Sunday, August 23, 2015

Pasang Surut Adat dalam Pusaran Kebijakan Nasional dan Kedaerahan



BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Tarik ulur tentang Wali Nanggroe menjadi topik krusial yang berkembang, di ujung masa tugas para anggota DPRA periode 2004-2009. Di tengah harapan agar Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe dapat disahkan sebelum mereka lengser sebagai anggota dewan, ternyata pihak eksekutif selaku pemegang kendali Pemerintahan Aceh menganggap Qanun tersebut belum mendesak untuk ditetapkan dalam waktu dekat ini.  Raqan Wali Nanggroe yang diajukan sebagai usul inisiatif DPRA, dalam Sidang paripurna lanjutan pembahasan lima rancangan qanun (raqan) di Gedung Utama DPRA, kembali ditolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Sikap Pemerintah Aceh tersebut disampaikan Sekdaprov Husni Bahri TOB, dalam membacakan jawaban/penjelasan gubernur terhadap pemandangan anggota dewan dan sejumlah pansus terhadap lima raqan yang sedang dibahas bersama.

            Penolakan pihak eksekutif tersebut setidaknya memiliki dua alasan, yakni bahwa saat ini banyak hal lain di Aceh yang perlu untuk mendapatkan penanganan dan perhatian dengan segera. Dalam hal ini rencana pemberlakukan Qanun Wali Nanggroe, akan memunculkan konsekuensi pada penambahan beban anggaran APBA. Sehingga pihak eksekutif merasa ada prioritas lain yang lebih mendesak untuk disegerakan, daripada permasalahan Wali Nanggroe. Selain itu dari segi substansi, Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh menilai Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA dianggap masih perlu adanya penyempurnaan dan penyelarasan karena dikhawatirkan akan bersinggungan dengan Raqan yang sudah ada. Penyelarasan tersebut diantaranya terkait keberadaan Majelis Adat Aceh yang menjalankan salah satu fungsi Wali Nanggroe sebagaimana tercantum dalam Qanun No. 9 tahun 2008, namun demikian dalam Raqan Wali Nanggroe belum terdapat satu pasal pun yang menjelaskan, dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan oleh Majelis Adat Aceh (MAA).

            Sesuai dengan kesepakatan Pemerintah RI dan GAM dalam MoU Helsinki, Wali Nanggroe di Aceh dimungkinkan keberadaannya, sesuai dengan butir 1.1.7 yang menegaskan Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Selanjutnya secara legalitas perumusan lembaga Wali Nanggroe diatur lebih lanjut pada Bab XII pasal 96 dan 97 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam ketentuan itu keberadaan dan fungsi Wali Nanggroe secara gamblang disebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. Di samping itu Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Sedangkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan, protokoler, keuangan dan lain-lainnya yang menyangkut Wali Nanggroe akan diatur dengan Qanun Aceh.
Dalam dinamika politik Aceh yang berkembang pesat saat ini, pro dan kontra menyikapi penyusunan Qanun Wali Nanggroe, dikhawatirkan akan terus bergulir serta berkembang ke arah yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh bila tidak disikapi dengan benar dan proporsional. Menyikapi masalah Wali Nanggroe, kelompok yang berseberangan dengan kelompok GAM sewaktu konflik di Aceh lalu, tentu saja akan bersikap menolak diberlakukannya Wali Nanggroe di Aceh, karena dinilai memberikan celah tetap terbukanya separatis di Aceh.
Sikapi itu muncul diantaranya didasari pandangan kelompok eks GAM, bahwa terkait hirarki antara Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh, di kalangan kelompok tersebut berkembang pandangan bahwa posisi Wali Nanggroe berada di atas Gubernur Aceh. Wali Nanggroe tidak hanya sekedar simbol pemersatu, namun memiliki kewenangan melebihi pemerintahan (gubernur). Wali Nanggroe berhak membubarkan parlemen, menegur bahkan memecat gubernur bila dinilai tidak mampu memimpin. Bila pandangan itu masih dipegang oleh kalangan eks GAM, maka hal ini sudah jauh menyimpang dari ketentuan yang tertulis dalam UU PA. Dari pandangan itu, jelas bahwa Wali Nanggroe versi itu, sangat memiliki kewenangan yang kuat melebihi kewenangan seorang gubernur di Aceh. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan di Aceh terhadap kemungkinan diberlakukannya Qanun Wali Nanggroe, selain karena memang tidak sesuai dengan ketentuan tata pemerintahan di Indonesia.
Mencermati Raqan Wali Nanggroe yang diajukan oleh DPRA, secara garis besar memang telah sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUPA. Dimana disebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah tidak lebih dari sebuah lembaga adat dan bukan lembaga politik, namun demikian memang masih diperlukan adanya penyempurnaan sehingga terjadi keselarasan dengan Qanun Aceh lainnya, terutama terkait dengan hubungan antara Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh. Bila memang betul pemerintah Aceh menolak Raqan Wali Nanggroe atas dasar prioritas program dan masih perlu adanya penyempurnaan substansi, maka hal tersebut adalah hak dari eksekutif dan tidak perlu lagi untuk diperdebatkan. Ke depan terkait dengan Wali Nanggroe, yang perlu untuk kita cermati bersama adalah kiprah anggota DPRA periode mendatang, yang akan dilantik akhir tahun lalu dalam menyelesaikan Raqan tersebut. Dengan komposisi mayoritas anggota dewan dari Partai Aceh, bukan tidak mungkin Qanun Wali akan direvisi sesuai dengan kepentingan mereka yang mayoritas adalah eks anggota GAM/KPA. Seyogyanya semua kalangan di Aceh, termasuk para anggota dewan terpilih, dapat berfikir bijak dan arif sehingga tidak lagi memunculkan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan perdamaian di Aceh.









BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pasang Surut Adat dalam Pusaran Kebijakan Nasional dan Kedaerahan
Perbincangan mengenai hukum adat dan hukum pemerintahan di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan tidak cukup sekedar dimulai dari jatuhnya rezim Orde Baru. Sejak masa penjajahan Belanda adat menjadi bagian dari kepentingan politik pemerintahan. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Sukarno setelah Indonesia merdeka, zaman Orde Baru di bawah rezim Suharto sampai zaman reformasi sekarang ini. Meskipun hubungan antara hukum adat dan pemerintahan yang terbangun pada setiap pemerintahan berbeda-beda, namun secara umum setiap rezim menggunakan adat sebagai bagian dari kesuksesan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia Belanda dalam melancarkan imperialismenya melalui kebijakan hukum adat (adatrecht). Konsep Adatrecht ini dikembangan dari Universitas Leiden di mana Cornelis Van Vollenhoven (1876-1933) menjadi tokoh utamanya.567 Ia mendefenisikan adat sebagai tata aturan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dengan kata rect, sebuah kata yang secara konvensional diterjemahkan dalambahasa inggris sebagai ‘law’ atau ‘hukum’ dalam bahasa Indonesia. Defenisi adat sebagai hukum meminggirkan aspek-aspek adat yang lain seperti tradisi-tradisi sosial, religius dan seni, maupun kekuasaan ekonomi dan politik yang berbasis adat.
Debat tentang posisi lembaga adat cukup panas terjadi pada tahun 1950-an dan banyak pihak yang menganggap adat sesuatu yang sangat penting, namun kenyataan dilapangan sistem-sistem adat dibiarkan berjalan apa adanya tanpa ada rangsangan dan dukungan dari pemerintah. Bahkan di awal 1950-an peradilan-peradilan adat dihapus hampir di seluruh Indonesia termasuk Aceh dan digantikan dengan pengadilan negara. Lembaga-lembaga yang lain juga tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah yang lebih fokus membangun sistem administrasi negara yang modern.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto institusi adat mendapat tantangan yang lebih besar lagi. Hal ini disebabkan kebijakan sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah Suharto. Sentralisasi merupakan kebijakan di mana pemerintah melakukan intervensi sampai pada tingkat pemerintah lokal pedesaan. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan administrasi yang ketat dan serupa di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintah Desa. Alasan utama yang dimunculkan adalah kebutuhan pembangunan dan efektifitas pemerintahan. Akibatnya adalah munculnya suatu sistem yang paling sentralistis dan tidak punya fleksibilitas sedikitpun untuk memperhatikan keperluan-keperluan yang ada di daerah-daerah negara yang luas ini. Pemerintah Orde Baru tetap mengakui kemajemukan budaya dan masyarakat Indonesia dan juga posisi adat sebagai dasar pluralisme. Tetapi adat hanya diposisikan sebagai seni dan budaya.
Jatuhnya pemerintah Suharto pada tahun 1998 menjadi momentum yang sangat penting dalam kebangkitan adat di Indonesia. Beberapa daerah menggunakan kesempatan ini sebagai awal menguatkan kembali sistem adat yang ada di daerahnya dari berakhirnya hegemoni pemerintah terhadap institusi pemerintahan lokal berdasarkan adat. Di bawah pemerintahan B.J. Habibie, Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pemerintahannya dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah dimana daerah-daerah memiliki kewenangan dalam membangun sistem pemerintahan dan pengelolaan keuangan sendiri.
Kewenangan mengelola pemerintahan yang disebutkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah bermakna adanya kesempatan kepada masyarakat adat di berbagai daerah untuk mengembalikan peran adat dalam kehidupan sosial dan pemerintahan lokal. Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru ini maka komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah di Indonesia mulai bangkit dan menjalin komunikasi. Komunikasi antar daerah ini difasilitasi oleh beberapa LSM-LSM Indonesia. Dari komunikasi ini lahir sejenis gerakan yang dinamakan diri sebagai gerakan masyarakat adat. Pada tanggal 21 Mei 1999 masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres pertama di jakarta dan menyimpulkan beberapa poin penting.
Pasca jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, di Aceh konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) terus berlanjut. Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pada awal reformasi ini menyebabkan banyak efek dari kebijakan pemerintah Indonesia di bawah rezim reformasi tidak berkembang, termasuk kebijakan mengenai Otonomi Daerah. Meskipun pemilihan umum tahun 1999 dan 2004 di Aceh dilaksanakan sebagaimana di daerah lain di Indonesia, namun dari sisi partisipasi masyarakat dan proses pelasanaannya dipengaruhi oleh tekanan konflik dan perang bersenjata antara pasukan TNI/Polri dengan GAM.
 Kondisi tersebut menyebabkan revitalisasi adat di Aceh tidak seiring dengan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Namun, demikian bukan berarti di Aceh tidak ada usaha ke arah revitalisasi tersebut. Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia dan lokal Aceh memberikan dampak pada usaha revitalisasi adat. Misalnya UU No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menegaskan kembali bahwa Aceh adalah daerah istimewa dalam bidang adat, agama dan pendidikan Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3)penyelenggaraa pendidikan, dan (4) peran utama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat adat lokal untuk bangkit dan memungkinkan kembali adat yang ada dalam masyarakat mereka.
 Status keistimewaan Aceh dikonfirmasikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kebijakan ini menyebabkan lahirnya 3 (tiga) lembaga baru di Aceh yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA) yang mengurus masalah adat; Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang membidangi masalah agama Islam; dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang membidangi masalah pendidikan. MAA merupakan perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) yang dibentuk pada masa Gubernur Aceh Prof.Ali Hasjmy (1957-1964).
Pada tahun 2003 muncul juga sebuah qanun yang cukup penting yaitu: Qanun No.4 tahun 2003 tentang Mukim. Tetapi pada masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri tahun 2003 di Aceh kembali dilakukan Operasi Militer dan UndangUndang Otonomi Khusus tidak dapat dilaksanakan. UU tersebut juga cukup banyak dikritisi oleh kelompok-kelompok masyarakat Aceh maupun pemerhati dari luar daerah. Kritik umum yang muncul adalah pada pemerintahan Aceh jauh lebih banyak memfokuskan untuk membangun sistem Syariat Islam dan menguatkan MPU termarjinalisasikan. Baru setelah proses perdamaian mulai tahun 2005 dan dasar hukum yang baru tentang Pemerintahan Aceh muncul tahun kemudian revitalisasikan adat mulai nampak di Aceh. Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu Memorandum of Understanding (MoU) yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. MoU tersebut belum banyak membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam pasal 1.1.6 yang menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh”.
Dan meskipun tidak menyebut kata adat pasal selanjutnya 1.1.7 yang tentang pembentukannya Lembaga Wali Nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses revitalisasi lembaga adat di Aceh. Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk mengimplementasikan MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA) no 11 tahun 2006. Saat ini, Undang-Undang No.18 Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan UU-PA. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih spesifik. Bab XII membicarakan tentang Lembaga Wali Nanggroe dan memposisikan Wali Nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di Aceh. Bab XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat yang harus difungsikan dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan PemerintahanAceh di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Secara lebih detail, Bab XV menjelaskan mengenai mukim dan gampong.
Pelaksanaan pasal-pasal UU-PA tentang Adat Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan beberapa regulasi di tingkat provinsi: Qanun No.9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku kembali dab menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain ini juga dapat menjadi sebuah “sentralisasi” yang dilakukan Pemerintah Aceh terhadap pluralitas adat yang ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini memiliki 23 kabupaten yang setiap kabupaten memiliki perkembangan adat tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh, sekalipun memiliki adat yang khas. Misalnya perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara berbeda dengan adat di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh.
 Implikasi dari UU-PA maupun qanun-qanun provinsi ini adalah pemerintah kabupaten diminta untuk menghidupkan kembali lembaga adat Aceh di wilayahnya masing-masing. Setiap kabupaten diwajibkan menyusun qanun mukim aturan pendukungnya sebagai wujud dari pemerintahan adat di daerahnya. Dalam qanun mukim akan diatur mengenai kelembagresaan adat yang lain pernah ada di Aceh seperti keujruen blang, panglima laot, pawang glee, etua seuneubok, haria peukan dan lain sebagainya. Bahkan ada kecenderungan memahami lembaga mukim sebagai sebuah pemerintahan di tingkat mukim, dimana selain memiliki pemimpin eksekutif (imum
mukim) juga memiliki anggota legislatif yang disebut tuha lapan.  Lembaga mukim juga diharapkan masuk menjadi bagian dari birokrasi resmi pemerintahan yang membawa beberapa buah gampong
.
Kelembagaan adat ini di level provinsi, akan dipegang oleh sebuah lembaga yang disebut dengan Wali Nanggroe merupakan “kepemimpinan adat sebagai pemersatu nasyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, istiadat dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
1.2.Peluang dan Tantangan Peradilan Adat di Aceh dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan dan Kaum Marjinal
            Masyarakat yang berada di gampong-gampong di Aceh masih sering menggunakan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. Kalau ada masalah dan ternyata tidak dapat diselesaikan di antara kedua belah pihak paling sering masyarakat di gampong meminta bantuan keuchik untuk menyelesaikannya. Prosedur penyelesaian sengketa gampong lebih mirip rekonsiliasi dari pada proses hukum formal. Tetapi harus diakui juga banyak masyarakat di desa terutama perempuan dan kaum marginal yang masih sangat percaya kepada penggunaan lembaga adat untuk menangani kasus-kasus sengketa. Mereka justru merasa lebih nyaman kalau kasus dibawah sistem pengadilan non formal. Masyarakat miskin di gampong tidak punya pilihan tersebut, karena pada umumnya mereka tidak mampu membayar proses hukum formal yang lumayan mahal.
Pengertian Peradilan
Adat Pada saat mendengar istilah peradilan adat yang paling sering terbanyang pada persepsi adalah suatu peradilan yang diselenggarakan di tingkat-tingat gampong atau desa. Peradilan adat tersebut bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa menurut adat istiadat dan kebiasaan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Atau boleh jadi ada juga yang terbayang pada hukum-hukum adat. Untuk sampai pada pengertian peradilan adat tersebut terlebih dahulu melihat tentang hukum adat. Saat ini hukum adat (adatrecht) di Indonesia telah menjadi sebuah objek studi para ahli dan telah dipraktekkan sejak zaman kekuasaan Belanda dan Jepang di Indonesia sebagai penjelasan sebelumnya.
Tujuan peradilan adat adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah antar warga di tingkat desa. Namun, keputusan yang diambil secara adat tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal. Misalnya kalau sepasang suami istri bercerai dalam peradilan adat, secara hukum adat, pasangan ini sudah resmi bercerai, namun karena hukum itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal, maka masih diperlukan sebuah tahapan lain untuk mendapatkan legalitas formalnya.
Istilah peradilan adat sekarang banyak kita dengar dari kalangan-kalangan MAA, dan beberapa LSM yang mempunyai program untuk pemberdayaan masyarakat tersebut. Sedangkan dalam kalangan masyarakat sendiri yang mempraktekkan mekanisme penyelesaian sengketa lewat lembaga peradilan adat ini tidak mengatakan menyelesaikan perkara lewat peradilan adat. Masyarakat mempunyai istilah sendiri seperti pedame ureung (mendamaikan orang), peumat jaroe, (bejabat tangan), meudame (berdamai).
Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga yang pertama kali mempopulerkan peradilan adat dan menjadikan program kerja yang kemudian didukung oleh beberapa NGO lokal dan internasional. Dalam pemberdayaan lembaga peradilan adat mereka mempunyai program kerjanya masing-masing dan dengan pendekatan masing-masing pula. Oleh sebab itu istilah peradilan adat sekarang menjadi lebih dikenal untuk mereka yang meneliti adat dan sebagian kecil masyarakat umum sekarang juga mulai menyebutkan istilah tersebut. Namun dalam prakteknya lembaga peradilan adat masih berlangsung menurut kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat. Meskipun banyak tokoh-tokoh adat sudah mengikuti training atau pelatihan tentang mekanisme tentang tata cara peradilan adat yang dijalankan seperti halnya peradilan formal, namun dalam prakteknya masih berjalan sebagaimana biasanya.

Muhammad Umar dalam bukunya Peradaban Aceh mengatakan peradilan adat adalah pengadilan adat merupakan pengadilan secara adat, pengadilan adat bukan melayani orang perkara, bukan mencari mana yang benar mana yang salah, tetapi ialah mengusahakan yang bertikai untuk berbaikan/berdamai. Penyelesaian perkara melalui lembaga adat merupakan penyelesaian perkara secara damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara dan memberikan sanksi adat setempat. Umar juga menambahkan, kalau dilihat dari sisi filosofisnya, peradilan adat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat karena bisa tetap menjamin terjaganya keseimbangan kerukunan dan ketentraman masyarakat. Karena itu peradilan adat disebutkan juga sebagai peradilan perdamaian yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam masyarakat yakni gampong dan mukim, majelis ini terdiri dari tokoh mukim dan tokoh gampong.
MEULIGOE WALI NANGGROE. Begitulah nama bangunan megah nan kokoh yang belum kunjung difungsikan untuk keperluan Paduka Yang Mulia (PYM) Tengku Malik Mahmud Al-Haytar saat “bertahta” sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan gelar panjangnya, Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Meuligoe (istana) yang nantinya menjadi tempat resmi Malik Mahmud memberikan peuneutoh (perintah) ini beralamat di Jalan Soekarno-Hatta, Lampeuneurut, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Biaya yang terkuras untuk pembangunannya mencapai Rp 85 miliar.

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) di Aceh memang penuh dengan kontroversi. Selain banyak menghabiskan uang rakyat, belum semua elemen masyarakat Aceh menyetujui pembentukan Lembaga Wali Nanggroe. Terkesan, pembentukan LWN hanyalah kehendak sepihak dari DPR Aceh (2009-2014) yang secara mayoritas kursinya dikuasai oleh Partai Aceh, dengan dalih pelaksanaan dari MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Padahal, banyak butir dari Qanun (perda) Aceh No. 8 Tahun 2012 tentang LWN justru bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2006. Belum lagi, tugas dan fungsi LWN banyak tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Aceh. Sehingga terlihat LWN telah melakukan “pencaplokan”. Semestinya, jika memang tidak memberikan kontibusi bagi rakyat Aceh, sudah selayaknya LWN ditiadakan. Sebab hanya menguntungkan individu tertentu dan segelintir orang-orang disekelilingnya.

Selintas Historis Wali Nanggroe

Jika menilik kembali keberadaan Wali Nanggroe dalam lintasan sejarah Aceh, banyak fakta yang terungkap bahwa Wali Nanggroe telah ada sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa kekuasaan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Orang yang pertama menjadi Wali Nanggroe adalah Abdurrauf As Singkili. Banyak versi yang berkembang tentang kemunculan Wali Nanggroe. Namun, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa sosok Wali Nanggroe muncul karena adanya instabilitas politik. Setelah keadaan kembali stabil, maka peran seorang Wali Nanggroe pun dianggap selesai. Fakta historis Aceh menunjukkan bahwa pasca-Abdurrauf As Singliki, tidak pernah ada lagi Wali Nanggroe yang menjadi penggantinya.

Kemunculan sosok Wali Nanggroe kembali terjadi tatkala Kesultanan Aceh Darussalam sedang menghadapi invasi militer tahap kedua koloni Kerajaan Belanda (1874 M). Orang yang menjadi Wali Nanggroe itu bernama Tuanku Hasyim Banta Muda. Karena perang Aceh berlangsung lama, setelah Hasyim meninggal dunia di Padang Tiji (Pidie), yang menjadi Wali Nanggroe selanjutnya adalah klan “di Tiro”. Belum ada rincian yang valid tentang “di Tiro” yang mana pertama kali menjadi Wali Nanggroe pasca-Tuanku Hasyim. Ada yang menyebutkan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Pahlawan Nasional Indonesia).

Namun tak sedikit yang menyebutkan bahwa anaknya yang pertama kali menjadi Wali Nanggroe, yaitu Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin. Setelah itu, sayup-sayup terdengar klaim bahwa Wali Nanggroe berikutnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Amir Husein Al Mujahid, hingga Hasan Muhammad (Hasan Tiro) yang mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe ketika awal meletusnya konflik Aceh (1976).

Konflik Aceh ternyata tidak hanya menimbulkan penderitaan dan besarnya jumlah korban jiwa bagi rakyat Aceh. Di sisi lain, konflik tersebut menjadi “peluang” bagi pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mendistorsi sejarah Aceh, yang “disesuaikan” dengan agenda pendiri GAM, Hasan Muhammad. Sehingga tidak heran, Hasan Muhammad kerap mengagung-agungkan “darah biru” klan di Tiro dalam beberapa tulisannya. Seakan-akan hanya klan “di Tiro” lah yang pantas untuk berkuasa di Aceh. Mayoritas rakyat Aceh pada masa itu belum mengetahui bahwa Hasan Muhammad sebenarnya ingin mendirikan negara monarki (kerajaan) bagi keluarganya sendiri. Walau pada akhirnya Tuhan berkehendak lain.

Menjelang akhir hidup Hasan Muhammad, perdamaian antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia berhasil dicapai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Konflik berkepanjangan yang menyebabkan penderitaan mendalam dan keterbelakangan yang massif bagi rakyat Aceh berakhir dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Sebagian dari butir-butir kesepakatan itu telah dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sangat disayangkan, justru pihak internal mantan kombatan GAM lah yang melanggar beberapa butir MoU Helsinki yang ada dalam UU No. 11 Tahun 2006. Salah satunya adalah pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, yang isinya banyak “menabrak” ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2006 yang menjadi “ikon” andalan Partai Aceh saat menghadapi pemilihan kepala daerah (pemilukada) maupun pemilu legislatif.

            Pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 merupakan langkah terbesar bagi seorang pria berdarah Aceh kelahiran Singapura tahun 1939, Malik Mahmud Al Haytar, untuk menuju kursi kekuasaan sebagai Wali Nanggroe versi Partai Aceh menggantikan Hasan Muhammad. Pada Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud Al Haytar resmi dikukuhkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (2009-2014) yang mayoritas kursinya dikuasai Partai Aceh sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan sebutan Paduka Yang Mulia (PYM) Tengku Malik Mahmud Al Haytar yang menyandang gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik.

Wali Nanggroe tanpa Peran bagi Rakyat Aceh

            Pasca pelantikan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe ke sembilan versi Pemerintahan Aceh yang dikuasai Partai Aceh, tidak ada tugas yang substantif untuk berperan secara nyata bagi masyarakat Aceh. Sang Paduka Yang Mulia (PYM) lebih banyak menemani Zaini Abdullah selaku Gubernur Aceh (2012-2017) yang sedang bertugas daripada melaksanakan hal lain yang lebih bermanfaat bagi rakyat Aceh. Kenyataan ini mengindikasikan pembentukan LWN telah mengalami kesia-siaan.

            Padahal jumlah biaya yang dialokasikan bagi LWN bernilai miliaran rupiah. Mulai dari pembangunan gedung, operasional LWN, kunjungan Wali Nanggroe, hingga tunjangan lain yang hanya menguras uang rakyat tanpa memberikan kemanfaatan. Bila ditelaah lebih dalam, Lembaga Wali Nanggroe merupakan “kembaran” sebuah Kerajaan. Di mana perannya sangat nihil bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Wali Nanggroe sibuk mengenakan “jubah kebesaran” di tengah kubangan kemiskinan rakyat Aceh yang jumlahnya kian meningkat seiring Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf memimpin Provinsi Aceh (2012-2017).

            Nihilnya peran Paduka Yang Mulia (PYM) Malik Mahmud semenjak menjadi Wali Nanggroe dapat dilihat dari kesehariannya, kecuali pada momen-momen atau seremoni tertentu yang lebih ditujukan pada pencitraan. Perannya yang disebut-sebut sebagai “penyatu” rakyat Aceh hanya sekadar tertulis di atas kertas. Pada kenyataannya, masih ada elemen-elemen yang tidak setuju pada keberadaan Wali Nanggroe. Seharusnya, hal yang demikian dapat diredam oleh PYM Malik Mahmud sebagai penyatu rakyat Aceh yang terdiri dari beragam suku, ras dan agama (SARA).

            Oleh sebab itu, anggota parlemen Aceh pascaperiode DPRA 2009-2014, perlu meninjau ulang keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang perannya cenderung nihil bagi rakyat Aceh. Selama ini, keberadaan LWN hanya memboroskan APBA yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk kepentingan individu atau segelintir orang tertentu. Semoga Pemerintahan Aceh di masa mendatang melakukan koreksi terkait tindakan keliru yang menganggap LWN sangat “bermanfaat” bagi rakyat Aceh















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Peradilan Adat di Aceh merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki Aceh sejak zaman kolonial Belanda. Peradilan adat di Aceh memiliki pasang surut dalam pusaran kebijakan secara nasional maupun kedaerahan, sama dengan pelaksanaan adat secara umum di Indonesia. Masyarakat Aceh tanpa disadari sesungguhnya sering melakukan pemecahan masalah secara tradisional (pengadilan adat). Peradilan adat merupakan salah satu satu media bagi perempuan dan kaum marjinal untuk mendapatkan keadilan. Namun, dalam proses peradilan adat juga masih sering ditemukan bias terutama bagi kaum perempuan dan marjinal.
Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya: perangkat adat di gampong yang melaksanakan peradilab adat belum ada keterwakilan perempuan; bila ada kasus yang diselesiakan secara adat pihak perempuan jarang dilibatkan; dan kaum perempuan dan kaum marjinal jarang yang diikutsertakan dalam proses peradilan, biasanya diwakilkan oleh walinya, kecuali sebagai saksi. Peluang yang dimiliki peradilan adat di Aceh untuk memberikan keadilan bagi perempuan cukup besar karena adanya dukungan masyarakat, tradisi kebudayaan yang kental akan nilai-nilai keislaman; adanya dukungan peraturan baik dalam bentuk Undang-Undang (Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) maupun beberapa qanun pendukung lainnya; dan adanya lembaga semi pemerintahan, yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA).
Sementara kelemahan yang dihadapi peradilan adat di Aceh, yaitu: masih kurangnya pengakuan negara/daerah terhadap eksistensinya; mulai berkurangnya kepercayaan masyarakat; dan kecenderungan masyarakat pada alternatif penyelesaian hukum yang lain. Untuk menjadikan peradilan adat di Aceh dapat memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal maka sangat memerlukan beberapa langkah strategis yang perlu diterapkan yaitu dengan cara melakukan sosialisasi peradilan adat, penguatan kapasitas personel dan kelembagaan peradilan adat, membangun kerjasama antar lembaga, dan komitmen serta keseriusan pemerintah/pemerintah daerah dalam mendukung peradilan adat di Aceh baik dalam bentuk alokasi dana, sarana prasarana maupun peraturan pendukung terutama untuk memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal.

0 comments: