Pendahuluan
Terorisme tidak akan lenyap dari muka bumi ini, malahan akan muncul
dalam berbagai bentuk, dan tidak ada pihak yang dapat menjamin bahwa, besok
lusa — tidak ada lagi ancaman terorisme. Pengertian mengenai teror, secara
harafiah dapat dikutip dari kamus Webster yang mengatakan bahwa teror adalah
suatu keadaan, kondisi kejiwaan yang amat ketakutan, kecemasan yang tinggi.
Dengan demikian, secara sederhana dapat pula dikatakan bahwa aksi terror adalah
tindakan untuk menciptakan suasana ketakutan yang amat tinggi bagi seseorang,
atau kelompok, atau masyarakat. Pada kondisi demikian maka perilaku seseorang,
kelompok masyarakat, yang mengalami ketakutan atau kecemasan yang tinggi,
sehingga dapat dimanipulasi untuk melakukan suatu tindakan, kegiatan, yang
sesuai dengan keinginan para pelaku terror.
Situasi yang berkembang pada waktu ini adalah munculnya gerakan
radikal yang sempat menjamur, dan mereka menggunakan aksi terror sebagai alat
kampanye untuk mencapai tujuan kepentingan mereka. Radikal berasal dari kata radixyang
berarti akar (Latin) yang dimulai di Inggris pada akhir abad 18[1]. Pengertian yang lebih luas mengacu
pada ensiklopedia dan beberapa kamus bahasa Inggris, yang mengungkapkan
kata radical (adjective) adalah activist,fundamental, extreme, militant,
fanatic, revolutionary, drastic, die hard, way-out, yang diekspresikan
dalam hal pendirian, sikap dan tindakan. Pada umumnya,
pendirian—sikap—tindakan yang bersifat radikal, ada kaitannya dengan
peng-hormatan terhadap sistem nilai yang dianut oleh pihak tersebut. Pengertian
tersebut akan semakin jelas maknanya apabila disandingkan dengan kata benda (noun),
misalnya—Kristen radikal, atau Islam radikal, atau penganut idiologi politik.
Radikalisme, bukan suatu fenomena yang sulit untuk dimengerti, oleh karena
secara alamiah sifat-sifat dasarnya ada di dalam kehidupan individu, keluarga,
maupun masyarakat. Namun perlu disadari bahwa secara teoritik, gerakan radikal
mempunyai mass dan velocity, dengan daya centripetal dan
atau centrifugal, terhadap lingkungan sekitarnya. Singkatnya, ada
daya (power) yang dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan (objective).
Secara garis besar, tujuan dari aksi terror dapat dibagi dalam empat
katagori besar, yaitu; (1) irrational terror, yaitu tindak
teror yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya untuk kepentingan
pribadi, untuk memuaskan keinginan sepihak, atau—tindakan tindakan lainnya yang
tidak masuk akal sehat. (2) Criminal terror, adalah tindakan
yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya (crime) untuk
kepentingan kelompok mereka, misalnya YAKUZA, MAFIA, ORGANIZATIA.
Kelompok atau sekte agama tertentu dapat dimasukkan dalam katagori ini.
(3) State (sponsored) terroradalah aksi
terror yang dilakukan oleh penguasa suatu negara terhadap rakyatnya, yang
tujuannya adalah membentuk perilaku segenap lapisan masyarakat sesuai
keinginan penguasa, atau ditujukan kepada negara atau pihak lainnya,
(4) Political terror, adalah kegiatan terror yang
dilakukan oleh kelompok atau jaringan tertentu yang bertujuan politik.
Kelompok inilah yang menjadi masalah dunia sampai sekarang, dan makalah ini
akan fokus pada kelompok tersebut.
Hubungan antara gerakan radikal dan
terorisme.
Sesuai dengan sifat alamiahnya (activist, fundamentalist, extreme,
militant, fanatic, die-hard, way out), gerakan radikal cenderung bersikap
tegas, keras dan ada unsur pemaksaan (coersive). Penghormatan terhadap
sistem nilai dilaksanakan dengan keras (strictly), harus sesuai dengan
norma yang dianut, ada lembaga sanksi untuk melaksanakan penghukuman (punishment).
Secara teoritik mengatakan bahwa gerakan kelompok radikal akan selalu
berhadapan dengan lingkungan sekitarnya yang berbeda dalam banyak hal, terutama
di dalam penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku secara
umum. Sangat besar kemungkinannya terjadi benturan, dan ada pula
kemungkinan terjadi kerusakan, kehancuran, kehilangan, kematian(loss)
bagi masing-masing pihak. Semua pihak, apakah mayoritas (baca: pemerintah) atau
minoritas (baca: teroris), pasti akan memperhitungkan ancaman (imminent loss)
dan penyiapan kekuatan atau daya (power) untuk menghadapi ancaman.
Logikanya, adalah pihak mayoritas yang memegang kendali situasi oleh karena
pihak inilah yang memiliki daya (politik/kuasa—ekonomi/logistik—militer/daya
perusak) yang lebih besar.
Sebaliknya, pihak minoritas tidak memiliki daya sekuat pihak
mayoritas, sehingga ada asymmetric balance of poweryang berlaku di
lapangan. Pihak mayoritas akan mempertahankan keunggulan di dalam perimbangan
kekuatan, sebaliknya di pihak minoritas, misalnya gerakan kelompok radikal,
akan berusaha pula dengan segala cara dan metode untuk mencapai perimbangan
kekuatan. Salah satu di antaranya ialah dengan cara-cara terorisme.
Pada kelompok gerakan radikal sebagai pihak yang
minoritas, maka persoalan survival, merupakan masalah mati-hidup
dan untuk itu mereka memerlukan daya (power) untuk tetap eksis. Modal
awalnya adalah melalui pembinaan kader (recruitment) yang fokus pada
unsur fanatisme dan militansi di dalam pengormatan terhadap sistem nilai
mereka. Banyak bukti dilapangan (empirical) mengungkapkan bahwa, selalu
ada pihak ketiga yang menyokong, baik secara tertutup (indirectly support)
ataupun terbuka (tacit support) terhadap kelompok radikal tersebut, oleh
karena ada kepentingan (mutual political objectives) yang ingin dicapai.
Yang dimaksud dengan pihak ketiga dapat berwujud negara, atau parpol,
ormas, ikatan primordial, LSM, yang memberikan political blessing, moral
support, SDM (misalnya pakar dalam bidangnya), dukungan logistik, dana,
intelijen, sampai pada kirim pasukan atau sukarelawan.
Ada
dua contoh kelompok radikal yang sangat menonjol, yaitu yang pertama,
Ku Klux Klan adalah kelompok racistyang terkenal sangat kejam
terhadap kaum ‘negro’ (versi tahun 1866) dan terhadap kaum Katolik,
Yahudi, dan Komunis (versi tahun 1915)[2]. Lawannya adalah Black Phanter yang
sempat berkembang tetapi besaran daya (power) untuk survive,
nyatanya tidak mampu mengatasi pihak mayoritas yang memiliki daya (power)
lebih kuat. Menarik untuk dipelajari adalah contoh yang kedua,
yaitu Kahane Kach adalah juga kelompok racist, menggunakan aksi
terror sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi, dan oleh pihak pemerintah
AS kelompok tersebut dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.[3] Tetapi nyatanya mereka tetap
eksis meskipun dalam tekanan yang sangat ekstrim di bumi AS, tetapi di bumi
Israel mungkin ceritanya berbeda.
Penggalan sejarah kontemporer mencatat, banyak kelompok
radikal yang muncul diberbagai penjuru dunia dan mereka menggunakan aksi teror
sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan politiknya. Pertanyaan yang
muncul di sini ialah mengapa pilihannya terorisme? Jawabannya sederhana
sekali—yaitu; beayanya sangat murah, metodanya tidak rumit, pengorganisasiannya
sederhana, tetapi efektif digunakan untuk perimbangan kekuatan di lapangan[4]. Tidaklah mengherankan apabila
banyak organisasi radikal, kemudian berkembang menjadi organisasi terorisme.
Ada kelompok sudah terkenal, atau dikenal luas dan masuk dalam daftar (black list)
yang dikeluarkan oleh berbagai pihak, misalnya pemerintah AS.
Makalah ini tidak menggunakan pada daftar terroris yang dikeluarkan oleh
pemerintah AS, oleh karena ada beberapa alasan, satu di antaranya adalah
preferensi masyarakat Indonesia. Di dalam hal terorisme, belum tentu preferensi
masyarakat Indonesia akan selalu sama dengan pihak lainnya. Memang benar bahwa
terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap manusia, dan perlu upaya
internasional untuk bahu membahu memerangi kejahatan tersebut, akan tetapi
preferensi masyarakat merupakan modal dasar. Di dalam masyarakat
Indonesia, kondisi faktual mengungkapkan bahwa ada juga kelompok radikal yang
mengatas namakan kepentingan kelompok etnis, dan ada juga yang menggunakan
atribut agama. Kelompok inilah yang sangat vokal dan (terkesan) ‘mewarnai’
preferensi masyakat Indonesia, yang secara tidak langsung telah membentuk citra
Indonesia di panggung dunia dalam hal penanganan terorisme.
Apabila
menggunakan pikiran Francis Fukuyama[5], maka gerakan semacam itu (barangkali)
dapat dikatagorikan sebagai contemporary movement for liberal rights.
Contoh yang lebih konkrit adalah Hizbullah di Libanon, suatu non-state
actor mampu mewujudkan ‘pemerintahan’ di Beirut selatan, dan situasi
di lapangan memperlihatkan bahwa pemerintah Libanon tidak dapat berbuat banyak.
Kelompok tersebut memiliki daya (power) yang besar, bahkan
memiliki paramilitary wing yang mampu berperang melawan (baca:
memukul) angkatan bersenjata (Israel) yang sangat terlatih dan memiliki sistem
senjata yang paling modern di dunia. Contoh lainnya adalah Macan Tamil di Sri
Lanka, mereka juga memiliki daya (military power) yang dapat
mengimbangi daya (military power) pemerintah Sri Lanka.
Barangkali, ada perbedaan dalam hal idiologi politik perjuangan antara LTTE
dengan Hizbullah, tetapi ada persamaannya yaitu menggunakan coercive
approachyang oleh pihak lainnya, sudah di pandang sebagai aksi terorisme.
Batasan mengenai political terror sampai saat ini,
belum ada kesepakatan internasional yang dapat di bakukan. Figur
Yasser Arrafat bagi Israel adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetapi
bagi bangsa Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula
dengan founding fathers negara Israel yang pada waktu
itu dicap sebagai terrorist tetapi setelah Israel merdeka, mereka dianggap
sebagai pahlawan bangsa dan dihormati. Namun ada pemahaman para pakar yang
mengatakan bahwa political terrorism pada dasarnya mempunyai
tujuan politik.
Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok
mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh political terror
di mana mereka berada. Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang sudah
mapan alam demokrasinya dengan supremasi hukum yang kuat, maka tujuan
mereka adalah merubah kebijakan nasional. Contohnya, peledakan pada 13
stasiun kereta api di Madrid (2004) bertujuan merubah kebijakan pemerintah
Spanyol mengenai pelibatan kontingen militernya di Irak. Sedangkan kelompok
teroris yang berada di negara yang belum mapan institusi demokrasi dan
supremasi hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah merombak struktur
politik dan atau pemerintahan. Contohnya banyak terjadi di Asia, Amerika Latin,
dan Afrika.
Munculnya aksi terror gerakan radikal tidak dapat dicegah
oleh karena beberapa hal, yaitu; (i) pengikutnya memiliki motivasi yang kuat,
(ii) pengorganisasian yang sangat flexible, dan (iii) menggunakan
metoda dan pola operasi yangunconventional.
Motivasi yang kuat. Ada ungkapan yang mengatakan
bahwa frustration is the root of all kind rebellion (Boone,
1978), diwujudkan dalam berbagai bentuk dan salah satunya pemberontakan.
Frustasi dapat diakibatkan oleh berbagai hal, antara lain kesenjangan kaya dan
kemiskinan yang amat lebar, tidak terpenuhinya hak dasar, sistem penegakan
hukum sangat lemah dan memihak kepada kepentingan tertentu, dan seterusnya.
Namun penyebab yang terbesar adalah ancaman hilangnya identitas dan
ketidak-adilan[6], yang dialami oleh pihak-pihak
tertentu. Bagi pihak tersebut, pilihannya hanya dua yaitu hilangnya identitas
dan menjadi korban ketidak adilan, atau berjuang dengan berbagai cara, untuk
agar identitas[7]mereka tidak hilang dan memperoleh
keadilan. Motivasi yang paling kuat adalah yang berkaitan dengan kepercayaan (faith),
berikutnya adalah yang berkaitan dengan kelangsungan identitas etnis, dan yang
ketiga adalah yang berkaitan dengan idiologi politik. Apabila pendekatan
tersebut dapat diterima, maka motivasi yang paling kuat adalah rangkuman ketiga
unsur tersebut.
Proses rekrutmen tentunya tidak sulit untuk mendapatkan calon anggota
yang pada dasarnya sudah fundamentalistik dan fanatik, yang nantinya (relative)
mudah ditempa untuk menjadi radikal dan militant. Ada dua contoh yang
menguatkan argumen tersebut, yaitu Shining Path di Peru
dan New People Army di Philippines. Apabila dicermati dengan
seksama, ada perbedaan motivasi antara yang kader dan yang ‘ikutan’, oleh
karena tidak ada pilihan lain didalam memperjuangkan distribusi keadilan. Masih
banyak contoh lainnya di berbagai belahan bumi ini, muncul gerakan radikal
sebagai wujud perlawanan terhadap ketidak-adilan dan ancaman hilangnya
identitas.
Pengorganisasian yang flexible. Prinsip dasar, setiap
organisasi yang tidak memiliki sumber daya yang kuat akan membentuk organisasi
yang kecil, efisien, namun kenyal (flexible). Prinsip kedua adalah
memelihara kerahasiaan yang tinggi dan sangat mobile, dan menganut
azas kompartementasi. Organisasi semacam ini tidak memerlukan kantor yang
representatif, tidak juga perlu memasang berbagai atribut yang memukau, dan
menghindari organisasi tipe panitia. Tujuannya adalah rentang kendali pengendalian
(span of control) menjadi sangat pendek. Bentuk yang paling sederhana
adalah pimpinan dan anggota yang biasanya diawali dengan model organisasi tanpa
bentuk. Nantinya, organisasi tersebut akan berkembang sesuai dengan kebutuhan,
misalnya memiliki jaringan intelijen (baca: informan), sayap
propaganda, jaringan pendukung logistik, dan sebagainya. Ada pula kelompok
pendukung yang tidak direkrut, hanya dengan memanfaatkan simpati atau hasil
‘penggalangan’. Unit tersebut akan digunakan hanya untuk kegiatan tertentu yang
terbatas dan durasi yang sangat terbatas juga. Meskipun demikian, perlu
dipahami dengan baik bahwa organisasi inti akan tetapi kecil dan sangat
tertutup, dan tidak terbuka terhadap bagian lain. Prinsipnya ada tiga
hal, yaitu secure, simple, and flexible.
Menggunakan metoda dan pola unconventional. Penggunaan metoda dan pola operasi
yang unconventional disebabkan kekuatan pihak tersebut, belum
dapat mengimbangi kekuatan pemerintah atau pihak mayoritas. Dalam teknis
militer, pola dan metoda tersebut dikenal dengan istilah gerilya. Konsep
dasarnya adalah menyerang selagi musuh lengah, arahkan pada titik rawan (efek
psikolojik tinggi), dan lakukan secepatnya. Banyak contoh yang sudah
dipraktekkan, misalnya menyerang pihak militer yang sedang santai di bar atau
diskotik, sasarannya adalah petugas komunikasi, ajudan pejabat tinggi, bagian
logistik angkutan udara, dan sebagai. Durasi serangan hanya beberapa menit, dan
bisa dirancang beruntun pada beberapa tempat yang mempunyai nilai stratejik,
kritis, dan sensitif. Metoda dan pola tersebut sangat efektif digunakan dan
hasilnya yang spectacular akan menaikkan moril pihak gerilya.
Perkembangan gerakan teroris.
Pada mulanya kelompok kelompok terror bekerja sendirian beraksi dalam batas
wilayah negara masing masing, akan tetapi pada tahun 1970-an mereka
mengembangkan kerjasama yang meliputi pertukaran intelijen, pusat pelatihan
(termasuk instruktur), memasok perlengkapan operasional, sampai pada menentukan
sasaran operasi bersama. Yang dimaksud dengan kerja sama operasi adalah bukan
dalam bentuk joint operation, tetapi pada obyektif atau sasaran
yang ingin dicapai. Misalnya Japanese Red Army melakukan
serbuan di pelud Lod, Israel, atas nama PLO, kemudian ETA (separatis Basque)
menyerang kepentingan Italy di teritori Spanyol dengan mengatas
namakan Brigade Merah Italy (Rossa Brigade), demikian juga sebaliknya
atas nama ETA maka Rossa Brigade menyerang target milik pemerintah Spanyol yang
berada di wilayah Italy.
Satu kasus yang paling menonjol (pada waktu itu) adalah ‘peran’
Lybia yang mengembangkan kamp-kamp teroris di wilayah nasionalnya.
Situasinya kemudian menjadi semakin kompleks oleh karena ada negara Arab
yang secara tertutup “memelihara” kelompok-kelompok terror untuk memperkuat political
leverage mereka, dengan memanfaatkan faksi-faksi pejuang Palestina
yang jumlahnya puluhan. Modus operandi yang paling popular pada tahun 1970-an
sampai mendekati akhir tahun 1980-an, adalah pembajakan pesawat penumpang
komersil.
Ada beberapa pihak yang mengklasifikasikan modus
kegiatan terorisme sekarang ini sudah berkembang ke‘generasi’ yang ke-lima.
perbedaannya di ukur dari empat hal, yaitu; (i) obyektif yang ingin dicapai,
(ii) area operasi, (iii) peralatan dan perlengkapan yang digunakan, dan
(iv) strategi dan taktik yang digunakan.
Khusus mengenai terorisme generasi keempat, perlu
dicermati oleh karena ancaman tersebut yang kini sedang dihadapi oleh
masyarakat dunia. Cirinya yang menonjol, antara lain; (i) menggunakan high-tech dalam
kegiatan operasionalnya, (ii) menggunakan senjata pemusnah massal
(nuklir-bio-kimia-radio aktif), (iii) menyerang langsung aspek budaya, sistem
nilai, core values nasional,(iv) mampu mengembangkan
peperangan psikolojik yang sangat canggih, utamanya dengan memanfaatkan
media massa, (v) tujuan taktis adalah menimbulkan korban sebesar-besarnya,
misalnya sasarannya adalah pasar, stasiun, rumah sakit, gedung opera.
Perlu juga meninjau generasi kelima, yang beroperasi pada dunia
maya dengan menggunakan sarana teknologi informasi, menerobos kebeberapa tempat
yang sangat sensitif, misalnya (i) pusat informasi tempur dan sistem
pengendalian perluru kendali, (ii) sentral data base perbankan
nasional dan lembaga keuangan dunia, (iii) pusat kendali sistem keamanan
nasional, dan (iv) pusat pengambilan keputusan. Ancaman teror generasi
kelima, belum mendapatkan atensi yang memadai dikalangan birokrat maupun
pemangku kepentingan dibidang keamanan nasional.
Era globalisasi
Muatan kepentingan yang berada pada era globalisasi adalah liberalisasi
perdagangan dunia, dengan menggunakan ‘tertib’ aturan masyarakat internasional.
Namun tidak sulit untuk mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia adalah
kepentingan negara industri (baca : G-8) untuk ‘menguasai’ pasar dunia dengan
tertib aturan yang dirancang oleh mereka. Konon pemahaman mereka mengatakan
bahwa liberalisasi perdagangan dunia dapat berkembang apabila semua negara di
muka bumi ini sudah demokratis. Alam demokratis tersebut akan berkaitan
dengan kebebasan untuk berpolitik, bebas untuk menyatakan pendapat, bebas pula
untuk memiliki sesuatu yang diinginkan. Ada kesetaraan gender, menguatnya hak
azasi manusia, sampai pada pengketatan aturan konservasi kekayaan alam.
Banyak pihak mengatakan bahwa globalisasi adalah pengurasan
kekayaan alam oleh negara kuat terhadap negara berkembang dan miskin (Mander
and Glodsmith—1996). Menarik untuk mengangkat pandangan yang lebih ‘obyektif’,
mengatakan:
‘globalization
today is not working for many of the world’s poor. It is not working for much
of the environment. It is not working for the stability of the global economy.
Biut globalization has brought better health, as well as an active global civil
society fighting more democracy and greater social justice. The problem is not
with the globalization, but with how it has been manage.. part of the problems
lies with the international economic institutions which help set the rules of
the game. They have done so in ways that, all to often, have serve the interest
of more advanced industrialized countries rather than those of the developing
world…(Stiglitz—2002)
Pandangan Stiglitz ternyata tidak sendirian, oleh karena Kenichi
Ohmae dalam bukunya The Borderless World (1991) dan The
End of Nation State (1996) sudah mengingatkan bahwa batas wilayah
negara, akan semakin kabur oleh karena penetrasi global corporations yang
menata pola transportasi, pola komunikasi, dan seterusnya sampai pada aturan
memelihara kelestarian lingkungan.
Dalam bahasa sederhana, ingin dikemukakan bahwa negara berkembang tidak lagi
memiliki kebebasan mutlak untuk mengolah sumber kekayaan alam mereka. Contoh
yang sangat ekstrim yaitu Irak yang kaya minyak, nyatanya di bawah kendali AS.
Ironik sekali melihat negara tersebut yang kaya akan sumber kekayaan alam
tetapi rakyatnya tetap miskin. Sebaliknya negara maju akan semakin kaya, dan
semakin kokoh mengendalikan perekonomian global, termasuk sumber kekayaan alam
yang bukan milik mereka. Situasi tersebut menimbulkan kesenjangan kesejahteraan
yang luar biasa antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Ada
ketidak adilan yang sangat menonjol dan sistem hukum internasional tidak akan
mampu (baca: berniat) merobah ketimpangan tersebut.
Perlawanan sedang berkembang misalnya dari Venezuela, akan tetapi
daya (power) yang mereka miliki tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan
kekuatan dunia (baca: G-8) yang dikomando oleh AS. Bentuk perlawanan yang lain
adalah gerakan radikal yang bermunculan di berbagai tempat, dan tidaklah
mengherankan apabila gerakan tersebut menggunakan terorisme sebagai alat untuk
mencari perimbangan kekuatan. Perkembangan yang terjadi sekarang ini ialah
kelompok terror gerakan radikal tidak lagi fokus pada sasaran militer, tetapi
sudah melebar pada sasaran sipil, dan yang terutama center of gravity perekonomian
global. Medan operasinya juga sudah tidak lagi terbatas pada satu wilayah, akan
tetapi sudah multi—fronts dan mendunia. Dalam pengertian
sederhana, dapat dikatakan bahwa serangan pihak teroris dapat dilakukan kapan
saja, dan di wilayah mana saja.
Pada sisi lainnya, muncul masalah politik dalam bentuk politisasi isu teror,
yang dapat dilihat sebagai ancaman (baca: intervensi), yaitu negara maju akan
menekan negara yang ’bermasalah’ terorisme untuk memerangi aksi teror, sesuai
dengan aturan pelibatan mereka dan menyerang kelompok yang anggap sebagai
organisasi teror. Perlu dipahami bahwa, AS dan sekutunya mengeluarkan daftar
organisasi teroris, berdasarkan informasi dan analis intelijen pihak mereka.
Bagi
negara yang memiliki kapasitas cukup untuk memerangi aksi terorisme, barangkali
tidak ada masalah. Akan tetapi bagi negara yang tidak mempunyai
sumber daya yang cukup, (besar kemungkinannya) harus me-relakan kekuatan asing
beroperasi di wilayah yurisdiksinya. Durasi operasinya tidak akan jelas, rule
of law juga tidak jelas, dan ada berbagai risiko harus dipikul oleh
pihak setempat. Contoh risiko adalah preferensi masyarakat yang menolak
kehadiran pihak asing, akan menimbulkan implikasi politik di dalam
negeri. Contoh ini sudah terjadi di Pakistan.
Bagi Indonesia yang terdiri dari masyarakat yang majemuk dan sedang berbenah
dengan otonomi daerah, perlu mewaspadai penetrasi global corporations yang
‘sangat haus’ akan kekayaan alam. Skenario yang bisa terjadi ialah perusahaan
(raksasa) asing masuk kedaerah, dan di daerah muncul perlawanan yang dilakukan
oleh kelompok radikal yang sangat mungkin mengunakan terorisme. Tentunya pihak
asing tidak akan tinggal diam, mereka akan mengamankan investasinya dengan
berbagai cara. Ada dengan cara bisnis, tetapi ada pula melalui mekanisme
politik, dan jangan diabaikan—dengan cara (intelijen) militer.
Upaya memerangi aksi terror
Doktrin Mao Zedong, mengumpamakan ikan dan air. Yang di maksud
dengan ’ikan’ adalah pihak teroris, sedangkan ’air’ adalah ruang gerak bagi
ikan. Doktrin tersebut mengatakan bahwa semakin luas ’airnya’ maka akan semakin
baik bagi kehidupan ’ikan’. Bertolak dari doktrin tersebut, maka upaya untuk
memerangi aksi terror adalah dengan membalikkan esensi ajaran tersebut, yaitu
keringkan ’airnya’ agar tidak ada ruang gerak bagi ’ikan’. Pengertian ’air’
dalam arti sebenarnya adalah atmosfir politik, situasi perekonomian, kondisi
sosial, dan keadaan keamanan nasional. Ajaran Mao Zedong mengatakan
bahwa semakin buruk atmosfir politik, atau semakin besar ketimpangan sosial
ekonomi, dan semakin tidak menentu situasi keamanan, maka ruang gerak ’ikan’
(unit-unit teroris) akan semakin baik. Dengan demikian, upaya untuk
mengeringkan ’air’, tentunya perlu memahami semua aspek yang terkait yaitu
politik—ekonomi—hukum—sosial—budaya—pertahanan, sehingga bisa diambil langkah
langkah antisipatif dan represif yang tepat.
Langkah pertama, menangani ’ikannya’, artinya—mengenali aktornya, dan
semua aspek yang terkait seperti driving factors (idiologi
politik), basis kekuatan dan dukungan operasional. Perlu pula dipelajari dengan
baik mengenai organisasi, yang mempunyai struktur sangat kenyal. Namun
secara garis besar organisasi tersebut akan terdiri dari beberapa layers,yaitu
: ( 1) The brain dan atau kelompok elite,
(2) The executioner, yaitu unit-unit pelaksana tugas khusus,
(3) the supporting lines atau jajaran pendukung, misalnya
pembuat identitas palsu, penyandang dana, pelatih ketrampilan khusus,
penyediaan tempat persembunyian atau save house, dan
sebagainya yang di sesuaikan dengan kebutuhan operasional. Masalahnya
ialah belum tentu jajaran pendukung mengetahui tujuan sebenarnya organisasi
yang mereka bela. (4) The mass, yaitu massa simpatisan yang jumlah
relatif sangat besar. Mereka ini belum tentu memahami tujuan organisasi yang
mereka bela, akan tetapi organisasi tersebut berstatus legal, diakui pula oleh
masyarakat dan dapat dimanipulasikan untuk mempengaruhi situasi umum.
Langkah yang kedua, mengenali ’air’ sebagai ruang
gerak. Ada empat aspek yang terkait erat didalam upaya memerangi aksi
terror, yaitu ;
(1) Aspek
politik. Pada aspek ini ada tiga dimensi politik yang perlu di
cermati yaitu, aspirasi politik yang melandasi kepentingan terrorist,
peta politik domestik, dan peta politik regional-global. Dengan memahami
peta besar politik, maka ada peluang untuk memotong kepentingan
terroris, juga bisa mendapatkan dukungan dari kekuatan politik domestik, dan
nantinya ada ruang untuk manovra politik dalam negeri.
(2) Aspek
hukum. Banyak negara tidak memiliki perangkat hukum yang memadai
untuk menangkal aksi terror, tetapi banyak pula negara yang sudah bersiap
sedini mungkin. Jepang merupakan contoh yang baik, oleh karena mampu memperkecil
ruang gerak JRA sehingga tidak mungkin mereka hidup di dalam negeri, bahkan
tidak ada ruang dan peluang untuk melakukan kaderisasi. Pelajaran dari Turki
menunjukkan bahwa mereka mampu menyiapkan perangkat hukum yang menjerat aksi
terror dari pihak Kurdi dan bisa berkelit dari tuduhan pelanggaran hak azasi
manusia. Perangkat hukum internasional yang berkembang belakangan ini
sudah menyangkut jaringan perbankan, artinya apabila ada pihak bank yang
diketahui menyimpan dana pihak terorist sudah pasti akan kena sanksi
internasional. Sudah ada langkah nyata masyarakat dunia (baca: AS dan
sekutunya) untuk membekukan asset pihak terorist termasuk negara sponsornya,
dan hal ini sudah dilaksanakan.
(3) Aspek Pemerintah (aslinya: the
administration). Banyak praktek di luar sana, menempatkan kepala
daerah/wilayah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan di
wilayahnya. Contohnya, pada insiden 11 September 2001, Walikota New York segera
tampil (catatan : Kepala NYPD berdiri dibelakang) untuk mengatasi situasi. Dari
persektif AS tindakan tersebut memang seharusnya demikian, oleh karena
masyarakat membayar pajak kepada pemerintah (dhi Walikota New York), dan
sebaliknya adalah tugas pemerintah untuk memberikan perlindungan, rasa aman dan
kenyamanan kepada masyarakat. Pemerintah (cq aparat keamanan) harus mampu
mengisolasi daerah kerusakan agar tidak merambat lebih luas, dan dapat segera
mengisolasikan lokasi kejadian (epicenter), menetapkan zona yang kritis
(perimeter), menyiagakan daerah penyangga (buffer zone), dan
memelihara daerah yang aman. Pada prinsipnya, harus ada kesiapan manajemen
keamanan nasional yang menjaga roda kehidupan nasional berjalan normal, dan
tidak bisa dilumpuhkan oleh satu insiden teror.
(4) Aspek operasional. Pada aspek ini, kesiapan
satuan anti terror (baca: striking unit) akan berperan,
kemudian dibantu oleh semua pihak yang terkait, misalnya satuan militer,
para-militer, pemadam kebakaran, jajaran rumah sakit, liaison dari
pihak lain. Masalahnya yang dihadapi adalah bagaimana membentuk satu kesatuan
operasi yang terbentang dari pusat sampai ke lokasi, dari pusat yang merata
menjangkau daerah. Unsur-unsur yang esensial antara lain adalah Kodal, striking
team, komunikasi, lini pendukung, harus disiapkan sedini mungkin dan
ada program yang membangun kewaspadaan nasional, termasuk kesiapan manajemen
konflik.
Penguasaan terhadap keempat aspek tersebut masih perlu
di dukung dengan aspek lainnya seperti pengetahuan dalam
bidang sosio-kultural, sosio-ekonomi, psikologi, negosiator, media massa,
perbankan (termasuk asuransi), transportasi, kimia, dan sekarang
ini pakar domain komputer dan teknologi informasi sudah menjadi kebutuhan
pokok.
Perspektif Indonesia.
Seandainya—sekali lagi hanya berandai-andai, pada hari Senin terjadi
ledakan di stasiun Gambir, kemudian pada hari Selasa terjadi ledakan dipasar
Senen, lalu hari Rabu di Blok-M, dan hari Kamis ledakan di Mangga Dua, maka
besar kemungkinan perekonomian Indonesia akan ambruk. Pada skenario tersebut,
satuan-satuan anti terror tidak bisa berbuat banyak, kecuali mempelajari bekas
bekas ledakan.
Skenario tersebut akan berbeda situasinya apabila “airnya” sangat kecil,
artinya tidak ada ruang gerak bagi sel-sel teroris untuk bergerak.
Peran masyarakat (dalam bentuk ekstrimnya adalah citizen soldiers)
merupakan tulang punggung di dalam aksi massal untuk memperkecil “airnya”,
dan kondisi tersebut tidak terbentuk secara alamiah, tetapi harus
dibentuk. Pertanyaannya, siapa yang berwewenang untuk menangani pekerjaan
tersebut ?
Pertanyaan tersebut (barangkali) belum bisa dijawab secara spontan oleh karena
terbentuk “kesan umum” bahwa, pekerjaan tersebut belum merupakan kebutuhan yang
mendesak. Memang benar sudah ada beberapa undang-undang dan piranti hukum yang
mengatur penanganan tindak terorisme, akan tetapi dalam masalah pembinaan
potensi nasional untuk menghadapi tindak terorisme, sepertinya masih menunggu
untuk dikerjakan. Dalam bahasa perumpamaan, siapa yang akan menangani manajemen
‘mengeringkan air’, apakah di Kemdagri atau KemPertanian, atau di Kehakiman,
atau yang di kampus?
Kenyataan di lapangan sudah mendesak Indonesia untuk segera berbenah dan
alasannya cukup kuat, yaitu; (1) sinyalemen komuniti internasional bahwa
Indonesia tergolong soft target, (2) keberadaan segitiga mas
di kawasan Asia Tenggara, (3) intensitas illicit small arms trafficking menunjukkan
angka yang cukup tinggi, (4) potensi intra-state conflictsangat
besar, dan besar sekali kemungkinannya terorisme sebagai alat perjuangan
dijadikan sebagai alternatif utama, (5) kabarnya ada kamp kamp latihan
terroris di salah satu negara tetangga.
Upaya untuk memerangi aksi terror adalah kepentingan nasional
yang mendesak, dan berbagai instansi, lembaga, institusi, yang ditugasi
penanganan tindak terorisme, perlu satu bahasa, satu sikap, dan satu pola
tindak. Khusus kepada KemHan yang mengemban amanah dalam bidang
pertahanan tentunya perlu menyiapkan langkah-langkah antisipatif. Yangpertama, mengoptimalkan desk yang
secara khusus menekuni bidang teror. Bebannya adalah mencermati semua aspek
yang terkait dengan aksi terror, sehingga mampu menghasilkan masukan
dalam bidang politik untuk mendukung posisi pemerintah dan posisi Indonesia di
fora internasional. Berikutnya, yang kedua, adalah mampu
memberikan muatan kepada pihak pembuat undang-undang dan peraturan
mengenai kebutuhan untuk memerangi aksi terror. Dan yang ketiga,
adalah mampu mengarahkan kesiapan operasional dan menjalin kerjasama dengan
pihak lainnya.
Memerangi aksi terror, sudah jelas Indonesia tidak mampu berperang sendirian,
sehingga opsi yang tersedia adalah menggalang kerjasama dengan pihak
lain. Upaya kerjasama yang perlu dipertimbangkan adalah membangun
satu sistem untuk kawasan AsiaTenggara, yang bebas dari pengaruh luar. Meskipun
demikian Indonesia perlu mengembangkan kerjasama bilateral yang menguntungkan
kedua belah pihak. Persoalannya sekarang ini adalah tingkat kesiapan Indonesia,
yang meliputi aktor utamanya, perangkat pendukungnya, muatannya yang akan
di’jual’, dan tidak kalah penting adalah kesatuan pandang dan sikap dari
seluruh lapisan masyarakat.
Mungkin, perlu pula dipertimbangkan untuk memulai dengan (1) merumuskan batasan
mengenai terror yang dapat diterima oleh bangsa Indonesia dan membentuk
sikap nasional yang baku, (2) meninjau semua produk hukum yang berkaitan
dengan aksi terror, termasuk pemberdayaan semua konvensi internasional[8], (3) mengevaluasi kemampuan
nasional untuk anti terror, dan (4) menjajaki kemungkinan kerjasama dengan
pihak luar sesuai dengan tingkat kesiapan nasional dan kebutuhan nyata.
Indonesia perlu memperlihatkan sikap dan tindakan yang jelas dan konsisten
terhadap tindak terorism, dan dimengerti oleh masyarakat internasional. Sikap
Indonesia yang tidak jelas dan konsisten, akan muncul pandangan atau sikap yang
mencap bahwa Nusantara ini adalah ‘safe heaven’ bagi jaringan
terorist. Padahal sudah berlaku Resolusi Dewan Keamanan PBB no 1373/2001 yang
menggerakkan masyarakat internasional untuk menggalang kerjasama di dalam
rangka memerangi aksi terorism. Indonesia sudah jelas akan mengikuti
kesepakatan internasional, tentunya dengan sistem nilai yang berkembang di
masyarakat Indonesia dan di dalam bingkai kepentingan NKRI.
Penutup
Bicara sejujurnya, Indonesia belum siap menghadapi teror gerakan radikal yang
sudah berkembang pada generasi keempat dan kelima (cyber terrorism).
Benar bahwa Pemerintah sudah mencanangkan pembentukan BNPT (baca: jilid II),
tetapi belum diikuti dengan konsep yang jelas untuk capacity building yang
akan menangani manajemen ’mengeringkan air’ dan ’menangkap ikan’.
Kegiatannya sekarang ini, cenderung fokus pada counter-teror,
padahal keinginnya adalah counter-terrorism.
Ada dua langkah stratejik yang perlu dikembangkan, yaitu bersiap secara
unilateral, dan bersiap pula secara multilateral.
Secara unilateral, ada tiga kesiapan penting yang
perlu di kembangkan yaitu kesiapan dalam bidang politik, hukum dan operasional.
Kesiapan dalam bidang politik menginginkan ada dukungan penuh dari seluruh
masyarakat, bahwa aksi terror adalah musuh bangsa yang harus dihadapi oleh
segenap bangsa. Dalam prakteknya, dukungan politik tidak selalu diperoleh
seratus persen dari masyarakat luas. Padahal dukungan yang diberikan oleh
(preferensi) masyarakat luas akan sama dengan “mengecilkan air”. Kesiapan hukum
merupakan agenda yang mutlak, oleh karena “pagar’ inilah yang akan memberikan
kekuatan kepada semua pihak untuk menjerat “ikan”. Pada sisi lainnya, banyak
pihak menilai bahwa aturan hukum untuk menghadapi aksi terror tidak sejalan
dengan nafas demokrasi, dan banyak pihak pula tidak in favour untuk
mendukung aturan demikian. Akan tetapi perangkat hukum tersebut mutlak
diperlukan, dan banyak pelajaran yang dapat diambil dari Jerman dan Inggris.[9] Kesiapan perangkat operasional
sudah jelas merupakan bagian yang penting dari upaya memerangi aksi terror,
namun makalah ini tidak menyoroti secara khusus kesiapan aspek
operasional oleh karena sudah banyak pihak yang menulis mengenai topik
tersebut.
Secara multilateral. Konflik yang berkembang pada
era pasca perang dingin dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu inter-state
conflict, intra-state conflict, dan trans-national crime. Kecendrungan
pada milenium ketiga memperlihatkan trans-national crime masih
akan berlangsung, malahan dalam bentuk yang lebih kompleks dan berbahaya.
Badan dunia seperti PBB juga memahami kecendrungan tersebut, dan sejauh ini
sudah ada 13 konvensi untuk memerangi aksi terror internasional.[10] Badan yang menangani bidang
ini adalah Komite-V (hukum) dan sangat proaktif mengalang kekuatan dunia untuk
memerangi aksi terror internasional. Akan tetapi kondisi obyektif
memperlihatkan bahwa langkah kemajuan yang dicapai, tidak
menjanjikan seperti yang di harapkan oleh karena ada beberapa hal, yaitu
(1) batasan mengenai international terrorismbelum ada
kesepakatan yang baku, (2) ada kepentingan negara barat untuk membentuk satu
sistem global, tentunya dalam bingkai kepentingan nasional mereka, (3) ada
kecendrungan negara maju mem-politisasi isu teror untuk menekan negara
berkembang, (4) kerjasama yang terjalin antara negara maju dan berkembang
cenderung menguntungkan negara maju.
Pada prinsipnya, kesiapan secara unilateral diarahkan untuk menjalin kerjasama
multilateral, namun disadari bahwa kerjasama tersebut akan mencakup berbagai
bidang yang sangat luas. Misalnya kerjasama intelijen, hubungan database
imigrasi, pertukaran kunjungan (baca: pembinaan), dan sebagainya, yang
puncaknya adalah kerjasama operasional. Namun perlu disadari pula bahwa,
belum tentu pihak yang lebih kuat, mau bekerjasama secara sincere,
oleh karena mereka mempunyai kemampuan untuk menyembunyikan data dan kemampuan
teknis mereka. Di luar sana, ada beberapa sistem besar yang bekerja secara
mendunia, katakanlah sistem yang dibangun oleh AS dan sekutunya, akan tetapi
penulis berpendapat ada pula sistem lainnya yang eksis dan cukup efektif.
Misalnya sistem milik Francophone, atau dinas rahasia Jerman, dan tidak bisa
diabaikan adalah sistem yang dibangun oleh dinas rahasia Taiwan. Setiap
sistem mempunyai kelebihan di sana sini, namun satu hal yang pasti ialah
bekerja sama dengan mereka tentunya ada harga yang harus di bayar. Ada
ungkapan—tidak ada makan siang yang gratis. (B.o8/QD-XII/12)
[1] Wikipedia
[2] Wikipedia
[3] Fact Sheet Office of
Counterterrorism, Washington, DC. October 11, 2005
[4] Doktrin George Habash
mengatakan bahwa seorang teroris yang professional, harus dapat mengikat seribu
aparat keamanan.
[5] Fukuyama, Francis -“The End
of History and the Last Man”, Free Press, New York-1992.
[6] Harris, Peter et al—“Demokrasi
dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator” International
Institute for Democracy and Electoral Assistance. 2000
[7] Identitas yang di maksud
adalah berdasarkan ras, agama, kultur, bahasa, keturunan, sejarah, dan
seterusnya. Ketidak adilan berkaitan dengan tidak adilnya distribusi sumber
daya, kekuasaan ekonomi, wilayah, peran politik, penegakan hukum, dan
seterusnya.
[8] Dari 13 konvensi
yang ada, Indonesia sudah menanda tangani 4 konvensi dan
meratifikasi 4 konvensi lainnya.
[9] WARDLAW Grant,
“Political Terrorism”, Cambridge University Press. 1995
[10] General Assembly
A/51/336 “ Measures to Eliminate International Terrorism “ Report
of the Secretary General. 6 September 1996.
0 comments:
Post a Comment