Pemilukada : Realita Politik Aceh
PERGOLAKAN
konflik bersenjata berakhir secara demokratis setelah ditandatanganinya
kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), yang biasa di sebut MoU Helsinki. Tindak lanjut dari kesepakatan
damai diwujudkan Undang-Undang (UU) Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA). Secara khusus Undang-Undang tersebut lahir sebagai suatu bentuk
kebijakan nasional Republik Indonesia yang bertujuan untuk mengatur
penyelengaraan Pemerintahan Aceh sesuai dengan kerangka MoU Helsinki, kondisi
ini tentu saja bisa di maknai sebagai penguatan demokratisasi di indonesia
khususnya di Aceh, karena menyelesaikan konflik Aceh tanpa mengunakan kekuatan
militer.
Dalam
perjalanannya kondisi sosial politik di Aceh kian dinamis ketika memasuki
pemilukada tahun 2006, pemilukada pertama pasca konflik ini berjalan dengan
sangat terbuka dan memberikan dinamika yang unik dalam proses demokratisasi di
Aceh, kerena pada saat pemilukada yang diselenggarakan Desember 2006 ini
pulalah calon perseorangan dari jalur independen untuk pertama kalinya
diperbolehkan ikut bertarung dalam pilkada di Indonesia. Dan penyelengaraan
pemilukada pun berjalan sangat terbuka dan demokratis, tentu saja memberikan
ruang kepada Partai Politik Nasional (PARNAS) dan calon perseorangan yang
berasal dari eks- kombatan untuk ikut berkompetisi menjadi calon bupati/wakil
bupati, walikota/wakil walikota dan gebernur/wakil gebernur. Dan kepercayaan
masyarakat terhadap para calon perseorangan yang berasal eks- kombatan sangat
besar, hal ini terbukti hampir semua calon perseorangan yang berasal dari
eks-kombatan menang di 17 kabupaten kota serta provinsi.
Partisipasi
politik rakyat Aceh semakin mencuat ketika memasuki pemilu tahun 2009 yang
lalu, pada saat pemilu tahun 2009 tranformasi politik Aceh sangat panas karena
ketatnya persaingan antara Partai Politik Nasional (PARNAS) dengan Partai Lokal
(PARLOK) dalam memperebutkan empati rakyat. Antusias rakyat Aceh untuk
mendukung Partai Lokal khususnya Partai Aceh sangat besar, hal ini dapat
dilihat ketika kampanye Partai Aceh mampu mengkonsolidasi ribuan masyarakat
sipil dan terbukti secara demokratis Partai Aceh menang pada saat pemilu dengan
perolehan suara mencapai 48,78 % keberhasilan Partai Aceh dalam memenangi
pemilu tahun 2009 yang lalu telah mendudukan 33 kader terbaiknya di kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedangkan di tingkat kabupaten/ kota Partai Aceh
menguasai 237 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di 21 kabupaten/ kota
di Aceh
Keberhasilan Partai Aceh dalam memenangi pemilu 2009 yang lalu
menunjukkan bahwa dukungan rakyat Aceh kepada Partai Aceh yang kebanyakan
berasal dari eks- kombatan sangat kuat, namun sayang dukungan masyarakat yang
sangat kuat ini tidak menjadikan Partai Aceh tetap solid dalam memperjuangkan
kewenangan Aceh yang telah di atur dalam UUPA, tetapi terlihat bahwa kader
Partai Aceh di DPRA belum menunjukkan kemajuan untuk mewujudkan cita-cita MoU
helsinki. Dan sering terjebak pada berbagai persoalan yang pragmatis kemudian
berakibat terjadinya keretakan dan kecemburuan antara sesama eks- kombatan.
Polemik Calon Perseorangan
Euforia
politik menjelang Pemilukada tahun 2011 penuh dengan dinamika yang kemudian
menjadi polemik dan konflik antara legislatif, eksekutif dan KIP Aceh
(konflik regulasi) tentang pro dan kontra calon perseorangan. telah menjadikan
isu pilkada Aceh menjadi isu terhangat sepanjang tahun 2011 ini. Isu calon
perseorangan telah melewati beberapa tahap yang dikemas menjadi suatu
perjalanan politik yang penuh dengan teka teki yang membuat hampir semua elemen
masyarakat di Aceh terhegemoni oleh pro dan kontra calon perseorangan. Tahap
yang pertama adalah telah dikirim kembali Raqan Pemilukada kepada DPRA oleh
Kementerian Dalam Negeri, dan kemudian tahap kedua yang manarik adalah 16
partai politik yang dipelopori oleh Partai Aceh sepakat untuk menunda
pemilukada yang dijadwalkan KIP Aceh tanggal 14 November 2011 dan koalisi
partai ini berhasil dengan penundaan pemilukada sampai dengan tanggal 24
Desember 2011 dan tahap ketiga adalah timbulnya pergerakan dari masyarakat
sipil diberbagai daerah di Aceh yang bertujuan untuk menunda seluruh tahapan
pemilukada Aceh sebelum konflik regulasi dapat terselesaikan.
Kemudian
TA Khalid dan Fadhlullah menggugat KIP Aceh ke Mahkamah Konstitusi, dengan
permohonannya meminta membatalkan seluruh tahapan pemilukada Aceh. Menyikapin
permohonan dari TA Khalid dan Fadhlullah pada tanggal 24 November 2011 Mahkamah
Konstitusi mengelar sidang putusan akhir yang dibacakan oleh ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa tahapan Pemilukada yang
disusun KIP Aceh sudah sesuai dengan peraturan perundang– undangan. Soal
pilkada harus berdasarkan Qanun, Mahkamah Konstitusi menilai Qanun Nomor 7
Tahun 2006 tetap bisa menjadi payung hukum karena rancangan Qanun baru (hasil
konsensus) tidak dapat diselesaikan oleh legislatif Aceh. ”Dengan tidak adanya
Qanun Baru maka secara hukum qanun lama tetap berlaku dan dapat diberlakukan”,
selain itu hakim konstitusi juga menyatakan calon perseorangan dalam pemilukada
Aceh sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak pula melanggar butir 1.2.2 MoU Helsinki.
Mahkamah
Konstitusi Meluruskan bahwa tidak ada konflik regulasi yang terjadi di Aceh
menyangkut pelaksanaan pemilukada seperti halnya yang didahlilkan permohon
dalam pokok permohonannya “menyangkut pelaksanaan pemilukada, aturannya sudah
jelas dan termohon sebagai penyelenggara pemilukada telah menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan baik sebagaimana aturan perundang-undangan yang berlaku”
(Harian Aceh, 25 November 2011) sebelum keputusan final Mahkamah Konstitusi
yang dibacakan tanggal 24 november 2011, Mahkamah Konstitusi telah membacakan
Keputusan Sela, dalam keputusan sela Mahkamah Konstitusi pemilukada Aceh akan
dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2012.
Melihat
polemik calon perseorangan menjelang Pemilukada Aceh saat ini, bagaimana
potensi pemilukada Aceh kedepan? Apakah penguatan demokrasi yang
diimplementasikan dengan legalnya calon perseorangan untuk mengikuti pemilukada
Aceh akan tetap menjaga perdamaian Aceh?. Atau akan terjadi gesekan sesama
bangsa Aceh ?
Konflik eks- kombatan
Pemetaan
objektif menyangkut kisruh pemilukada Aceh yang terjadi saat ini sebenarnya
konflik politik tidak hanya bersumber dari pro dan kontra calon perseorangan
yang selanjutnya menjadi polemik antara legislatif, eksekutif dan KIP Aceh
(konflik regulasi) namun ada suatu konflik politik sesama eks-kombatan atau
”GAM VS GAM” antara Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh. Indikasi hal ini dapat
dilihat dengan naiknya Irwandi Yusuf menjadi calon gebernur tidak melalui
Partai Aceh, padahal ketika pilkada tahun 2006 yang lalu Irwandi Yusuf sangat
mendapat dukungan dari berbagai elemen eks-kombatan yang saat ini berada di
Partai Aceh. Dan tidak dimasukkannya calon perseorangan ke dalam Raqan Pilkada
oleh DPRA. hal ini memperlihatkan bahwa Partai Aceh yang dikendalikan “Mahlik
Mahmud berkeinginan menghentikan langkah Irwandi Yusuf untuk maju menjadi calon
gubernur melalui jalur perseorangan”, dan “Partai Aceh juga akan berusaha untuk
menunda pemilukada Aceh atau memboikot pemilukada Aceh”. Kalau pemilukada
ditunda ada harapan dari Partai Aceh Raqan pemilukada Aceh akan ditandatanganin
oleh Pjs Gubernur Aceh (pernyataan Abdullah Saleh, Atjeh Post, 10 Juli 2011)
Mencermati
dinamika politik menjelang pemilukada saya beramsumsi bahwa pertama tahapan dan
konflik menjelang pemilukada akan menjadikan rakyat Aceh lebih cerdas dalam
memahami realita politik Aceh, kedua ketika tidak ada komunikasi antar elite
politik di Aceh, dalam menyelesaikan persoalan konflik politik ini dan elite
politik lebih mengutamakan egonya, maka besar kemungkinan kekerasan yang
berbentuk politik menjelang dan sesudah pemilukada akan terjadi di Aceh.
Tercatat
setidaknya sudah ada empat kasus kekerasan yang membuat keresahan dikalangan
masyarakat sipil di Aceh yaitu meledaknya granat di depan kantor tim sukses
Irwandi Yusuf–Muhyan Yunan, selang dua hari kemudian sebuah granat meladak lagi
di trotoar jalan Tgk Daund Beureueh di depan wisma Lampreit, beberapa hari
berselang adanya kasus penembakan buruh pabrik yang sedang beristirahat siang
di Geudong Pase, Aceh Utara, kemudian pada tanggal 9 Desember adanya ancaman
bom di kantor Bupati Aceh Utara.
Apabila kekerasan terus terjadi di Aceh tanpa adanya penyelesaian secara hukum
akan membuat penyelengaraan pemilukada Aceh menjadi Rawan akan timbulnya ceos,
Dan hal ini sangat berbahaya terhadap pembangunan politik yang sedang berlangsung
di Aceh, elemen masyarakat harus menentukan peranya untuk mendesak elite agar
menghentikan kekerasan dan konflik politik yang terjadi saat ini, jadikanlah
pesta demokrasi ini menjadi jalan untuk mendapatkan kebaikan bersama guna
mengwujudkan cita-cita MoU helsinki.
0 comments:
Post a Comment