Monday, August 17, 2015

PERSOALAN LINGKUNGAN HIDUP STUDY KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE DI TINJAU DARI TEORI EVIRONMENTALISME



PERSOALAN LINGKUNGAN HIDUP STUDY KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE
DI TINJAU DARI TEORI EVIRONMENTALISME
DI SUSUN
OLEH :
MUHAMMAD AZZIKRA


ABSARAK :
Lingkungan hidup didefenisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Lingkungan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Lingkungan juga membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler. Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya bersifat kompleks, karena pada umumnya dalam lingkungan hidup itu terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain.


1.      Latar Belakang


Sebanyak 542 kepala keluarga masyarakat yang digusur saat didirikan PT Arun tahun 1974 hingga kini belum mendapat pemukiman baru, disamping itu PT Arun kembali memberikan sedikit percikan CSR melalui udara [H2S] untuk dihirup bersama oleh warga sekitar sebagai hadiah ulang tahun perusahaan itu, kenyataan pencemaran lingkungan selalu dapat terbantahkan walaupun ada warga yang menjadi korban, maklum mereka banyak uang. Setelah lembaga swadaya masyarakat peduli lingkungan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarat Sipil [FKMS] Lhokseumawe dan Aceh Utara pernah mendesak  DPRA 27 April 2010 agar segera membentuk pansus untuk menyelidiki dugaan pencemaran yang dilakukan PT Arun pada 22-23 April 2009 hasilnya LSM harus gigit jari, pasalnya desakan FKMS selama ini untuk penyelesaian salah alamat, dan warga melalui perangkat desakan diberi uang meugang beberapa ratus ribu selesai, tak ada gugat menggugat lagi. Juru Bicara FKMS, Safwani, dalam konfrensi pers, Selasa 27 April 2012 menjelaskan, pascaterjadi kebocoran H2S sekitar setahun lalu, PT Arun terkesan mengabaikan tanggung jawab terhadap para korban dan masyarakat lingkungan. Buktinya, warga dan FKMS telah berulang kali memanggil pihak PT Arun untuk membahas masalah itu. Namun, mereka tak pernah datang.

Karena itu, sudah sepantasnya tuntutan masyarakat kawasan PT Arun ditampung DPRA dengan membentuk pansus. Selain itu, FKMS juga mendesak DPRA untuk mendorong pemerintah pusat agar melakukan audit lingkungan hidup terhadap PT Arun, mengingat tingginya resiko yang akan dialami oleh masyarakat sekitar atas keberadaan perusahaan tersebut. Setiap kali kejadian yang menimpa masyarakat, Wakil Presiden Direktur PT Arun, Fuad Bukhari menyatakan pihaknya hanya akan bertanggung jawab bila kasus tersebut bersumber dari pabrik Arun. Penduduk Blang Panyang yang menjadi korban gas beracun dari kilang PT Arun meminta pemerintah pusat segera menutup operasional proyek vital tersebut. Kata mereka, PT Arun tidak ada manfaatnya, malah membawa malapetaka bagi penduduk selingkungannya. Mereka meminta agar PT Arun ditutup.  PT. Arun tidak pernah memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di gampong-gampong selingkungan perusahaan join venture tersebut. PT Arun juga tidak pernah menyosialisasi terkait dampak negatif keberadaan perusahaan itu terhadap lingkungan. Yang paling menyakitkan, saat terjadi keracunan itu, pihak PT Arun tidak menangani secara layak para korban. Kantong-kantong kemiskinan itu tampak jelas di luar pagar komplek perumahan mewah yang dihuni karyawan Arun. Ini sangat tidak adil, warga lingkungan tidak hanya menjadi penonton, tapi dibiarkan sengsara dengan bau busuk gas oleh Arun. PT Arun harus peduli enduduk selingkungannya atau biar kami yang urus PT Arun dan pengurus kini silakan angkat kaki saja dari perusahaan itu.

Dana community devolepment (CD/CSR) yang dikucurkan PT Arun terhadap warga lingkungan, disinyalir jauh lebih kecil dengan nilai biaya tamasya karyawan perusahaan tersebut ke luar negeri. Ketidakadilan itu harus segera dihentikan, pihak Arun jangan lagi membodohi publik dengan pernyataannya yang tidak berdasar. Berikan perhatian maksimal kepada masyarakat, atau angkat kaki dari Aceh. Namun sebaiknya ditutup saja PT Arun karena meng¬ganggu penduduk. Di luar negeri, pabrik Doly pengolah-suling gas dibangun di tengah laut, tapi PT Arun dibangun di lingkungan penduduk, betapa bahayanya, Zulkifli alias Doly, Caleg terpilih dari Partai Aceh sebagai anggota DPRA 2009-2014, yang juga mantan representatif GAM untuk Kantor AAM Perwakilan Aceh Utara dan Lhokseumawe. Lelaki ini juga punya jejaring dengan beberapa media luar negeri. 


Masyarakat harus mengorganisasikan kritiknya ke PT Arun agar mereka bisa mendapatkan hak-haknya, terutama hak kesehatan dan kesejahteraan akibat eksplorasi dan polusi yang telah mereka terima. Semua LSM seputar Lhokseumawe harus mengorganisasikan tujuan masyarakat agar advokasi berhasil dan tuntutan masyarakat diterima. Harus dipikirkan bahwa PT Arun-Exxon Mobil adalah korporasi dunia, yang hanya peduli pada tuntutan yang tepat dan kuat, Teuku Kemal Fasya, Antropolog Aceh. Telah lama penduduk selingkungan PT Arun mengeluh tentang bau busuk dari perusahaan gas itu, namun sebelum peristiwa memalukan pada 22 April, PT Arun selalu berkilah bahwa bau bocoran gas tidak berbahaya dan Pemko Lhokseumawe mendukungnya.  Inilah yang membuat sebagian masyarakat agak benci pada Pemerintah Kota Lhokseumawe dan PT Arun. Entah sampai kapan. Hanya niat baik dari pengurus PT Arun yang bisa menyelesaikan drama yang telah lama ini, namun apakah niat baik itu masih ada di hati pengurus PT Arun? Sekali lagi entahlah.

Peristiwa itu terjadi pada Rabu 22 April. Ratusan penduduk Blang Panyang yang berupa gampong selingkungan perusahaan penyedot gas tersebut hoyong, mual-mual, muntah. Mereka mabuk setelah terhirup semacam H2S. Anehnya PT Arun yang elegan dan eksklusif merasa belum kehilangan reputasinya sebagai perusahaan ramah lingkungan karena penduduk sekitarnya keracunan setelah menghirup sulvur dari kilang Arun.  Selain di Blang Panyang, di puluhan gampong lain di lingkungan PT Arun pun sering dihasiahi bau busuk itu, namun selalu ditangkis bahwa itu tidak berbahaya. Begitulah kisah di gampong-kampong sana. Yang lebih paham soal ini, tentunya penduduk di lingkungan PT Arun.  Saat itu Humas PT Arun, Roby Sulaiman, saat ditemui di depan rumah sakit itu sekitar pukul 17.20 WIB, mengatakan begitu mengetahui sejumlah warga Blang Panyang mengalami muntah-muntah, pihaknya langsung mengirim petugas kesehatan dan petugas bidang lingkungan ke gampong itu. Penduduk yang pening dan muntah itu diangkut ke rumah sakit untuk diobservasi. 



Ditanya terkait kasus serupa yang sudah sering terjadi, saat itu Roby Sulaiman menyatakan perlu pendalaman secara teknis untuk mengetahui penyebabnya. Terkait early warning system bagi warga lingkungan khususnya Gampong Blang Panyang, Roby mengatakan kurang mengetahui hal itu. Terkait antisipasi ke depan, kata dia, pihaknya harus mengetahui dahulu penyebab kejadian tersebut. Walikota Lhokseumawe Munir Usman, saat itu mengatakan pihaknya membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus tersebut. Tim khusus di bawah koordinator Bidang Lingkungan Hidup dari Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Kota Lhokseumawe terus bekerja untuk mengetahui penyebab warga Blang Panyang muntah-muntah.

Sementara, Wakil Presiden Direktur PT Arun, Fuad Bukhari menyatakan pihaknya akan bertanggung jawab bila kasus tersebut bersumber dari pabrik Arun. Itu terjadi kemarin-kemarin. Penduduk Blang Panyang yang menjadi korban gas beracun dari kilang PT Arun meminta pemerintah pusat segera menutup operasional proyek vital tersebut. Kata mereka, PT Arun tidak ada manfaatnya, malah membawa malapetaka bagi penduduk selingkungannya. Mereka meminta agar PT Arun ditutup.  PT. Arun tidak pernah memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di gampong-gampong selingkungan perusahaan join venture tersebut. PT Arun juga tidak pernah menyosialisasi terkait dampak negatif keberadaan perusahaan itu terhadap lingkungan. Yang paling menyakitkan, saat terjadi keracunan itu, pihak PT Arun tidak menangani secara layak para korban. Menurut masyarakat di sana, tiga ratusan warga Blang Panyang yang mual-mual dan muntah mendadak hanya dirawat seadanya oleh paramedis RS milik PT Arun. Mereka para korban cuma diberikan obat antasit, parasetamol dan asaminamat. Hanya beberapa orang yang diopname dan dirawat di ruangan, itu pun setelah terjadi adu mulut. 

Koordinator LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Zulfikar SH mengatakan, pihaknya bersama kalangan NGO lokal di Lhokseumawe yang peduli terhadap kemanusiaan mengadvokasi kasus keracunan tersebut. Saat itu Pemda memang harus tidak pro-aktif menyidSik, hanya menerima mentah-mentah pernyataan pihak PT Arun yang membela diri. Begitulah yang terjadi sejak beberapa tahun lalu. Zulnazri, ahli kimia dari Unimal Lhokseumawe, saat itu menduga bahwa ada kebocoran gas beracun di kilang Arun sehingga mengakibatkan warga lingkungan keracunan. Sinyalirnya, kalau bau yang dirasakan warga Blang Panyang seperti bau kentut, maka itu kemungkinan besar mereka terhirup H2S. Jadi, gas beracun yang mengikat dengan hemoglobin sehingga sirkulasi darah tidak lancar. Selama ini diduga pihak Arun tidak mengontrol udara amibient di sekitar kilangnya secara kontinyu. Kontrol tersebut seharusnya harus dilakukan setiap saat sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Polres Lhokseumawe saat itu diback-up tim Polda Aceh terus menyelidi kasus keracunan warga Blang Panyang yang diduga akibat gas beracun dari kilang PT Arun. Sedangkan Forum Masyarakat Sipil meminta perusahaan penyedot gas alam cair itu bertanggung jawab atas keracunan tersebut. Sementara para korban keracunan meminta kilang pengolahan gas PT Arun ditutup. Polisi memang telah tangani kasus itu dan semoga sampai tuntas. Pihak PT Arun harus diproses sesuai hukum yang berlaku untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. 

Bukan Kasus Pertama

Safwani, juru bicara Forum Masyarakat Sipil Lhokseumawe saat itu mengatakan PT Arun harus bertanggung jawab terhadap keracunan penduduk. Keracunan yang terjadi akibat kelalaian pihak Arun, kelalaian yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan korban manusia. Kasus keracunan tersebut bukan yang pertama terjadi.  Kejadian yang sama akan terulang lagi, keberadaan kilang pengolahan gas Arun yang berdekatan dengan pemukiman warga juga berpotensi menimbulkan bencana industri karena kegagalan teknologi. Terkait hal itu, Forum Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan LSM Sahara, LPL-Ha, Bytra, Limid, LBH Pos Lhokseumawe, Jingki, Sepakat, Tani Bahari, PB-HAM Aceh Utara, JKMA Pase, dan MaTA Aceh, menyatakan PT Arun harus menyediakan jaminan kesehatan jangka panjang bagi warga yang beresiko mengalami gangguan kesehatan; Arun harus membuat sistem peringatan dini untuk mempersiapkan masyarakat atas berbagai resiko yang terjadi. 

PT Arun harus menyediakan berbagai fasilitas bagi warga lingkungan seperti masker untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang dikhawatirkan akan terjadi lagi. Motto 'utamakan keselamatan' tidak hanya penting bagi karyawan dan pekerja, tapi masyarakat sekitar juga harus diperhatikan keselamatannya; sesuai UU perseroan terbatas, Arun berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Dana tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility/CSR yang dikelola Arun harus seluruhnya digunakan untuk kepentingan masyarakat yang mengalami dampak negatif keberadaan perusahaan itu dan dikelola secara transparan. Dana tersebut tidak boleh lagi dialokasikan untuk kepentingan pejabat daerah atau pihak-pihak lain, juga tidak boleh untuk membiayai penelitian keracunan tersebut. PT Arun wajib mengkaji kembali Amdal," kata Safwani. Penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Aceh menyebutkan lepasnya gas berbahaya H2S di PT Arun, Lhokseumawe, ke udara karena tidak berfungsinya alat pembakaran gas H2S selama delapan menit. 
"Hasil temuan sementara ditemukan gas H2S terdapat dalam gas alam sebanyak 1,3 persen. Jika H2S itu bereaksi dengan udara, maka akan terbentuk S02 (Sulfur Dioksida) yang sangat berbahaya bagi manusia," kata Kepala Bapedalda Aceh Husaini Syamaun, Rabu 29 April 2009. Menurutnya saat proses pembakaran yang terjadi tanggal 22 April 2009 lalu, pada pukul 08.20 WIB, api Incinerator di unit 29 mati, sehingga proses pembakaran tidak dapat berlangsung.

Sebelum dibakar di api Incinerator unit 29, H2S dapat diubah menjadi pendataan direaksikan dengan Malton Sulfur, namun tidak semua H2S mampu diubah menjadi Sulfur padatan, sehingga masih ada H2S yang tersisa dan perlu dibakar dalam unit 29. "Nah pembakaran di api Incinerator unit 29 ini tidak dapat berlangsung, akibat mati," kata Husaini. Sesuai dengan prosedur, kata Husaini, maka gas H2S dialirkan ke menara pembakaran Plestrek (menara yang mengeluarkan api yang dapat dilihat), tetapi ketika gas H2S dimasukkan dalam plestrek hanya sebagian gas H2S yang dapat terbakar, sebagian lagi lepas ke udara. Gas H2S yang lepas ke udara inilah yang menyebabkan bau dan sangat berbahaya bagi manusia yang tercium bau itu. Sebab sesuai dengan peraturan pemerintah, Sulfur Dioksida yang aman dikandung dalam udara bebas hanya sebesar 1000 ppm/m3.

Kata Husaini, sesuai dengan dokumen Amdal PT Arun diperbolehkan untuk melarikan gas H2S ke Plestrek maksimal tiga jam, bila lebih akan berbahaya. Tetapi kejadian pada saat itu hanya berlangsung selama delapan menit. Selama delapan menit itu, apakah PT Arun melepaskan gas H2S terlalu banyak ke udara, sangat sulit kita deteksi karena peristiwanya telah berlalu. Gas berbahaya bagi kesehatan manusia itu yang terlepas ke udara kemungkinan terlalu banyak bisa saja.  Managemen PT. Arun segera bermusyawarah dengan masyarakat lingkungan untuk membahas solusi antisipasi ancaman pencemaran udara dan darat yang berpotensi terus bermunculan akibat operasional pengolahan gas alam cair.  Kata Zulkifli alias Doly, politisi Partai Aceh, Sabtu 2 Mai 2009, sebelum korban di pihak masyarakat lingkungan terus berjatuhan akibat pencemaran lingkungan, PT. Arun harus segera memanggil aparat gampong, Tuha Peut, dan elemen lainnya, untuk membahas solusi antisipasi ke depan. PT Arun harus lebih punya nurani dan rasa kemanusiaan terkait kondisi tersebut. 

Doly yang menetap di Gampong Paloh Dayah Kecamatan Muara Satu, salah satu gampong lingkungan kilang Arun yang sering dibikin pusing dan mual dengan H2S PT Arun, menyebutkan paskainsiden keracunan warga Blang Panyang hingga kini masyarakat setempat masih dibalut trauma yang amat mendalam.  "Kehidupan warga Blang Panyang dan Gampong lingkungan lainnya sudah tidak menentu, mereka merasakan was-was dengan ancaman pencemaran udara. Pihak Arun harus bertanggung jawab terkait hal ini," kata Doly yang dipastikan berhasil meraih kursi DPRA dari Partai Aceh.

Apabila manajemen Arun tidak merespon keluhan warga lingkungan, lanjut Doly, perusahaan tersebut diminta segera angkat kaki dari lokasi itu. Karena, kata dia, masyarakat lingkungan sudah amat menderita dengan keberadaan Arun. "Kuala Mamplam Gampong Ujong Blang dangkal, tanaman palawija warga Paloh dayah dan Paloh Punti terkena penyakit aneh, warga Blang Panyang keracunan, itu semua dampak dari gas beracun Arun. Dan, ancaman gas beracun merkuri, yang menurut para ahli juga berada di sekitar kilang Arun. Padahal, sebelum kehadiran perusahaan itu, tidak ada dampak buruk yang demikian terhadap warga," kata Doly.

Kata Doly, Salah satu agenda yang akan diprioritaskan anggota DPRA dari Partai Aceh nantinya membahas persoalan yang terjadi di lingkungan PT. Arun. Karena selama ini perhatian perusahaan tersebut kepada lingkungan amat minim. Entah di mana rasa persaudaraan dan nurani kemanusiaan pengurus PT Arun.


Alat Pembakaran Gas H2S Arun Tak Berfungsi 

Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Aceh menyebutkan lepasnya gas berbahaya H2S di PT Arun, Lhokseumawe, ke udara karena tidak berfungsinya alat pembakaran gas H2S selama delapan menit.  "Hasil temuan sementara ditemukan gas H2S terdapat dalam gas alam sebanyak 1,3 persen. Jika H2S itu bereaksi dengan udara, maka akan terbentuk S02 (Sulfur Dioksida) yang sangat berbahaya bagi manusia," kata Kepala Bapedalda Aceh Husaini Syamaun, Rabu 29 April 2009. Menurutnya saat proses pembakaran yang terjadi tanggal 22 April 2009 lalu, pada pukul 08.20 WIB, api Incinerator di unit 29 mati, sehingga proses pembakaran tidak dapat berlangsung. Sebelum dibakar di api Incinerator unit 29, H2S dapat diubah menjadi pendataan direaksikan dengan Malton Sulfur, namun tidak semua H2S mampu diubah menjadi Sulfur padatan, sehingga masih ada H2S yang tersisa dan perlu dibakar dalam unit 29. "Nah pembakaran di api Incinerator unit 29 ini tidak dapat berlangsung, akibat mati," kata Husaini.

Sesuai dengan prosedur, kata Husaini, maka gas H2S dialirkan ke menara pembakaran Plestrek (menara yang mengeluarkan api yang dapat dilihat), tetapi ketika gas H2S dimasukkan dalam plestrek hanya sebagian gas H2S yang dapat terbakar, sebagian lagi lepas ke udara. Gas H2S yang lepas ke udara inilah yang menyebabkan bau dan sangat berbahaya bagi manusia yang tercium bau itu. Sebab sesuai dengan peraturan pemerintah, Sulfur Dioksida yang aman dikandung dalam udara bebas hanya sebesar 1000 ppm/m3.

Kata Husaini, sesuai dengan dokumen Amdal PT Arun diperbolehkan untuk melarikan gas H2S ke Plestrek maksimal tiga jam, bila lebih akan berbahaya. Tetapi kejadian pada saat itu hanya berlangsung selama delapan menit. Selama delapan menit itu, apakah PT Arun melepaskan gas H2S terlalu banyak ke udara, sangat sulit kita deteksi karena peristiwanya telah berlalu. Gas berbahaya bagi kesehatan manusia itu yang terlepas ke udara kemungkinan terlalu banyak bisa saja.  Managemen PT. Arun segera bermusyawarah dengan masyarakat lingkungan untuk membahas solusi antisipasi ancaman pencemaran udara dan darat yang berpotensi terus bermunculan akibat operasional pengolahan gas alam cair. 

Kata Zulkifli alias Doly, politisi Partai Aceh, Sabtu 2 Mai 2009, sebelum korban di pihak masyarakat lingkungan terus berjatuhan akibat pencemaran lingkungan, PT. Arun harus segera memanggil aparat gampong, Tuha Peut, dan elemen lainnya, untuk membahas solusi antisipasi ke depan. PT Arun harus lebih punya nurani dan rasa kemanusiaan terkait kondisi tersebut.  Doly yang menetap di Gampong Paloh Dayah Kecamatan Muara Satu, salah satu gampong lingkungan kilang Arun yang sering dibikin pusing dan mual dengan H2S PT Arun, menyebutkan paskainsiden keracunan warga Blang Panyang hingga kini masyarakat setempat masih dibalut trauma yang amat mendalam. "Kehidupan warga Blang Panyang dan Gampong lingkungan lainnya sudah tidak menentu, mereka merasakan was-was dengan ancaman pencemaran udara. Pihak Arun harus bertanggung jawab terkait hal ini," kata Doly yang dipastikan berhasil meraih kursi DPRA dari Partai Aceh. Apabila manajemen Arun tidak merespon keluhan warga lingkungan, lanjut Doly, perusahaan tersebut diminta segera angkat kaki dari lokasi itu.
Karena, kata dia, masyarakat lingkungan sudah amat menderita dengan keberadaan Arun.  "Kuala Mamplam Gampong Ujong Blang dangkal, tanaman palawija warga Paloh dayah dan Paloh Punti terkena penyakit aneh, warga Blang Panyang keracunan, itu semua dampak dari gas beracun Arun. Dan, ancaman gas beracun merkuri, yang menurut para ahli juga berada di sekitar kilang Arun. Padahal, sebelum kehadiran perusahaan itu, tidak ada dampak buruk yang demikian terhadap warga," kata Doly. Kata Doly, Salah satu agenda yang akan diprioritaskan anggota DPRA dari Partai Aceh nantinya membahas persoalan yang terjadi di lingkungan PT. Arun. Karena selama ini perhatian perusahaan tersebut kepada lingkungan amat minim. Entah di mana rasa persaudaraan dan nurani kemanusiaan pengurus PT Arun.

Terus jaga lingkungan

Secara terpisah Presiden Direktur PT Arun, Fauzi Husen mengatakan pihaknya terus berupaya meningkatkan ketaatan perusahaan dalam menyelamatakn lingkungan. “Sejak tahun 1978 mulai beroperasi di Aceh, Alhamdulillah perusahaan yang bermarkas di Blang Lancang Lhokseumawe, berhasil melakukan penyelamatan lingkungan,” katanya pada penyerahan Sertifikat ISO-14001 di Gedung Multi Guna PT Arun Batuphat, kemarin.  Atas keberhasilan itu, tambahnya, perusahaan itu telah menerima 15 pedang penghormatan standar Internasional dan yang paling terakhir adalah menerima ISO-14001. “Pengharagaan ini didapat setelah bertahun-tahun berhasil mempertahankan penyelamatan lingkungan. Semua itu atas kerjakeras, kejelian, ketulusan kerja, berkat bantuan masyarakat lingkungan juga dan kedisiplinan dalam melaksanakan tugas,” ujar Fauzi. Ia berharap staf dan karyawan PT Arun mempertahankan penghargaan tersebut.

Penghargan ISO-14001 tersebut diserahkan oleh Country Manager PT Lyoid’s Register Quality Assurance, Irfan Fahmi, yang disaksikan ratusan staf PT Arun dan pejabat Bidang lingkungan baik dari Aceh maupun dari Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menganggap PT Arun tidak pantas mendapatkan penghargaan ISO 14001 sebagai perusahaan dengan manajemen lingkungan terbaik. PT Arun masih melakukan pencemaran yang merusak lingkungan sekitar dan membahayakan kesehatan masyarakat. Walhi Aceh juga sepakat dengan tuntutan Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) yang mendesak DPR Aceh membentuk Pansus untuk untuk menyelidiki dugaan pencemaran lingkungan.Jangankan ganti rugi, diminta datang menghadiri pertemuan dengan masyarakat saja, mereka tidak datang, ujar Direktur Eksekutif Walhi Aceh, T.M. Zulfikar. Bahkan sampai hari ini PT Arun tidak bersedia memenuhi tuntutan ganti rugi masyarakat sekitar Arun. Pemerintah Indonesia dan Aceh juga diminta untuk serius menyikapi persoalan PT Arun ini karena sudah terjadi bukan hanya sekali tetapi berulang kali.  PT Arun seperti diketahui, hari Senin 26 April 2010 menerima penghargaan ISO-14001 yang dikeluarkan oleh International for Standar Organization. Penghargaan ini berarti PT Arun dianggap telah mencegah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan.

Mana buktinya Arun telah mencegah pencemaran lingkungan, kebocoran gas H2S tahun lalu malah merupakan bukti bahwa mereka tidak dapat mencegah pencemaran lingkungan, kecam T.M Zulfikar. Kebocoran gas H2S terjadi pada Rabu dini hari tanggal 22 April tahun 2009 lalu. Dalam kejadian ini ratusan masyarakat dari desa sekitar pabrik yaitu Desa Blang Panyang, Mukim Paloh Timu, Kota Lhokseumawe keracunan gas yang bisa menyebabkan kematian tersebut. Ratusan warga yang terkulai lemas dan muntah-muntah. Namun celakanya, tuntutan ganti rugi dari masyarakat kepada Arun tidak pernah dihiraukan. Perusahaan penghasil gas alam terbesar tersebut hanya memberikan obat pereda sakit seperti Antasida Doen Suspensi, Spasmal Metamizole sodium serta Papaverine hydrochloride, yang menurut masyarakat sama sekali tidak manjur.

Walhi menganggap PT Arun sebagai perusahaan raksasa wajib memberikan tuntutan masyarakat, bukan sekedar pengobatan sederhana. Jangan merasa telah mengobati kemudian kewajiban terhadap masyarakat selesai, kata T.M Zulfikar. Persoalan lingkungan bukanlah sekedar merawat pabrik dan menjalankan berbagai prosedur baku. Lebih dari itu, lingkungan adalah alam dan manusia yang berada di sekitar pabrik (lingkungan sosial), bukan hanya lingkungan fisik dan biologis semata. Jika pabrik tidak dapat mengelola lingkungan dengan baik maka perusahaan tersebut sama sekali tidak layak mendapat ISO apapun. Sepertinya pemberian ISO cuma untuk menciptakan opini publik baru bahwa PT Arun peduli lingkungan. Padahal tuntutan masyarakat sama sekali belum mereka penuhi, kata T.M. Zulfikar. Teknik mengalihkan isu atau menciptakan opini baru memang sering digunakan oleh perusahaan multinasional perusak lingkungan. Dengan dana besar yang mereka miliki mereka bisa menjalankan public relation yang baik.

Pencemaran yang dilakukan PT Arun sudah berjalan rutin, masyarakat sepanjang tahun mencium bau busuk dari H2S. Jadi berhentilah berbohong dan penuhi tuntutan masyarakat, tukas TM. Zulfikar. Di kawasan pabrik PT Arun ada tiga arah angin dalam setiap harinya. Pada pagi hari, angin bertiup ke arah Desa Blang Mangat, siang hingga sore angin bertiup ke arah Desa Banda Masen, baru pada malam hari angin bertiup ke arah laut.  Karena itu, jika ada pencemaran udara yang diduga berasal dari PT Arun, maka warga yang kena imbasnya, antara lain, Blang Mangat, Ujong Blang, Ulee Jalan, Banda Masen, Hagu Barat Laut, dan Hagu Teungoh. Dokumen Amdal yang dimiliki PT Arun harus ditinjau kembali, agar mereka bisa merancang usaha pengelolaan lingkungan yang lebih baik. “pue serifikat ISO dan puluhan nobel pedang, Untuk membunuh warga? Suruh kembalikan aja sertifikat itu, hana male” desak pegiat LSM dalam diskusi di JKMA, Selasa 24 April 2012, sore. 



            Dalam diskusi tersebut juga membahas soal 70% sampah organik dan 30% non organik yang dibakar di TPA PT Arun Rancong di Gampong Tanjung Arun kecamatan Blangtuphat Timur, Kota Lhokseumawe, melanggar undang undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Lemahnya pengetahuan pengelola PT Arun dalam mengelola sampah sehingga ditumpuk begitu saja di TPA dan dibakar. Akibat tumpukan sampah tersebut mengeluarkan aroma tak sedap tercium kemana-mana dan menimbulkan penyakit.

0 comments: