1.
Latar Belakang Komisi Pemilihan
Umum (KPU)
Secara
ringkas mungkin, KPU yang ada sekarang merupakan KPU keempat yang dibentuk
sejak era Reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk denganKeppres No 16
Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai
Politik. KPU pertama dilantik Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007)
dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur
akademis dan LSM. KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
pada tanggal 11 April 2001.
KPU
ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan
tujuh orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti
dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung
dilantik Presiden karena masalah hukum.
Untuk
menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU
dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang
jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan
faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu
menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai
pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga
membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal
yang jujur dan adil.
Tepat
tiga tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di
kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah
satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU
dituntut independen dan non-partisan.
Untuk
itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya
keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar
Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan
DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai
penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan
bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum
mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap
menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan
meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU
dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan
penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu,
meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan
kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur
mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas
Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan
peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan
pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS
dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat
ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua
tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya
Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam
rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas
sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara
Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi,
dan Bawaslu.
Di
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD,
jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang
menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang
tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban
KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme
Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah
Dan Wakil Kepala Daerah. Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa
keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian
hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan;
proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.
Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi
calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang
membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and
proper
test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli
2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota
KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk
mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45
orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan
tanggal 31 Juli 2007.
2.
Peran Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Sebagai
konsekuensi ketentuan konstitusional bahwa penyelenggara Pemilu bersifat
nasional, tetap, dan mandiri, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2007
menyatakan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota bersifat hierarkis.
Oleh karena itu KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah satu kesatuan
organisasi berjenjang walaupun telah ditentukan pembagian tugas dan
tanggungjawab masing- masing oleh undang-undang. KPU provinsi adalah organ dari
KPU yang harus melaksanakan dan mengikuti arahan, pedoman, dan program dari
KPU, terutama dalam hal pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan
Wakil Presiden. Di sisi lain, KPU provinsi harus mengkoordinasikan dan memantau
pelaksanaan tugas KPU kabupaten/kota.
Namun
demikian, prinsip kemandirian juga tetap dimiliki oleh KPU provinsi bahkan dari
KPU nasional. Hal itu misalnya dalam hal penetapan hasil Pemilu untuk anggota
DPRD provinsi dan dalam pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur,
untuk menjamin bahwa Pemilu dilaksanakan sesuai dengan asas-asas
konstitusional. Sebaliknya KPU nasional juga dapat memberikan sanksi apabila
KPU provinsi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan
pelaksanaan Pemilu. Mengingat penyelenggara Pemilu adalah satu kesatuan
organisasi, peran KPU provinsi meliputi semua penyelenggaraan Pemilu, tidak
hanya untuk Pemilu DPRD provinsi atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Bahkan untuk pelaksanaan pemilihan bupati/walikota pun, KPU memiliki peran yang
besar terutama dalam hal mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaannya. Untuk
pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
KPU provinsi juga memiliki peran dan tanggungjawab yang telah ditentukan UU
Penyelenggara Pemilu dan UU Pemilu di bawah koordinasi KPU.
Pasca
pelaksanaan Pemilu 2009, peran penting KPU provinsi yang sudah didepan mata
adalah pelaksanaan pemilu gubernur dan wakil gubernur dan mengkoordinasikan
pelaksanaan pemilu bupati/walikota. Peran KPU nasional dalam pelaksanaan pemilu
kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya bersifat arahan, koordinatif dan
pemantauan yang meliputi antara lain:
a. menyusun
dan menetapkan pedoman tata cara penyelenggaraan;
b. mengoordinasikan
dan memantau tahapan;
c. melakukan
evaluasi tahunan penyelenggaraan Pemilu;
d. menerima
laporan hasil Pemilu dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
e. menonaktifkan
sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota KPU Provinsi
yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaran Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3.
Tugas dan kewenangan Komisi
Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum sebagai
lembaga independen dalam sistem ketatanagaraan Indonesia mempunyai tugas,
wewenang dan kewajiaban sebagai penyelanggara pemilu yang disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Adapun tugas,
wewenang, kewajiban, Komisi Pemilihan Umum diatur dalam Pasal 8 UU Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum,yaitu:
1. Tugas dan wewenang Komisi
Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
2. Tugas dan wewenang Komisi
Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
3. Tugas dan wewenang Komisi
Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Pasal
39 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelanggara Pemilihan Umum
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Komisi Pemilihan Umum bertanggungjawab
sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam penyelengpgaraan seluruh
tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. Komisi Pemilihan Umum memberikan
laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Banyak sekali kendala yang dihadapai
Komisi Pemilihan Umum dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya
sebagai penyelenggara pemilihan umum di Indonesia. Kendala-kendala tersebut
meliputi kendala yuridis dan kendala non yuridis. Kendala yuridis yang dialami
Komisi Pemilihan Umum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berkaitan dengan
kedudukannnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berkaitan dengan dasar
hukum pembentukannya yaitu pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang tidak meyebutkan
nama Komisi Pemilihan Umum secara pasti. Hal ini menimbulkan kesulitan dan
kendala dalam menempatkan kedudukan Komisi Pemilihan Umum dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia serta bentuk pertanggugjawaban kepada presiden yang
disini berposisi sebagai peserta pemilu.
Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) merupakan bawahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat yang berfungsi untuk
menyelenggarakan pemilihan umum secara berjenjang (Wahidin, 2008:47). Ketentuan
yang melahirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdapat dalam pasal 22E Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam bab VIIB Pemilihan Umum yang
merupakan hasil perubahan ketiga tahun 2001. Pasal 22E ayat (5) menyatakan
bahwa” Pemilihan umum diselenggrakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Dalam hal ini, nama komisi pemilihan
umum belum menunjukkan nama yang pasti, namun hal ini menjadi dasar bahwa
pemerintah terlepas dari KPU yang bertugas menyelenggarakan Pemilu sebagai
organ yang mandiri di dalam kinerjanya. Penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah
di Kabupaten/ Kota diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.