Analisis Teori Konflik
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
hidup memiliki status sebagai makhluk sosial. Secara sederhana bisa diartikan
manusia memiliki keterbutuhan akan manusia lainnya.Namun, manusia juga
memiliki naluri alamiah untuk menginginkan sesuatu atau memenuhi kebutuhan.
Faktor dasar ini menjadi acuan bahwa manusia akan senantiasa memenuhi
kebutuhan, sementara sumber daya yang ada bisa diakatakan terbatas. Hal itu
menjadikan manusia baik sebagai individu ataupun kelompok saling bertentangan.Pertentangan
adalah sebuah bagian penyebab konflik.Atau bahkan konflik sendiri ialah
pertentangan.
Teori Konflik muncul sebagai gagasan yang menentang teori fungsionalisme
struktural. Teori fungsionalisme strukturalmemandang masyarakat cenderung
kepada konsensus atau harmoni. Marx dan Weber menolak tegas hal tersebut.Tidak
mengeherankan karena struktural sosial masyarakat begitu
kompleks.Pengorganisasian sosial tidak sesederhana yang dibayangkan.Anggapan
masyarakat harmoni dianggap cenderung normatif. Keterbatasan akan sumber daya
itulah yang membuat manusia satu yang lainnya terlihat membuat konsensus
padahal terus berkonflik.
Rumusan
Masalah
Dengan melihat faktor diatas, maka teori konflik menjadi menarik untuk dikaji.Hal
itu berkaitan dengan bagaimana sejarah dari teori konflik.Para tokoh yang
menggaggasnya.Subtansi dari teori ini. Kemudian, seperti apa relevansi teori
konflik terhadap realitas sosial.Bagiamanapun, pendekatan konflik adalah sebuah
cara untuk mengupas fakta sosial secara mendalam.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum Teori konflik muncul, teori fungsionalisme struktural telah mapan
di dalam kajian sosiologi. Penggagasnya yaitu Augeste Comte (1798-1857),
Herbert Spencer ((1820-1930), Emile Durkheim (1858-1917), A.R Radcliffe-Brown
(1881-1955), Brownislaw Malinowski (1884-1942), Talcott Parsons (1902-1979),
Robert K. Merton (1911-2003). Teori ini berusaha menaganologikan masyarakat
dengan organisme biologis.
Teori ini memandang bahwa sistem sosial harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu
sebagai syarat keberlangsungan sistem sosial tersebut.Teori ini mementingkan
keteraturan dalam sistem sosial dan mengabaiakan konflik. Artinya adanya
konflik hanyalah pergesekan kecil yang kemudian tidak akan merusak sistem
sosial dan justru menguatkan sistem sosial. Selanjutnya, disfungsi akan
teratasi sendiri melalui proses institusionalisasi. Menurut Parsons, sekalipun
integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna namun sistem sosial
akan bergerak ke arah equilibrium.
Teori konflik bertentangan dengan fungsionalisme struktural.Hal itu karena
teori konflik memandang tidak mungkin terjadi keseimbangan atau equilibrium jika
dalam masyarakat atau sistem sosial terdapat konflik.Konflik lahir karena
keterbatasan sumber daya dan menurut Hobbes naluri alamiah manusia untuk
memenuhi ego. Sehingga konflik akan senantiasa ada dalam sistem sosial.
Tokoh teori konflik adalah Karl Marx dan Max weber.Keduanya memiliki pandangan
yang berbeda mengenai konflik.Perbedaan gagasan keduanya terletak pada Marx
yang cenderung memandang konflik dari sudut pandang material sementara Weber
non-material. Oleh karena itu, teori konflik modern pun terpecah menjadi dua
tipe utama, yaitu teori konflik neo-Marxian dan teori konflik neo-Weberian.
Pemikiran Marx memandang masyarakat dalam pendekatan kelas.Karl Mark (stepehen
K. Anderson, 1993:12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang
terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui
terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi.Sampai pada titik
tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam
produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan
produksi.Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelas-kelas sosial
berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka tidak memiliki
kekuatan-kekuatan produksi. Dalam masyarakat yang telah terbagi berdasarkan
kelas, maka kelas sosial yang memiliki kekuatan-kekuatan produksi dapat
mensub-ordinasikan kelas-kelas sosial yang lain sekaligus memaksanya untuk
bekerja memenuhi kepentingannya. Jadilah kelas dominan menjalin hubungan dengan
kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi.
Secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersub-ordinasi ini akan marah karena
dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelasnya. Dalam situasi ini,
hanya Negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.
Dengan pemikiran demikian, Marx telah melakukan pendekatan konflik. Artinya
masyarakat terpecah dan akan berkonflik ketika kelas tertentu memiliki faktor
produksi sementara kelas yang lain tidak memiliki faktor produksi. Dalam uraian
selanjutnya, Marx menyebut kelas yang memiliki faktor produksi adalah kaum
borjuis dan kelas yang tidak memilikifaktor produksi adalah kaum
proletar. Maka yang terjadi adalah adanya “penindasan” oleh kaum borjuis kepada
kaum proletar.“Penindasan” itu berupa pemaksaan terhadap kaum proletar untuk
memenuhi kepentingan kaum borjuis.Inilah yang disebut ekploitasi ekonomi.
Sekeras apapun usaha kaum proletar justru akan memperkaya kaum borjuis.
Dampaknya, akanada kemarahan yang berujung revolusi untuk membuat ketertiban
sosial dari kaum proletar.
Analisis Marx menjadi inspirasi pendekatan konflik
modern.Dalam hal ini Stephen k Sanderson (1993:12) menyebutkan bahwa, beberapa
strategi konflik marsian-modern adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan sosial pada dasarnya
merupakan arena konflik atau pertentangan diantara dan didalam
kelompok-kelompok yang bertentangan.
2. Sumber-sumber daya ekonomi dan
kekuasaan-kekuasaan politik merupakan hal penting, sehingga berbagai kelompok
berusaha merebutnya.
3. Akibat tipikal dari pertentangan ini
adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan
kelompok yang tersubordinasi.
4. Pola-pola sosial dasar suatu
masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara
ekonomi merupakan kelompok yang determinan.
5. Konflik dan pertentangan sosial
didalam dan diantara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang
menggerakan perubahan sosial.
6. Karena konflik dan pertentangan
merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial menjadi hal yang
umum dan sering terjadi.
Selanjutnya Weber memiliki pandangan yang berbeda.
Menurut R. Collins (Stephen K. Anderson 1993: 13), Weber meyakini bahwa konflik
terjadi dengan cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material.
Weber mengakui bahwa konflik dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan
ciri dasar kehidupan sosial. Tetapi jangan dilupakan bahwa banyak tipe-tipe
konflik lain yang juga terjadi. Diantara berbagai tipe konflik tersebut, Weber
menekankan dua tipe yang sangat penting.
Pertama, yaitu bahwa konflik dalam arena politik
sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar
tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh
sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak
menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya Weber
melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai
tujuan pertentangan itu sendiri ; ia berpendapat bahwa pertentangan untuk
memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi- organisasi
politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti organisasi
keagamaan dan pendidikan.
Kedua, adalah tipe konflik dalam hal gagasan dan
cita-cita.Ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh
dominasi dalam hal pandangan dunia terbuka, baik itu berupa doktrin keagamaan,
filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup kultual yang
terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya
dipertentangkan, tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnya,
misalnya pertentangan politik. Jadi orang dapat berkelahi untuk memperoleh
kekuasaan dan pada saat yang sama, berusaha saling meyakinkan satu sama lain
bahwa bukan kekuasaan itu yang mereka tuju tetapi kemenangan prinsip-prinsip
yang secara etis dan filosofis benar.
Jadi, secara subtansial perbedaan antara Marx dan
Weber adalah 1) Marx berpendapat bahwa konflik disebabkan adanya pertentangan
antar kelas.Dalam hal ini antara kaum proletar dan kaum borjuis.Konflik
tersebut disebabkan karena faktor kepemilikan faktor produksi. Sehingga menurut
Marx ketika kapitalis dihentikan dan diganti dengan sosialis maka konflik akan
terhenti. 2) Weber berpendapat bahwa pertentangan adalah kesemestian dalam
kehidupan masyarakat. Ia percaya sistem apapun, baik kapitalis ataupun sosialis
orang akan senantiasa berkonflik untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas.
Tokoh utama setelah Marx dan Weber adalah Ralp
dahdendorf dan Lewis A.Coser. Lewis A. Coser memiliki pandangan berbeda
dalam sudut pandang tertentu dengan pendahulunya. Ia tidak memandang teori
konflik itu versus dari fungsionalismestruktural. Coser berkomitmen untuk
menggabungkan kedua pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Margaret M.Poloma, 1992:103) mengakui
bahwa beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus,
yang menunjukan pada proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai
situasi konflik, Coser membedakan konflik yang realistis dan tidak
realistis.Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan
keuntungan para partisipan dan ditunjuk pada obyek yang dianggap
mengecewakan.Para karyawan yang mengadakan pemogokan melawan manajemen
merupakan contoh dari konflik realistis, sejauh manajemen memang berkuasa dalam
hal kenaikan gaji serta berbagai keuntungan buruh lainnya. Adapun konflik yang
tidak realistis adalah yang bukan dari tujuan-tujuan saingan antagonis,
tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan., paling tidak dari satu
pihak. Contoh lain dalam hubungan antar kelompok, pengkambing hitaman digunakan
untuk menggambarkan keadaan saat seseorang menggunakan kelompok pengganti
sebagai objek tersangka dengan tidak melepaskan prasangka mereka terhadap
kelompok lawan.
Dengan demikian, teori konflik menurut Coser memiliki
2 pendekatan.Yaitu, Konflik realistis dan tidak realistis.Selanjutnya Coser
mengemukakan bahwa pemisahan keduanya sulit ketika konflik terjadi dalam
hubungan sosial yang intim.Coser juga mengutip hasil pengamatan George Simmel
yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat justru dapat
memantapkan keseimbangan dan keutuhan.Sejauh ini, jelas Coser melakukan
penyatuan atas teori konflik dan teori fungsionalisme struktural.
Selain Coser, tokoh konflik kontemporer ialah Ralf
Dahdendorf. Pemikirannya menggunakan landasan teori dengan menolak dan menerima
bagian-bagian tertentu dari Marx.Ralf Dahdenrof (Margaret M. Poloma,
1952:45) menggunakan teori perjuangan kelas marsian untuk membangun teori kelas
dan pertentangan kelas dalam masyarakat indistri kontemporer.Kelas tidak berarati
pemilikan saran-sarana produksi seperti yang mencakup hak absah untuk mengusai
orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam perekonomian
kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada
diseputar pengendalian kekuasaan.Dahdenrof melihat kelompok-kelompok
pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama
para individu yang mamapu berorganisasi. Proses ini ditempuh melalui perubahan
semua kelompok menjadi kelompok kepentingan yang mampu memberi dampak pada
struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari kepentingan-
kepentingan itu dan kemudian merupakan jembatan di atas mana perubahan sosial
terjadi.Berbagai usaha harus diarahkan untuk mengatur pertentangan sosial melalui
institusionalisasi yang efektif daripada melalui penekanan pertentangan itu.
Ia juga mengkritisi teori Marx. Pandangan Dahdenrof
(Margaret M. Poloma, 1992: 134) tentang alasan teoritis utama mengapa revolusi
ala Marx tidak terjadi, ini disebabkan karena pertentangan yang ada cenderung
diatur melalui institusionalisasi.Pengaturan atau institusionalisasi terbukti
dari timbulnya serikat-serikat buruh yang telah memperlancar mobilitas sosial
serta mengatur konflik antara buruh dan manajemen.Melalui institusionalisasi
pertentangan tersebut, setiap masyarakat mampu mengatasi masalah-masalah baru
yang timbul.Dahdenrof menyatakan bahwa institusionalisasi pertentangan kelas
bermula dari pengakuan bahwa buruh dan manajemen merupakan kelompok-kelompok
kepentingan yang sah. Organisasi mengisyaratkan keabsahan kelompok-kelompok
kepentingan, sehingga keberadaanya akan menghilangkan ancaman perang gerilya
yang bersifat permanen dan biasanya dapat diperhitungkan. Pada saat yang sama
hal ini membuat pengaturan pertentangan secara sistematis dimungkinkan, karena
organisasi adalah institusionalisasi. Di dalam melancarkan kritik sosiologis
terhadap teori Karl Marx, Dahdenrof mendukung dan menolak beberapa pernyataan
Marx.Oleh karena perubahan sosial, sebagaimana yang diramalkan Marx melalui
revolusi, ternyata tidak terjadi di Negara-negara Industri.Lebih daripada itu
adalah jelas bahwa kelas-kelas sosial tidak lagi berdasarkan atas pemilikan
sarana-sarana produksi sebagaimana yang dinyatakan Marx. Walaupun demikian ia
mnerima ide pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber
perubahan sosial. Kemudian ia memodifikasi teori pertentangan kelas Marx dengan
memasukkan perkembangan- perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Dengan demikian, Dahdendorf begitu cerdas menjawab
mengapa ramalan Marx tidak terjadi. Selama ini, ramalan Marx yang fenomenal
bahkan hingga mengatakan Negara akan lenyap seperti akan terbukti. Namun,
Penyikapan dua kelas tersebut yang terinstitusionaliasi mampu meredam konflik
yang parah dan mencapai konsensus.Penolakan beberapa pernyataan Marx juga
sekaligus menjadi “revisi” bagi teori pertentangan kelas Marx.
Dahdendorf memberi tambahan yang mengaggumkan.Menurut
Dahdenrof (Margaret M. Poloma, 1992: 137) pertentangan kelas harus dilihat
sebagai kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan
asosiasi- asosiasi yang terkoordinir secara pasti. Jika kelompok-kelompok yang
bertentangan itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan maka mereka akan
terlibat dalam pertentangan yang niscaya akan menimbulkan perubahan struktur
sosial. Pertentangan antara buruh dan manajemen yang merupakan topik pembahasan
utama bagi Marx misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh. Pada
gilirannya serikat buruh akan terlibat dalam pertentangan yang
mengakibatkan perubahan di bidang hukum serta ekonomi dan perubahan-perubahan
konkrit dalam sistem pelapisan masyarakat. Timbulnya kelas menengah baru,
sebenarnya merupakan suatu perubahan yang berasal dari institusionalisasi
pertentangan kelas.
Menurut Margaret M. Poloma (1992: 137-138), Dahdenrof
menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda
dengan model dua kelas yang sederhana dari Karl Marx.Marx menggunakan seluruh
masyarakat sebagai unit analisis, dengan orang-orang yang mengendalikan sarana
produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam
pemilikan yang demikian.Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya dan tidak
punya. Dalam menggantikan hubungan- hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan
sebagai inti dari teori kelas, Dahdenrof menyatakan bahwa model dua kelas ini
tidak bisa diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada
asosiasi- asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat. Kekayaan, status
ekonomi dan status sosial, walaupun bukan merupakan determinan pencerminan
kelas tetapi dapat mempengaruhi intensitas pertentangan. Dalam hal ini
Dahdendorf mengajukan proposisinya yaitu, “ semakin rendah korelasi ekonomi
lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya”.
Dengan kata lain kelompok- kelompok yang menikmatri status ekonomi relatrif
tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras
dengan struktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi
dan kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ulasan teori konflik yang diuraikan Marx, Weber,
Coser, dan Dahdendorf menggambarkan sebuah sistem sosial tidak bisa lepas dari
konflik.Namun, pandangan ini juga bisa dianggap terlalu pesimistis.Bagaiamana
tidak, konflik dalam sudut tertentu bisa saja positif dan membangun. Karena
dengan adanya konflik manusia akan berpikir. Berpikir untruk mencari pemecahan.
Dan, Pemecahan konflik akan berujung konsensus yang tentu saja akan berdamapak
pada pembaharuan nilai sosial yang jauh lebih baik. Memang pandangan Coser
sedikit lebih halus karena berbicara akan fungsionalisme konflik. Sehingga
cakupannya lebih kepada konflik yang berasal dari ketegangan yang tidak
terinstitusionalisasi. Namun, teori konflik juga berhasil memaparkan realitas sosial
apa adanya dan tidak normatif.
Dalam memahami atau membaca teori konflik perlu
mengetahui terlebih dahulu teori fungsionalisme struktural.Karena menurut sudut
pandang tertentu, seperti yang dikatakan Marx dan Weber, teori konflik
merupakan penolakan terhadap teori fungsionalisme structural.Bagiamanapun,
masyarakat yang menurut teori fungsionalisme structural adem ayem
bertentangan sekali dengan teori konflik yang mengatakan pada dasarnya
masyarakat senantiasa berkonflik dan bahkan konflik adalah kesemestian yang
tidak bisa dihindarkan. Atau ungkapan penyatuan kedua teori ala Coser tidak
akan bisa dipahami ketika tidak bisa memahami teori fungsionalisme structural.
Daftar Pustaka
Praja,
Juhaya S. 2012. Teori-Teori Politik.Bandung: Pustaka Setia.
Wahyu,
Ramdani.2007. Ilmu Sosial Dasar.Bandung: Pustaka Setia.
Naszir,
Nasrullah. 2008. Sosiologi-Sosiologi. Bandung: Widya Padjdjaran.
Woodman,
Davis. 1991. Konflik dan Konsensus dalam Sejarah Amerika Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Zubir,
Zaiyardam. 2010. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan Sleman:
INSISTPress.
Yuwanto.“
Gagasan Pengaduan Konstitusional dalam Konsepsi Negara Kesejahteraan di
Indonesia. dalam FORUM, 1 Februari 2012.
Sulistyowati.Pro-Kontra
Susunan Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu Tahap II.dalam FORUM, 1 Februari
2010.
0 comments:
Post a Comment