POLITIK DAMAI MELALUI PILKADA NANGGROE ACEH DARRUSALLAM:
ANALISIS PILKADA 2006 DI NANGGROE ACEH DARUSALLAM
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Provinsi Naggroe Aceh Darrusallam atau
yang dulunya disebut sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan provinsi
di ujung negara kita yang seringkali mengalami konflik. Tiga puluh tahun sudah
konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah Indonesia melalui TNI berlangsung.
Sejak berlangsungnya konflik, proses demokratisasi dalam berpolitik dipenuhi dengan sengketa dan kontak senjata. Di saat negara kita sedang melakukan pembangunan di berbagai bidang pada saat rezim orde baru, Aceh justru menunjukkan kepada masyarakat kita sebagai provinsi yang selalu diselimuti konflik. Akibatnya, kehidupan politik selalu diwarnai ketegangan baik di tingkat pemerintahan sampai ke masyarakat. Bagaimanapun juga, masyarakat selalu menjadi korban atas konflik fisik yang terjadi di Aceh. Kebebasan untuk berkehidupan politik nampaknya harus kandas karna situasi keamanan yang tidak mendukung.
Keterpurukan masyarakat Aceh ditambah pula dengan bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Kejadian ini menelan korban hingga ratusan ribu jiwa. Peristiwa ini menjadi bencana nasional. Banyak orang yang kehilangan nyawa, kehilangan saudara-saudaranya, dan tempat tinggal. Meski demikian, bencana juga membuat sesama warga Aceh, khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya sadar akan pentingnya solidaritas dan tolong menolong. Meski sebenarnya kesadaran ini tak hanya dalam situasi bencana.
Di sisi lain, bencana juga membawa kesadaran akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh pihak GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia disinyalir banyak pihak merupakan peristiwa yang tak bisa lepas dari bencana 26 Desember 2004. Melalui peristiwa bencana, memperlihatkan bahwa Aceh akan sulit melangsungkan kehidupan kembali jika tanpa kehadiran pemerintah Indonesia. Kenyataan ini menyadarkan pihak GAM yang juga menjadi korban dalam bencana tersebut.
Penandatanganan MoU1 merupakan salah satu keberhasilan bagi Persiden SBY dalam menciptakan kedamaian di bumi serambi mekah. Setelah 30 tahun konflik yang terjadi, MoU menjadi babak awal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Aceh. Proses untuk menghasilkan MoU sendiri merupakan proses yang alot. Diskusi untuk menghasilkan MoU sendiri merupakan sebuah resolusi konflik dengan mediasi. Saat itu, Crisis Management Initiative (CMI) menjadi penengah dalam pembicaraan. Ini menunjukkan kepedulian dunia internasional terhadap situasi Aceh yang sudah lama mengalami konflik. Jika dicermati, Pilkada di Aceh juga salah satu implementasi dari MoU yang telah ditandatangani di Helsinski Finlandia.
Pelaksanaan Pilkada Aceh yang notabene sedang mengalami transisi menuju perdamaian rentan terhadap adanya konflik. Pada tahun 2006, perdamaian di Aceh belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Masih banyak terjadi konflik-konflik kecil yang masih bisa diselesaikan. Momen Pilkada bisa jadi membuat konflik-konflik tersebut terbawa dalam issue politik yang berada di balik Pilkada. Pilkada menjadi sarana untuk melampiaskan kekerasan dan tindakan kriminal bagi para aktor tak bertanggungjawab di Aceh.
Meski dianggap rentan konflik, Pilkada sendiri merupakan peristiwa politik yang unik di tanah rencong ini. Ini adalah Pilkada pertama yang dilaksanakan tanpa melalui pintu partai politik. Pilkada Aceh merupakan pilihan langsung masyarakat untuk memilih Gubernur dan Bupati/Walikota. Setiap individu bisa mengajukan diri sebagai calon gubernur atau walikota tanpa harus berasal dari partai tertentu. Ini semua sudah diatur dalam undang-undang khusus di Aceh. Maka tak heran, jika Pilkada Aceh menjadi sorotan luar biasa bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Media massapun tak henti-hentinya menyoroti momen ini.
Ada beberapa alasan mengapa Pilkada Aceh menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Pertama, Pilkada Aceh merupakan “Pilkada Istimewa” yang sebenarnya rentan konflik karena pengalaman Aceh yang begitu mempengaruhi psikologis masyarakat Aceh, khususnya yang berkaitan dengan konflik, Kedua proses munculnya sebagai implementasi MoU. Dan secara konstruksionis, Pilkada sendiri merupakan rentetan pengalaman kehidupan masyarakat Aceh yang tidak bisa dilepaskan dari konflik selama 30 tahun dan bencana yang terjadi 2 tahun silam.
B.RUMUSAN MASALAH
Penulis
membagi menjadi tiga pertanyaan sebagai rumusan masalah, yakni:
1.
Bagaimanakah
kehidupan poilitk di Nanggroe Aceh Darrusalam pasca konflik dan bencana?
2.
Bagaimanakah
peta potensi konflik pada saat Pilkada Aceh 2006 serta bagaimana aktor-aktor
Pilkada harus berperan dalam menyikapi potensi konflik tersebut?
3.
Bagaimanakah
solusi untuk menjaga demokratisasi damai dalam Pilkada Aceh khususnya, dan
kehidupan politik yang damai di kemudian hari?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEMERINTAHAN SERAMBI MEKAH YANG
DIPENUHI KONFLIK
Aceh atau yang kini disebut Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan sebuah Daerah Istimewa yang terletak di ujung Pulau Sumatra. Tepatnya
terletak di barat laut Sumatra dengan kawasan seluas 57,365.57 km per segi.
Aceh dikelilingi oleh Selat Melaka di sebelah utara, Provinsi Sumatera Utara di
timur dan Samudera Hindia di selatan dan barat. Ibukota Aceh adalah Banda Aceh
yang dulunya dikenali sebagai ‘Kutaradja’. Aceh sendiri sering mendapat julukan
sebagai Serambi Mekkah.Sejak jaman pemerintahan Soekarno, Aceh sudah mengalami
konflik. Pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh (gubernur Aceh saat itu)
menginginkan agar Aceh lepas dari Indonesia. Konflik ini berakhir hingga tahun
1962. Meski demikian keadaan ekonomi masyarakat di Aceh tidak ada perbaikan.
Empat belas tahun kemudian, Teungku Hasan Muhammad di Tiro mendeklarasikan
kemerdekaan Aceh tepatnya pada tanggal 4 Desember 1976. Disinyalir, karena
banyaknya sumber daya alam yang dimiliki Aceh, maka terjadilah pemberontakan
oleh GAM. Inilah awal dari konflik berkepanjangan antara pemerintah RI dan GAM.
Perjuangan Hasan di Tiro dan kawan-kawannya di dalam GAM
hanya berlangsung tiga tahun. Setelah itu, Aceh dikuasi oleh Militer. Dalam
perjalanan pemerintahannya, Aceh selalu mengalami konflik antara pemerintah RI
dan GAM. Ini terjadi pada saat pemerintahan Soeharto. Tahun 1989, Aceh
ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan akhirnya berlangsung selama
10 tahun. Operasi oleh TNI ini banyak memakan korban. Banyaknya kasus
pelanggaran HAM selama DOM banyak yang tidak tertangani hingga sekarang.
Setelah Soeharto lengser, issue lepasnya Aceh dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia kembali berdengung. Referendum mulai digemakan Pasca reformasi, di
Aceh banyak sekali muncul gerakan-gerakan masyarakat melalui lembaga-lembaga
untuk memperjuangkan keinginan agar lepas dari Indonesia. Situasi semakin tidak
terkendali, banyak sekali bentrokan dan kontak sejata. Ini terjadi sekitar
tahun 2002. Pada tanggal 9 Desember 2002 pihak GAM dan Indonesia menandatangani
perjanjian perdamaian di Jenewa. Konflik sedikit mereda, namun tetap saja
terjadi konflik Namun, proses perundingan tersebut akhirnya gagal karena ada
pihak yang tidak melaksanakan perjanjian sesuai dengan kesepakatan. Oleh karena
itu, para juru runding GAM ditangkap. Darurat militer kemudian dimulai pada
tanggal 19 Mei 2003. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk
menumpas GAM. Satu tahun Darurat Militer, ribuan orang meninggal baik dari
pihak TNI maupun GAM. Tanggal 19 Mei 2004 dilakukan Darurat Sipil. Keadaan
tidak berubah, masih saja terjadi konflik dan kontak senjata, ribuan orang
kembali menjadi korban bahkan di kalangan sipil.
Bencana gempa dan tsunami kemudian melanda Aceh. Ratusan ribu orang menjadi korban. Status darurat sipil akhirnya tenggelam karena orang tak lagi memikirkan konflik tetapi pembangunan pasca bencana. Di saat sedang membangun, tanggal 19 Mei 2005 Aceh berubah status, yakni menjadi tertib sipil. Presiden SBY terus mencari cara agar perjanjian perdamaian untuk Aceh dapat dilaksanakan. Maka pada Agustus 2005 diadakanlah perundingan antara RI dan GAM di Helsinski, Finlandia dengan difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI). Sejak saat itu, kontak senjata sudah sangat kecil terjadi. Pelucutan senjata dan penarikan tentara sudah dilaksanakan sebagai implementasi dari MoU.2 Setelah 30 tahun konflik akhirnya Aceh mendapatkan udara kedamaian. Disaat-saat demikian, justru Gubernur Aceh waktu itu, Abdullah Puteh harus dijebloskan ke dalam penjara karena menjadi tersangka kasus korupsi. Meski demikian, masih banyak tugas yang harus dijalankan masyarakat Aceh yakni, melaksanakan politik damai dalam pemerintahan. Salah satu usahanya adalah dengan melaksanakan Pilkada yang diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006. Pilkada yang diselenggarakan juga berbeda dibandingkan dengan pilkada di daerah lain karena Aceh menggunakan Otonomi Khusus.
B. SUASANA POLITIK, PARTAI POLITIK LOKAL
DAN TRANSISI MENUJU DAMAI
Pasca penandatanganan MoU, situasi Aceh relatif lebih
aman dibandingkan dengan sebelumnya. Kondisi ini merupakan udara segar bagi
masyarakat Aceh untuk melakukan aktivitasnya, tidak merasa tertekan dan terus
mengalami ketegangan yang berkelanjutan. Situasi ini juga mempengaruhi kehidupan
politik masyarakat. Ruang demokrasi dan kebebasan dalam menyampaikan aspirasi
menjadi semakin terbuka. Tidak ada lagi tekanan-tekanan dari pihak-pihak
tertentu. Masyarakat seakan disadarkan akan pentingnya kedamaian politik dalam
suatu penyelenggaraan pemerintahan. Konflik yang terjadi hanyalah penghambat
perdamaian di masyarakat. MoU juga meminimalisir konflik yang terjadi.
Implikasinya, banyak pasukan GAM yang menyerahkan senjata dan penarikan mundur
pasukan TNI dari bumi Aceh. Dengan demikian, keamanan di Aceh semakin bisa
terkendali. Kontak fisik dapat ditekan, meskipun tidak seluruhnya bisa
dikendalikan. Namun secara umum, pasca penandatanganan MoU, Aceh mulai
menampakkan kedamaian dan udara kebebasan dari konflik. Para tahanan GAM juga
mulai dibebaskan. Tidak ada lagi kata GAM. GAM sendiri adalah bagian dari
masyarakat Aceh, sedangkan TNI bukan pembunuh melainkan pelindung masyarakat.
Setelah keadaan aman, tentu saja masyarakat tidak boleh tinggal diam. Masih banyak yang harus dikerjakan di masa yang akan datang. Apalagi bencana tsunami masih menyisakan puing-puing kehidupan yang harus ditata kembali. Maka pembenahan juga perlu dengan menghidupkan kembali perpolitikan yang demokratis di Aceh. Kehidupan yang demokratis sendiri menurut Urofsky (2002;31) ditandai dengan adanya pemilihan pemimpin secara bebas oleh warga negara dengan cara terbuka dan jujur. Oleh karena itu, pilkada langsung Aceh selain membawa angin demokrasi bagi masyarkat Aceh, juga menambah pengalaman politik luar biasa yang bisa dicapai setelah sekian lama hidup dalam konflik.
Pilkada Aceh merupakan wujud demokratisasi di Aceh. Lihat saja latar belakang para calon Gubernur Aceh. Gazali Abbas Adhan yang dulunya berasal dari Fraksi Persatuan Pembangunan dan mantan Anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah juga turut menyemarakkan pilkada. Ibrahim Hasyim berasal dari praktisi bidang perminyakan yang dipasangkan dengan Cut Idawani, seorang dokter wanita yang pernah mengepalai Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh juga mencalonkan diri meskipun akhirnya tidak mengikuti pemilihan. Humam Hamid berasal dari FPP seorang akademisi yang menggandeng pasangan Hasbi Abdullah seorang tokoh tua GAM. Malik Raden-Sayed Fuad Zakaria diusung dari Partai Golkar, P Demokrat, PDI-P, dan PKPI. Iskandar Husain – M Saleh Manaf dijagokan oleh partai PBB, PPDK, Patriot Pancasila, PP Daerah, PKPB, PNI Marhaenisme, PBSD dan P Merdeka. Azwar Abubakar yang pernah menjadi Wakil Gubernur NAD dan menggantikan Abudllah Puteh menjadi Pejabat Gubernur NAD juga mencalonkan diri. (Arif;2006)
Salah satu nuansa iklim politik damai di masyarakat Aceh
adalah juga munculnya partai politik lokal. Otonomi khusus yang disandang oleh
Provinsi Naggroe Aceh Darrusalam membuat sistem perpolitikan agak berbeda.
Dengan UU no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka sangat dimungkinkan
bahwa akan ada partai politik lokal di Aceh. Ini adalah landasan hukum/yuridis
keberadaan partai politik. Selain itu, keberadaan partai politik lokal di NAD
juga dikuatkan dari hasil penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan GAM di Helsinski tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu.Munculnya
partai politik di Aceh juga bisa jadi hal yang negatif. Keberadaan partai
politik lokal di Aceh bisa dimanfaatkan oleh pihak GAM untuk kepentingan
politik dan melakukan aksi melepaskan NAD dari NKRI. Keputusan dari munculnya
partai politik lokal adalah perundingan alot antara Pemerintah RI dan GAM. Bisa
jadi, munculnya partai politik lokal ini merupakan taktik dari GAM untuk
mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat Aceh. (Muradi;2005) Setelah
menghimpun banyak suara dan mendapatkan batuan secara finansial. Bisa jadi
partai politik ini berupaya untuk lepas dari NKRI. Bahaya-bahaya seperti ini
memang sudah dimonitor oleh pemerintah Indonesia saat perundingan. Namun, hal
seperti ini tak perlu menjadi kekhawatiran yang mendalam, karena siapa saja
yang memang tidak menepati MoU bisa diberikan sanksi. Termasuk juga jika
terjadi konflik.
Perlu dipahami juga, munculnya partai politik lokal merupakan upaya yang efektif dalam menaikkan makna demokrasi di Indonesia. Dengan adanya partai politik lokal, maka suara-suara masyarakat bisa terkumpul dan tersalurkan dengan baik. Oleh karena itu, partai politik lokal jutsru menjadi jembatan politik antara pemerintah dan masyarakat. Dan dengan demikian, partai politik bukan lagi sebagai pemicu konflik tapi jutsru sebagai peredam konflik bagi mereka yang bisa menyurakan ide dan gagasan politiknya. Partai politik lokal nantinya juga menjadi tempat pendidikan politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bisa menduduki pemerintahannya sendiri.
Perlu dipahami juga, munculnya partai politik lokal merupakan upaya yang efektif dalam menaikkan makna demokrasi di Indonesia. Dengan adanya partai politik lokal, maka suara-suara masyarakat bisa terkumpul dan tersalurkan dengan baik. Oleh karena itu, partai politik lokal jutsru menjadi jembatan politik antara pemerintah dan masyarakat. Dan dengan demikian, partai politik bukan lagi sebagai pemicu konflik tapi jutsru sebagai peredam konflik bagi mereka yang bisa menyurakan ide dan gagasan politiknya. Partai politik lokal nantinya juga menjadi tempat pendidikan politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bisa menduduki pemerintahannya sendiri.
Untuk itu peran partai politik bagi masyarakat Aceh. Partai politik lokal harus mengemas diri secara menarik dan mampu menarik aspirasi dari akar bawah. Partai politik perlu menerapkan suatu manajemen komunikasi politik yang etis, demokratis dan dilakukan secara profesional. Dengan demikian, antar partai politik menjadi sarana dialog dari berbagai macam kepentingan. (Setio;2002) Jangan sampai partai politik hanya ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Partai politik lokal juga harus fokus terhadap permasalahan masyarakat lokal. Hakekatnya, partai politik lokal tumbuh dan berkembang dari wilayah lokal masyarakat Aceh. Maka, sangat aneh jika partai politik lokal tidak mengerti dan paham akan permasalahan yang dihadapi wilayahnya sendiri. Dengan demikian, partai politik lokal akan banyak mendapatkan simpati dari masyarakat lokal pula. Simpati ini hendaknya juga dibarengi dengan realisasi janji yang diberikan. Pertumbuhan dan perkembangan partai politik lokal juga hendaknya dipahami secara kultural dan historis. Melalui MoU dan UU Pemerintahan Aceh, partai politik lokal diberikan kebebasan untuk berkembang. Keberadaannya semata-mata bukan untuk menyaingi keberadaan partai nasional yang sudah lama ada. Namun, keberadaan partai politik lokal adalah usaha untuk menciptakan damai di Aceh. MoU adalah sebuah usaha negosiasi damai. MoU menghasilkan kesepakatan yang memungkinkan munculnya partai politik lokal. Oleh karenanya, secara historis, partai politik lokal juga harus menjaga kedamaian politik. Keberadaannya merupakan bagian tak terpisahkan dari transisi Aceh menuju perdamaian, bukan hanya untuk kepentingan politik semata.
C. PILKADA DAN MASA DEPAN ACEH
Pilkada merupakan momen yang paling berharga bagi
masyarakat. Seperti halnya pada pemilu-pemilu yang sering dilakukan, pilkada
dianggap sebagai pesta demokrasi atau masyarakat . Namun pesta pora demokrasi
ini jangan sampai melupakan hal-hal krusial esensi dan tujuan dari Pilkada
sendiri. Pilkada harus menjadi gerbang pembuka untuk memilih pemimpinnya
mewujudkan Aceh yang lebih baik. Seringkali yang terjadi Pilkada, pesta-pesta
diawali dengan kampanye para calon. Para calon berlomba-lomba untuk memikat
sebanyak mungkin masyarakat untuk mendukung. Maka, banyak cara yang digunakan.
Mulai dari mobilisasi massa, kampanye di jalan, pemasangan poster kampanye,
spanduk, orasi, dan sebagainya. Bahkan dalam suatu pilkada, seperti yang
terjadi di berbagai tempat, bahkan pada saat pemilu 2004, terjadi cara-cara
yang tidak sehat, misalnya saja: serangan fajar dengan memberikan uang kepada
masyarakat untuk memilih. Keadaan seperti ini akan melenakan masyarakat
terhadap esensi pilkada. Pilkada bukan sebagai ajang memilih yang terbaik dari
yang sudah terpilih, tetapi memanfaatkan sebesar-besarnya demi keuntungan
pribadi. Si calon menang, masyarakat senang. Senangnya bukan karena telah
mendapatkan calon yang sesuai hati nurani, tetapi senang karena mendapatkan
berkah karena diberi sedekah.
Seringkali pula, para calon memberikan banyak janji
ketika pemilu. Di saat pemilu usai dan si calon sudah terpilih, masyarakat
mulai menunggu janji-janji yang diberikan. Harapannya, janji yang telah
disebutkan dahulu bisa terealisasi dengan baik. Paling tidak ada usaha sang
pemimpin untuk melaksanakannya. Kebanyakan usai pilkada di berbagai daerah,
masyarakat mulai menanti janji terlalu lama. Lama-lama, masyarakat menangisi
kenyataan dan meratapi yang sudah terpilih, lantaran janji itu tidak pernah kunjung
datang. Kemenangan para calon biasanya didukung oleh tim sukses yang berhasil
meraih massa namun rujukan untuk memperoleh massa bukan berasal dari janji
terstruktur selama 5 tahun kedepannya. Jangan sampai hal ini terjadi di pilkada
Aceh. Penantian yang besar terhadap masa depan Aceh sungguh sangat diharapkan
oleh masyarakat. Masyarakat Aceh harus disuguhi yang nyata dan realistis bukan
hanya janji. Dari kedelapan calon, nampaknya janji yang disampaikan belum
terlihat secara konkret dan nyata. Ada calon yang menyatakan bahwa melanjutkan
rekonstruksi pasca gempa, namun tidak disertakan sejauh mana pembangunan
tersebut akan dilakukan, targetnya apa dan bagian mana saja, dengan siapa dan
bagaimana itu dilakukan tidak terlihat. Semua janji masih terlihat klise dan
tidak jelas.
Persoalan lain,
masyarakat tidak protes akan hal tersebut. Dalam pilkada, masyarakat butuh
sesuatu yang konkrit. Banyak sekali permasalahan Aceh yang belum bisa
terselesaikan misalnya saja kemiskinan. Aceh merupakan provinsi kedua dengan
jumlah masyarakat miskin terbanyak setelah Papua. Ditambah lagi, bencana
tsunami membuat Aceh semakin terhimpit. Masih ada hal lain yang harus
diperhatikan, seperti kesehatan dan pendidikan. Bencana membuat
kegiatan-kegiatan kesehatan dan pendidikan terhambat. Selain itu, banyak
fasilitas-fasilitas yang masih kurang dan kurang tersebar di daerah-daerah.
Sulitnya masyarakat menjangkau pendidikan dan fasilitas kesehatan harus menjadi
titik fokus pemerintah nantinya. Realita-realita semacam ini sudah menjadi
santapan masyarakat Aceh dalam hidup. Pilkada harus membawa angin segar bagi
masyarakat Aceh, dan bukan memanfaatkan pilkada sebagai ajang konflik antara
kelompok atau golongan. Keadaan yang damaipun juga menjadi harapan ke depan
masyarakat. Para calon yang maju dalam pemilihan harus bisa melihat kenyataan
ini dengan memberikan janji yang lebih dibutuhkan. Bukan lip service yang hanya
akan meninabobokkan masyarakat sehinga berpikiran utopis.
Masyarakat juga perlu aktif dan kritis. Demi pelaksanan pilkada yang tak sekedar janji, masyarakat harus bisa secara jeli mendorong para calon untuk memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat. Ini artinya, mempersempit gerak para calon untuk besar bicara dalam hal janji. Para calon harus diajak kritis melihat realita dalam masyarakat. Nantinya, pembangunan untuk Aceh adalah pembangunan yang memang dibutuhkan masyarakat. Bukan semata-mata pembangunan hanya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Mampukah masyarakat Aceh melakukan hal ini? Jika berbicara masalah partisipasi politik di masyarakat, masih ada sejumlah permasalahan lain, misalnya saja akses media yang digunakan, keterwakilan perempuan dan masalah-masalah lain.
Masyarakat juga perlu aktif dan kritis. Demi pelaksanan pilkada yang tak sekedar janji, masyarakat harus bisa secara jeli mendorong para calon untuk memikirkan masalah yang dihadapi masyarakat. Ini artinya, mempersempit gerak para calon untuk besar bicara dalam hal janji. Para calon harus diajak kritis melihat realita dalam masyarakat. Nantinya, pembangunan untuk Aceh adalah pembangunan yang memang dibutuhkan masyarakat. Bukan semata-mata pembangunan hanya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Mampukah masyarakat Aceh melakukan hal ini? Jika berbicara masalah partisipasi politik di masyarakat, masih ada sejumlah permasalahan lain, misalnya saja akses media yang digunakan, keterwakilan perempuan dan masalah-masalah lain.
Survey dari World Bank yang dilakukan di 9 kota dan kabupaten di Aceh menunjukkan hasil bahwa pemerintah dinilai kurang tanggap dan kritis terhadap permasalahan masyarakat. Ini ditunjukkan dengan kurang komitmennya pemerintah mengalokasikan dana anggaran pada sektor-sektor publik, seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. (Rais;2006) Jangan sampai, pemerintahan hasil pilihan rakyat nanti juga mengalami hal yang demikian. Pilkada menjadi kesempatan emas untuk menilai para calon yang kritis terhadap masalah masyarakat. Pilkada semata-mata juga bukan ajang pemilihan pemimpin yang dilaksanakan secara struktural dan penuh ceremonial, seperti pemilihan raja dan idola di televisi. Esensi dari pilkada adalah menemukan orang yang bisa membawa rakyat Aceh keluar dari hambatan permasalahan yang selama ini menghantui, yakni permasalahan yang telah ditunjukkan di atas tadi.
D. PERAN PARA AKTOR DALAM MEWUJUDKAN
PILKADA ACEH YANG DAMAI
Pilkada menjadi gerbang awal bagi proses demokratisasi di
Aceh. Namun, Pilkada bukan ajang konflik. Memang, dalam setiap kegiatan politik
akan selalu ditemui gesekan-gesekan karena perbedaan kepentingan. Hal ini yang
seringkali menjadi konflik. Namun jika para aktor dalam suatu event pilkada
dapat mengelola potensi konflik, maka konflik bukan sesuatu yang harus
dihindari tapi dimaknai secara arif. Maka inilah yang perlu dilakukan oleh para
aktor dalam pilkada.
1.
KIP (KOMISI INDEPENDEN PEMILU)
Peran KIP dalam Pilkada di Aceh ini sangat krusial.
Lembaga inilah yang menyelenggarakan pelaksaan pemilu di Aceh. Oleh karena itu,
lembaga ini harus memiliki profesionalitas yang teruji dalam menjalankan tugas
sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KIP perlu menyelenggarakan
pilkada secara seksama dan terstruktur seperti yang telah direncanakan. Sebagai
penyelenggara pilkada, KIP mesti bersifta netral. Jelas, bahwa posisinya bukan
sebagai pendukung para calon tapi mengakomodasi para calon untuk maju ke
pertarungan politik melalui pilkada.
Konflik yang terjadi bisa saja muncul dari kurang tanggapnya KIP terhadap permasalahan mengenai pilkada di masyarakat. Seperti yang diberitakan, terdapat salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang akhirnya tidak ada didatangi oleh sekitar 300an warga masyarakat karena ada permasalahan. Ini adalah bentuk ketidakpuasan warga masyarakat karena ternyata ada warga yang seharusnya bisa mencoblos tetapi oleh panitia pengumungutan setempat tidak diperkenankan mencoblos karena hanya membawa KTP. Padahal, di media massa di Aceh sudah disiarkan, bagi mereka yang hanya memiliki KTP juga bisa turut mencoblos.4 Kenyataan di lapangan berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi di salah satu TPS saja tetapi di berbagai TPS. Masyarakat menjadi tidak percaya terhadap kinerja KIP. Inipun tidak ada tanggapan yang positif dari KIP.
2.
MASYARAKAT DAN PILKADA
Bagaimanapun juga, pelaksanaan pilkada merupakan suatu
kebutuhan bernuansa politis bagi kesejahteraan masyarakat nantinya. Pilkada
diharapkan mampu menghasilkan para pemimpin-pemimpin daerah yang mempunyai
kapabilitas memimpin di Aceh, kecakapan, sikap yang baik dan tentu saja sesuai
dengan yang dibutuhkan dan diharapkan dari masyarakat. Masyarakat Aceh selama
ini mengalami masa krisis yang luar biasa. Sejak berlangsungnya konflik dengan
GAM dan bencana gempa serta tsunami membuat masyarakat Aceh mengalami
pengalaman psikologis yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu, pilkada
menjadi harapan bagi masyarakat Aceh untuk mendapatkan pemimpin yang kiranya
dapat mendengarkan keluahan dan aspirasi mereka. Pilkada membuka harapan baru
untuk dapat keluar dari keterpurukan. Masalah lain, adalah kemiskinan yang ada
di Aceh. Harapannya, dengan pilkada masyarakat bisa menemukan sosok yang bisa
memperbaiki nasib mereka di kemudian hari.
Namun, harapan tanpa aksi adalah sia-sia. Dalam pilkada langsung yang istimewa ini, masyarakat wajib untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan lingkungan politik yang lebih demokratis. Partisipasi aktif sederhana bisa ditunjukkan dengan mengikuti pencoblosan. Ini tanda awal bagi masyarakat bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang mengantarkan pada pintu perubahan yang lebih baik. Selain itu, menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai juga merupakan tanggungjawab bersama antara seluruh pihak termasuk masyarakat.Peran aktif masyarakat dalam menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai sangat penting. Konflik tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Munculnya konflik juga berasal dari gesekan-gesekan masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan dalam pilkada hendaknya tidak perlu menjadi konflik fisik yang hanya akan menghancurkan dan menambah beban bagi masyarakat sendiri. Justru, ketika ditemukan kecurangan-kecurangan di dalam pilkada, masyarakat hendaknya melihat ini sebagai kasus hukum kriminal yang harus diselesaikan lewat jalur hukum juga, bukan melalui kontak senjata.
Kampanye yang melibatkan masyarakat dan memobilisasi massa perlu juga diperlihatakan bahwa rasa damai tetap ada dalam pilkada. Jangan sampai, aksi mobilisasi massa menjadi ajang kerusuhan antar pendukung calon. Bom yang meledak pada saat pencoblosan melukai jalannya pilkada damai. Apalagi, bom meledak di salah satu TPS di Aceh Utara. Peran serta masyarakat untuk menjaga perdamaian belum sepenuhnya dipahami sebagai sebuah proses yang membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan hati. Masih ada beberapa warga yang meneror warga lain dan berusaha menggagalkan pilkada. Rasa ketidakpuasan ini tidak disalurkan ke tempat yang tepat, tetapi justru menimbulkan ketegangan dan kerusuhan.
3.
PANITIA PENGAWAS DAN PEMANTAU PILKADA
Dari data yang didapatkan, pilkada di Aceh termasuk
pilkada yang ramai pemantau. Artinya, banyak sekali lembaga-lembaga pemantau
pilkada, baik yang berasal dari dalam negri maupun, dari luar negeri maupun
dari badan-badan internasional. Tercatat, ada 6 lembaga asing yang memantau
pilkada, yakni: European Union Election Observation Mission (EUEOM), International
Republican Institute (IRI), Asian Networking For Free Election (ANFREL),
National Democratic Intitute (NDI), Pemerintah Amerika Serikat (AS), dan Local
Government Support Program (LGSP). Sedangkan dari dalam negeri terdapat 5
lembaga yakni: Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) dan Komite Independen
Pemantau Pemilihan (KIPP). Adapun pemantau lokal adalah Forum Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Aceh, Aceh International Recovery Program dan I-Card.6
Selain ada pemantau pilkada juga diawasi oleh Panwaslih. Fungsi dari Panwas Pilkada sebenarnya sama pentingnya dengan proses pilkada itu sendiri. Jika ternyata dalam pilkada ditemukan berbagai macam penyelewengan dan pelanggaran maka akan menorehkan tinta merah dalam demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para pengawas dan pemantau pilkada. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pilkada haruslah mendapatkan sanksi yang tegas dengan diproses secara hukum. Panwas harus bekerja ekstra sepanjang berlangsungnya pilkada mulai dari tahap persiapan hingga pelantikan gubernur. Mengawasi jalannya pencoblosan pada 11 Desember 2006 yang lalu menjadi salah satu contoh tugas pengawas pemilu.
Selain ada pemantau pilkada juga diawasi oleh Panwaslih. Fungsi dari Panwas Pilkada sebenarnya sama pentingnya dengan proses pilkada itu sendiri. Jika ternyata dalam pilkada ditemukan berbagai macam penyelewengan dan pelanggaran maka akan menorehkan tinta merah dalam demokrasi di Aceh. Oleh karena itu, pengawasan pemilu hendaknya dilakukan secara cermat dan seksama oleh para pengawas dan pemantau pilkada. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pilkada haruslah mendapatkan sanksi yang tegas dengan diproses secara hukum. Panwas harus bekerja ekstra sepanjang berlangsungnya pilkada mulai dari tahap persiapan hingga pelantikan gubernur. Mengawasi jalannya pencoblosan pada 11 Desember 2006 yang lalu menjadi salah satu contoh tugas pengawas pemilu.
Panitia pengawas harus memiliki kompetensi khusus. Mereka harus bisa solid dan bekerjasama. Jangan sampai pengawas pilkada justru berada di balik money politic selama pilkada. Sebelumnya, anggota panwas memang dibekali dengan pelatihan yang dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh bekerja sama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Kemitraan) yang diselenggarakan dua kali, yakni: 7-8 November dan 10-11 November. Tujuannya adalah membangun kredibilitas dan kompetensi anggota panwas dalam rangka pilkada. Panwas juga dibekali pengetahuan hukum tentang pilkada. Dengan demikian Panwas tidak hanya bekerja secara formalitas, namun juga benar-benar memiliki semangat untuk menjadikan pilkada Aceh menjadi momen yang sangat penting bagi tumbuhnya iklim demokrasi di Aceh. Jangan sampai pilkada diwarnai dengan money politic, aksi-aksi curang dan tidak adil lainnya.
4.
KETERLIBATAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH
Sejak adanya otonomi khusus dan penandatanganan MoU,
peran pemerintah pusat dalam mengurus Aceh menjadi sangat minim. Namun, peran
yang kecil ini jangan mudah dilupakan oleh pemerintah pusat, khususnya dalam
pilkada. Jika fungsi dan peran pemerintah pusat di daerah terlupakan, yang
terjadi adalah saling lempar tanggungjawab. Ketika ada permasalahan di daerah,
maka pemerintah pusat hanya mengandalkan daerah dengan mengatakan “itu adalah
urusan daerah, pusat tidak harus tahu”. Begitu juga di pemerintahan pusat, akan
terjadi saling hujat “pemerintah pusat dirasa kurang tanggap”. Inilah memang
kelemahan dar otonomi khusus di Aceh. Jika yang terjadi demikian maka, bisa
jadi Pilkada Aceh menjadi ajang konflik.
Memang, MoU dan UU PA membuat peran daerah menjadi sangat
besar. Namun kemampuan daerah juga sangat terbatas. Apalagi pelaksanaan pilkada
serentak di satu provinsi Oleh karena itu, perlu ada kerjasama antar daerah
untuk mewujudkan pemilu yang damai dan aman. Pemerintah pusat harus memonitor
dan juga turut mengevaluasi proses pilkada yang terjadi di Aceh. Tidak
semena-mena dengan meninggalkan tanggungjawabnya di Aceh apalagi
penandatanganan MoU di Helsinski jelas bukan antara pemerintah daerah dan GAM
melainkan dengan pemerintah pusat dengan GAM.
5.
PESERTA PILKADA DAN PERWUJUDAN DAMAI
Peserta Pilkada dalam hal ini para calon walikota/bupati
dan gubernur sungguh menjadi sorotan. Merekalan yang nantinya menjadi
pemimpin-pemimpin Aceh. Tugas mereka nantinya sangat berat, karena berbagai
permasalahan masih menghantui masyarakat Aceh, yakni masalah ekonomi dan
penyelesaian rekonstruksi pasca gempa dan tsunami.
Pilkada NAD diawali dengan ikrar damai para calon yang maju untuk menjadi Gubernur. Sebelas orang dari 8 pasangan menandatangani keputusan bersama untuk menjaga agar pemilu NAD berjalan damai, jujur dan adil. Keputusan bersama ini menunjukkan sikap arif yang dimiliki para calon untuk menciptakan stabilitas politik dalam pilkada menuju arah lebih baik. Oleh karena itu, para calon ini harus benar-benar mentaati apa yang telah diputuskan secara bersama-sama ini. Kotrak damai tidak hanya di awal pilkada namun harus diresapkan oleh para calon hingga pilkada selesai yakni saat pelantikan para pemimpin Aceh ini.
Salah satu kelemahan dari ikrar damai adalah kurangnya sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran oleh salah satu calon. Semuanya masih tergantung Undang-undang. Ikrar damai hanya bentuk pernyataan moral para calon kepada masyarakat, pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu, hendaknya ikrar damai tidak hanya berada di jajaran para calon. Para calon juga harus mengajak masyarakat pendukungnya khususnya, dan masyarakat umumnya untuk menciptakan tatanan politik yang damai selama Pilkada. Bagaimanapun juga, konflik selalu ada dalam masyarakat, apalagi masyarakat Aceh masih memiliki trauma politik akibat konflik. Sangat rentan sekali terjadi konflik jika tidak dikendalikan. Para calon bertugas untuk bisa mengendalikan masyarakat. Pada akhirnya, ikrar damai dihayati dari tingkat atas hingga ke akar rumput. Damai Pilkada diharapkan juga berlangsung dan bertahan selamanya.
Para calon yang mengadakan kampanye harus berhati-hati. Mobilisasi massa bisa menjadi salah satu pemicu konflik. Jika dilihat dari background para calon gubernur, ada yang berasal dari GAM dan mendapat dukungan cukup luas. Ada juga yang berasal dari partai politik tertentu. Jika para pendukung ini bertemu, bisa jadi terjadi konflik. Namun pencoblosan berlangsung, hal ini tidak terjadi. Pengendalian dari para calon terhadap pendukungnya ternyata cukup efektif. Sepertinya, masyarakat Aceh sudah cukup lelah untuk berkonflik. Namun, tercatat ada konflik kecil, yakni penyerangan secara sporadis kepada calon gubernur Humam Hamid pada saat kampanye. Akibatnya, sebuah bus kampanye rusak dan banyak umbul-umbul yang dibakar di lokasi kejadian. Meski demikian, pada umumnya, kampanye di Aceh berlangsung cukup aman.
Pilkada NAD diawali dengan ikrar damai para calon yang maju untuk menjadi Gubernur. Sebelas orang dari 8 pasangan menandatangani keputusan bersama untuk menjaga agar pemilu NAD berjalan damai, jujur dan adil. Keputusan bersama ini menunjukkan sikap arif yang dimiliki para calon untuk menciptakan stabilitas politik dalam pilkada menuju arah lebih baik. Oleh karena itu, para calon ini harus benar-benar mentaati apa yang telah diputuskan secara bersama-sama ini. Kotrak damai tidak hanya di awal pilkada namun harus diresapkan oleh para calon hingga pilkada selesai yakni saat pelantikan para pemimpin Aceh ini.
Salah satu kelemahan dari ikrar damai adalah kurangnya sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran oleh salah satu calon. Semuanya masih tergantung Undang-undang. Ikrar damai hanya bentuk pernyataan moral para calon kepada masyarakat, pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu, hendaknya ikrar damai tidak hanya berada di jajaran para calon. Para calon juga harus mengajak masyarakat pendukungnya khususnya, dan masyarakat umumnya untuk menciptakan tatanan politik yang damai selama Pilkada. Bagaimanapun juga, konflik selalu ada dalam masyarakat, apalagi masyarakat Aceh masih memiliki trauma politik akibat konflik. Sangat rentan sekali terjadi konflik jika tidak dikendalikan. Para calon bertugas untuk bisa mengendalikan masyarakat. Pada akhirnya, ikrar damai dihayati dari tingkat atas hingga ke akar rumput. Damai Pilkada diharapkan juga berlangsung dan bertahan selamanya.
Para calon yang mengadakan kampanye harus berhati-hati. Mobilisasi massa bisa menjadi salah satu pemicu konflik. Jika dilihat dari background para calon gubernur, ada yang berasal dari GAM dan mendapat dukungan cukup luas. Ada juga yang berasal dari partai politik tertentu. Jika para pendukung ini bertemu, bisa jadi terjadi konflik. Namun pencoblosan berlangsung, hal ini tidak terjadi. Pengendalian dari para calon terhadap pendukungnya ternyata cukup efektif. Sepertinya, masyarakat Aceh sudah cukup lelah untuk berkonflik. Namun, tercatat ada konflik kecil, yakni penyerangan secara sporadis kepada calon gubernur Humam Hamid pada saat kampanye. Akibatnya, sebuah bus kampanye rusak dan banyak umbul-umbul yang dibakar di lokasi kejadian. Meski demikian, pada umumnya, kampanye di Aceh berlangsung cukup aman.
Para calon akan selalu berjanji tetapi tidak perlu memprovokasi. Prokasi yang dilakukan oleh calon pemilu memunculkan stereotipe kepada kelompok lain. Hal ini yang seringkali menjadi pemicu konflik. Kampanye berusaha memperlihatkan kapasitas diri yang terbaik, bukan ajang menjatuhkan, menjelek-jelekkan calon lain. Semua calon harus bisa menunjukkan kemampuannya sebagai gubernur agar masyarakat menaruh perhatian dan simpati yang mendalam. Tetapi di ujungnya nanti, bagi calon yang terpilih harus bisa melaksanakan janji-janjinya. Jangan sampai perhatian dan simpati masyarakat hilang ketika pemimpin mereka tidak bisa menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan janji-janji yang diucapkan
6.
TNI/POLRI HARUS MENCIPTAKAN SUASANA DAMAI
Keberadaan
TNI di Aceh membuat trauma bagi masyarakat Aceh. Peran TNI sebagai pelindung
masyarakat ternyata tak cukup dibuktikan selama 30 tahun saat konflik. TNI
cenderung menjadi pembunuh bagi GAM yang juga bagian dari masyarakat Aceh.
Peran TNI benar-benar tidak bisa membuat masyarakat menjadi lebih tenang,
tetapi jutsru ketegangan. Masyarakat telah terlanjur memberikan stigma yang
negatif terhadap keberadaan TNI di Aceh. Apalagi, selama konflik, jumlah
personel yang diterbangkan ke Aceh selalu ditambah. Aceh bukan menjadi lahan
hidup masyarakat tetapi justru menjadi medan perang.
Setelah MoU, stigma terhadap TNI mulai bergeser. Menurut perjanjian, TNI mulai banyak yang ditarik dari bumi Aceh. TNI menjadi alat pangaman masyarakat Aceh, bukan lagi alat negara untuk menghancurkan pemerontak. Stigma negatif selama konflik terhadap TNI memang mulai pudar, namun semata-mata bukan sikap TNI yang berubah tetapi lebih pada tuntutan situasi. Satu hal yang menonjol adalah adanya penandatanganan MoU.
TNI di Aceh harus mereformasi sikap di tengah masyarakat. Secara individu, TNI harus bisa bergabung dalam masyarakat luas, menjadi pengayom dan pelindung. TNI tidak harus memandang masyarakat menjadi dua, mana yang GAM dan mana yang bukan GAM. Pasca MoU, tidak ada kata GAM dan bukan GAM, yang ada hanyalah masyarakat Aceh. Mereka yang memang mengacaukan keamanan baru bisa ditindak. Dari pihak TNI, stigma negatif tentang GAM juga harus dihilangkan. Kenyataannya, selama 30 tahun konflik yang terjadi selalu antara pihak TNI dan GAM, oleh karena itu pengendalian konflik juga harus berasal dari TNI. Mulai dari atasan hingga bawahan. Mau tidak mau, Pilkada Aceh yang rentan konflik harus diantisipasi. TNI dan POLRI harus mewujudkan damai di tengah masyarakat.
Setelah MoU, stigma terhadap TNI mulai bergeser. Menurut perjanjian, TNI mulai banyak yang ditarik dari bumi Aceh. TNI menjadi alat pangaman masyarakat Aceh, bukan lagi alat negara untuk menghancurkan pemerontak. Stigma negatif selama konflik terhadap TNI memang mulai pudar, namun semata-mata bukan sikap TNI yang berubah tetapi lebih pada tuntutan situasi. Satu hal yang menonjol adalah adanya penandatanganan MoU.
TNI di Aceh harus mereformasi sikap di tengah masyarakat. Secara individu, TNI harus bisa bergabung dalam masyarakat luas, menjadi pengayom dan pelindung. TNI tidak harus memandang masyarakat menjadi dua, mana yang GAM dan mana yang bukan GAM. Pasca MoU, tidak ada kata GAM dan bukan GAM, yang ada hanyalah masyarakat Aceh. Mereka yang memang mengacaukan keamanan baru bisa ditindak. Dari pihak TNI, stigma negatif tentang GAM juga harus dihilangkan. Kenyataannya, selama 30 tahun konflik yang terjadi selalu antara pihak TNI dan GAM, oleh karena itu pengendalian konflik juga harus berasal dari TNI. Mulai dari atasan hingga bawahan. Mau tidak mau, Pilkada Aceh yang rentan konflik harus diantisipasi. TNI dan POLRI harus mewujudkan damai di tengah masyarakat.
7.
PERS DAN KEHIDUPAN POLITIK ACEH
Peran
yang tak kalah penting dalam suanana kehidupan demokrasi suatu masyarakat
adalah media massa. Media massa atau pers merupakan sarana pencapaian
demokratisasi pemilu yang bisa menyentuh semua kalangan, baik di tingkat
masyarakat hingga pejabat pemerintahan. Memberdayakan media massa dalam
memberikan suasana demokratis merupakan usaha yang efektif dalam suatu negara.
Dalam artian ini, Media massa tidak menutup diri dalam kehidupan politik suatu
negara tetapi menjadi sarana yang terbuka bagi siapa saja untuk memberikan
informasi maupun pemberitaan yang penting bagi masyarakat yang menyangkut
informasi politik.
Namun, di dalam kehidupan politik yang penuh konflik, media massa menjadi sarana yang melanggengkan konflik. Dengan bahasa, media massa bisa memberikan informasi yang sifatnya profokatif. Media massa mampu menggerakkan massa. Sebelumnya, terbentuk suatu opini publik mengenai issue politik krusial yang berkaitan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kelompok lain ditonjolkan lainnya dimarjinalkan. Oleh karena itu, aktor di media massa perlu menjadi titik perhatian dalam kehidupan politik.
Sama halnya yang harus terjadi di Aceh. Media massa harus menjadi media yang memanusiakan manusia, memberikan informasi yang tepat tanpa dilebihkan dan ditutup-tutupi. Pemberitaan-pemberitaan harus senetral mungkin dan tidak memihak manapun. Dalam konteks pilkada, media harus menjadi saluran aspirasi bagi semua calon dan masukan juga dari masyarakat. Dengan demikian, media massa juga turut mengembangkan kehidupan politik yang lebih demokratis di Aceh.
Pemberitaan di media massa, baik lokal di Aceh maupun nasional harus mampu membangun pemikiran yang kritis bagi masyarakat. Selain itu, pers harus memberikan informasi terbuka dan jujur jika mendapati terjadinya penyelewengan-penyelewengan oknum pilkada. Inilah yang dinamakan watchdog, media berperan sebagai pengawas bagi jalannya perpolitikan, dalam hal ini adalah keberlangsungan pilkada yang jujur, adil, aman dan damai. Bukan malah menjelek-jelekkan salah satu calon dan mengagungkan calon lain. Jika terjadi demikian, netralitas pemberitaan di media massa perlu dipertanyakan kembali.
Pers juga bisa menjadi tempat untuk berdialog antara para calon dan masyarakat. Pers harus mampu akomodatif dalam menginformasikan para calon gubernur dan walikota/bupati. Informasi yang disampaikan tentu saja yang benar. Pers juga bisa mencatat janji-janji yang dikeluarkan para calon. Nantinya, para calon yang sudah membuat janji, bisa ditagih melalui pers, karena pers telah menjadi monitoring kampanye para calon.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Berkat
MoU situasi politik di NAD semakin terkendali. Momen MoU adalah titik tak
terlupakan bagi semua pihak dan menjadi penyelesaian konflik yang selama ini
terjadi. Namun, tidak hanya formalitas cermony MoU yang menjadi fokus utama,
tetapi proses damai ke depan. Salah satu ketetapannya adalah pilkada Aceh.
Pelaksanaan pilkada merupakan suatu momen yang juga telah lama dinanti-nantikan
oleh masyarakat Aceh. Tidak hanya sekedar pelaksanaannya tetapi proses pilkada
yang aman dan damai menjadi harapan semua pihak untuk mewujudkan Aceh yang
lebih sejahtera dan bahagia. Analisa di atas memang menunjukkan keberhasilan
Aceh kehidupan berpolitik, khususnya dalam masalah pilkada.
Melalui tulisan diatas ada beberapa hal yang bisa dikaitkan dengan potensi-potensi konflik yang ada di Aceh, yakni: pertama, pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap perpolitikan di Aceh. Ini bisa menghambat proses demokorasi melalui pilkada. Ketidakkritisan masyarakat dan rendahnya pengetahuan membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh orasi-orasi politik dan kegiatan politik yang curang. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi masyarakat Aceh perlu ditingkatkan dengan sosialiasi dari pemerintah nantinya dan media massa. Kedua, munculnya partai lokal juga bisa menjadi pemicu konflik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada sisi lain di balik demokratisasi pemunculan partai politik lokal, yakni parta politik lokal menjadi alat untuk menguasai Aceh. Ketiga, adanya ancaman terhadap money politic dan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para calon.
Melalui tulisan diatas ada beberapa hal yang bisa dikaitkan dengan potensi-potensi konflik yang ada di Aceh, yakni: pertama, pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap perpolitikan di Aceh. Ini bisa menghambat proses demokorasi melalui pilkada. Ketidakkritisan masyarakat dan rendahnya pengetahuan membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh orasi-orasi politik dan kegiatan politik yang curang. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi masyarakat Aceh perlu ditingkatkan dengan sosialiasi dari pemerintah nantinya dan media massa. Kedua, munculnya partai lokal juga bisa menjadi pemicu konflik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada sisi lain di balik demokratisasi pemunculan partai politik lokal, yakni parta politik lokal menjadi alat untuk menguasai Aceh. Ketiga, adanya ancaman terhadap money politic dan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para calon.
Namun peran serta para aktor dalam pilkada untuk mewujudkan kedamaian di Aceh menjadi lebih penting karena bisa menimalisir konflik yang terjadi dan meredam potensi konflik. Lalu bagaimana solusinya untuk menghasilkan pilkada yang aman dan damai? Pertama perlunya profesionalitas kerja bagi KIP dan serta penegakan hukum jika terjadi pelanggaran dalam pilkada, ini bekerja sama dengan aparat keamanan. Kedua, memaksimalkan fungsi parpol sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Ketiga, memaksimalkan peran aparat keamanan dalam mengatasi konflik. Aparat justru bukan pemicu konflik. Selama konflik TNI selalu menjadi musuh. Tapi dalam pilkada TNI harus menjadi fasilitas pengaman bukan pengacau. Keempat, Peran serta aktif masyarakat dan pemerintah dalam menciptakan keamanan dan lancarnya pilkada Aceh. Masyarakat bisa berpartisipasi aktif dengan tidak melakukan penyebaran issue pemicu konflik dan aktif dalam pencoblosan. Serta, tidak mudah terpancing issue-issue yang sifatnya mengangkat konflik. Pemerintah juga harus peka terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat. Kelima, peran media massa juga cukup penting. Pers harus bersikap netral dalam pemberitaan. Berita-berita yang dikeluarkan bisa menjadi agenda di masyarakat, oleh karena itu, hendaknya yang disebarkan di masyarakat adalah apa yang dibutuhkan di masyarakat dan bukan memicu mobilasasi konflik.
REFERENSI
Arif,
Ahmad. 2006. Saatnya Memilih Pemimpin dengan Damai…. Kompas Cyber Media. http://kompas.com/kompas-cetak/0609/15/Politikhukum/2954873.htm. (diakses tanggal 8 Desember 2006).
Budi,
Setio. 2002. “Partai Politik, Politikus dan Manajer Komunikasi. dalam Politik,
Demokrasi dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Galang Press.
Duverger,
Maurice. 1996. Sosiologi Politik. Cet-V. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Isenhart,
Myra Warren dan Michael Spangle. 2000. Collaborative Approaches to Resolving
Conflict. London: Sage Publication.
Ispandriarno,
Lukas S. 2002. “Komunikasi Politik di Era Transisi”. dalam Politik, Demokrasi
dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Galang Press.
Media
Center Aceh. 2005. Sejarah Aceh. Media online. http://www.mediacentera ceh.org/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid=1
(diakses tanggal 8 Desember 2006).
Muradi.
2005. Eksperimen Politik. Pikiran Rakyat Online. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/19/0108.htm. (diakses tanggal 8 Desember 2006).
Nimmo,
Dan. 2000. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Cet II. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rais,
Yuli Zuardi. 2006. Pilkada dan Agenda Rakyat. Jurnal Online. http://www.ace hinstitute.or
g/opini_yzr_pilkada_&_agenda_rakyat_041106.htm. (Diakses tangga 12 desember
2006).
Urofsky,
Melvin. 2002. “Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi”. dalam Politik, Demokrasi dan
Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Galang Press.
Yudhoyono,
Susilo Bambang dan Andi Amir Husri. 2002. “Komunikasi Politik dan Demokratisasi
di Indonesia”. dalam Politik, Demokrasi dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta:
Galang Press.
0 comments:
Post a Comment