BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Tarik ulur tentang Wali Nanggroe menjadi topik
krusial yang berkembang, di ujung masa tugas para anggota DPRA periode
2004-2009. Di tengah harapan agar Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe dapat
disahkan sebelum mereka lengser sebagai anggota dewan, ternyata pihak eksekutif
selaku pemegang kendali Pemerintahan Aceh menganggap Qanun tersebut belum
mendesak untuk ditetapkan dalam waktu dekat ini. Raqan Wali Nanggroe yang diajukan sebagai usul
inisiatif DPRA, dalam Sidang paripurna lanjutan pembahasan lima rancangan qanun
(raqan) di Gedung Utama DPRA, kembali ditolak untuk dilanjutkan pembahasannya.
Sikap Pemerintah Aceh tersebut disampaikan Sekdaprov Husni Bahri TOB, dalam
membacakan jawaban/penjelasan gubernur terhadap pemandangan anggota dewan dan
sejumlah pansus terhadap lima raqan yang sedang dibahas bersama.
Penolakan pihak eksekutif tersebut setidaknya memiliki dua alasan, yakni bahwa saat ini banyak hal lain di Aceh yang perlu untuk mendapatkan penanganan dan perhatian dengan segera. Dalam hal ini rencana pemberlakukan Qanun Wali Nanggroe, akan memunculkan konsekuensi pada penambahan beban anggaran APBA. Sehingga pihak eksekutif merasa ada prioritas lain yang lebih mendesak untuk disegerakan, daripada permasalahan Wali Nanggroe. Selain itu dari segi substansi, Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh menilai Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA dianggap masih perlu adanya penyempurnaan dan penyelarasan karena dikhawatirkan akan bersinggungan dengan Raqan yang sudah ada. Penyelarasan tersebut diantaranya terkait keberadaan Majelis Adat Aceh yang menjalankan salah satu fungsi Wali Nanggroe sebagaimana tercantum dalam Qanun No. 9 tahun 2008, namun demikian dalam Raqan Wali Nanggroe belum terdapat satu pasal pun yang menjelaskan, dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan oleh Majelis Adat Aceh (MAA).
Sesuai dengan kesepakatan Pemerintah RI dan GAM dalam MoU Helsinki, Wali Nanggroe di Aceh dimungkinkan keberadaannya, sesuai dengan butir 1.1.7 yang menegaskan Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Selanjutnya secara legalitas perumusan lembaga Wali Nanggroe diatur lebih lanjut pada Bab XII pasal 96 dan 97 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam ketentuan itu keberadaan dan fungsi Wali Nanggroe secara gamblang disebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. Di samping itu Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali
Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Sedangkan ketentuan-ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta
pemilihan, masa jabatan, kedudukan, protokoler, keuangan dan lain-lainnya yang
menyangkut Wali Nanggroe akan diatur dengan Qanun Aceh.
Dalam dinamika politik Aceh yang berkembang pesat saat ini, pro dan kontra menyikapi penyusunan Qanun Wali Nanggroe, dikhawatirkan akan terus bergulir serta berkembang ke arah yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh bila tidak disikapi dengan benar dan proporsional. Menyikapi masalah Wali Nanggroe, kelompok yang berseberangan dengan kelompok GAM sewaktu konflik di Aceh lalu, tentu saja akan bersikap menolak diberlakukannya Wali Nanggroe di Aceh, karena dinilai memberikan celah tetap terbukanya separatis di Aceh.
Dalam dinamika politik Aceh yang berkembang pesat saat ini, pro dan kontra menyikapi penyusunan Qanun Wali Nanggroe, dikhawatirkan akan terus bergulir serta berkembang ke arah yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh bila tidak disikapi dengan benar dan proporsional. Menyikapi masalah Wali Nanggroe, kelompok yang berseberangan dengan kelompok GAM sewaktu konflik di Aceh lalu, tentu saja akan bersikap menolak diberlakukannya Wali Nanggroe di Aceh, karena dinilai memberikan celah tetap terbukanya separatis di Aceh.
Sikapi itu muncul diantaranya didasari pandangan
kelompok eks GAM, bahwa terkait hirarki antara Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh,
di kalangan kelompok tersebut berkembang pandangan bahwa posisi Wali Nanggroe
berada di atas Gubernur Aceh. Wali Nanggroe tidak hanya sekedar simbol
pemersatu, namun memiliki kewenangan melebihi pemerintahan (gubernur). Wali
Nanggroe berhak membubarkan parlemen, menegur bahkan memecat gubernur bila
dinilai tidak mampu memimpin. Bila pandangan itu masih dipegang oleh kalangan
eks GAM, maka hal ini sudah jauh menyimpang dari ketentuan yang tertulis dalam
UU PA. Dari pandangan itu, jelas bahwa Wali Nanggroe versi itu, sangat memiliki
kewenangan yang kuat melebihi kewenangan seorang gubernur di Aceh. Hal ini pula
yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan di Aceh terhadap kemungkinan
diberlakukannya Qanun Wali Nanggroe, selain karena memang tidak sesuai dengan
ketentuan tata pemerintahan di Indonesia.
Mencermati Raqan Wali Nanggroe yang diajukan oleh
DPRA, secara garis besar memang telah sesuai dengan apa yang tertuang dalam
UUPA. Dimana disebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah tidak lebih dari sebuah
lembaga adat dan bukan lembaga politik, namun demikian memang masih diperlukan
adanya penyempurnaan sehingga terjadi keselarasan dengan Qanun Aceh lainnya,
terutama terkait dengan hubungan antara Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh. Bila
memang betul pemerintah Aceh menolak Raqan Wali Nanggroe atas dasar prioritas
program dan masih perlu adanya penyempurnaan substansi, maka hal tersebut
adalah hak dari eksekutif dan tidak perlu lagi untuk diperdebatkan. Ke depan
terkait dengan Wali Nanggroe, yang perlu untuk kita cermati bersama adalah
kiprah anggota DPRA periode mendatang, yang akan dilantik akhir tahun lalu
dalam menyelesaikan Raqan tersebut. Dengan komposisi mayoritas anggota dewan
dari Partai Aceh, bukan tidak mungkin Qanun Wali akan direvisi sesuai dengan
kepentingan mereka yang mayoritas adalah eks anggota GAM/KPA. Seyogyanya semua
kalangan di Aceh, termasuk para anggota dewan terpilih, dapat berfikir bijak
dan arif sehingga tidak lagi memunculkan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan
perdamaian di Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pasang
Surut Adat dalam Pusaran Kebijakan Nasional dan Kedaerahan
Perbincangan mengenai hukum adat dan hukum pemerintahan di
Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan tidak cukup sekedar
dimulai dari jatuhnya rezim Orde Baru. Sejak masa penjajahan Belanda adat
menjadi bagian dari kepentingan politik pemerintahan. Hal yang sama juga
terjadi pada masa pemerintahan Sukarno setelah Indonesia merdeka, zaman Orde
Baru di bawah rezim Suharto sampai zaman reformasi sekarang ini. Meskipun
hubungan antara hukum adat dan pemerintahan yang terbangun pada setiap pemerintahan
berbeda-beda, namun secara umum setiap rezim menggunakan adat sebagai bagian
dari kesuksesan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi
bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia Belanda dalam melancarkan
imperialismenya melalui kebijakan hukum adat (adatrecht). Konsep Adatrecht ini
dikembangan dari Universitas Leiden di mana Cornelis Van Vollenhoven
(1876-1933) menjadi tokoh utamanya.567 Ia mendefenisikan adat sebagai tata
aturan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dengan kata rect, sebuah
kata yang secara konvensional diterjemahkan dalambahasa inggris sebagai ‘law’
atau ‘hukum’ dalam bahasa Indonesia. Defenisi adat sebagai hukum
meminggirkan aspek-aspek adat yang lain seperti tradisi-tradisi sosial,
religius dan seni, maupun kekuasaan ekonomi dan politik yang berbasis adat.
Debat tentang posisi lembaga adat cukup panas terjadi pada tahun
1950-an dan banyak pihak yang menganggap adat sesuatu yang sangat penting,
namun kenyataan dilapangan sistem-sistem adat dibiarkan berjalan apa adanya
tanpa ada rangsangan dan dukungan dari pemerintah. Bahkan di awal 1950-an
peradilan-peradilan adat dihapus hampir di seluruh Indonesia termasuk Aceh dan
digantikan dengan pengadilan negara. Lembaga-lembaga yang lain juga tidak
mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah yang lebih fokus membangun sistem
administrasi negara yang modern.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto
institusi adat mendapat tantangan yang lebih besar lagi. Hal ini disebabkan
kebijakan sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah Suharto. Sentralisasi
merupakan kebijakan di mana pemerintah melakukan intervensi sampai pada tingkat
pemerintah lokal pedesaan. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan
administrasi yang ketat dan serupa di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan
ini tertuang dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintah
Desa. Alasan utama yang dimunculkan adalah kebutuhan pembangunan dan
efektifitas pemerintahan. Akibatnya adalah munculnya suatu sistem yang paling
sentralistis dan tidak punya fleksibilitas sedikitpun untuk memperhatikan
keperluan-keperluan yang ada di daerah-daerah negara yang luas ini. Pemerintah
Orde Baru tetap mengakui kemajemukan budaya dan masyarakat Indonesia dan juga
posisi adat sebagai dasar pluralisme. Tetapi adat hanya diposisikan sebagai
seni dan budaya.
Jatuhnya pemerintah Suharto pada tahun 1998 menjadi momentum yang
sangat penting dalam kebangkitan adat di Indonesia. Beberapa daerah menggunakan
kesempatan ini sebagai awal menguatkan kembali sistem adat yang ada di
daerahnya dari berakhirnya hegemoni pemerintah terhadap institusi pemerintahan lokal
berdasarkan adat. Di bawah pemerintahan B.J. Habibie, Indonesia memasuki babak
baru dalam sistem pemerintahannya dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi
Daerah dimana daerah-daerah memiliki kewenangan dalam membangun sistem
pemerintahan dan pengelolaan keuangan sendiri.
Kewenangan mengelola pemerintahan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Otonomi Daerah bermakna adanya kesempatan kepada masyarakat adat
di berbagai daerah untuk mengembalikan peran adat dalam kehidupan sosial dan
pemerintahan lokal. Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru ini maka
komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah di Indonesia mulai bangkit dan
menjalin komunikasi. Komunikasi antar daerah ini difasilitasi oleh beberapa
LSM-LSM Indonesia. Dari komunikasi ini lahir sejenis gerakan yang dinamakan
diri sebagai gerakan masyarakat adat. Pada tanggal 21 Mei 1999 masyarakat adat
di seluruh Indonesia melakukan kongres pertama di jakarta dan menyimpulkan
beberapa poin penting.
Pasca jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, di
Aceh konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah
Republik Indonesia (RI) terus berlanjut. Konflik bersenjata yang terjadi di
Aceh pada awal reformasi ini menyebabkan banyak efek dari kebijakan pemerintah
Indonesia di bawah rezim reformasi tidak berkembang, termasuk kebijakan
mengenai Otonomi Daerah. Meskipun pemilihan umum tahun 1999 dan 2004 di Aceh
dilaksanakan sebagaimana di daerah lain di Indonesia, namun dari sisi
partisipasi masyarakat dan proses pelasanaannya dipengaruhi oleh tekanan
konflik dan perang bersenjata antara pasukan TNI/Polri dengan GAM.
Kondisi tersebut
menyebabkan revitalisasi adat di Aceh tidak seiring dengan apa yang terjadi di
daerah lain di Indonesia. Namun, demikian bukan berarti di Aceh tidak ada usaha
ke arah revitalisasi tersebut. Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia dan
lokal Aceh memberikan dampak pada usaha revitalisasi adat. Misalnya UU No.44
Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menegaskan kembali bahwa Aceh adalah
daerah istimewa dalam bidang adat, agama dan pendidikan Penyelenggaraan
keistimewaan tersebut menurut pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan
kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3)penyelenggaraa
pendidikan, dan (4) peran utama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan
Undang-Undang ini pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat adat lokal
untuk bangkit dan memungkinkan kembali adat yang ada dalam masyarakat mereka.
Status keistimewaan Aceh
dikonfirmasikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD). Kebijakan ini menyebabkan lahirnya 3 (tiga) lembaga baru di
Aceh yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA) yang mengurus masalah adat; Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang membidangi masalah agama Islam; dan Majelis
Pendidikan Daerah (MPD) yang membidangi masalah pendidikan. MAA merupakan
perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) yang dibentuk pada masa
Gubernur Aceh Prof.Ali Hasjmy (1957-1964).
Pada tahun 2003 muncul juga sebuah qanun yang cukup penting yaitu:
Qanun No.4 tahun 2003 tentang Mukim. Tetapi pada masa pemerintahan Megawati
Sukarnoputri tahun 2003 di Aceh kembali dilakukan Operasi Militer dan
UndangUndang Otonomi Khusus tidak dapat dilaksanakan. UU tersebut juga cukup
banyak dikritisi oleh kelompok-kelompok masyarakat Aceh maupun pemerhati dari
luar daerah. Kritik umum yang muncul adalah pada pemerintahan Aceh jauh lebih
banyak memfokuskan untuk membangun sistem Syariat Islam dan menguatkan MPU
termarjinalisasikan. Baru setelah proses perdamaian mulai tahun 2005 dan dasar
hukum yang baru tentang Pemerintahan Aceh muncul tahun kemudian revitalisasikan
adat mulai nampak di Aceh. Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu Memorandum
of Understanding (MoU) yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan
mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. MoU tersebut belum banyak
membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam pasal 1.1.6 yang
menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan
adat istiadat rakyat Aceh”.
Dan meskipun tidak menyebut kata adat pasal selanjutnya 1.1.7 yang
tentang pembentukannya Lembaga Wali Nanggroe juga tidak kalah pentingnya
terhadap proses revitalisasi lembaga adat di Aceh. Sebagai tindak lanjut dari
kesempatan damai dan untuk mengimplementasikan MoU Helsinki, Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA) no 11 tahun
2006. Saat ini, Undang-Undang No.18 Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan
UU-PA. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara
lebih spesifik. Bab XII membicarakan tentang Lembaga Wali Nanggroe dan
memposisikan Wali Nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di Aceh. Bab
XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat yang harus difungsikan dan
berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
PemerintahanAceh di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Secara lebih
detail, Bab XV menjelaskan mengenai mukim dan gampong.
Pelaksanaan pasal-pasal UU-PA tentang Adat Pemerintahan Aceh telah
mengeluarkan beberapa regulasi di tingkat provinsi: Qanun No.9 Tahun 2008
tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta Qanun No. 10 Tahun
2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi indikasi
keseriusan Pemerintah Aceh dalam upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku
kembali dab menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan Aceh. Di
sisi lain ini juga dapat menjadi sebuah “sentralisasi” yang dilakukan
Pemerintah Aceh terhadap pluralitas adat yang ada di berbagai kabupaten di Aceh.
Saat ini memiliki 23 kabupaten yang setiap kabupaten memiliki perkembangan adat
tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh, sekalipun memiliki
adat yang khas. Misalnya perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara berbeda
dengan adat di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh.
Implikasi dari UU-PA maupun
qanun-qanun provinsi ini adalah pemerintah kabupaten diminta untuk menghidupkan
kembali lembaga adat Aceh di wilayahnya masing-masing. Setiap kabupaten
diwajibkan menyusun qanun mukim aturan pendukungnya sebagai wujud dari
pemerintahan adat di daerahnya. Dalam qanun mukim akan diatur mengenai
kelembagresaan adat yang lain pernah ada di Aceh seperti keujruen blang,
panglima laot, pawang glee, etua seuneubok, haria peukan dan lain
sebagainya. Bahkan ada kecenderungan memahami lembaga mukim sebagai sebuah
pemerintahan di tingkat mukim, dimana selain memiliki pemimpin eksekutif (imum
mukim) juga memiliki anggota legislatif yang disebut tuha lapan. Lembaga mukim juga diharapkan masuk menjadi bagian dari birokrasi resmi pemerintahan yang membawa beberapa buah gampong.
mukim) juga memiliki anggota legislatif yang disebut tuha lapan. Lembaga mukim juga diharapkan masuk menjadi bagian dari birokrasi resmi pemerintahan yang membawa beberapa buah gampong.
Kelembagaan adat ini di level provinsi, akan dipegang oleh sebuah
lembaga yang disebut dengan Wali Nanggroe merupakan “kepemimpinan adat sebagai
pemersatu nasyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan
mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, istiadat dan
pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
1.2.Peluang
dan Tantangan Peradilan Adat di Aceh dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan
dan Kaum Marjinal
Masyarakat
yang berada di gampong-gampong di Aceh masih sering menggunakan lembaga
adat dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. Kalau ada masalah dan ternyata
tidak dapat diselesaikan di antara kedua belah pihak paling sering masyarakat
di gampong meminta bantuan keuchik untuk menyelesaikannya.
Prosedur penyelesaian sengketa gampong lebih mirip rekonsiliasi dari
pada proses hukum formal. Tetapi harus diakui juga banyak masyarakat di desa
terutama perempuan dan kaum marginal yang masih sangat percaya kepada
penggunaan lembaga adat untuk menangani kasus-kasus sengketa. Mereka justru
merasa lebih nyaman kalau kasus dibawah sistem pengadilan non formal. Masyarakat
miskin di gampong tidak punya pilihan tersebut, karena pada umumnya
mereka tidak mampu membayar proses hukum formal yang lumayan mahal.
Pengertian Peradilan
Adat Pada saat mendengar istilah peradilan adat yang paling sering
terbanyang pada persepsi adalah suatu peradilan yang diselenggarakan di
tingkat-tingat gampong atau desa. Peradilan adat tersebut bertujuan
menyelesaikan sengketa-sengketa menurut adat istiadat dan kebiasaan di
lingkungan masyarakat itu sendiri. Atau boleh jadi ada juga yang terbayang pada
hukum-hukum adat. Untuk sampai pada pengertian peradilan adat tersebut terlebih
dahulu melihat tentang hukum adat. Saat ini hukum adat (adatrecht) di
Indonesia telah menjadi sebuah objek studi para ahli dan telah dipraktekkan
sejak zaman kekuasaan Belanda dan Jepang di Indonesia sebagai penjelasan
sebelumnya.
Tujuan peradilan adat adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah
antar warga di tingkat desa. Namun, keputusan yang diambil secara adat tidak
mempunyai kekuatan hukum secara formal. Misalnya kalau sepasang suami istri
bercerai dalam peradilan adat, secara hukum adat, pasangan ini sudah resmi
bercerai, namun karena hukum itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum secara
formal, maka masih diperlukan sebuah tahapan lain untuk mendapatkan legalitas
formalnya.
Istilah peradilan adat sekarang banyak kita dengar dari kalangan-kalangan
MAA, dan beberapa LSM yang mempunyai program untuk pemberdayaan masyarakat
tersebut. Sedangkan dalam kalangan masyarakat sendiri yang mempraktekkan
mekanisme penyelesaian sengketa lewat lembaga peradilan adat ini tidak
mengatakan menyelesaikan perkara lewat peradilan adat. Masyarakat mempunyai
istilah sendiri seperti pedame ureung (mendamaikan orang), peumat
jaroe, (bejabat tangan), meudame (berdamai).
Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga yang pertama kali
mempopulerkan peradilan adat dan menjadikan program kerja yang kemudian
didukung oleh beberapa NGO lokal dan internasional. Dalam pemberdayaan lembaga
peradilan adat mereka mempunyai program kerjanya masing-masing dan dengan
pendekatan masing-masing pula. Oleh sebab itu istilah peradilan adat sekarang
menjadi lebih dikenal untuk mereka yang meneliti adat dan sebagian kecil
masyarakat umum sekarang juga mulai menyebutkan istilah tersebut. Namun dalam
prakteknya lembaga peradilan adat masih berlangsung menurut kebiasaan dan
tradisi masyarakat setempat. Meskipun banyak tokoh-tokoh adat sudah mengikuti
training atau pelatihan tentang mekanisme tentang tata cara peradilan adat yang
dijalankan seperti halnya peradilan formal, namun dalam prakteknya masih
berjalan sebagaimana biasanya.
Muhammad Umar dalam bukunya Peradaban Aceh mengatakan
peradilan adat adalah pengadilan adat merupakan pengadilan secara adat,
pengadilan adat bukan melayani orang perkara, bukan mencari mana yang benar
mana yang salah, tetapi ialah mengusahakan yang bertikai untuk
berbaikan/berdamai. Penyelesaian perkara melalui lembaga adat merupakan
penyelesaian perkara secara damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara
dan memberikan sanksi adat setempat. Umar juga menambahkan, kalau dilihat dari
sisi filosofisnya, peradilan adat memberikan nilai tambah bagi kehidupan
masyarakat karena bisa tetap menjamin terjaganya keseimbangan kerukunan dan
ketentraman masyarakat. Karena itu peradilan adat disebutkan juga sebagai
peradilan perdamaian yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam
masyarakat yakni gampong dan mukim, majelis ini terdiri dari tokoh mukim dan
tokoh gampong.
MEULIGOE WALI NANGGROE. Begitulah nama bangunan megah nan
kokoh yang belum kunjung difungsikan untuk keperluan Paduka Yang Mulia (PYM)
Tengku Malik Mahmud Al-Haytar saat “bertahta” sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan
gelar panjangnya, Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Meuligoe (istana)
yang nantinya menjadi tempat resmi Malik Mahmud memberikan peuneutoh (perintah) ini beralamat di Jalan
Soekarno-Hatta, Lampeuneurut, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar.
Biaya yang terkuras untuk pembangunannya mencapai Rp 85 miliar.
Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) di Aceh memang penuh
dengan kontroversi. Selain banyak menghabiskan uang rakyat, belum semua elemen
masyarakat Aceh menyetujui pembentukan Lembaga Wali Nanggroe. Terkesan,
pembentukan LWN hanyalah kehendak sepihak dari DPR Aceh (2009-2014) yang secara
mayoritas kursinya dikuasai oleh Partai Aceh, dengan dalih pelaksanaan dari MoU
Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Padahal, banyak
butir dari Qanun (perda) Aceh No. 8 Tahun 2012 tentang LWN justru bertentangan
dengan UU No. 11 Tahun 2006. Belum lagi, tugas dan fungsi LWN banyak tumpang
tindih dengan kewenangan Pemerintah Aceh. Sehingga terlihat LWN telah melakukan
“pencaplokan”. Semestinya, jika memang tidak memberikan kontibusi bagi rakyat
Aceh, sudah selayaknya LWN ditiadakan. Sebab hanya menguntungkan individu
tertentu dan segelintir orang-orang disekelilingnya.
Selintas
Historis Wali Nanggroe
Jika menilik kembali keberadaan Wali Nanggroe dalam lintasan
sejarah Aceh, banyak fakta yang terungkap bahwa Wali Nanggroe telah ada sejak
zaman Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa kekuasaan Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Orang yang pertama menjadi Wali Nanggroe
adalah Abdurrauf As Singkili. Banyak versi yang berkembang tentang kemunculan
Wali Nanggroe. Namun, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa sosok Wali
Nanggroe muncul karena adanya instabilitas politik. Setelah keadaan kembali
stabil, maka peran seorang Wali Nanggroe pun dianggap selesai. Fakta historis
Aceh menunjukkan bahwa pasca-Abdurrauf As Singliki, tidak pernah ada lagi Wali
Nanggroe yang menjadi penggantinya.
Kemunculan sosok Wali Nanggroe kembali terjadi tatkala
Kesultanan Aceh Darussalam sedang menghadapi invasi militer tahap kedua koloni
Kerajaan Belanda (1874 M). Orang yang menjadi Wali Nanggroe itu bernama Tuanku
Hasyim Banta Muda. Karena perang Aceh berlangsung lama, setelah Hasyim
meninggal dunia di Padang Tiji (Pidie), yang menjadi Wali Nanggroe selanjutnya
adalah klan “di Tiro”. Belum ada rincian yang valid tentang “di Tiro” yang mana
pertama kali menjadi Wali Nanggroe pasca-Tuanku Hasyim. Ada yang menyebutkan Teungku
Chik di Tiro Muhammad Saman (Pahlawan Nasional Indonesia).
Namun tak sedikit yang menyebutkan bahwa anaknya yang pertama
kali menjadi Wali Nanggroe, yaitu Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin. Setelah
itu, sayup-sayup terdengar klaim bahwa Wali Nanggroe berikutnya adalah Teungku
Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Amir Husein Al Mujahid, hingga Hasan Muhammad
(Hasan Tiro) yang mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe ketika awal
meletusnya konflik Aceh (1976).
Konflik
Aceh ternyata tidak hanya menimbulkan penderitaan dan besarnya jumlah korban
jiwa bagi rakyat Aceh. Di sisi lain, konflik tersebut menjadi “peluang” bagi
pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mendistorsi sejarah Aceh, yang
“disesuaikan” dengan agenda pendiri GAM, Hasan Muhammad. Sehingga tidak heran,
Hasan Muhammad kerap mengagung-agungkan “darah biru” klan di Tiro dalam
beberapa tulisannya. Seakan-akan hanya klan “di Tiro” lah yang pantas untuk
berkuasa di Aceh. Mayoritas rakyat Aceh pada masa itu belum mengetahui bahwa
Hasan Muhammad sebenarnya ingin mendirikan negara monarki (kerajaan) bagi
keluarganya sendiri. Walau pada akhirnya Tuhan berkehendak lain.
Menjelang akhir hidup Hasan Muhammad, perdamaian antara GAM
dengan Pemerintah Republik Indonesia berhasil dicapai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki,
Finlandia. Konflik berkepanjangan yang menyebabkan penderitaan mendalam dan
keterbelakangan yang massif bagi rakyat Aceh berakhir dengan penandatanganan
Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Sebagian dari butir-butir kesepakatan itu
telah dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sangat disayangkan, justru pihak internal mantan kombatan GAM
lah yang melanggar beberapa butir MoU Helsinki yang ada dalam UU No. 11 Tahun
2006. Salah satunya adalah pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga
Wali Nanggroe, yang isinya banyak “menabrak” ketentuan dalam UU No. 11 tahun
2006 yang menjadi “ikon” andalan Partai Aceh saat menghadapi pemilihan kepala
daerah (pemilukada) maupun pemilu legislatif.
Pengesahan
Qanun No. 8 Tahun 2012 merupakan langkah terbesar bagi seorang pria berdarah
Aceh kelahiran Singapura tahun 1939, Malik Mahmud Al Haytar, untuk menuju kursi
kekuasaan sebagai Wali Nanggroe versi Partai Aceh menggantikan Hasan Muhammad.
Pada Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud Al Haytar resmi dikukuhkan di gedung
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (2009-2014) yang mayoritas kursinya dikuasai
Partai Aceh sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan sebutan Paduka Yang Mulia (PYM)
Tengku Malik Mahmud Al Haytar yang menyandang gelar Al Mukarram Maulana Al
Mudabbir Al Malik.
Wali
Nanggroe tanpa Peran bagi Rakyat Aceh
Pasca
pelantikan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe ke sembilan versi Pemerintahan
Aceh yang dikuasai Partai Aceh, tidak ada tugas yang substantif untuk berperan
secara nyata bagi masyarakat Aceh. Sang Paduka Yang Mulia (PYM) lebih banyak
menemani Zaini Abdullah selaku Gubernur Aceh (2012-2017) yang sedang bertugas
daripada melaksanakan hal lain yang lebih bermanfaat bagi rakyat Aceh.
Kenyataan ini mengindikasikan pembentukan LWN telah mengalami kesia-siaan.
Padahal
jumlah biaya yang dialokasikan bagi LWN bernilai miliaran rupiah. Mulai dari
pembangunan gedung, operasional LWN, kunjungan Wali Nanggroe, hingga tunjangan
lain yang hanya menguras uang rakyat tanpa memberikan kemanfaatan. Bila
ditelaah lebih dalam, Lembaga Wali Nanggroe merupakan “kembaran” sebuah
Kerajaan. Di mana perannya sangat nihil bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Wali Nanggroe sibuk mengenakan “jubah kebesaran” di tengah kubangan kemiskinan
rakyat Aceh yang jumlahnya kian meningkat seiring Zaini Abdullah dan Muzakir
Manaf memimpin Provinsi Aceh (2012-2017).
Nihilnya
peran Paduka Yang Mulia (PYM) Malik Mahmud semenjak menjadi Wali Nanggroe dapat
dilihat dari kesehariannya, kecuali pada momen-momen atau seremoni tertentu
yang lebih ditujukan pada pencitraan. Perannya yang disebut-sebut sebagai
“penyatu” rakyat Aceh hanya sekadar tertulis di atas kertas. Pada kenyataannya,
masih ada elemen-elemen yang tidak setuju pada keberadaan Wali Nanggroe.
Seharusnya, hal yang demikian dapat diredam oleh PYM Malik Mahmud sebagai
penyatu rakyat Aceh yang terdiri dari beragam suku, ras dan agama (SARA).
Oleh
sebab itu, anggota parlemen Aceh pascaperiode DPRA 2009-2014, perlu meninjau
ulang keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang perannya cenderung nihil bagi
rakyat Aceh. Selama ini, keberadaan LWN hanya memboroskan APBA yang seharusnya
digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk kepentingan individu atau
segelintir orang tertentu. Semoga Pemerintahan Aceh di masa mendatang melakukan
koreksi terkait tindakan keliru yang menganggap LWN sangat “bermanfaat” bagi
rakyat Aceh
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Peradilan Adat di Aceh merupakan salah satu kearifan lokal yang
dimiliki Aceh sejak zaman kolonial Belanda. Peradilan adat di Aceh memiliki
pasang surut dalam pusaran kebijakan secara nasional maupun kedaerahan, sama
dengan pelaksanaan adat secara umum di Indonesia. Masyarakat Aceh tanpa
disadari sesungguhnya sering melakukan pemecahan masalah secara tradisional
(pengadilan adat). Peradilan adat merupakan salah satu satu media bagi
perempuan dan kaum marjinal untuk mendapatkan keadilan. Namun, dalam proses peradilan
adat juga masih sering ditemukan bias terutama bagi kaum perempuan dan
marjinal.
Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya: perangkat adat di gampong
yang melaksanakan peradilab adat belum ada keterwakilan perempuan; bila ada
kasus yang diselesiakan secara adat pihak perempuan jarang dilibatkan; dan kaum
perempuan dan kaum marjinal jarang yang diikutsertakan dalam proses peradilan,
biasanya diwakilkan oleh walinya, kecuali sebagai saksi. Peluang yang dimiliki
peradilan adat di Aceh untuk memberikan keadilan bagi perempuan cukup besar
karena adanya dukungan masyarakat, tradisi kebudayaan yang kental akan
nilai-nilai keislaman; adanya dukungan peraturan baik dalam bentuk
Undang-Undang (Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) maupun
beberapa qanun pendukung lainnya; dan adanya lembaga semi pemerintahan, yaitu:
Majelis Adat Aceh (MAA).
Sementara kelemahan yang dihadapi peradilan adat di Aceh, yaitu:
masih kurangnya pengakuan negara/daerah terhadap eksistensinya; mulai
berkurangnya kepercayaan masyarakat; dan kecenderungan masyarakat pada
alternatif penyelesaian hukum yang lain. Untuk menjadikan peradilan adat di
Aceh dapat memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal maka sangat
memerlukan beberapa langkah strategis yang perlu diterapkan yaitu dengan cara
melakukan sosialisasi peradilan adat, penguatan kapasitas personel dan
kelembagaan peradilan adat, membangun kerjasama antar lembaga, dan komitmen
serta keseriusan pemerintah/pemerintah daerah dalam mendukung peradilan adat di
Aceh baik dalam bentuk alokasi dana, sarana prasarana maupun peraturan
pendukung terutama untuk memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal.