BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Fenomena pemilih
pemula selalu menarik untuk didiskusikan pada setiap momen pemilihan umum baik
nasional maupun di daerah. Jumlah mereka yang sangat besar bagaikan gula yang
mengundang partai politik dan politisi untuk mendulang suara perolehan suara
mereka. Pemilih pemula (first time
voter) adalah mereka yang berusia tujuh belas tahun pada hari pencoblosan
atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih tetap. Pemilih pemula
dalam setiap even pemilu nasional ataupun pemilukada selalu didominasi kalangan
pelajar/siswa dan jumlah mereka relatif besar. Jumlah mereka yang besar membuat
mereka sering menjadi rebutan partai politik maupun para politisi untuk
mendongkrak perolehan suara.
Potensi
pemilih pemula dalam setiap momen pemilu sangatlah besar. Diperkirakan dalam
setiap pemilu jumlah pemilih pemula sekitar dua puluh sampai tiga puluh persen
dari keseluruhan jumlah pemilih dalam pemilu. Pada Pemilu 2004, jumlah pemilih
pemula sekitar dua puluh juta dari seratus empat puluh tujuh juta pemilih. Pada
Pemilu 2009 sekitar tiga puluh enam juta pemilih dari seratus tujuh puluh satu
juta pemilih. Data BPS 2010: Penduduk usia lima belas sampai sembilan belas
tahun: dua puluh juta delapan ratus tujuh puluh satu ribu delapan puluh enam
orang, usia dua puluh sampai dua puluh empat tahun: sembilan belas juta delapan
ratus tujuh puluh delapan ribu empat ratus tujuh belas orang (www.kpugo.id).
Dengan demikian, jumlah pemilih muda sebanyak empat puluh juta tujuh ratus
empat puluh sembilan ribu lima ratus tiga orang. Dalam pemilu, jumlah itu
sangat besar dan bisa menentukan kemenangan partai politik atau kandidat
tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum.
Para
pemilih pemula biasanya antusias untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS)
karena untuk pertama kali menggunakan hak pilih mereka. Jiwa muda dan coba-coba
masih mewarnai alur berpikir para pemilih pemula. Sebagian besar dari mereka
hanyamelihat momen pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak suara
mereka kepada partai dan tokoh yang mereka senangi. Antusiasme mereka untuk
datang ke TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka
sudah tinggi. Kebanyakan pemilih pemula baru sebatas partisipasi parokial
semata. Ini artinya partisipasi mereka belum mampu berkontribusi dalam menjaga
dan menyehatkan proses demokrasi. Mereka masih membutuhkan pendewasaan politik
sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya
menjaga dan menyukseskan demokratisasi.
Emosi
pemilih pemula yang labil seringkali membuat mereka memilih hanya berdasarkan
hubungan emosional. Misalnya, karena orang tua mereka memilih partai A atau
calon A maka mereka akan cendrung mengikuti pilihan orang tua mereka. Selain
pengaruh orang tua pilihan pemilih pemula juga dapat diintervensi oleh teman,
keluarga, maupun iklan politik. Pemilih pemula sering kali lebih cendrung
memilih partai-partai besar dan mapan. Ini karena mereka sudah familiar dengan
partai tersebut dan enggan mengenal partai yang lain. Mereka juga cendrung
memilih figur-figur yang familiar dengan mereka. Misalkan para tokoh yang
sering menjadi bahan perbincangan di lingkungan mereka baik di sekolah maupun
di masyarakat termasuk figur-figur yang yang sering muncul di televisi. Jika
kita tarik benang merah dari setidaknya ada kecendrungan partisipasi pemilih
pemula menuju partisipasi mobilisi. Jumlah mereka yang besar dan emosi yang
belum stabil membuat mereka rawan menjadi rebutan partai politik dan
figur-figur yang bertarung dalam pemilu maupun pemilukada. Mereka kemudian
hanya menjadi lumbung suara tanpa mendapatkan edukasi dan penyadaran politik
dari parpol.
Potensi
besar ini harus bisa dioptimalkan agar partisipasi mereka tak hanya sebatas
partisipasi parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi. Ini menjadi
pekerjaan rumah bagi partai politik untuk melaksanakan edukasi politik bagi
para pemilih pemula. Partai politik seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana
mendulang perolehan suara, lebih dari itu parpol harus memikirkan pula
bagaimana menumbuhkan kesadaran politik bagi anak muda yang nanti suatu saat
juga akan menjadi kader-kader mereka.
Semakin
dekat pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden, semakin tinggi pula tensi
perpolitikan di negeri ini. Bersamaan dengan itu, kampanye hitam (black
campaign) marak. Upaya menjatuhkan dengan cara-cara kotor merebak, bahkan
isu-isu SARA yang seharusnya dipendam dalam-dalam justru dibangkitkan. Kampanye
politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi
proses pengambilan keputusan para pemilih. Kita semua tentu sepakat bahwa niat
baik harus dijalankan dengan cara yang baik. Kita semua tentu sepakat bahwa
kampanye hitam adalah kampanye buruk, bahkan bisa merusak budaya dan identitas
bangsa. Kita patut “mengutuk” kampanye hitam yang justru akan menimbulkan
dampak negatif bagi kemajuan bangsa Indonesia. Kampanye hitam hanya akan
berujung pada perpecahan. Oleh sebab itu, harus dibungkam dan dienyahkan dari
perpolitikan nasional. Masih banyak cara untuk mendapatkan simpati dari rakyat
pemilih selain kampanye hitam.
Terlepas dari mana asal-usul siapa, dari pihak
mana praktik kampanye hitam gencar dilakukan, setidaknya terdapat dua alasan
mengapa hal itu marak dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan. Pertama,
melemahkan lawan politik. Dalam dunia perpolitikan tidak ada teman atau lawan
sejati. Artinya, lawan bisa jadi akan menjadi kawan dan kawan justru banyak
berpotensi menjadi lawan. Semua itu terjadi karena satu, yakni kepentingan.
Tujuan utama melakukan kampanye hitam maupun kampanye negatif adalah untuk
menimbulkan keraguan, kebencian, maupun ketakutan agar dukungan kepada target
yang disasar melemah. Kedua, merebut suara. Sekitar empat puluh persen
masyarakat pemilih saat ini masih ‘mengambang’. Dengan kata lain, masih banyak
pemilih yang belum memiliki kepastian terhadap salah satu calon presiden saat
ini. Di samping itu, pemilih pemula juga masih banyak. Kedua kelompok tersebut
umumnya adalah kalangan menengah ke bawah. Jumlah kelompok tersebut sangat
fantastis.
Dengan demikian, kelompok tersebut menjadi
fokus oleh para simpatisan maupun tim sukses pasangan calon gebenur dan wakil gebenur.
Bisa dikatakan untuk memperoleh dukungan suara, cara yang efektif adalah
mempengaruhinya. Dari sinilah kampanye hitam akan digelontarkan guna
mempengaruhi atau mencuci otak (brain washing) dengan menjelek-jelekan lawan
politik. Jadi, sasaran kampanye hitam adalah kelompok yang tidak begitu melek
politik pemilih pemula yang belum begitu mengetahui konstelasi perpolitikan
nasional dan kelompok yang masih dilema. Hal ini berbeda dengan pemilih rasional
yang umumnya didominasi oleh orang perkotaan. Kelompok ini sulit untuk
dipengaruhi. Sebab, ia sedikit banyak telah mengetahui betul konstelasi dan
track-record calon-calon yang sudah ada.
Kini
media-media sosial sudah banyak dan Indonesia sudah tidak buta lagi dalam
penggunaan media ini. Namun, menyebarnya informasi-informasi yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan ini membuat kita harus berhati-hati lagi dalam menyaring
informasi. Kasus black campaign yang ada dalam pemilu menjadi sorotan utama
penulis dalam penelitian ini. Bagaimana para pemilih pemula yang baru merasakan
pengalaman akan menyumbangkan suaranya dalam pesta rakyat ini menyaring
informasi yang ada untuk dijadikan referensi kedepannya untuk memilih
pemimpinnya. Tentu sangat miris bila melihat generasi tersebut tidak memiliki
pengetahuan yang cukup dalam dunia politik dan memilih pemimpinnya hanya
berdasar dari kepopulerannya melalui media sosial tanpa mengetahui sepak
terjangnya selama ini.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Pemilih Pemula
Pemilih
adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin. Pemilih dalam setiap pemilihan umum didaftarkan melalui
pendataan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara
pemilihan umum. Pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali memilih
karena usia mereka baru memasuki usia pemilih yaitu 17 hingga 21 tahun.
Pengetahuan mereka terhadap pemilu tidak berbeda jauh dengan kelompok lainnya,
yang membedakan adalah soal antusiasme dan
preferensi.
Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki untuk menjadikan
seseorang dapat memilih adalah:
1. WNI yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
2. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya
3. Terdaftar sebagai pemilih.
4. Bukan anggota TNI/Polri (Purnawirawan / Sudah tidak lagi menjadi
anggota TNI / Kepolisian).
5. Tidak sedang dicabut hak pilihnya
6. Terdaftar di DPT.
7. Khusus untuk Pemilukada calon pemilih harus berdomisili
sekurangkurangnya 6 (enam) bulan didaerah yang bersangkutan.
Pentingnya peranan pemilih pemula karena
sebanyak 20 % dari seluruh pemilih adalah pemilih pemula, dengan demikian
jumlah pemilih pemula sangatlah besar, sehingga hak warga negara dalam
menggunakan hak pilihnya janganlah sampai tidak berarti akibat dari
kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan, misalnya jangan sampai sudah
memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar
atau juga masih banyak kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya, dll.
Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan akan
dapat merasakan keuntungannya. Lahirnya dukungan dari kelompok ini secara tidak
langsung membawa dampak pencitraan yang sangat berarti. Setidaknya untuk
pengamanan proses regenerasi kader politik kedepan, meskipun membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Ketiadaan dukungan dari kalangan ini akan terasa cukup
merugikan bagi target-target suara pemilu yang telah ditetapkan tiap-tiap
parpol.
Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar,
mahasiswa atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang
memang unik, seringkalimemunculkan kejutan dan tentu menjanjikan secara
kuantitas. Disebut unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme
tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan dan tipis akan kadar polusi
pragmatisme. Pemilih pemula memiliki antusiasme yang tinggi sementara keputusan
pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing vooters
yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis
tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal.
Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama
oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga
kerabat dan teman. Selain itu, media massa juga lkut berpengaruh terhadap
pilihan pemilih pemula. Hal ini dapat berupa berita di televisi, spanduk,
brosur, poster, dan lain-lain.
Pemilih pemula khususnya remaja (berusia 17
tahun) mempunyai nilai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada
hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang
kurang menyenangkan akan dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok
sebaya adalah paling penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi
seorang remaja perlu mempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan.
B.
Konsep
Golput
1. Pengertian Golput
Golput (golongan putih) adalah sekelompok
orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam suatu pemilihan. Untuk itu, ada
sekelompok orang yang sudah sejak awal tidak mau didaftarkan dirinya sebagai
pemilih sehingga tahapan pemilu ini tidak diikutinya. Namun demikian, ada juga
sekelompok orang yang sudah terdaftar sebagai pemilih namun mereka tidak
menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.
2.
Penyebab golput
Golput dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, antara lain:
A. Adanya kejenuhan politik dengan banyaknya pemilihan umum, mulai
dari pemilu legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah gubernur
dan wakil gubernur, pemilihan bupati dan wakil bupati, dan pemilihan kepala
desa menimbulkan kejenuhan politik. Masyarakat merasa pemilihan tersebut
membosankan.
B. Tidak adanya harapan yang pasti dan kongkrit dari pemilu
tersebut. Pemilu tidak membawa perubahan apa-apa bagi kehidupan mereka, baik
perubahan ekonomi maupun perubahan sosial budaya untuk kesejahteraan mereka.
C. Hilangnya trust
(kepercayaan) masyarakat kepada politisi,
janji-janji politik yang dilakukan oleh politisi ternyata tidak terbukti,
membuat masyarakat enggan untuk ikut terlibat lagi dalam pemilu, apalagi
politisi yang telah mengumbar janji mencalonkan lagi di daerah tersebut.
D. Kebutaan politik yaitu kurangnya pengetahuan pemilih terhadap sistem
pemilu dan perubahan-perubahan yang terkait dengan pemilu tersebut sehingga
menyebabkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya secara benar, bahkan
menyebabkan mereka enggan untuk datang menggunakan hak pilih mereka.
E. Sistem politik yang ruwet. Dengan tidak sederhananya sistem
politik menyebabkan masyarakat pemilih enggan untuk menggunakan hak pilihnya.
Sistem pemilu yang berbelit-belit dengan partai yang banyak, dengan aturan yang
berubah-ubah menyebabkan masyarakat pemilih sulit untuk mengerti.
F. Hilangnya kepercayaan terhadap panitia penyelenggara pemilihan
umum seperti KPU dan PANWAS. Tidak profesional dan kurangnya keadilan Komisi
Pemilihan Umum selaku penyelenggara dalam melakukan prosesproses tahapan
pemilihan umum menyebabkan masyarakat tidak memiliki keyakinan dan antipati
kepada lembaga tersebut.
G. Adanya indikasi keterlibatan dan keberpihakan pemerintah, PNS,
POLRI, dan TNI dalam proses pemilu. Penggunaan fasilitas negara oleh politisi
yang sedang menduduki jabatan menyebabkan kecemburuan sosial bagi masyarakat
yang memiliki dukungan yang berbeda dengan pihak penguasa saat itu. Begitu juga
dengan PNS, POLRI, dan TNI yang berpihak kepada pejabat penguasa juga akan
menimbulkan antipati bagi masyarakat yang berbeda dukungan dengan pemerintah. Untuk
itu, sulit bagi masyarakat untuk datang ke TPS karena dikhawatirkan suara dan
pilihan mereka menjadi sia-sia.
Fenomena golput menurut Eep Saefulloh Fatah
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pertama,
faktor teknis, seperti adanya keluarga
wafat, ketiduran, sakit, sedang berlibur, dalam perjalanan, dan lain-lain.
Pelaku golput lebih mementingkan keperluan-keperluan pribadinya daripada pergi
ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua,
faktor teknis politis, seperti tidak
mendapat undangan. Hal ini terjadi karena masyarakat yang bersangkutan tidak
terdaftar sebagai pemilih, atau tidak masuh dalam daftar pemilih tetap. Ketiga, faktor
politis, yaitu mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat atau partai
yang tersedia, mereka tidak percaya pemilu dan pilihan mereka akan membawa
perubahan terhadap kehidupan mereka. Keempat,
faktor ideologis, masyarakat tidak percaya
pada mekanisme demokrasi yang dianggap liberal, untuk itu mereka tidak mau
terlibat di dalamnya.
Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan
bahwa ada tiga model golput, diantaranya:
A. Golput ideologis, yaitu terjadinya perbedaan pandangan dalam
meletakkan konsep-konsep kenegaraan. Perbedaan dalam membangun visi, misi, dan
program dalam penyelenggaraan negara.
B. Golput politis, yaitu sebagai aksi protes terhadap jalannya
pemerintahan, aksi protes terhadap penyelenggara pemilu, aksi protes terhadap
peserta pemilu, dan sebagai aksi protes terhadap keterlibatan pemerintah, PNS,
TNI, dan POLRI terhadap salah satu peserta pemilu.
C. Golput Pragmatis, terjadi lebih disebabkan oleh faktor teknis,
seperti gagal menjadi peserta pemilu, tidak mendapatkan undangan memilih,
disibukkan mencari nafkah pada hari pemungutan suara, tidak datang ke TPS
karena cuaca, hujan, jalan rusak, dan lain-lain.
3.
Tafsir golput.
Di setiap pemilu, fenomena golput merupakan
fenomena universal. Fenomena itu ada di semua negara yang mempraktekkan sistem
demokrasi, baik di negara maju maupun berkembang dan terbelakang. Hanya saja, fenomena
golput ini memiliki makna politik yang tidak sama. Secarakategoris, fenomena
golput dapat ditafsir dengan beberapa cara, yaitu :
A. Golput adalah fenomena teologis. Fenomena ini terkaitdengan
tafsir dengan keagamaan yang memandang keikutsertaan dalam pemilu dan mengakui
demokrasi sebagai suatu hal yang dilarang agama. Dalam perspektif ini,
keterlibatan dalam pemilu adalah sebuah dosa.
B. Golput adalah fenomena protes. Fenomena ini terutama di
negara-negara yang demokrasinya baru mekar. Fenomena golput adalah ekspresi
protes warga negara terhadap politisi dan partai politik yang dianggap tidak
kunjung memberikan manfaat kepada mereka. Ekspresi golput dalam pemilu 2004 dan
pilkada-pilkada yang digelar di Indonesia masuk dalam kategori ini.
C. Fenomena golput adalah bentuk perlawanan terhadap bangunan
sistem politik yang mengekang hak-hak politik warga negara. Fenomena ini
terutama terjadi di negara-negara dengan sistem politik otoriter. Pada tafsir
ini, golput adalah gerakan yang dipromosikan untuk menghancurkan atau melawan
otoritarianisme penguasa atau sistem politik. Di Indonesia, gerakan golput yang
dideklarasikan pada tahun 1970-an masukdalam kategori ini.
D. Golput sebagai bentuk kepercayaan terhadap sistem politik yang
sedang bekerja. Fenomena ini muncul terutama di negara yang demokrasinya sudah
mapan dan kesejahteraan masyarakatnya telah terjamin. Masuk dalam kategori ini
adalah fenomena golput di Amerika Serikat. Pada negara ini, golput akan semakin
tinggi apabila politikus, partai, dan pemerintah berada dalam jalur yang sesuai
dengan keinginan rakyat. Sebaliknya, golput akan turun, dengan kata lain
partisipasi pemilih meningkat, ketika para politikus, partai, dan pemerintah
berada di jalur yang menurut mereka salah. Apabila negara dalam bahaya ke jalur
yang salah oleh elitnya, pemilih akan berduyun-duyun menggunakan hak pilihnya
dengan menghukum partai yang mengakibatkan negara keluar dari jalur semestinya.
E. Golput adalah fenomena mal-administrasi. Dalam tafsir ini,
golput lahir karena kekacauan administrasi pemilu. Pemilih sebenarnya berencana
menggunakan hak pilihnya tetapi karena alasan administratif mereka tidak
menggunakannya. Survey LSI (Agustus 2007) menunjukkan bahwa banyak pemilih yang
tidak tahu namanya terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tidak mendapat
kartu pemilih, tidak mendapatkan kartu undangan, dan alamat yang tercantum
dalam DPT tidak sesuai dengan alamat pemilih sebenarnya, adalah sebagai
penyebab terjadinya golput. Dalam konteks itu, penyelenggara pemilu adalah
pihak yang paling bertanggung jawab terjadinya golput.
F. Golput adalah fenomena teknis individual. Beberapa hal yang
masuk dalam aktivitas teknis individual ini misalnya sedang berlibur,
berkunjung ke famili jauh, dalam perjalanan, harus bekerja, ketiduran, dan
sebagainya. Individu pelaku golput lebih mementingkan keperluankeperluan
pribadi daripada pergi untuk menggunakan hak pilihnya.
G. Golput adalah ekspresi kejenuhan masyarakat untuk mengikuti
pemilu. Pemilih jenuh karena begitu banyaknya kejadian pemilu yang harus
diikuti. Seorang pemilih, dalam suatu masa tertentu akan mengikuti beberapa
pemilu dalam rentang waktu yang tidak berjeda lama. Ada pemilu RT, RW, Kepala
Dusun, Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi,
DPR, DPD, dan Pilpres. Kejenuhan itu kemudian diekspresikan dengan menjadi
golput.
C. Konsep Partisipasi Politik
Partisipasi
merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan demokrasi. Asumsi yang
mendasari demokrasi adalah bahwa setiap orang mengetahui diri dan dunianya
secara lebih baik daripada orang lain termasuk para ahli elite politik yang
membuat keputusan.
Milbrath. Dan Goel membedakan partisipasi
menjadi beberapa kategori. Pertama,
apatis, artinya orang yang tidak
berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator,
artinya orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator,
artinya mereka yang secara aktif ikut terlibat dalam proses politik, yaitu
komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja
kampanye, dan aktifis masyarakat.
Partisipasi politik menurut Rosseau terdiri
atas dua jenis. Pertama, para pengamat yang memperhatikan politik tidak hanya selama
pemilihan umum, melainkan diantara pemilihan umum yang satu dengan
pemilihan umum yang lain. Kedua,
partisipasi aktif adalah khalayak yang
bukan saja mengamati, tetapi giat melakukan komunikasi dengan para pemimpin
politik atau politikus, baik di pemerintahan maupun di parlemen atau di luar
parlemen.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang. Pertama, kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud
dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Kedua, menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat
dan politik, dan menyangkut minat perhatian seseorang terhadap lingkungan
masyarakat dan politik dia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan
kepada pemerintah adalah penilaian seseorang terhadap pemerintah.
Selain itu faktor yang berdiri sendiri
(bukan variabel independen). Artinya tinggi rendah kedua faktor itu dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi, afiliasi
politik orang tua dan pengalaman berorganisasi. Yang dimaksud stastus sosial
adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan,
pekerjaan, dan lain-lain. Yang dimaksud status ekonomi adalah kedudukan
seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Hal ini
diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun pemilikan benda-benda berharga.
Seseorang memiliki ststus sosial dan status ekonomi yang tinggi diperkirakan
tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian
pada politik, serta sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah.
0 comments:
Post a Comment