sedangkan kapasitas pengolahan di banyak organisasi masih terbatas, karena:
1.            Organisasi berkembang menjadi lebih besar, baik dalam ukuran, kerumitan, maupun lingkungan multinasionalnya
2.            Peningkatan hubungan jaringan kegiatan memerlukan dukungan data dan informasi dari unit, antarunit, antar pusat dan cabang, antar organisasi-organisasi dalam satu grup, atau antar organisasi dengan dengan pemerintahan.
3.            Peningkatan keperluan akan sumber daya manusia yang professional dalam menangani fungsi dan tugas masing-masing, dan dapat pula mengatur sistem informasi yang mendukung kegiatan pokok unit atau subunit bersangkutan.

b. Akurasi
Sering kali alat pengolah data digunakan jauh melebihi kapasitas kemampuannya, sehingga hasilnya menjadi tidak akurat dan pengawasan serta pemeliharaan alat menjadi kurang diperhatikan. Pengolahan dengan komputer pasti akan sangat akurat hasilnya, bila kegiatan tersebut sudah disiapkan sebaik mungkin.
c. Informasi tepat waktu
Informasi yang bernilai tinggi adalah bila dihasilkan tepat waktu. Pelaksanaan kerja dan proses pelayanan sangat memerlukan informasi dalam waktu yang tepat.
d. Biaya
Peningkatan biaya personel dan bahan baku pemakaian komputer adalah sama dengan pada operasional pengolahan data nonkomputer. Hal tersebut menyebabkan suatu organisasi lebih memilih penggunaan komputer.






Definisi Sistem Informasi

Sistem informasi menjadi sebuah bentuk penerapan TIK yang dikembangkan dalam sebuah organisasi. Penerapan/penggunaan sistem informasi pada dasarnya digunakan untuk mendukung sebuah organisasi dalam mengumpulkan dan mengolah data dan menyediakan informasi. Sistem informasi apabila diperhatikan terdiri dari dua struktur kata yaitu Sistem dan Informasi. Penjelasan mengenai sistem dan informasi perlu diketahui untuk memperjelas pengertian sistem informasi secara lebih terperinci.
Menurut Sutabri dalam bukunya Analisa Sistem Informasi, mengatakan bahwa suatu sistem secara sederhana dapat dijelaskan sebagai:
“suatu kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen atau variabel-variabel yang terorganisasi, saling berinteraksi, saling bergantung satu sama lain dan terpadu” (Sutabri, 2004:3).
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa suatu sistem merupakan kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen atau variabel-variabel yang terorganisasi, saling berinteraksi, saling bergantung satu sama lain dan terpadu. Setiap unsur, komponen atau variabel memiliki keterkaitan dan berjalan secara terpadu. Keterkaitan dari setiap unsur, komponen atau variabel tersebut berjalan secara bersama-sama dalam mencapai tujuan.
Penjelasan tersebut di atas sejalan dengan pengertian sistem yang dijelaskan oleh Wing Wahyu Winarno dalam bukunya yang berjudul Sistem Informasi Manajemen. Menurut Winarno yang dimaksud dengan sistem adalah sekumpulan komponen yang saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Masing-masing komponen memiliki fungsi yang berbeda dengan yang lain, tetapi tetap dapat bekerja sama (Winarno, 2006:1.4). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa suatu sistem merupakan sekumpulan komponen, unsur atau variabel yang berjalan secara terpadu dan saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan.
Jogiyanto dalam bukunya yang berjudul Sistem Teknologi Informasi, menjelaskan bahwa Informasi (information) adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna bagi para pemakainya (Jogiyanto, 2005:36).
Pengertian di atas menjelaskan bahwa informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang berguna bagi para pemakainya. Data harus diolah dengan baik agar berguna bagi para pemakainya. Pengolahan data dilaksanakan oleh unit-unit kerja yang membentuk sistem kerja. Unit-unit kerja memerlukan komponen yang dapat digunakan untuk mengolah data. Data yang telah diolah harus disajikan dengan benar. Penyajian informasi harus mudah dipahami dan dicari oleh para pemakainya. Komponen sistem informasi dapat digunakan untuk menyajikan informasi dengan lebih baik.
Penjelasan tersebut di atas sejalan dengan pengertian informasi yang dikemukakan oleh Sutanta, sebagai berikut:
“suatu informasi merupakan hasil pengolahan data sehingga menjadi bentuk yang penting bagi penerimana dan mempunyai kegunaan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang dapat dirasakan akibatnya secara langsung saat itu juga atau secara tidak langsung pada saat mendatang” (Sutanta, 2003:10).
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka pada dasarnya suatu informasi merupakan hasil dari pengolahan data yang diolah sehingga menjadi bentuk yang berguna bagi pemakainya. Pengolahan data tersebut dilaksanakan dalam suatu sistem. Sekumpulan komponen saling bekerjasama untuk mengolah data menjadi sesuatu bentuk yang berguna bagi pemakainya. Berdasarkan pengertian mengenai sistem, data dan informasi, maka apabila digabungkan menjadi sistem informasi akan diperoleh pengertian yaitu sekumpulan komponen yang digunakan secara terpadu untuk mengolah data menjadi sesuatu yang berguna bagi pemakainya.
Sehubungan dengan penjelasan mengenai sistem dan informasi, maka sistem informasi dapat disimpulkan menurut Azhar Susanto sebagai berikut:
“Sistem informasi adalah kumpulan dari sub-sub sistem baik pisik maupun non pisik yang saling berhubungan satu sama dan bekerja sama secara harmonis untuk mencapai satu tujuan yaitu mengolah data menjadi informasi yang berguna” (Azhar Susanto,2004:55).
Definisi di atas menjelaskan bahwa sistem informasi merupakan kumpulan dari sub sistem baik fisik maupun non fisik yang saling berhubungan dan bekerja sama antara yang satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan. Sistem informasi digunakan secara terpadu untuk menghasilkan informasi. Sisteminformasi merupakan pengolahan data menjadi informasi yang berguna untuk bagi para penggunanya.
Winarno dalam bukunya yang berjudul Sistem Informasi Manajemen, menjelaskan bahwa sistem informasi adalah sebagai berikut:
“Sekumpulan komponen yang saling bekerja sama, yang digunakan untuk mencatat data, mengolah data, dan menyajikan informasi untuk para pembuat keputusan agar dapat membuat keputusan dengan baik” (Winarno, 2006:1.6).

Pengertian di atas menjelaskan bahwa sistem informasi itu merupakan suatu alat atau aplikasi pendukung kerja. Sistem informasi digunakan untuk mencatat data, mengolah data dan menyajikan informasi. Sistem informasi akan berjalan jika memiliki sekumpulan komponen yang mendukungnya. Sekumpulan komponen dalam sistem informasi bekerjasama menghasilkan informasi dengan lebih baik. Unit-unit kerja dalam sistem kerja memerlukan informasi yang tepat, akurat dan relevan. Sistem informasi dapat digunakan untuk menghasilkan Informasi dengan lebih baik. Informasi diperlukan untuk membuat keputusan yang lebih baik.

Friday, July 29, 2016

Teori Perdamaian



Salah satu teori perdamaian yang sering dijadikan sebagai landasan dalam sebuah kajian adalah yang diperkenalkan oleh Johan Galtung (1975). Perdamaian atau “peace-building” yang pertama kali diperkenalkan dalam artikel berjudul “Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding”. Di dalam artikel ini Galtung menyatakan bahwa perdamaian harus memiliki sebuah struktur yang berbeda ketika konflik, dimana dalam struktur tersebut harus menghilangkan setiap benih konflik baru baik struktur pemerintahan maupun relasi sosial masyarakat. Lebih jauh ia mengatakan bahwa peace building itu harus menghilangkan penyebab dasar dari konflik dan perlu adanya dukungan kapasitas terhadap lokal dalam upaya mengelola perdamaian serta penyelesaian konflik.
Sementara menurut Lederach, “peace building” itu sebagai suatu konsep yang komprehensif yang mencakup, menghasilkan, dan memelihara suatu proses, pendekatan, dan tahapan yang diperlukan untuk mengubah konflik ke arah perdamaian secara berkelanjutan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa perdamaian dipandang bukan hanya sebagai tahapan rekonstruksi perjanjian semata, namun ia adalah konstruksi sosial yang dinamis. Lederach juga mengatakan bahwa transformasi konflik ke damai harus dilakukan dengan pendekatan secara holistik dan menyeluruh dalam upaya mengelola setiap potensi kekerasan baru. Artinya proses pembangunan perdamaian harus mewujudkan nilai-nilai negatif menjadi nilai-nilai positif. Pendekatan ini harus dilakukan dengan membangun hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam dinamika konflik, baik hubungan dalam kontekspsikologi, spritual, relasi sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Kondisi seperti ini menurut Galtung dinamakan dengan perdamaian positif (positive peace), yaitu adanya kondisi damai secara struktural, baik secara struktur relasi penguasa dengan rakyat, maupun relasi sesama rakyat. Relasi secara struktural ini juga mampu menghilangkan benih-benih ketidakpuasan yang dapat melahirkan konflik baru. Positive peace juga didasarkan kepada perdamaian yang berbasis keadilan, persamaan dan kesetaraan. Sebaliknya jika kondisi dimana “perdamaian” hanya dianggap sebagai ketiadaan konflik kekerasan (the absence of violent conflict), tapi ketidakadilan terus terjadi dinamakan dengan perdamaian negatif (negative peace).
  
Terkait dengan kekerasan, Galtung, seperti dikutip oleh Grewal mendefinisikan kekerasan sebagai keadaan jasmani dan rohani seseorang yang sedang berada di bawah realisasi potensinya. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak membeda-kan violent acts (tindakan tindakan yang keras, keras sebagai sifat) dengan acts of violence (tindakan- tindakan kekerasan).

Galtung juga membagi enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu:
1.      Kekerasan fisik dan psikologis; kekerasan fisik adalah adanya tindakan yang menyakiti secara jasmani, baik dalam bentuk penganiayaan maupun pembunuhan. Sedangkan kekerasan psiko-logis adalah tekanan yang di-maksudkan menekan mental.
2.      Pengaruh positif dan negatif; yaitu adanya sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat "pengendalian", tidak bebas, kurang terbuka, cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.
3.      Ada objek atau tidak; yaitu adanya tindakan tertentu dan tetap terdapatnya ancaman kekerasan secara fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi tindakan tersebut akan membatasi tindakan dan pilihan manusia.
4.      Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.
5.      Disengaja atau tidak, yaitu adanya tindakan yang menyebabkan suatu akibat, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.
6.      Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata (manifest), baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent), tetapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi akan terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual dapat menurun dengan mudah. Kekerasan tersembunyi yang struktural terjadi jika suatu struktur egaliter dapat dengan mudah diubah menjadi feodal, atau revolusihasil dukungan militer yang hirarkis dapat berubah lagi menjadi struktur hirarkis setelah tantangan utama terlewati.


Galtung juga membedakan kekerasan personal dan struktural. Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhatikan karena dianggap berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural dianggap wajar.

Teori Konflik


Konflik merupakan suatu fenomena yang lumrah terjadi (sunnatullah). Hal ini tidak terlepas dari berbagai kepentingan manusia yang saling berbeda namun tidak dapat diorganisir dengan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongandorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Sementara menurut Richard E. Crable (1981) “conflict is a disagreement or a lack of harmony”. Kalimat  tersebut dapat diartikan dengan “konflik merupakan ketidaksepahaman atau ketidakcocokan”. Sedangkan Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan.
Teori konflik merupakan anti-tesis dari teori struktural fungsional, dimana teori strukturalfungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori ini melihat bahwa di dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan yang dikarenakan karena adanya dominasi, kohesi, kekuasaan, perbedaan dan lain-lain.
Konflik merupakan suatu fenomena yang lumrah terjadi (sunnatullah). Hal ini tidak terlepas dari berbagai kepentingan manusia yang saling berbeda namun tidak dapat diorganisir dengan baik. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Degenova (2008) konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menjelaskan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Teori konflik merupakan anti-tesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori ini melihat bahwa di dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau keteganganketegangan yang dikarenakan karena adanya dominasi, kohesi, kekuasaan, perbedaan dan lain-lain.
Teori fungsionalisme struktural menyatakan bahwa: (1) masyarakat berada pada kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, (2) setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, (3) anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, dan (4) konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi latent, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium)
Sementara teori konflik menyatakan hal sebaliknya, yaitu; (1) masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsurunsurnya, (2) setiap elemen memberikan sumbangan terhadap desintegrasi sosial, (3) keteraturan dalam masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan dari atas oleh golongan yang berkuasa, (4) konsep-konsep sentral teori konflik adalah wewenang dan posisi, keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa terkecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis, (5) perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat.
Menurut Dahrendorf (2009) kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan bawah dalam setiap struktur. Karenawewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dengan demikian masyarakat disebut sebagai Dahrendorf sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imferatively coordinated associations).
Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dengan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada di setiap waktu dan dalam setiap struktur. Artinya, teori konflik Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut.

Menurut Dahrendorf terdapat mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan danpembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.

Dampak Ekonomi Politik Menjelang Pemilu

Menjelang pemilu, muncul beberapa berita yang mengaitkan antara persoalan ekonomidengan politik. Karena berangkat dari berita yang berkaitan dengan pemilu, maka wacana tersebutpun umumnya berkaitan dengan intervensi politik terhadap aktivitas ekonomi yang terjadi padakuartal pertama ini. Dalam ranah ekonomi makro, misalnya, muncul beberapa pandangan baik yangberupa pesimis atau optimis mengenai pengaruh pemilu dalam kontribusinya terhadappertumbuhan ekonomi. Atau dalam ranah perdagangan saham dan moneter, muncul dampak dari pencapresan Jokowi terhadap perubahan IHSG dan penguatan rupiah terhadap dolar. Tentu, persoalan ekonomi politik di atas bukan sekadar pada perdebatan sudut pandang yang digunakan dalam menilai suatu hal sehingga berpengaruh terhadap perbedaan analisis yangdikemukakan. Jauh lebih paradigmatik daripada itu, berita atau isu mengenai ekonomi politiktersebut setidaknya menjelaskan bahwa Politik dan Ekonomi adalah dua entitas yang tidak dapatterpisah dalam logika biner. Relasi antara Politik dan Ekonomi tersebut dapat berdampak positif dalam tataran praksis penguatan institusi demokrasi kenegaraan, atau dapat juga sebaliknya berdampak negatif atas sebab perbedaan paradigmatik yang mendasar di antara keduanya. Dengan kata lain, Pemilu sebagai bagian penting dari proses politik berbentuk demokrasi prosedural, perlu dikaji secara lebih kritis dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi: apakah kehadiran pesta demokrasi yang berlangsung secara periodik tersebut berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat luas, atau bisa jadi pemilu hanyalah sekedar permainan elit yang dikemas menarik bernama pesta demokrasi dan kepentingan rakyat hanyalah sekadar ilusi. Di titik inilah, tradisi untuk membongkar kembali nalar politik dan ekonomi menjadi penting dengan berkaca pada praktik yang terjadi di Indonesia serta beberapa negara. Sehingga, kitatidak bisa sekadar ikut berpartisipasi dalam pemilu, melainkan juga sadar serta kritis atas apa signifikansi bagi hadirnya ekonomi yang baik dari setiap hadirnya pemilu.

Pengaruh Politik Terhadap Perekonomian

Politik adalah kegiatan dalam suatu sistem pembangunan negara melalui pembagian-pembagian kekuasan atau pendapatan untuk mencapai tujuan yang telah di sepakati dan melaksanakan tujuan tersebut. Kancah dunia politik di Indonesia sangat berpengaruh besar terhadap kemajuan ekonomi bangsa ini. Seperti kita ketahui dengan adanya campur tangan antara dunia politik di pemerintahan akan menghasilkan suatu perjanjian atau kerjasama dengan Dunia Internasional.
Dalam berbisnis sangatlah penting mempertimbangkan risiko politik dan pengaruhnya terhadap organisasi. Hal ini patut dipertimbangkan karena perubahan dalam suatu tindakan maupun kebijakan politik di suatu negara dapat menimbulkan dampak besar pada sektor keuangan dan perekonomian negara tersebut. Risiko politik umumnya berkaitan erat dengan pemerintahan serta situasi politik dan keamanan di suatu negara.
Setiap tindakan dalam organisasi bisnis adalah politik, kecuali organisasi charity atau sosial. Faktor-faktor tersebut menentukan kelancaran berlangsungnya suatu bisnis. Oleh karena itu, jika situasi politik mendukung, maka bisnis secara umum akan berjalan dengan lancar. Dari segi pasar saham, situasi politik yang kondusif akan membuat harga saham naik. Sebaliknya, jika situasi politik tidak menentu, maka akan menimbulkan unsur ketidakpastian dalam bisnis.
Dalam konteks ini, kinerja sistem ekonomi-politik sudah berinteraksi satu sama lain, yang menyebabkan setiap peristiwa ekonomi-politik tidak lagi dibatasi oleh batas-batas tertentu Sebagai contoh, IMF, atau Bank Dunia, atau bahkan para investor asing mempertimbangkan peristiwa politik nasional dan lebih merefleksikan kompromi-kompromi antara kekuatan politik nasional dan kekuatan-kekuatan internasional.
Tiap pembentukan pola bisnis juga senantiasa berkait erat dengan politik. Budaya politik merupakan serangkaian keyakinan atau sikap yang memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan administrasi publik di suatu negara, termasuk di dalamnya pola yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi atau perilaku bisnis.
Terdapat politik yang dirancang untuk menjauhkan campur tangan pemerintah dalam bidang perekonomian/bisnis. Sistemnya disebut sistem liberal dan politiknya demokratis. Ada politik yang bersifat intervensionis secara penuh dengan dukungan pemerintahan yang bersih. Ada pula politik yang cenderung mengarahkan agar pemerintah terlibat atau ikut campur tangan dalam bidang ekonomi bisnis.




Thursday, July 21, 2016

Strategi Kampanye dan Mobilisasi Pemilih


Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pilkada di Aceh strategi kampanye dan mobilisasi kurang efektif dalam mensosialisasikan prioritas-prioritas kebijakan para calon, dan kurang efektif dalam mendorong para politisi supaya tanggap terhadap kebutuhan dan prioritas warga pada umumnya. Bukan mengandalkan dialog kebijakan dan mobilisasi tingkat bawah menyangkut prioritas pemilih, para calon—terutama dalam persaingan di tingkat kabupaten/kota—malah lebih banyak bersandar pada upaya menyebarkan patronase, memengaruhi para pemimpin desa, politik uang, dan pamer kebesaran dan status. Bagian ini menganalisis praktek-praktek kampanye dan mobilisasi tersebut dan membahas implikasi-implikasi dari strategi-strategi semacam itu.
Empat kelompok pemimpin di Aceh seperti telah dipaparkan sebelumnya menonjol sebagai calon-calon dalam pilkada: ‘teknokrat’ (birokrat dan akademisi), tokoh GAM, ‘elite tandingan’ dari masyarakat sipil, dan kontraktor:
a.      Calon-calon teknokrat biasanya adalah orang-orang incumbent, para anggota DPRD (paling umum adalah ketua DPRD), birokrat (seringkali kepala dinas), pejabat militer atau pemimpin partai, dan lebih cenderung mewakili partai-partai politik nasional daripada maju sebagai calon independen.
b.      Calon-calon yang berafiliasi dengan GAM maju dalam pilkada di 15 kabupaten/kota, dan umumnya berasal dari lapisan ‘GAM sipil’. Kebanyakan maju sebagai calon independen, dengan pengecualian calon wakil gubernur Hasbi Abdullah, yang maju dengan dukungan PPP bersama Human Hamid.
c.       Calon-calon dari masyarakat sipil, yang menonjol di antara mereka adalah orangorang yang memiliki kaitan dengan SIRA, sebagian dari mereka maju sebagai calon independen (seringkali berpasangan dengan calon dari GAM) atau dengan dukungan partai.
d.      Para kontraktor seringkali maju sebagai calon wakil bupati, mungkin berperan untuk memberi dukungan dana untuk tokoh yang lebih terkenal yang maju sebagai calon bupati.

Ulama tidak tampil sebagai calon, namun dalam beberapa kasus mereka menyatakan dukungan secara terbuka terhadap calon-calon tertentu. Tidak ada keturunan ulèëbalang, yang dapat dikenali dari penggunaan gelar Teuku pada namanya, yang menonjol di antara calon, dan tidak pula di kalangan pemenang; hanya seorang Teuku yang tampil sebagai calon yang berhasil (lihat di bawah). Kotak 5 memberi tiga contoh calon dan apa yang dipandang sebagai kualitas yang membuat mereka layak menjadi calon.
Bagaimana para calon berkampanye untuk merebut kursi kepemimpinan di Aceh? Caloncalon independen yang berafiliasi dengan GAM umumnya memiliki dana yang sedikit, namun mereka mengandalkan jaringan tingkat akar-rumput yang mereka miliki, terutama di kalangan pemilih miskin dan pemilih di wilayah pedesaan, dengan pesan kampanye yang disebarkan melalui jaringan pendukung KPA yang besar. Sebaliknya, para calon dengan latar belakang teknokrat atau kontraktor, cenderung mengandalkan jaringan patronase yang lebih oportunistik (berlawanan dengan jaringan GAM yang lebih ideologis), dan kampanye media yang mencolok (dan mahal) untuk menjangkau para pemilih.
Bagian ini akan menguraikan lebih jauh empat ciri strategi kampanye para calon:
a.       Tidak adanya platform kebijakan yang jelas dan maraknya janji-janji;
b.      Mengandalkan jangkauan dan jaringan kepemimpinan;
c.       Membagi-bagikan sumbangan, ‘paket bantuan’, dan pemberian uang tunai (politik uang), seringkali diberikan ketika ada acara silaturrahmi atau kampanye terbuka;
d.      Pamer kekuatan melalui kampanye terbuka yang sengaja dibuat besar-besaran, dan dengan “mencap” wilayah tertentu sebagai wilayah kekuasaan calon tertentu.
Strategi-strategi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap tatakelola pemerintahan karena calon membentuk hubungan patron-klien dan membuat komitmen patronase yang akan membutuhkan pemberian-pemberian ilegal barang dan jasa secara terus-menerus. Praktek-praktek ini juga memiliki implikasi negatif terhadap persaingan politik karena praktek-praktek itu melibatkan mobilisasi ‘klien’ untuk bekerja atas nama patron politik mereka, bukan melalui pedebatan dan pernyataan kebijakan, melainkan melalui pendekatan personal, pemberian uang secara ilegal dan unjuk kekuatan. Hal ini dapat menjadi penyebab bagi munculnya dan meningkatnya berbagai pertikaian di masa mendatang.

Pilkada Pasca Konflik di Aceh dan Implikasinya



a.      Pilkada Pasca Konflik di Aceh: Melampaui Pendekatan ‘Bebas, Jujur dan Adil’
            Makalah ini berargumen bahwa meskipun pilkada pasca konflik di Aceh telah berlangsung sukses—dalam arti pilkada berlangsung bebas, adil dan damai—pelaksanaan pilkada juga memperlihatkan praktek-praktek politik yang cenderung tidak memperkuat manajemen persaingan politik antar elite lokal dan kurang membantu membentukkan pemerintahan yang akuntabel, bertanggung jawab dan responsif pada jangka menengah dan panjang.

b.      Pelaksanaan Kelembagaan
Tingkat kekerasan yang terjadi pada pilkada Aceh dapat dikatakan rendah. Kalau mengingat Aceh baru damai setelah 30 tahun dilanda konflik kekerasan, pencapaian ini patut dihargai. Meski demikian, konflik dan sengketa terkait pilkada sering terjadi walaupun jarang disertai kekerasan. Pada konflik-konflik tanpa kekerasan ini, tingkat keterlibatan institusi pemerintahan dapat dikatakan tinggi, baik sebagai pihak yang bertikai maupun sebagai pelaku pelanggaran pilkada. Pengamatan terhadap masalah-masalah ini memperlihatkan beberapa kelemahan yang signifikan pada pelaksanaan pilkada secara kelembagaan: pengawasan pilkada masih rendah; penyelidikan sengketa dan pelanggaran pilkada tidak efektif; terdapat indikasi adanya petugas pilkada yang kurang netral; dan beberapa prosedur penting ternyata tidak dilaksanakan, misalnya prosedur pengawasan dana kampanye.
            Di satu sisi, kelemahan-kelemahan ini akan berdampak pada cara-cara penanganan konflik politik di kemudian hari serta upaya membangunkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) di Aceh. Meskipun tidak terjadi manipulasi yang meluas, namun banyaknya pelanggaran dan gagalnya lembaga-lembaga resmi menyelesaikan berbagai masalah secara efektif telah menimbulkan kekecewaan di antara fraksi-fraksi elit, dan telah mengurangi legitimasi para kandidat yang menang. Di sisi lain, karena buruknya pelaksanaan peraturan dana kampanye, maka masyarakat dan komponen masyarakat sipil (civil society) kehilangan suatu alat penting dalam menuntut akuntabilitas pemerintah pada masa mendatang. Hal ini mungkin akan berdampak buruk terhadap upaya-upaya membangun pemerintahan yang bersih dan pembuatan kebijakan yang efektif.

c.       Strategi Kampanye dan Mobilisasi oleh para Kandidat
Partai-partai dan rencana-rencana kebijakan tidak secara signifikan membentuk strategi kampanye kandidat pada pilkada Aceh. Justru strategi-strategi lain lebih menonjol dalam kampanye dan cara memobilisasikan pendukung seperti pembentukan aliansi pragmatis melalui tim sukses, serta menyebarkan ‘patronase’ dan janji-janji. Para kandidat bersaing untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, dan mempekerjakan brokerbroker politik yang menjual jasa mobilisasinya kepada kandidat yang membayar paling
tinggi. Khususnya di antara kandidat yang berafiliasi GAM, mereka menggunakan jaringan luas yang mereka memiliki pada era konflik. Melalui strategi-strategi kampanye seperti ini, banyak kandidat tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten terlibat hutang, baik hutang politik maupun hutang finansial, yang harus dilunasi pada masa mendatang. Kandidat-kandidat yang menang akan menghadapi tekanan kuat untuk membayar hutangnya melalui jasa-jasa politik yang cenderung mengkompromikan prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik. Hal ini berlaku untuk kandidat-kandidat yang berafiliasi dengan GAM maupun yang lain. Sebaliknya, kalau kandidat yang menang enggan melunasi hutang politik dengan cara tersebut, diperkirakan dapat menimbulkan konflik politik di antara elite lokal, ketika pendukung menjadi kecewa karena tidak menerima balasan dan akhirnya justru menyerang balik kandidat tersebut.
d.      Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih jarang ditentukan berdasarkan kesamaan antara pemilih dan kandidat pada rencana-rencana kebijakan yang ditawarkan. Pemilih justru memilih kandidat berdasarkan faktor lain. Pertama, masyarakat memilih kandidat yang sudah memiliki hubungan khusus dengan desa mereka. Cara ini (diharapkan) dapat memfasilitasikan akses mereka terhadap sumberdaya negara. Kedua, bila tidak ada hubungan khusus, pemilih kadang berusaha untuk menghubungkan dirinya dengan salah seorang kandidat yang cenderung akan menang, dengan tujuan dukungan mereka dapat membawa keuntungan khusus di kemudian hari. Ketiga, pemilihan di Aceh seringkali bersifat komunal. Pemimpin desa seringkali berpengaruh dalam menentukan pilihan warganya, dan dia dapat mempengaruhi sebagian besar warga untuk memilih salah satu kandidat. Terakhir, beberapa kasus intimidasi terjadi di daerah yang masih didominasi GAM, meski tidak sebanyak yang diperkirakan dapat terjadi pada wilayah pasca konflik.

Pola perilaku pemilih seperti ini menunjukkan bahwa warga sangat tidak yakin bahwa pemerintah bisa melaksanakan pembangunan dan melakukan reformasi kebijakan, tetapi pada saat yang sama warga juga sepertinya mengharapkan mendapatkan keuntungan yang disalurkan melalui jaringan patronase dan hubungan pribadi. Adanya dua faktor itu, kekecewaan terhadap negara dan harapan mendapat keuntungan khusus, berpotensi menjadi landasan munculnya sengketa dan mobilisasi masa di kemudian hari, yang dapat meningkatkan kemungkinanan pecahnya kekerasan yang lebih luas.

e.       Dampak-dampak Awal terhadap Persaingan Politik dan Tatakelola Pemerintahan
Pada periode pasca pilkada, terdapat tanda-tanda awal bahwa praktek-praktek politik yang digambarkan di atas memang telah berakibat buruk pada manejemen persaingan politik dan penetapan landasan yang kuat bagi tatakelola pemerintahan yang baik dan pembuatan kebijakan. Terdapat empat perkembangan penting yang telah timbul pada awal periode pasca pilkada.
Pertama, kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pilkada berujung pada sengketa pasca pilkada dan kekecewaan yang berlanjut. Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkada gagal menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak tempat telah meningkatkan persaingan politik yang tidak sehat antar elit-elit. Persaingan yang tidak sehat ini telah menghentikan roda pemerintahan pada satu kabupaten. Di tempat lain sengketa berujung pada perjanjian-perjanjian terselubung untuk meredam ketegangan antar kedua belah pihak yang bersengketa.
Kedua, metode-metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau memperkuat hubungan-hubungan ‘patronase’ yang mendorong penyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah melalui jalur tidak resmi, sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerintahan yang korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara para elite lokal yang saling berebut dukungan, dan menurut sejumlah indikasi yang ada sekarang, akan terus mempersempit peluang untuk memperbaiki pemerintahan di Aceh.

Ketiga, hasil pilkada dimana sebagian dimenangkan oleh kandidat yang berafiliasi dengan GAM, telah meningkatkan tekanan terhadap pememang yang berafiliasi dengan GAM itu untuk menyalurkan sumberdaya pemerintah kepada kelompok-kelompok mantan GAM. Tekanan ini berdampak buruk terhadap pemerintahan, dan juga telah menyebabkan keretakan baru, dan memperparah keretakan lama, di tubuh GAM sendiri. Karena masih belum jelas sejauh mana kepemimpinan GAM akan mampu menangani keretakankeretakan ini, maka perpecahan di dalam tubuh GAM masih tetap berpotensi sebagai sumber konflik ke depan.
Terakhir, terdapat beberapa tanda-tanda awal bahwa jaringan ‘patronase’ yang dikembangkan selama pilkada akan dimanfaatkan untuk memobilisasi kekecewaan di tingkat desa. Mobilisasi seperti ini dapat digunakan untuk meraih kepentingan politik desa, namun juga bisa dimanipulasikan dan dimanfaatkan sehingga memperparah konflik politik tingkat kabupaten.
Praktek-praktek politik dan kelemahan-kelemahan pelaksanaan pilkada yang digambarkan di atas memiliki banyak kesamaan dengan apa yang telah digambarkan oleh pengamat pemilu dan peneliti mengenai situasi di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya. Bila tantangan-tantangan utama dalam menegakkan demokrasi di Aceh kini mirip dengan tantangan yang dihadapi pada daerah lain, maka ini bisa dianggap sebuah pencapaian yang signifikan. Namun demikian, Aceh menghadapi tantangan yang lebih berat dan lebih beragam dibandingkan daerah lain di negeri ini, seperti adanya sejarah konflik, masyarakat yang telah mengalami banyak trauma, munculnya dinamika yang unik di mana mantan kombatan kini menjadi pimpinan pemerintah, tingginya tingkat kemiskinan dan korupsi, ketegangan antar etnis, serta gerakan-gerakan untuk memekarkan propinsi baru.


Kondisi perpolitikan dalam konteks Aceh cenderung memiliki resiko untuk terjadinya praktek politik negatif ini. Keadaan yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa kekecewaan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan kinerja pemerintah, yang pada masa lalu melatarbelakangi konflik separatis, akan tetap ada. Walaupun kekerasan skala luas telah berhenti dengan adanya MoU Helsinki, konflik-konflik politik antara elite lokal tetap sering terjadi, dan apabila pemerintah daerah gagal menepati janji-janji dari kampanye pilkada, konflik dan kekecewaan ini bisa semakin parah. Memang komitmen politik terhadap proses perdamaian masih tetap kuat pada kedua belah pihak. Namun, bila politik lokal terus berjalan melalui sistem patronase, maka hanya sebagian kecil masyarakat akan merasakan peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, kekecewaan yang dapat menjadi dasar mobilisasi, dan juga insentif-insentif bagi elite untuk memobilisasi, masih tetap ada. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi Aceh untuk terus memperkuat dasar-dasar dari sistem demokrasi di Aceh, agar perdamaian bertahan sampai jangka panjang.