Friday, September 04, 2015

fenomena pemilih pemula pada PILPRES dan PILKADA



BAB I
PENDAHULUAN
1.       Latar Belakang

Fenomena pemilih pemula selalu menarik untuk didiskusikan pada setiap momen pemilihan umum baik nasional maupun di daerah. Jumlah mereka yang sangat besar bagaikan gula yang mengundang partai politik dan politisi untuk mendulang suara perolehan suara mereka.  Pemilih pemula (first time voter) adalah mereka yang berusia tujuh belas tahun pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih tetap. Pemilih pemula dalam setiap even pemilu nasional ataupun pemilukada selalu didominasi kalangan pelajar/siswa dan jumlah mereka relatif besar. Jumlah mereka yang besar membuat mereka sering menjadi rebutan partai politik maupun para politisi untuk mendongkrak perolehan suara.
            Potensi pemilih pemula dalam setiap momen pemilu sangatlah besar. Diperkirakan dalam setiap pemilu jumlah pemilih pemula sekitar dua puluh sampai tiga puluh persen dari keseluruhan jumlah pemilih dalam pemilu. Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih pemula sekitar dua puluh juta dari seratus empat puluh tujuh juta pemilih. Pada Pemilu 2009 sekitar tiga puluh enam juta pemilih dari seratus tujuh puluh satu juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia lima belas sampai sembilan belas tahun: dua puluh juta delapan ratus tujuh puluh satu ribu delapan puluh enam orang, usia dua puluh sampai dua puluh empat tahun: sembilan belas juta delapan ratus tujuh puluh delapan ribu empat ratus tujuh belas orang (www.kpugo.id). Dengan demikian, jumlah pemilih muda sebanyak empat puluh juta tujuh ratus empat puluh sembilan ribu lima ratus tiga orang. Dalam pemilu, jumlah itu sangat besar dan bisa menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum.
            Para pemilih pemula biasanya antusias untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena untuk pertama kali menggunakan hak pilih mereka. Jiwa muda dan coba-coba masih mewarnai alur berpikir para pemilih pemula. Sebagian besar dari mereka hanyamelihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak suara mereka kepada partai dan tokoh yang mereka senangi. Antusiasme mereka untuk datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka sudah tinggi. Kebanyakan pemilih pemula baru sebatas partisipasi parokial semata. Ini artinya partisipasi mereka belum mampu berkontribusi dalam menjaga dan menyehatkan proses demokrasi. Mereka masih membutuhkan pendewasaan politik sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya menjaga dan menyukseskan demokratisasi.
            Emosi pemilih pemula yang labil seringkali membuat mereka memilih hanya berdasarkan hubungan emosional. Misalnya, karena orang tua mereka memilih partai A atau calon A maka mereka akan cendrung mengikuti pilihan orang tua mereka. Selain pengaruh orang tua pilihan pemilih pemula juga dapat diintervensi oleh teman, keluarga, maupun iklan politik. Pemilih pemula sering kali lebih cendrung memilih partai-partai besar dan mapan. Ini karena mereka sudah familiar dengan partai tersebut dan enggan mengenal partai yang lain. Mereka juga cendrung memilih figur-figur yang familiar dengan mereka. Misalkan para tokoh yang sering menjadi bahan perbincangan di lingkungan mereka baik di sekolah maupun di masyarakat termasuk figur-figur yang yang sering muncul di televisi. Jika kita tarik benang merah dari setidaknya ada kecendrungan partisipasi pemilih pemula menuju partisipasi mobilisi. Jumlah mereka yang besar dan emosi yang belum stabil membuat mereka rawan menjadi rebutan partai politik dan figur-figur yang bertarung dalam pemilu maupun pemilukada. Mereka kemudian hanya menjadi lumbung suara tanpa mendapatkan edukasi dan penyadaran politik dari parpol.
Potensi besar ini harus bisa dioptimalkan agar partisipasi mereka tak hanya sebatas partisipasi parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik untuk melaksanakan edukasi politik bagi para pemilih pemula. Partai politik seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana mendulang perolehan suara, lebih dari itu parpol harus memikirkan pula bagaimana menumbuhkan kesadaran politik bagi anak muda yang nanti suatu saat juga akan menjadi kader-kader mereka.
            Semakin dekat pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden, semakin tinggi pula tensi perpolitikan di negeri ini. Bersamaan dengan itu, kampanye hitam (black campaign) marak. Upaya menjatuhkan dengan cara-cara kotor merebak, bahkan isu-isu SARA yang seharusnya dipendam dalam-dalam justru dibangkitkan. Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih. Kita semua tentu sepakat bahwa niat baik harus dijalankan dengan cara yang baik. Kita semua tentu sepakat bahwa kampanye hitam adalah kampanye buruk, bahkan bisa merusak budaya dan identitas bangsa. Kita patut “mengutuk” kampanye hitam yang justru akan menimbulkan dampak negatif bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kampanye hitam hanya akan berujung pada perpecahan. Oleh sebab itu, harus dibungkam dan dienyahkan dari perpolitikan nasional. Masih banyak cara untuk mendapatkan simpati dari rakyat pemilih selain kampanye hitam.
 Terlepas dari mana asal-usul siapa, dari pihak mana praktik kampanye hitam gencar dilakukan, setidaknya terdapat dua alasan mengapa hal itu marak dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan. Pertama, melemahkan lawan politik. Dalam dunia perpolitikan tidak ada teman atau lawan sejati. Artinya, lawan bisa jadi akan menjadi kawan dan kawan justru banyak berpotensi menjadi lawan. Semua itu terjadi karena satu, yakni kepentingan. Tujuan utama melakukan kampanye hitam maupun kampanye negatif adalah untuk menimbulkan keraguan, kebencian, maupun ketakutan agar dukungan kepada target yang disasar melemah. Kedua, merebut suara. Sekitar empat puluh persen masyarakat pemilih saat ini masih ‘mengambang’. Dengan kata lain, masih banyak pemilih yang belum memiliki kepastian terhadap salah satu calon presiden saat ini. Di samping itu, pemilih pemula juga masih banyak. Kedua kelompok tersebut umumnya adalah kalangan menengah ke bawah. Jumlah kelompok tersebut sangat fantastis.
 Dengan demikian, kelompok tersebut menjadi fokus oleh para simpatisan maupun tim sukses pasangan calon gebenur dan wakil gebenur. Bisa dikatakan untuk memperoleh dukungan suara, cara yang efektif adalah mempengaruhinya. Dari sinilah kampanye hitam akan digelontarkan guna mempengaruhi atau mencuci otak (brain washing) dengan menjelek-jelekan lawan politik. Jadi, sasaran kampanye hitam adalah kelompok yang tidak begitu melek politik pemilih pemula yang belum begitu mengetahui konstelasi perpolitikan nasional dan kelompok yang masih dilema. Hal ini berbeda dengan pemilih rasional yang umumnya didominasi oleh orang perkotaan. Kelompok ini sulit untuk dipengaruhi. Sebab, ia sedikit banyak telah mengetahui betul konstelasi dan track-record calon-calon yang sudah ada.
Kini media-media sosial sudah banyak dan Indonesia sudah tidak buta lagi dalam penggunaan media ini. Namun, menyebarnya informasi-informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan ini membuat kita harus berhati-hati lagi dalam menyaring informasi. Kasus black campaign yang ada dalam pemilu menjadi sorotan utama penulis dalam penelitian ini. Bagaimana para pemilih pemula yang baru merasakan pengalaman akan menyumbangkan suaranya dalam pesta rakyat ini menyaring informasi yang ada untuk dijadikan referensi kedepannya untuk memilih pemimpinnya. Tentu sangat miris bila melihat generasi tersebut tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam dunia politik dan memilih pemimpinnya hanya berdasar dari kepopulerannya melalui media sosial tanpa mengetahui sepak terjangnya selama ini.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.      Konsep Pemilih Pemula
            Pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pemilih dalam setiap pemilihan umum didaftarkan melalui pendataan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara pemilihan umum. Pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali memilih karena usia mereka baru memasuki usia pemilih yaitu 17 hingga 21 tahun. Pengetahuan mereka terhadap pemilu tidak berbeda jauh dengan kelompok lainnya, yang membedakan adalah soal antusiasme dan
preferensi.
            Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki untuk menjadikan seseorang dapat memilih adalah:
1.      WNI yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
2.      Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya
3.      Terdaftar sebagai pemilih.
4.      Bukan anggota TNI/Polri (Purnawirawan / Sudah tidak lagi menjadi anggota TNI / Kepolisian).
5.      Tidak sedang dicabut hak pilihnya
6.      Terdaftar di DPT.
7.      Khusus untuk Pemilukada calon pemilih harus berdomisili sekurangkurangnya 6 (enam) bulan didaerah yang bersangkutan.

Pentingnya peranan pemilih pemula karena sebanyak 20 % dari seluruh pemilih adalah pemilih pemula, dengan demikian jumlah pemilih pemula sangatlah besar, sehingga hak warga negara dalam menggunakan hak pilihnya janganlah sampai tidak berarti akibat dari kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan, misalnya jangan sampai sudah memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar atau juga masih banyak kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya, dll.
            Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan akan dapat merasakan keuntungannya. Lahirnya dukungan dari kelompok ini secara tidak langsung membawa dampak pencitraan yang sangat berarti. Setidaknya untuk pengamanan proses regenerasi kader politik kedepan, meskipun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ketiadaan dukungan dari kalangan ini akan terasa cukup merugikan bagi target-target suara pemilu yang telah ditetapkan tiap-tiap parpol.
Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar, mahasiswa atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang memang unik, seringkalimemunculkan kejutan dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Disebut unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan dan tipis akan kadar polusi pragmatisme. Pemilih pemula memiliki antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing vooters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal. Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat dan teman. Selain itu, media massa juga lkut berpengaruh terhadap pilihan pemilih pemula. Hal ini dapat berupa berita di televisi, spanduk, brosur, poster, dan lain-lain.
Pemilih pemula khususnya remaja (berusia 17 tahun) mempunyai nilai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan akan dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya adalah paling penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan.

B.     Konsep Golput
1. Pengertian Golput
Golput (golongan putih) adalah sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam suatu pemilihan. Untuk itu, ada sekelompok orang yang sudah sejak awal tidak mau didaftarkan dirinya sebagai pemilih sehingga tahapan pemilu ini tidak diikutinya. Namun demikian, ada juga sekelompok orang yang sudah terdaftar sebagai pemilih namun mereka tidak menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.
2.      Penyebab golput
            Golput dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, antara lain:
A.     Adanya kejenuhan politik dengan banyaknya pemilihan umum, mulai dari pemilu legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, pemilihan bupati dan wakil bupati, dan pemilihan kepala desa menimbulkan kejenuhan politik. Masyarakat merasa pemilihan tersebut membosankan.
B.     Tidak adanya harapan yang pasti dan kongkrit dari pemilu tersebut. Pemilu tidak membawa perubahan apa-apa bagi kehidupan mereka, baik perubahan ekonomi maupun perubahan sosial budaya untuk kesejahteraan mereka.
C.     Hilangnya trust (kepercayaan) masyarakat kepada politisi, janji-janji politik yang dilakukan oleh politisi ternyata tidak terbukti, membuat masyarakat enggan untuk ikut terlibat lagi dalam pemilu, apalagi politisi yang telah mengumbar janji mencalonkan lagi di daerah tersebut.
D.     Kebutaan politik yaitu kurangnya pengetahuan pemilih terhadap sistem pemilu dan perubahan-perubahan yang terkait dengan pemilu tersebut sehingga menyebabkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya secara benar, bahkan menyebabkan mereka enggan untuk datang menggunakan hak pilih mereka.
E.      Sistem politik yang ruwet. Dengan tidak sederhananya sistem politik menyebabkan masyarakat pemilih enggan untuk menggunakan hak pilihnya. Sistem pemilu yang berbelit-belit dengan partai yang banyak, dengan aturan yang berubah-ubah menyebabkan masyarakat pemilih sulit untuk mengerti.
F.      Hilangnya kepercayaan terhadap panitia penyelenggara pemilihan umum seperti KPU dan PANWAS. Tidak profesional dan kurangnya keadilan Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara dalam melakukan prosesproses tahapan pemilihan umum menyebabkan masyarakat tidak memiliki keyakinan dan antipati kepada lembaga tersebut.
G.     Adanya indikasi keterlibatan dan keberpihakan pemerintah, PNS, POLRI, dan TNI dalam proses pemilu. Penggunaan fasilitas negara oleh politisi yang sedang menduduki jabatan menyebabkan kecemburuan sosial bagi masyarakat yang memiliki dukungan yang berbeda dengan pihak penguasa saat itu. Begitu juga dengan PNS, POLRI, dan TNI yang berpihak kepada pejabat penguasa juga akan menimbulkan antipati bagi masyarakat yang berbeda dukungan dengan pemerintah. Untuk itu, sulit bagi masyarakat untuk datang ke TPS karena dikhawatirkan suara dan pilihan mereka menjadi sia-sia.


Fenomena golput menurut Eep Saefulloh Fatah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, faktor teknis, seperti adanya keluarga wafat, ketiduran, sakit, sedang berlibur, dalam perjalanan, dan lain-lain. Pelaku golput lebih mementingkan keperluan-keperluan pribadinya daripada pergi ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua, faktor teknis politis, seperti tidak mendapat undangan. Hal ini terjadi karena masyarakat yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai pemilih, atau tidak masuh dalam daftar pemilih tetap. Ketiga, faktor politis, yaitu mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat atau partai yang tersedia, mereka tidak percaya pemilu dan pilihan mereka akan membawa perubahan terhadap kehidupan mereka. Keempat, faktor ideologis, masyarakat tidak percaya pada mekanisme demokrasi yang dianggap liberal, untuk itu mereka tidak mau terlibat di dalamnya.

Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada tiga model golput, diantaranya:
A.     Golput ideologis, yaitu terjadinya perbedaan pandangan dalam meletakkan konsep-konsep kenegaraan. Perbedaan dalam membangun visi, misi, dan program dalam penyelenggaraan negara.
B.     Golput politis, yaitu sebagai aksi protes terhadap jalannya pemerintahan, aksi protes terhadap penyelenggara pemilu, aksi protes terhadap peserta pemilu, dan sebagai aksi protes terhadap keterlibatan pemerintah, PNS, TNI, dan POLRI terhadap salah satu peserta pemilu.
C.     Golput Pragmatis, terjadi lebih disebabkan oleh faktor teknis, seperti gagal menjadi peserta pemilu, tidak mendapatkan undangan memilih, disibukkan mencari nafkah pada hari pemungutan suara, tidak datang ke TPS karena cuaca, hujan, jalan rusak, dan lain-lain.

3.      Tafsir golput.
Di setiap pemilu, fenomena golput merupakan fenomena universal. Fenomena itu ada di semua negara yang mempraktekkan sistem demokrasi, baik di negara maju maupun berkembang dan terbelakang. Hanya saja, fenomena golput ini memiliki makna politik yang tidak sama. Secarakategoris, fenomena golput dapat ditafsir dengan beberapa cara, yaitu :
A.     Golput adalah fenomena teologis. Fenomena ini terkaitdengan tafsir dengan keagamaan yang memandang keikutsertaan dalam pemilu dan mengakui demokrasi sebagai suatu hal yang dilarang agama. Dalam perspektif ini, keterlibatan dalam pemilu adalah sebuah dosa.
B.     Golput adalah fenomena protes. Fenomena ini terutama di negara-negara yang demokrasinya baru mekar. Fenomena golput adalah ekspresi protes warga negara terhadap politisi dan partai politik yang dianggap tidak kunjung memberikan manfaat kepada mereka. Ekspresi golput dalam pemilu 2004 dan pilkada-pilkada yang digelar di Indonesia masuk dalam kategori ini.
C.     Fenomena golput adalah bentuk perlawanan terhadap bangunan sistem politik yang mengekang hak-hak politik warga negara. Fenomena ini terutama terjadi di negara-negara dengan sistem politik otoriter. Pada tafsir ini, golput adalah gerakan yang dipromosikan untuk menghancurkan atau melawan otoritarianisme penguasa atau sistem politik. Di Indonesia, gerakan golput yang dideklarasikan pada tahun 1970-an masukdalam kategori ini.
D.     Golput sebagai bentuk kepercayaan terhadap sistem politik yang sedang bekerja. Fenomena ini muncul terutama di negara yang demokrasinya sudah mapan dan kesejahteraan masyarakatnya telah terjamin. Masuk dalam kategori ini adalah fenomena golput di Amerika Serikat. Pada negara ini, golput akan semakin tinggi apabila politikus, partai, dan pemerintah berada dalam jalur yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sebaliknya, golput akan turun, dengan kata lain partisipasi pemilih meningkat, ketika para politikus, partai, dan pemerintah berada di jalur yang menurut mereka salah. Apabila negara dalam bahaya ke jalur yang salah oleh elitnya, pemilih akan berduyun-duyun menggunakan hak pilihnya dengan menghukum partai yang mengakibatkan negara keluar dari jalur semestinya.
E.      Golput adalah fenomena mal-administrasi. Dalam tafsir ini, golput lahir karena kekacauan administrasi pemilu. Pemilih sebenarnya berencana menggunakan hak pilihnya tetapi karena alasan administratif mereka tidak menggunakannya. Survey LSI (Agustus 2007) menunjukkan bahwa banyak pemilih yang tidak tahu namanya terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tidak mendapat kartu pemilih, tidak mendapatkan kartu undangan, dan alamat yang tercantum dalam DPT tidak sesuai dengan alamat pemilih sebenarnya, adalah sebagai penyebab terjadinya golput. Dalam konteks itu, penyelenggara pemilu adalah pihak yang paling bertanggung jawab terjadinya golput.
F.      Golput adalah fenomena teknis individual. Beberapa hal yang masuk dalam aktivitas teknis individual ini misalnya sedang berlibur, berkunjung ke famili jauh, dalam perjalanan, harus bekerja, ketiduran, dan sebagainya. Individu pelaku golput lebih mementingkan keperluankeperluan pribadi daripada pergi untuk menggunakan hak pilihnya.
G.     Golput adalah ekspresi kejenuhan masyarakat untuk mengikuti pemilu. Pemilih jenuh karena begitu banyaknya kejadian pemilu yang harus diikuti. Seorang pemilih, dalam suatu masa tertentu akan mengikuti beberapa pemilu dalam rentang waktu yang tidak berjeda lama. Ada pemilu RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR, DPD, dan Pilpres. Kejenuhan itu kemudian diekspresikan dengan menjadi golput.

C.     Konsep Partisipasi Politik

 Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi adalah bahwa setiap orang mengetahui diri dan dunianya secara lebih baik daripada orang lain termasuk para ahli elite politik yang membuat keputusan.
Milbrath. Dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori. Pertama, apatis, artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator, artinya orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator, artinya mereka yang secara aktif ikut terlibat dalam proses politik, yaitu komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktifis masyarakat.
Partisipasi politik menurut Rosseau terdiri atas dua jenis. Pertama, para pengamat yang memperhatikan politik tidak hanya selama pemilihan umum, melainkan diantara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum yang lain. Kedua, partisipasi aktif adalah khalayak yang bukan saja mengamati, tetapi giat melakukan komunikasi dengan para pemimpin politik atau politikus, baik di pemerintahan maupun di parlemen atau di luar parlemen.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang. Pertama, kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua, menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik dia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah adalah penilaian seseorang terhadap pemerintah.
Selain itu faktor yang berdiri sendiri (bukan variabel independen). Artinya tinggi rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi. Yang dimaksud stastus sosial adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Yang dimaksud status ekonomi adalah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Hal ini diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun pemilikan benda-benda berharga. Seseorang memiliki ststus sosial dan status ekonomi yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah.

0 comments: