Sunday, August 23, 2015

Etika perpolitik di indonesia



Etika perpolitik di indonesia


A.       Pendahuluan
Politik, kata filosof Hannah Arendt, merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Dengan mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama.
Lukisan tentang politik yang begitu indah tersebut sebenarnya sudah dilukiskan para filosof klasik Yunani, seperti Aristoteles dan Plato. Dalam buku Nichomachean Ethics, misalnya, Aristoteles melukiskan politik itu indah dan terhormat. Indah karena politik merupakan jembatan emas bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Terhormat karena semua cabang ilmu lainnya mengabdi kepada ilmu politik. Demikian juga dalam karya Aristoteles lainnya Politics dan karya filosof Plato Republic. Dua karya klasik yang telah menjadi magnum opus itu menjelaskan, sejatinya politik itu agung dan mulia, yaitu sebagai wahana membangun masyarakat utama.
Namun, apakah politik seindah itu? Berbicara politik pada tataran normative memberi kesan naif. Sebab, politik dalam praksisnya adalah pertarungan kekuatan sehingga kecenderungannya “tujuan menghalalkan cara” ala Machiavelli, selalu terbuka bagi para politikus. Artinya, karena yang  mesti dimenangkan dalam pertarungan politik itu adalah kepentingan dan keuntungan diri, yang mencuat adalah konflik kepentingan, dan apabila tidak dikelola dengan baik, anarkisme politiklah yang terjadi. Lalu, bagaimanakah jika konflik dan friksi itu selalu mencuat di setiap pertarungan politik? Pertanyaan itulah yang mesti dijawab dengan menghadirkan etika politik sebagai sosok adab yang dibutuhkan untuk memedomani arah jalannya politik.
Slamet Raharjo Jarot dalam dalam diskusi budaya politik di Hotel Bumi Karsa Jakarta, berpendapat para politikus saat ini tidak menjalankan etika moral dalam berpolitik, sehingga menurunkan harkat dan martabat bangsa.
Carut-marut politik di tanah air, kata Slamet, akibat budaya  pemaksaan yang dilakukan elite politik. Terlebih lagi dalam mencapai kekuasaan, para politikus tidak segan-segan melakukan trik dan intrik politik tanpa memikirkan kepentingan rakyat.
Slamet Rahardjo menambahkan, untuk memilih pemimpin sejati Indonesia dibutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan untuk memilih presiden hanya cukup sekali dalam lima tahun. Karena itu, dia menyeru masyarakat untuk keluar dari permainan politik yang kotor.
Paskah jatuhnya Soeharto, Indonesia masuk dalam zaman reformasi yang mengagung-agungkan kebebasan. Setelah memasuki zaman reformasi kebebasan tadi bukannya membawa bangsa ini ke tahap kemakmuran, tapi pada tahap penderitaaan (suffering). Padahal kita telah mencapai cita-cita kita yaitu kebebasan. Mungkin ini menjadi pertanyaan mendasar bagi kita sekarang ini. Mengapa yang terjadi adalah kemiskinan dan penderitaan.
Para politikus yang sebelumnya berjanji membawa bangsa ini terlepas dari belenggu kemiskinan malahan masuk dalam jurang kemiskinan dan penderitaan. Penduduk miskin semakin bertambah. Para pengemis semakin hari semakin banyak jumlahnya. Apakah ini yang dinamakan kebebasan dan kemerdekaan. Anggota DPR yang terhormat berlomba-lomba menaikkan gajin mereka. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyat.
Sementara di sudut-sudut kota besar tempat menjulangnya bangunan tinggi dan megah berceceran anak-anak miskin dan tak dapat mengecap pendidikan seperti selayaknya yang menjadi hak mereka. Jangankan mengecap pendidikan untuk bertahan hidup saja mereka harus mengemis dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya tidak mereka lakukan untuk tetap hidup.
Hilangnya etika perpolitikan adalah awal dari kesewenang-wenangan para penguasa untuk merampas apa yang menjadi hak rakyat. Hal yang sangat ditonjolkan adalah politik aturan yang berlaku. Dalam etika, aturan-aturan yang sudah menjadi hukum itu perlu ditinjau ulang. Aturan bukanlah hukum yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Jika seandainya terbukti bahwa aturan-aturan tersebut menuai kritikan yang keras dari masyarakat  berarti aturan yang berlaku itu perlu diubah karena melanggar hak-hak orang lain.
Maka pemerintah dan badan kehormatan yang ada di lembaga dewan perwakilan rakyat, tidak dapat menggunakan hukum yang berlaku sebagai senjata ampuh untuk membenarkan diri. Perlu kita ketahui bahwa hukum yang berlaku sekarang ini adalah hukum yang dibuat oleh pemerintah dan DPR yang sarat dengan kepentingan. Etika merupakan hukum terakhir yang mampu memberi keadilan bagi setiap warga negara.
Etika mempertanyakan semua hukum yang sudah berjalan selama ini demi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Maka Aristoteles tidak pernah melapaskan politik dari etika. Baginya politik harus berjalan di atas etika.

B.       Proses Perubahan  Budaya dan Etika Politik    
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi (Almond dan Verba dalam Siti Zuhro, 2010). Budaya politik yang beretika merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, proses perubahan budaya dalam segala hal termasuk dalam perubahan budaya politik berhubungan dengan etika politik yang berkembang. Jika politik yang sedang berkembang tidak berlandaskan pada etika poltik yang baik, maka jelas berimplikasi terhadap lahirnya perubahan budaya yang  tidak “beradab“ sehingga harapan perubahan budaya yang kondusif dan produktif  hanya akan menjadi harapan dan impian semata.
Fenomena budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat,  tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan adalah "sub-budaya etnik dan daerah" yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik kemungkinan terjadinya jarak, tidak hanya antar budaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antar budaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila pada tingkat Nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di antara sub-sub budaya politik yang berinteraksi. Namun pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah "'sub-budaya politik" yang lebih kuat dalam arti primordial.
Dari uraian di atas bisa dibedakan kiranya  antara budaya politik (political culture) dan perilaku politik (political behaviour). Yang tersebut terakhir kadang-kadang bisa dipengaruhi oleh budaya politik. Namun, budaya politik tidak selalu tergantung pada perilaku politik. Apakah sistem budaya yang ada cenderung bersifat komunal/kolektif atau individual ? Masalahnya adalah apakah nilai-nilai demokrasi kompatibel dengan nilai-nilai budaya politik lokal dan sebaliknya.


C.       Pentingnya Etika Budaya dan Etika Politi
Dahl dalam Nurwahid (2007) berpendapat bahwa konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan pentingnya etika politik dengan asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.
Dengan kata lain, Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.
Majlis Permusyawarat Rakyat (MPR) memandang bahwa etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Rumusan tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Etika kehidupan berbangsa ini diuraikan menjadi 6 (enam) etika yaitu, 1) etika sosial dan budaya, 2) etika politik dan pemerintahan, 3) etika ekonomi dan bisnis, 4) etika penegakan hukum yang berkeadilan, 5) etika keilmuan, dan 6) etika lingkungan.
Dalam Ketetapan tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Tap ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa.
Berbicara mengenai etika berpolitik, kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite kita cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun politik kekerasan pun dapat terjadi.
Elite nasional yang seperti ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka pun sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kebutuhan akan etika politik- menurut Paul Budi Kleden dalam Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi (2003), muncul ketika ada penyelesaian konflik yang dirasa tidak mencerminkan cita rasa etis yang dapat diterima  publik. Etika politik membutuhkan rambu untuk mempertemukan jalan-jalan yang berseberangan demi sebuah  convivium, sebuah kehidupan bersama dalam perbedaan. Sebuah rambu adalah symbol ciptaan untuk tujuan praktis.
Namun, dalam memerankan etika politik demi kehidupan praktis atau praksis politik yang lebih baik-lebih membahagiakan kehidupan bersama, terlalu naif juga jika diandaikan bahwa etika  tidak boleh mengandung unsur pemikiran pencapaian keuntungan dan peningkatan profit. Etika politik bertalian dengan pengaturan kehidupan praksis, menjawab pertanyaan apa yang mesti dilakukan demi mencapai sebuah kehidupan bersama yang bahagia sejahtera
Oleh karena itu, kita perlu dapat mengulangi kedua rumusan Emmanuel Kant tentang imperatif  kategoris bagi setiap tindakan praktis etis, ”Bertindaklah sedemikian, supaya maksim  keinginanmu di mana pun dan kapan pun dapat dijadikan prinsip sebuah peraturan umum untuk semua orang”, dan “Jangan sekali-kali menggemakan manusia sebagai alat, melainkan harus selalu sebagai tujuan dari tindakanm”'. Karena itu menyangkut tindakan, jelas dibutuhkan pertanggungjawaban, yaitu pertanggungjawaban etis, dalam penentuan tujuan dan dalam penilaian metode guna mencapai tujuan itu sehingga semua itu tidak terlepas dari pribadi, atau oknum yang bertindak. Oknum dalam ulasan perihal etika politik tentu tidak lain adalah sang politikus.
D.      Peranan Pendidikan dalam Perkembangan Budaya dan Etika Politik
Pendidikan bagi kehiduapan manusia memiliki arti  sangat penting, sebab martabat manusia sangat ditentukan oleh kualifikasi dan kompetensi pendidikan yang dimikikinya. Yang demikian itu, berlaku bagi eksistensi manusia secara umum, baik sebagai praktisi pendidikan, politikus, negarawan atau apalah predikat yang disandanganya. Akan tetapi perlu diingat bahwa domain lain dalam kehidupan manusia yang berkembangan di sekitarnya, selain pendidikan turut serta membentuk atau setidaknya mempengaruhi sikap, perilaku manusia dalam menentukan pilihan dan keputusan yang diambilnya
Dalam dunia yang berubah dengan cepat di era globalisasi ini diperlukan pengembangan dan pemahaman paradigma baru untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu bukan merupakan suatu produk manufaktur, tetapi seperti layaknya pengembangan tanaman yang harus dipilih bibitnya dengan tekun, dipilih tanahnya yang subur, atau kalau perlu dikerjakan tanahnya lebih dulu agar tanamannya bisa tumbuh subur, dan secara telaten harus disiram, dipupuk, dan dijauhkan dari tanaman liar yang bisa mengganggunya. Karena itu, sumber daya manusia harus dikembangkan dengan pemeliharaan sejak dini dengan sebaik-baiknya, dibangkitkan motivasi dan kemauannya untuk maju, dipompa kemampuannya, dan diberikan dorongan yang positif untuk sanggup membangun dan bekerja keras. Mereka harus sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka berhak mendapatkan tingkatan kesejahteraan untuk masa depan pribadi, anak cucu, dan bangsanya.
Menurut Nurwahid (2007) banyak studi empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya sumbangan yang besar dari peningkatan years of schooling terhadap pertumbuhan Amerika Serikat. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi pendidikan dan investasi yang cukup besar untuk pendidikan pada tahun 1960-an merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 40 tahun terakhir ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas sumber daya manusia menyumbang secara cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa sekitar 80 persen aset dan kekayaan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terdiri atas modal manusia.
Dengan pendekatan ini, dapat diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara di Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan kualitas sumber daya manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan hambatan yang mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap memelihara daya saing dan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan.
Pengembangan kualitas sumber daya manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh pendidikan. Melalui pendidikan akan menghasilkan insan-insan yang tidak hanya menyandang gelar sarjana, tetapi insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari kesempurnaan (unending search for excellence) dan menghindarkan sikap mediocre. Manusia-manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang utama, yang akan menjadi andalan masa depan.
Thomas Koten (2008) berpenadapat, sulit mengharapkan seseorang menjadi politikus yang beretika jika, pertama, dalam proses pendidikan selalu mengandalkan pengulangan secara sempurna, bahan oleh murid sebagai sarana untuk menguji intelektualitasnya telah menghasilkan mental cash value. Pada murid bertumbuh mental - belajar hanya untuk ujian.  Waktu kuliah seorang mahasiswa sekadar datang, duduk, dengar, dan mencatat-minus berpikir-apa yang disampaikan dosen. Seusai kuliah seorang mahasiswa akan meminta salinan kuliah yang biasa disusun dalam presentasi power point. Kedua, dalam pendidikan yang berkembang adalah sekularisasi pendidikan, misalnya, dari sistem dan orientasi belajar siswa yang sepenuhnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan secara fisikal, material, dan jalan pintas untuk segera mendapatkan karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. Ketiga, dalam pendidikan yang dikejar hanyalah pencapaian kecerdasan secara IQ dengan mengabaikan kecerdasan spiritualitas dan budi pekerti, seperti nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan. Ingat bahwa nilai-nilai itulah sebenarnya menjadi level tertinggi kecerdasan manusia yang sesungguhnya. Semakin terserapnya nilai-nilai itu dalam pendidikan, kecerdasan seorang manusia memiliki kualitasnya.
Namun, semua itu sulit dicapai dalam dunia pendidikan kita selama ini karena memang sejak awal mahasiswa untuk meraih kursi perguruan tinggi kadang harus mengorbankan harta, menyogok yayasan agar dapat diterima tanpa memahami mengapa harus memasuki perguruan tinggi dan nilai-nilai apa yang mesti diperjuangkan di bangku kuliah. Maka selanjutnya tidak akan pernah lahir pembelajar sejati (true leader) dengan sifat kecendekiaan yang mumpuni. Atau sulit mengharapkan lahir tokoh-tokoh intelektual yang berkearifan jika pendidikan itu sangat pragmatis, ketika di dalamnya ketiadaan kemungkinan untuk memikirkan dan mempertanggungjawabkan tujuan dan mempertimbangkan relasi antara tujuan pendidikan dan cara pencapaiannya. Sebab, tujuan pendidikan pertama-tama untuk membantu anak didik untuk memikirkan tujuan perbuatannya sendiri.
Dengan demikianlah seseorang pelajar yang menjadi politikus nantinya dapat belajar bertanggung jawab atas pilihan tindakannya. Etika politik bermula dari kesanggupan berpikir analitis dan kritis, memilah motivasi dan mempertanyakan kepentingan yang melatari sebuah gagasan dan tindakan. Tidak ada kesanggupan  dalam bingkai relatif ini, seorang politikus dapat saja berkungkung dalam budaya pendewaan kekuasaan dan harta.
Jadi, pendidikan untuk etika politik menjadi sangat penting untuk memahami dan merefleksikan kehormatan dan keindahan politik termasuk keluhuran demokrasi. Di sini pendidikan politik menjadi sesuatu yang urgen dan harus benar-benar dijadikan sebagai salah satu program utama pendidikan kita.
E.       Prinsip Dasar Etika Politik
Dasar Etika Politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan  Pancasila, bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan  dasar  etika politik modern. Ada 5 prinsip dasar dalam etika politik secara kontemporer sebagai berikut.
1.    Pluralisme
Pluralisme dimaksudkan adalah  kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi (segenap paksaan dalam hal agama), kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain. Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.
2.    Ham
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak asasi terbagai dua, yaitu mutlak dan maupun kontekstual :
a.    Mutlak; karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia (dari Sang Pencipta).
b.    Kontekstual ; karena baru mempunyai fungsi, dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh Negara modern.
                 Hak asasi manusia  dapat dibedakan dengan tiga generasi :
1)      Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hukum.
2)      Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
3)      Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
            Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).
3.    Solidaritas Bangsa
Solidaritas ; dapat dikatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya, dan kehidupannya harus  menyumbangkan sesuatu pada kehidupan manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar: keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh penyakit rakus manusia yang bernama korupsi. Korupsi mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok. Korupsi membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang bermutu.
4.    Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik. Demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik, atas dua dasar:
1)   Pengakuan dan jaminan terhadap HAM dan perlindungan terhadap HAM, menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2)   Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum Negara hukum demokratis. Maka kepastian hukum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi.
5.    Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun akan kandas, apabila melanggar keadilan. Keadilan sosial mencegah masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme.   
Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Keadilan sosial harus mampu membongkar praktek ketidakadilan  yang ada dalam masyarakat, bersifat struktural, bukan semata-mata individual. Artinya, ketidakadilan tidak terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling  seperti halnya dialami dialami oleh bangsa kita contohnya bentuk kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang seperti terhadap perempuan, ras, suku dan budaya.
Menurut Franz Magnis Suseno (2007) tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
1)      Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
2)      Ekstremisme ideologis yang anti pluralism. Ekstremisme agama di mana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3)      Korupsi.
F.   Pancasila sebagai Dasar Etika Politik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas Pencasila.
Menurut David Held (1988), ada anggapan negatif dan sikap skeptik  serta sinis terhadap politik. Ada kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicatat beberapa hal: pertama, mau tidak mau kita tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan kerangka Negara dan masyarakat. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern, seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita membentuk dan mengorganisir kehidupan  secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik, bukan hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan kelayakan  suatu model alternatif dan imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan akan politik bisa diatasi.
David Held (1998) mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk mempertahankan  atau mentransformir lingkungannya, sosial dan fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari kekuatan itu. Oleh karena itu, politik  adalah suatu fenomena yang diketemukan di dalam dan di antara institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik terungkap di dalam  semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang melekat dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.
Bagi Aristoteles manusia akan menjadi sempurna dan mencapai tujuan kodratinya, kalau ia hidup dalam polis (negara-kota). Suatu Negara ada, demi hidup baik dan bukan hanya untuk hidup saja. Seperti dikatakan H. Arend, “Polis sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state) dalam lokasi fiknya; polis adalah organisasi masyarakat yang muncul dari perbuatan dan  pembicaraan bersama  dan ruang yang sebenarnya terletak di antara orang yang hidup bersama untuk tujuan itu, tak peduli dimanapun terjadi.”8) Maka istilah politik menunjuk kepada  aktivitas dari polis, dimana kesejahteraan bersama dideliberasikan  dan keputusan  yang secara kolektif mengikat dibuat. Jadi  politik muncul dari  tindakan bersama, “sharing of words and deeds”.  Ada hal-hal yang dapat kita petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu, meskipun harus diakui bahwa ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya wanita dan budak tidak termasuk dalam warganegara.  Ada anggapan pada waktu itu bahwa mereka yang berhasil dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan  bersama dalam Negara (polis) akan mencapai kebaikan yang lebih besar, karena dilakukan bersama. Maka kehidupan bersama dalam Negara  tidak hanya akan melindungi individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh liberalisme), tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arĂȘte). Kodrat manusia mendorong, agar  Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita untuk mencintai yang baik dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan menciptakan kebiasaan yang baik (inilah arti utama dari “pendidikan politik”). Maka dapat dikatakan bahwa bagi Aristoteles, Negara atau polis  adalah “perkumpulan teman-teman yang saling memprovokasi untuk berbuat kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut dengan masalah bagaimana kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.
M. Sastrapratedja mengutip Michel Foucault (1998) mengatakan bahwa politik pada masa ini ditandai oleh “pendisiplinan” dan “penundukan” yaitu pemaksaan agar manusia berperilaku tertentu. Ini disebut “biopower”. Politik adalah pengaturan dan penguasaan hidup dan biopower ini secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia dipertaruhkan oleh strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik itu sendiri. Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.
 (Berbeda dari Foucault, Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1998) sebagaimana dikutip Sastrapratedja,  berpendapat bahwa tidak benar kehidupan manusia selalu menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku Pertama Politics Aristoteles membedakan antara “kehidupan yang begitu saja” atau “kehidupan biologis semata”(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang, kehidupan biologis (to zen) dan “hidup yang baik” (eu zen). Kehidupan politik mengatasi kehidupan  “yang biologis melulu” menjadi “sesuatu yang lebih”, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah  perwujudan  kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam komunitas yang tidak memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah keadilan itu dan sarana konkrit apa untuk mencapainya?  “Keadilan  melekat dalam polis; karena keadilan adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan persekutuan politik.  Agamben  menarik perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles mengenai bahasa dalam Politics: Agar menjadi  benar-benar manusiawi orang harus menjadi anggota polis, karena hanya dengan begitu, ia dapat berbicara. “Mengeluarkan suara  berfungsi untuk menunjukkan  kesenangan atau kesakitan, dan ini suatu kemampuan yang  dimiliki hewan pada umumnya. Tetapi bahasa berfungsi untuk menyatakan apa yang adil dan tidak adil”. Di sini kehidupan di lihat tidak hanya sebagai suatu fakta, tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan biologis semata sebagai “inklusif eksklusif (un ‘ esclusione inclusive).
Maksud dari pernyataan itu menurut Sastrapratedja ialah bahwa  kehidupan yang baik (eu zen) bukan kehidupan biologis semata, namun kehidupan yang baik juga  merupakan  perkembangan dari kehidupan biologis semata. Politik seolah-olah merupakan tempat di mana kehidupan harus mengalami transformasi menjadi kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis semata. Aufhebung politik tidak pernah tercapai, identitas tak pernah selesai.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik  memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.
Apabila  nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat, maka  akan menjadi  pandangan hidup atau Weltanschauung. Pandangan hidup dapat  dilihat sebagai suatu cultural software, suatu perangkat lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia dan kehidupan sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat lunak budaya  pandangan hidup berperan dalam mengkonstruksikan  dunia sosial dan politik. Tetapi pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan hidup lainnya. Cultural software dikopi dalam setiap individu melalui sosialisasi, interaksi dan komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang disebut Gadamer “tradisi”: tradisi melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan kita membuat penilaian mengenai dunia sosial  Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.
G.  Penutup
Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatin menyaksikan kenyataan ini.
Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.
Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air kita. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.
Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.
Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.
Partai politik hendaknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.
Para elit politik partai pun sudah seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.
Daftar Pustaka
David Held, Models of Democracy. Cambridge: Polity Press, 1998
Franz Magnis Suseno. Dasar Etika Poilitk, Artikel/ Makalah, Jakarta, 2007
Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Standford: Standford University Press,1998.  
Hidayat Nur Wahid. Etika Politik, Makalah Disampaikan Pada Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma III Serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57 di Jakarta, 21 November 2006.
Julkiplimansyah, Kondisi Rakyat dan Bangsa Indobesia Kian Terpuruk, Kompas, 27 Juli 2008
M. Sastrapratedja, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kririk Ideologi, Makalah.
Mohammad Hatta. Pengertian Pancasila.  Jakarta: Idayu Press,  1977
Thomas Koten. Pendidikan, Jembatan Utama Etika Politik, Makalah, 2008

0 comments: