Sunday, August 23, 2015

Pasang Surut Adat dalam Pusaran Kebijakan Nasional dan Kedaerahan



BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Tarik ulur tentang Wali Nanggroe menjadi topik krusial yang berkembang, di ujung masa tugas para anggota DPRA periode 2004-2009. Di tengah harapan agar Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe dapat disahkan sebelum mereka lengser sebagai anggota dewan, ternyata pihak eksekutif selaku pemegang kendali Pemerintahan Aceh menganggap Qanun tersebut belum mendesak untuk ditetapkan dalam waktu dekat ini.  Raqan Wali Nanggroe yang diajukan sebagai usul inisiatif DPRA, dalam Sidang paripurna lanjutan pembahasan lima rancangan qanun (raqan) di Gedung Utama DPRA, kembali ditolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Sikap Pemerintah Aceh tersebut disampaikan Sekdaprov Husni Bahri TOB, dalam membacakan jawaban/penjelasan gubernur terhadap pemandangan anggota dewan dan sejumlah pansus terhadap lima raqan yang sedang dibahas bersama.

            Penolakan pihak eksekutif tersebut setidaknya memiliki dua alasan, yakni bahwa saat ini banyak hal lain di Aceh yang perlu untuk mendapatkan penanganan dan perhatian dengan segera. Dalam hal ini rencana pemberlakukan Qanun Wali Nanggroe, akan memunculkan konsekuensi pada penambahan beban anggaran APBA. Sehingga pihak eksekutif merasa ada prioritas lain yang lebih mendesak untuk disegerakan, daripada permasalahan Wali Nanggroe. Selain itu dari segi substansi, Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh menilai Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA dianggap masih perlu adanya penyempurnaan dan penyelarasan karena dikhawatirkan akan bersinggungan dengan Raqan yang sudah ada. Penyelarasan tersebut diantaranya terkait keberadaan Majelis Adat Aceh yang menjalankan salah satu fungsi Wali Nanggroe sebagaimana tercantum dalam Qanun No. 9 tahun 2008, namun demikian dalam Raqan Wali Nanggroe belum terdapat satu pasal pun yang menjelaskan, dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan oleh Majelis Adat Aceh (MAA).

            Sesuai dengan kesepakatan Pemerintah RI dan GAM dalam MoU Helsinki, Wali Nanggroe di Aceh dimungkinkan keberadaannya, sesuai dengan butir 1.1.7 yang menegaskan Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Selanjutnya secara legalitas perumusan lembaga Wali Nanggroe diatur lebih lanjut pada Bab XII pasal 96 dan 97 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam ketentuan itu keberadaan dan fungsi Wali Nanggroe secara gamblang disebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. Di samping itu Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Sedangkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan, protokoler, keuangan dan lain-lainnya yang menyangkut Wali Nanggroe akan diatur dengan Qanun Aceh.
Dalam dinamika politik Aceh yang berkembang pesat saat ini, pro dan kontra menyikapi penyusunan Qanun Wali Nanggroe, dikhawatirkan akan terus bergulir serta berkembang ke arah yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh bila tidak disikapi dengan benar dan proporsional. Menyikapi masalah Wali Nanggroe, kelompok yang berseberangan dengan kelompok GAM sewaktu konflik di Aceh lalu, tentu saja akan bersikap menolak diberlakukannya Wali Nanggroe di Aceh, karena dinilai memberikan celah tetap terbukanya separatis di Aceh.
Sikapi itu muncul diantaranya didasari pandangan kelompok eks GAM, bahwa terkait hirarki antara Wali Nanggroe dan Gubernur Aceh, di kalangan kelompok tersebut berkembang pandangan bahwa posisi Wali Nanggroe berada di atas Gubernur Aceh. Wali Nanggroe tidak hanya sekedar simbol pemersatu, namun memiliki kewenangan melebihi pemerintahan (gubernur). Wali Nanggroe berhak membubarkan parlemen, menegur bahkan memecat gubernur bila dinilai tidak mampu memimpin. Bila pandangan itu masih dipegang oleh kalangan eks GAM, maka hal ini sudah jauh menyimpang dari ketentuan yang tertulis dalam UU PA. Dari pandangan itu, jelas bahwa Wali Nanggroe versi itu, sangat memiliki kewenangan yang kuat melebihi kewenangan seorang gubernur di Aceh. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran sebagian kalangan di Aceh terhadap kemungkinan diberlakukannya Qanun Wali Nanggroe, selain karena memang tidak sesuai dengan ketentuan tata pemerintahan di Indonesia.
Mencermati Raqan Wali Nanggroe yang diajukan oleh DPRA, secara garis besar memang telah sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUPA. Dimana disebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah tidak lebih dari sebuah lembaga adat dan bukan lembaga politik, namun demikian memang masih diperlukan adanya penyempurnaan sehingga terjadi keselarasan dengan Qanun Aceh lainnya, terutama terkait dengan hubungan antara Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh. Bila memang betul pemerintah Aceh menolak Raqan Wali Nanggroe atas dasar prioritas program dan masih perlu adanya penyempurnaan substansi, maka hal tersebut adalah hak dari eksekutif dan tidak perlu lagi untuk diperdebatkan. Ke depan terkait dengan Wali Nanggroe, yang perlu untuk kita cermati bersama adalah kiprah anggota DPRA periode mendatang, yang akan dilantik akhir tahun lalu dalam menyelesaikan Raqan tersebut. Dengan komposisi mayoritas anggota dewan dari Partai Aceh, bukan tidak mungkin Qanun Wali akan direvisi sesuai dengan kepentingan mereka yang mayoritas adalah eks anggota GAM/KPA. Seyogyanya semua kalangan di Aceh, termasuk para anggota dewan terpilih, dapat berfikir bijak dan arif sehingga tidak lagi memunculkan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan perdamaian di Aceh.









BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pasang Surut Adat dalam Pusaran Kebijakan Nasional dan Kedaerahan
Perbincangan mengenai hukum adat dan hukum pemerintahan di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan tidak cukup sekedar dimulai dari jatuhnya rezim Orde Baru. Sejak masa penjajahan Belanda adat menjadi bagian dari kepentingan politik pemerintahan. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Sukarno setelah Indonesia merdeka, zaman Orde Baru di bawah rezim Suharto sampai zaman reformasi sekarang ini. Meskipun hubungan antara hukum adat dan pemerintahan yang terbangun pada setiap pemerintahan berbeda-beda, namun secara umum setiap rezim menggunakan adat sebagai bagian dari kesuksesan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia Belanda dalam melancarkan imperialismenya melalui kebijakan hukum adat (adatrecht). Konsep Adatrecht ini dikembangan dari Universitas Leiden di mana Cornelis Van Vollenhoven (1876-1933) menjadi tokoh utamanya.567 Ia mendefenisikan adat sebagai tata aturan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dengan kata rect, sebuah kata yang secara konvensional diterjemahkan dalambahasa inggris sebagai ‘law’ atau ‘hukum’ dalam bahasa Indonesia. Defenisi adat sebagai hukum meminggirkan aspek-aspek adat yang lain seperti tradisi-tradisi sosial, religius dan seni, maupun kekuasaan ekonomi dan politik yang berbasis adat.
Debat tentang posisi lembaga adat cukup panas terjadi pada tahun 1950-an dan banyak pihak yang menganggap adat sesuatu yang sangat penting, namun kenyataan dilapangan sistem-sistem adat dibiarkan berjalan apa adanya tanpa ada rangsangan dan dukungan dari pemerintah. Bahkan di awal 1950-an peradilan-peradilan adat dihapus hampir di seluruh Indonesia termasuk Aceh dan digantikan dengan pengadilan negara. Lembaga-lembaga yang lain juga tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah yang lebih fokus membangun sistem administrasi negara yang modern.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto institusi adat mendapat tantangan yang lebih besar lagi. Hal ini disebabkan kebijakan sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah Suharto. Sentralisasi merupakan kebijakan di mana pemerintah melakukan intervensi sampai pada tingkat pemerintah lokal pedesaan. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan administrasi yang ketat dan serupa di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintah Desa. Alasan utama yang dimunculkan adalah kebutuhan pembangunan dan efektifitas pemerintahan. Akibatnya adalah munculnya suatu sistem yang paling sentralistis dan tidak punya fleksibilitas sedikitpun untuk memperhatikan keperluan-keperluan yang ada di daerah-daerah negara yang luas ini. Pemerintah Orde Baru tetap mengakui kemajemukan budaya dan masyarakat Indonesia dan juga posisi adat sebagai dasar pluralisme. Tetapi adat hanya diposisikan sebagai seni dan budaya.
Jatuhnya pemerintah Suharto pada tahun 1998 menjadi momentum yang sangat penting dalam kebangkitan adat di Indonesia. Beberapa daerah menggunakan kesempatan ini sebagai awal menguatkan kembali sistem adat yang ada di daerahnya dari berakhirnya hegemoni pemerintah terhadap institusi pemerintahan lokal berdasarkan adat. Di bawah pemerintahan B.J. Habibie, Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pemerintahannya dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah dimana daerah-daerah memiliki kewenangan dalam membangun sistem pemerintahan dan pengelolaan keuangan sendiri.
Kewenangan mengelola pemerintahan yang disebutkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah bermakna adanya kesempatan kepada masyarakat adat di berbagai daerah untuk mengembalikan peran adat dalam kehidupan sosial dan pemerintahan lokal. Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru ini maka komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah di Indonesia mulai bangkit dan menjalin komunikasi. Komunikasi antar daerah ini difasilitasi oleh beberapa LSM-LSM Indonesia. Dari komunikasi ini lahir sejenis gerakan yang dinamakan diri sebagai gerakan masyarakat adat. Pada tanggal 21 Mei 1999 masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres pertama di jakarta dan menyimpulkan beberapa poin penting.
Pasca jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, di Aceh konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) terus berlanjut. Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pada awal reformasi ini menyebabkan banyak efek dari kebijakan pemerintah Indonesia di bawah rezim reformasi tidak berkembang, termasuk kebijakan mengenai Otonomi Daerah. Meskipun pemilihan umum tahun 1999 dan 2004 di Aceh dilaksanakan sebagaimana di daerah lain di Indonesia, namun dari sisi partisipasi masyarakat dan proses pelasanaannya dipengaruhi oleh tekanan konflik dan perang bersenjata antara pasukan TNI/Polri dengan GAM.
 Kondisi tersebut menyebabkan revitalisasi adat di Aceh tidak seiring dengan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Namun, demikian bukan berarti di Aceh tidak ada usaha ke arah revitalisasi tersebut. Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia dan lokal Aceh memberikan dampak pada usaha revitalisasi adat. Misalnya UU No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menegaskan kembali bahwa Aceh adalah daerah istimewa dalam bidang adat, agama dan pendidikan Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3)penyelenggaraa pendidikan, dan (4) peran utama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat adat lokal untuk bangkit dan memungkinkan kembali adat yang ada dalam masyarakat mereka.
 Status keistimewaan Aceh dikonfirmasikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kebijakan ini menyebabkan lahirnya 3 (tiga) lembaga baru di Aceh yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA) yang mengurus masalah adat; Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang membidangi masalah agama Islam; dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang membidangi masalah pendidikan. MAA merupakan perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) yang dibentuk pada masa Gubernur Aceh Prof.Ali Hasjmy (1957-1964).
Pada tahun 2003 muncul juga sebuah qanun yang cukup penting yaitu: Qanun No.4 tahun 2003 tentang Mukim. Tetapi pada masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri tahun 2003 di Aceh kembali dilakukan Operasi Militer dan UndangUndang Otonomi Khusus tidak dapat dilaksanakan. UU tersebut juga cukup banyak dikritisi oleh kelompok-kelompok masyarakat Aceh maupun pemerhati dari luar daerah. Kritik umum yang muncul adalah pada pemerintahan Aceh jauh lebih banyak memfokuskan untuk membangun sistem Syariat Islam dan menguatkan MPU termarjinalisasikan. Baru setelah proses perdamaian mulai tahun 2005 dan dasar hukum yang baru tentang Pemerintahan Aceh muncul tahun kemudian revitalisasikan adat mulai nampak di Aceh. Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu Memorandum of Understanding (MoU) yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. MoU tersebut belum banyak membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam pasal 1.1.6 yang menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh”.
Dan meskipun tidak menyebut kata adat pasal selanjutnya 1.1.7 yang tentang pembentukannya Lembaga Wali Nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses revitalisasi lembaga adat di Aceh. Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk mengimplementasikan MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA) no 11 tahun 2006. Saat ini, Undang-Undang No.18 Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan UU-PA. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih spesifik. Bab XII membicarakan tentang Lembaga Wali Nanggroe dan memposisikan Wali Nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di Aceh. Bab XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat yang harus difungsikan dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan PemerintahanAceh di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Secara lebih detail, Bab XV menjelaskan mengenai mukim dan gampong.
Pelaksanaan pasal-pasal UU-PA tentang Adat Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan beberapa regulasi di tingkat provinsi: Qanun No.9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku kembali dab menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain ini juga dapat menjadi sebuah “sentralisasi” yang dilakukan Pemerintah Aceh terhadap pluralitas adat yang ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini memiliki 23 kabupaten yang setiap kabupaten memiliki perkembangan adat tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh, sekalipun memiliki adat yang khas. Misalnya perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara berbeda dengan adat di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh.
 Implikasi dari UU-PA maupun qanun-qanun provinsi ini adalah pemerintah kabupaten diminta untuk menghidupkan kembali lembaga adat Aceh di wilayahnya masing-masing. Setiap kabupaten diwajibkan menyusun qanun mukim aturan pendukungnya sebagai wujud dari pemerintahan adat di daerahnya. Dalam qanun mukim akan diatur mengenai kelembagresaan adat yang lain pernah ada di Aceh seperti keujruen blang, panglima laot, pawang glee, etua seuneubok, haria peukan dan lain sebagainya. Bahkan ada kecenderungan memahami lembaga mukim sebagai sebuah pemerintahan di tingkat mukim, dimana selain memiliki pemimpin eksekutif (imum
mukim) juga memiliki anggota legislatif yang disebut tuha lapan.  Lembaga mukim juga diharapkan masuk menjadi bagian dari birokrasi resmi pemerintahan yang membawa beberapa buah gampong
.
Kelembagaan adat ini di level provinsi, akan dipegang oleh sebuah lembaga yang disebut dengan Wali Nanggroe merupakan “kepemimpinan adat sebagai pemersatu nasyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, istiadat dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
1.2.Peluang dan Tantangan Peradilan Adat di Aceh dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan dan Kaum Marjinal
            Masyarakat yang berada di gampong-gampong di Aceh masih sering menggunakan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. Kalau ada masalah dan ternyata tidak dapat diselesaikan di antara kedua belah pihak paling sering masyarakat di gampong meminta bantuan keuchik untuk menyelesaikannya. Prosedur penyelesaian sengketa gampong lebih mirip rekonsiliasi dari pada proses hukum formal. Tetapi harus diakui juga banyak masyarakat di desa terutama perempuan dan kaum marginal yang masih sangat percaya kepada penggunaan lembaga adat untuk menangani kasus-kasus sengketa. Mereka justru merasa lebih nyaman kalau kasus dibawah sistem pengadilan non formal. Masyarakat miskin di gampong tidak punya pilihan tersebut, karena pada umumnya mereka tidak mampu membayar proses hukum formal yang lumayan mahal.
Pengertian Peradilan
Adat Pada saat mendengar istilah peradilan adat yang paling sering terbanyang pada persepsi adalah suatu peradilan yang diselenggarakan di tingkat-tingat gampong atau desa. Peradilan adat tersebut bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa menurut adat istiadat dan kebiasaan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Atau boleh jadi ada juga yang terbayang pada hukum-hukum adat. Untuk sampai pada pengertian peradilan adat tersebut terlebih dahulu melihat tentang hukum adat. Saat ini hukum adat (adatrecht) di Indonesia telah menjadi sebuah objek studi para ahli dan telah dipraktekkan sejak zaman kekuasaan Belanda dan Jepang di Indonesia sebagai penjelasan sebelumnya.
Tujuan peradilan adat adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah antar warga di tingkat desa. Namun, keputusan yang diambil secara adat tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal. Misalnya kalau sepasang suami istri bercerai dalam peradilan adat, secara hukum adat, pasangan ini sudah resmi bercerai, namun karena hukum itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal, maka masih diperlukan sebuah tahapan lain untuk mendapatkan legalitas formalnya.
Istilah peradilan adat sekarang banyak kita dengar dari kalangan-kalangan MAA, dan beberapa LSM yang mempunyai program untuk pemberdayaan masyarakat tersebut. Sedangkan dalam kalangan masyarakat sendiri yang mempraktekkan mekanisme penyelesaian sengketa lewat lembaga peradilan adat ini tidak mengatakan menyelesaikan perkara lewat peradilan adat. Masyarakat mempunyai istilah sendiri seperti pedame ureung (mendamaikan orang), peumat jaroe, (bejabat tangan), meudame (berdamai).
Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga yang pertama kali mempopulerkan peradilan adat dan menjadikan program kerja yang kemudian didukung oleh beberapa NGO lokal dan internasional. Dalam pemberdayaan lembaga peradilan adat mereka mempunyai program kerjanya masing-masing dan dengan pendekatan masing-masing pula. Oleh sebab itu istilah peradilan adat sekarang menjadi lebih dikenal untuk mereka yang meneliti adat dan sebagian kecil masyarakat umum sekarang juga mulai menyebutkan istilah tersebut. Namun dalam prakteknya lembaga peradilan adat masih berlangsung menurut kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat. Meskipun banyak tokoh-tokoh adat sudah mengikuti training atau pelatihan tentang mekanisme tentang tata cara peradilan adat yang dijalankan seperti halnya peradilan formal, namun dalam prakteknya masih berjalan sebagaimana biasanya.

Muhammad Umar dalam bukunya Peradaban Aceh mengatakan peradilan adat adalah pengadilan adat merupakan pengadilan secara adat, pengadilan adat bukan melayani orang perkara, bukan mencari mana yang benar mana yang salah, tetapi ialah mengusahakan yang bertikai untuk berbaikan/berdamai. Penyelesaian perkara melalui lembaga adat merupakan penyelesaian perkara secara damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara dan memberikan sanksi adat setempat. Umar juga menambahkan, kalau dilihat dari sisi filosofisnya, peradilan adat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat karena bisa tetap menjamin terjaganya keseimbangan kerukunan dan ketentraman masyarakat. Karena itu peradilan adat disebutkan juga sebagai peradilan perdamaian yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam masyarakat yakni gampong dan mukim, majelis ini terdiri dari tokoh mukim dan tokoh gampong.
MEULIGOE WALI NANGGROE. Begitulah nama bangunan megah nan kokoh yang belum kunjung difungsikan untuk keperluan Paduka Yang Mulia (PYM) Tengku Malik Mahmud Al-Haytar saat “bertahta” sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan gelar panjangnya, Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik. Meuligoe (istana) yang nantinya menjadi tempat resmi Malik Mahmud memberikan peuneutoh (perintah) ini beralamat di Jalan Soekarno-Hatta, Lampeuneurut, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Biaya yang terkuras untuk pembangunannya mencapai Rp 85 miliar.

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) di Aceh memang penuh dengan kontroversi. Selain banyak menghabiskan uang rakyat, belum semua elemen masyarakat Aceh menyetujui pembentukan Lembaga Wali Nanggroe. Terkesan, pembentukan LWN hanyalah kehendak sepihak dari DPR Aceh (2009-2014) yang secara mayoritas kursinya dikuasai oleh Partai Aceh, dengan dalih pelaksanaan dari MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Padahal, banyak butir dari Qanun (perda) Aceh No. 8 Tahun 2012 tentang LWN justru bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2006. Belum lagi, tugas dan fungsi LWN banyak tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Aceh. Sehingga terlihat LWN telah melakukan “pencaplokan”. Semestinya, jika memang tidak memberikan kontibusi bagi rakyat Aceh, sudah selayaknya LWN ditiadakan. Sebab hanya menguntungkan individu tertentu dan segelintir orang-orang disekelilingnya.

Selintas Historis Wali Nanggroe

Jika menilik kembali keberadaan Wali Nanggroe dalam lintasan sejarah Aceh, banyak fakta yang terungkap bahwa Wali Nanggroe telah ada sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa kekuasaan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Orang yang pertama menjadi Wali Nanggroe adalah Abdurrauf As Singkili. Banyak versi yang berkembang tentang kemunculan Wali Nanggroe. Namun, secara sepintas dapat disimpulkan bahwa sosok Wali Nanggroe muncul karena adanya instabilitas politik. Setelah keadaan kembali stabil, maka peran seorang Wali Nanggroe pun dianggap selesai. Fakta historis Aceh menunjukkan bahwa pasca-Abdurrauf As Singliki, tidak pernah ada lagi Wali Nanggroe yang menjadi penggantinya.

Kemunculan sosok Wali Nanggroe kembali terjadi tatkala Kesultanan Aceh Darussalam sedang menghadapi invasi militer tahap kedua koloni Kerajaan Belanda (1874 M). Orang yang menjadi Wali Nanggroe itu bernama Tuanku Hasyim Banta Muda. Karena perang Aceh berlangsung lama, setelah Hasyim meninggal dunia di Padang Tiji (Pidie), yang menjadi Wali Nanggroe selanjutnya adalah klan “di Tiro”. Belum ada rincian yang valid tentang “di Tiro” yang mana pertama kali menjadi Wali Nanggroe pasca-Tuanku Hasyim. Ada yang menyebutkan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Pahlawan Nasional Indonesia).

Namun tak sedikit yang menyebutkan bahwa anaknya yang pertama kali menjadi Wali Nanggroe, yaitu Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin. Setelah itu, sayup-sayup terdengar klaim bahwa Wali Nanggroe berikutnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu’eh, Teungku Amir Husein Al Mujahid, hingga Hasan Muhammad (Hasan Tiro) yang mengklaim dirinya sebagai Wali Nanggroe ketika awal meletusnya konflik Aceh (1976).

Konflik Aceh ternyata tidak hanya menimbulkan penderitaan dan besarnya jumlah korban jiwa bagi rakyat Aceh. Di sisi lain, konflik tersebut menjadi “peluang” bagi pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mendistorsi sejarah Aceh, yang “disesuaikan” dengan agenda pendiri GAM, Hasan Muhammad. Sehingga tidak heran, Hasan Muhammad kerap mengagung-agungkan “darah biru” klan di Tiro dalam beberapa tulisannya. Seakan-akan hanya klan “di Tiro” lah yang pantas untuk berkuasa di Aceh. Mayoritas rakyat Aceh pada masa itu belum mengetahui bahwa Hasan Muhammad sebenarnya ingin mendirikan negara monarki (kerajaan) bagi keluarganya sendiri. Walau pada akhirnya Tuhan berkehendak lain.

Menjelang akhir hidup Hasan Muhammad, perdamaian antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia berhasil dicapai pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Konflik berkepanjangan yang menyebabkan penderitaan mendalam dan keterbelakangan yang massif bagi rakyat Aceh berakhir dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Sebagian dari butir-butir kesepakatan itu telah dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sangat disayangkan, justru pihak internal mantan kombatan GAM lah yang melanggar beberapa butir MoU Helsinki yang ada dalam UU No. 11 Tahun 2006. Salah satunya adalah pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, yang isinya banyak “menabrak” ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2006 yang menjadi “ikon” andalan Partai Aceh saat menghadapi pemilihan kepala daerah (pemilukada) maupun pemilu legislatif.

            Pengesahan Qanun No. 8 Tahun 2012 merupakan langkah terbesar bagi seorang pria berdarah Aceh kelahiran Singapura tahun 1939, Malik Mahmud Al Haytar, untuk menuju kursi kekuasaan sebagai Wali Nanggroe versi Partai Aceh menggantikan Hasan Muhammad. Pada Senin, 16 Desember 2013, Malik Mahmud Al Haytar resmi dikukuhkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (2009-2014) yang mayoritas kursinya dikuasai Partai Aceh sebagai Wali Nanggroe Aceh dengan sebutan Paduka Yang Mulia (PYM) Tengku Malik Mahmud Al Haytar yang menyandang gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik.

Wali Nanggroe tanpa Peran bagi Rakyat Aceh

            Pasca pelantikan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe ke sembilan versi Pemerintahan Aceh yang dikuasai Partai Aceh, tidak ada tugas yang substantif untuk berperan secara nyata bagi masyarakat Aceh. Sang Paduka Yang Mulia (PYM) lebih banyak menemani Zaini Abdullah selaku Gubernur Aceh (2012-2017) yang sedang bertugas daripada melaksanakan hal lain yang lebih bermanfaat bagi rakyat Aceh. Kenyataan ini mengindikasikan pembentukan LWN telah mengalami kesia-siaan.

            Padahal jumlah biaya yang dialokasikan bagi LWN bernilai miliaran rupiah. Mulai dari pembangunan gedung, operasional LWN, kunjungan Wali Nanggroe, hingga tunjangan lain yang hanya menguras uang rakyat tanpa memberikan kemanfaatan. Bila ditelaah lebih dalam, Lembaga Wali Nanggroe merupakan “kembaran” sebuah Kerajaan. Di mana perannya sangat nihil bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Wali Nanggroe sibuk mengenakan “jubah kebesaran” di tengah kubangan kemiskinan rakyat Aceh yang jumlahnya kian meningkat seiring Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf memimpin Provinsi Aceh (2012-2017).

            Nihilnya peran Paduka Yang Mulia (PYM) Malik Mahmud semenjak menjadi Wali Nanggroe dapat dilihat dari kesehariannya, kecuali pada momen-momen atau seremoni tertentu yang lebih ditujukan pada pencitraan. Perannya yang disebut-sebut sebagai “penyatu” rakyat Aceh hanya sekadar tertulis di atas kertas. Pada kenyataannya, masih ada elemen-elemen yang tidak setuju pada keberadaan Wali Nanggroe. Seharusnya, hal yang demikian dapat diredam oleh PYM Malik Mahmud sebagai penyatu rakyat Aceh yang terdiri dari beragam suku, ras dan agama (SARA).

            Oleh sebab itu, anggota parlemen Aceh pascaperiode DPRA 2009-2014, perlu meninjau ulang keberadaan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang perannya cenderung nihil bagi rakyat Aceh. Selama ini, keberadaan LWN hanya memboroskan APBA yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk kepentingan individu atau segelintir orang tertentu. Semoga Pemerintahan Aceh di masa mendatang melakukan koreksi terkait tindakan keliru yang menganggap LWN sangat “bermanfaat” bagi rakyat Aceh















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Peradilan Adat di Aceh merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki Aceh sejak zaman kolonial Belanda. Peradilan adat di Aceh memiliki pasang surut dalam pusaran kebijakan secara nasional maupun kedaerahan, sama dengan pelaksanaan adat secara umum di Indonesia. Masyarakat Aceh tanpa disadari sesungguhnya sering melakukan pemecahan masalah secara tradisional (pengadilan adat). Peradilan adat merupakan salah satu satu media bagi perempuan dan kaum marjinal untuk mendapatkan keadilan. Namun, dalam proses peradilan adat juga masih sering ditemukan bias terutama bagi kaum perempuan dan marjinal.
Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya: perangkat adat di gampong yang melaksanakan peradilab adat belum ada keterwakilan perempuan; bila ada kasus yang diselesiakan secara adat pihak perempuan jarang dilibatkan; dan kaum perempuan dan kaum marjinal jarang yang diikutsertakan dalam proses peradilan, biasanya diwakilkan oleh walinya, kecuali sebagai saksi. Peluang yang dimiliki peradilan adat di Aceh untuk memberikan keadilan bagi perempuan cukup besar karena adanya dukungan masyarakat, tradisi kebudayaan yang kental akan nilai-nilai keislaman; adanya dukungan peraturan baik dalam bentuk Undang-Undang (Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) maupun beberapa qanun pendukung lainnya; dan adanya lembaga semi pemerintahan, yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA).
Sementara kelemahan yang dihadapi peradilan adat di Aceh, yaitu: masih kurangnya pengakuan negara/daerah terhadap eksistensinya; mulai berkurangnya kepercayaan masyarakat; dan kecenderungan masyarakat pada alternatif penyelesaian hukum yang lain. Untuk menjadikan peradilan adat di Aceh dapat memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal maka sangat memerlukan beberapa langkah strategis yang perlu diterapkan yaitu dengan cara melakukan sosialisasi peradilan adat, penguatan kapasitas personel dan kelembagaan peradilan adat, membangun kerjasama antar lembaga, dan komitmen serta keseriusan pemerintah/pemerintah daerah dalam mendukung peradilan adat di Aceh baik dalam bentuk alokasi dana, sarana prasarana maupun peraturan pendukung terutama untuk memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal.

Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Konflik Di Aceh



Upaya Pemerintah Dalam Menyelesaikan Konflik Di Aceh

Meskipun status DOM telah dicabut pada akhir Juli 1998 dan secara resmi diumumkan pencabutan DOM pada tanggal 7 Agustus 1998 oleh Jenderal Wiranto sebagai Menhankam/Panglima TM di depan sejumlah ulama di kota Lhokseumawe Aceh Utara, namun kondisi Aceh semakin hari semakin bertambah sulit. Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang dikirim pemerintah pusat pasca DOM telah ditarik kesatuannya masing-masing serta diadakannya penandatanganan kesepakatan Jeda Kemanusiaan di Jenewa tanggal 12 Mei sampai 15 Januari 2001 dan sejumlah solusi-solusi lain yang sedang diproses bahkan telah dilakukan juga belum memberi perubahan yang signifikan pada suhu konflik di Aceh.

Pasukan Penindak Rusuh Massa , Operasi Wibawa, Operasi Meunasah, dibawah komando Polri yang tidak disertai dengan tujuan yang pasti dan langkah-langkah yang konkret, menyebabkan dampak serius bagi masyarakat Aceh. Cara ini bukan mendekatkan rakyat kepada Indonesia, tetapi semakin menjauhkan mereka. Pada periode 1998-1999 PPRM dibawah komando kepolisian daerah POLDA digelar untuk menggantikan operasi-operasi keamanan sebelumnya. Setelah itu, Operasi Wibawa, Operasi Cinta Meunasah digelar oleh kepolisian, namun lagi-lagi hasilnya tidak dapat menuntaskan pemberontakan di Aceh.

            Masyarakat Aceh yang sebagian besar pada waktu itu menghendaki adanya referendum bagi Aceh seperti yang diberikan oleh Presiden B.J. Habibie dalam menyelesaikan kasus Timor Timur. Namun tuntutan ini tidak memperoleh tanggapan dari pemerintah. Ketika Presiden B.J. Habibie mengunjungi Aceh pada 26 Maret 1999, beliau membuat sembilan janji kepada rakyat Aceh. Atas kekerasan yang terjadi di Aceh, Presiden B.J. Habibie meminta maaf kepada seluruh rakyat Aceh. Ia juga memerintahkan agar aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan dan pertumpahan darah. Selanjutnya Presiden di Masjid Baiturrahman Aceh memberikan janji kepada rakyat Aceh dengan perincian sebagai berikut : (Ahmad Farhan Hamid,Jalan Damai Nanggroe Endatu Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006 hal 21-22)

1.      Melanjutkan program pembebasan narapidana yang terlibat aksi politik 1989-1998.
2.      Meminta pemerintah daerah Aceh untuk membongkar kuburan massal korban DOM dan menguburkan kembali sesuai syariat Islam dengan segala biaya di tanggung pemerintah.
3.      Memberikan bantuan kesejahteraan dalam bentuk beasiswa bagi anak yatim, penyaluran kredit usaha, modal kerja atau bantuan lainnya kepada para janda, korban perkosaan, cacat dan bentuk rehabilitas ekonomi maupun rehabilitas sosial lainnya.
4.      Merehabilitas dan membangun kembali bangunan-banguan desa-desa bekas wilayah operasi keamanan, termasuk rehabilitas mental spritual bagi semua ekses operasi keamanan.
5.      Meningkatkan mutu pendidikan di Aceh, antara lain dengan meningkatkan status 85 madrasah swasta menjadi negeri, memberikan fasilitas yang memadai, mendirikan madrasah aliyah unggulan, memberikan lahan untuk praktik dan usaha Unsyiah, IAIN dan Pesantren.
6.      Menghidupkan kembali jaringan kereta api di Aceh.
7.      Mengembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang.
8.       Memperpanjang landasan pacu Bandara Iskandar Muda.
9.      Mengangkat 2.188 anak-anak korban DOM menjadi Pengawai Negeri Sipil tanpa testing.

            Wacana untuk pemberian syariat islam dan khususnya Aceh juga digagas pada masa era  pemerintahan B.J. Habibie. Gagasan ini dituangkan pada Undang-Undang N0 44 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Pasal 1 meneyebutkan bahwa keistimewaan Aceh adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pada tanggal 8 November 1999 diadakan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) di Banda Aceh. Sebagian masyarakat Aceh menuntut untuk referendum. Keputusan referendum tersebut diberikan batas waktu sampai 4 Desember 1999. Sampai batas waktu yang ditentukan, pemerintah tidak mampu memberikan jawaban yang pasti. Pada waktu itu diisukan akan terjadi perang besar-besaran di Aceh apabila pemerintah tidak bisa memberikan keputusan. Namun kalangan mahasiswa di Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) misalnya, dengan tegas menyatakan, tidak akan terjadi perang besar-besaran di Serambi Mekkah pasca 4 Desember 1999. Kuncinya, menurut mahasiswa tetap pada TNI, bagaimana kalangan pimpinan militer itu bisa menjaga sikap dan emosional para prajuritnya di tingkat bawah. Artinya jika TNI tidak memberi tekanan terhadap rakyat Aceh, rakyat pun tidak akan melakukan perlawanan. Begitu juga dengan GAM, konsep perjuangan dan perlawanan terhadap TNI adalah menghindarkan bentrokan senjata. GAM selalu berusaha menarik pertempuran ke lokasi yang jauh dari perkampungan penduduk. (Pane, Neta. S. Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. Grasindo, Jakarta, hal. 190)

            Terhadap tuntutan referendum Aceh, pemerintah pusat tidak merespon dan menyetujui tuntutan tersebut. Salah satu alasannya karena takut Aceh akan lepas seperti kasus Timor Timur. Padahal sejak 1998 hingga 1999 di Aceh berkembang dua tuntutan yaitu referendum dan merdeka. Sementara wacana otonomi khusus tenggelam oleh kedua isu tersebut. Pada pertengahan 1999-2000 hampir seluruh lorong-lorong gampong- gampong, jalan-jalan, atap rumah, ditulis oleh masyarakat Aceh dengan tulisan referendum dan atau preemandum. Puncak dari tuntutan referendum itu terlihat dari rekomendasi musyawarah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) pada 13-14 September 1999 (Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) didirikan pada 14 sepetember 1999, keanggotaanya adalah para ulama seluruh Aceh. Ulama Dayah adalah ulama yang memimpim pesantren tradisionaldi Aceh) yang mengatakan bahwa penyelesaian Aceh hanya dapat dilakukan melalui referendum dengan dua opsi yaitu merdeka atau tetap bergabung dengan NKRI. Proses ini terjadi ketika pusat sedang sibuk menyiapkan pemilu 1999 dan semua perhatian tertuju kesana, akibatnya perkembangan konflik Aceh, sepertinya dibirakan berjalan dengan mekanismenya sendiri.

            Abdurrahman Wahid yang sebelumnya menjadi Presiden menyetujui referendum pada SU MPR bersama-sama dengan Amien Rais, ternyata setelah Abdurrahman Wahid menjabat Presiden dan Amien Rais sebagai ketua MPR, dukungan atas referendum Aceh tidak pernah diwujudkan. Janji referendum ini pernah ditagih oleh masyarakat Aceh, ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden (Mengenai hal ini dapat dilihat pada siaran Radia Nikoya di Banda Aceh yang menyatakan bahwa sebagian rakyat Aceh menagih janji referendum kepada Presiden Abdurrahman Wahid, sebagaimana dinyatakan oleh aktivis perempuan Aceh, bernama Evi Zaian dari Forum Organisasi Perempuan Aceh (FOPA) pada radioa Nikoya 106.15 FM yang didistribusikan pada 20 oktober 1999). Upaya untuk meretas perundingan dengan pihak GAM ditempuh. Ketika pada 15 Mei 2000 Presiden Abdurrahaman Wahid berunding dengan GAM dan menandatangani Jeda Kemanusiaan. Jeda kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni-Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini dievaluasi dan lanjutkan kembali pada Jeda Kemanusiaan II. Jeda yang semula diharapkan bida membantu menyelesaiakan persoalan Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada dalam Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya) (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003). Jeda kemanusiaan ini dilanjutkan kearah moratotium. Namun, langkah ini pun tidak sanggup menghentikan kekerasan dan perang di Aceh.



            Akhirnya pada 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Intruksi Presiden Nomor IV Tahun 2001 tentang langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh. Menurut inpres ini, pendekatan yang harus dilakukan untuk menyelesaiakan masalah Aceh adalah melalui politik, ekonomi, sosial dan hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan, serta informasi (Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 62). Inpres ini dikeluarkan terkait dengan eskalasi senjata TNI-GAM dan berhentinya operasi Exxon Mobil.

”.... pada 9 maret 2001 manajemen Exxon mobil di Aceh Utara mengumumkan menghentikan untuk sementara produksi tiga ladang gas alamnya, elite politik di Jakarta terperanjat. Apalagi faktor keamanan dijadikan alasan. Desakan terhadap penggunaan operasi militer segara berkumandang dari gedung wakil rakyat di Senayan. Para wakil rakyat menuding pemerintah terlalu memberi angin kepada Gerakan Aceh Merdeka yang jelas jelas ingin memisahkan diri dari NKRI. Jauh sebelum, para petinggi militer sudah menyampaikan keluhan di berbagai media mengenai sulitnya mereka bergerak akibat tidak adanya payung hukum. Sedang Polri dengan kekuatan pendukung Brimob, mulai kewalahan mengahdapi serangan GAM...”

            Dalam hal ini tak salah jika ada tekanan agar Inpres Nomor IV tahun 2001 di bidang keamanan diarahkan untuk memberikan kewenangan kepada TNI agar melakukan operasi militer terbatas, dan GAM disebut sebagai kelompok separatis. Sebelum inpres tersebut dikeluarkan, sekitar 15 kompi pasukan TNI sedang berlatih di Batujajar, Jawa Barat untuk diterjunkan ke Aceh. Sebelumnya, 2.500 personil dari berbagai kasatuan TNI sudah dikirim ke Aceh dengan mendompleng pengamanan Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkunjung ke Serambi Mekah (Kompas, Exxon Mobil dan Gejolak Aceh, 24 September 2001). Penanganan bidang keamanan ini diberi nama Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum (OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, yang disebut sebagai operasi terbatas. (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Pasca DOM, 14 Mei 2003)

            Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid menggagas pemberian otonomi khusus kepada masyarakat Aceh yang gagasan ini tidak pernah diundangkan. Karena terlanjur dimakzulkan oleh MPR. Gagasan pemberian otonomi khusus akhirnya di undangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri, melalui UU No 18 tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan syariat Islam untuk Aceh. Selain itu, Presiden Megawati pada 11 Oktober 2001 memperpanjang Inpres No IV Tahun 2001 menjadi Inpres No VII Tahun 2001. inpres ini berisi enam langkah intruksi untuk menyelesaikan Aceh secara konprehensif di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan ketertiban masyarakat, keamanan, serta informasi yang tidak jauh berbeda dengan inpres No IV Tahun 2001. (Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta. 2006 hal 110)

            Kedua inpres ini isinya sama tentang langkah-langkah menyeluruh dalam penyelesaian kasus Aceh, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Langkah ini di anggap sebagai antitesis dari langkah yang dibangun oleh Presiden Abdurrahman Wahid, khusunya ketika ada jeda kemanusiaan I dan II hingga moratorium. Upaya itu sebagai suatu cara untuk menghentikan permusuhan dalam bentuk cease fire (gencatan senjata) tetapi di sisi lain operasi-operasi keamanan pun terus dilakukan. Di masa kepemimpinan Megawati saat ini konflik di Aceh juga mendapat perhatian khusus. Namun seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya, keputusan dalam penyelesaian kasus Aceh belum mencapai finalnya Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah telah menginstruksikan aparat keamanan untuk aktif menangani, mengatasi dan menghentikan aksi-aksi terorisme GAM. Pemerintah juga telah memberitahu masyarakat internasional bagaimana repotnya Indonesia menghadapi aksi terorisme di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood dan anggota DPR asal Aceh, Teuku Syaiful Ahmad menolak tindakan militer oleh pemerintah pusat. Sofyan meminta pemerintah untuk tidak merusak forum dialog yang telah dibangun untuk penyelesaian kasus Aceh (Kompas 5 Juli 2002).

            Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD) Abdullah Puteh dan ketua DPRD NAD Muhammad Yus menyatakan pihaknya akan menanyakan kepada semua elemen masyarakat setempat apakah menerima atau menolak rencana pemerintah pusat untuk mengubah status dari tertib sipil menjadi darurat sipil atau darurat militer di provinsi itu. Sebaliknya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyampaikan kepada DPRD penolakan terhadap kemungkinan darurat militer (Kompas. 6 Juli 2002). Menurut Ketua MPR Amien Rais ada tiga solusi untuk mengatasi konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam. Pertama, pemerintah segera berunding dengan pihak GAM. Kedua, semua pasal dalam W NAD segera dilaksanakan. Ketiga, TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menindak tegas semua pelaku kekerasan dari kelompok mana pun. DPRD Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam menolak diberlakukannya status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Khusus untuk darurat militer alasannya adalah situasi di Aceh dikhawatirkan akan bertambah parah dan runyam karena sipil tidak dapat mengontrol aparat keamanan maupun aparat GAM. Selain itu dikhawatirkan timbul anarki yang berakibat luas dan berdampak pada citra TNI dan Polri. Menurut Said Muchsin perlu ada satu aturan main yang baru untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan yang ada di Aceh. DPRD Aceh mengimbau untuk maju ke meja perundingan dan menginginkan ditempuhnya cara-cara damai dalam pemyelesaian konflik di Aceh. DPRD Aceh juga mengharapkan agar GAM memiliki wacana hati nurani untuk mensejahterakan rakyat Aceh secara lahir dan batin. Amien Rais berpendapat taruhan terakhir untuk menyelesaikan masalah di Provinsi NAD adalah W No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam. Yang penting adalah bagaimana mengimplementasikan undang-undang itu secara murni dan konsekuen.

            Untuk meretas jalan bagi keamanan di Aceh, Pemerintahan Presiden Megawati pada 2 February 2002 melakukan perundingan di Swiss dengan pihak GAM untuk membahas tawaran otonomi khusus dan langkah awal pengehantian segela bentuk permusuhan. Pihak Gam menolak tawaran otonomi khusus, dan tidak bersedia dialog apabila dalam situasi tekanan. Akhirnya pada 9 Desember 2002 Pemerintah dan GAM di Geneva, Swiss secara resmi menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA- Cessation of Hostilities Agreement) dan membentuk suatu Komite Keamanan Bersama Untuk memantau kesepakatan tersebut dengan mediator Henry Dunant Center (HDC). (Sinar Harapan, Upaya-Upaya Penyelesaian Konflik aceh Pasca- DOM, 14 Mei 2003)
Berbagai LSM di Aceh berpendapat pemberlakuan darurat sipil ataupun darurat militer bukanlah ide terbaik bagi penyelesaian Aceh saat ini. Persoalan Aceh hams diselesaikan secara berkeadilan dan demokratis serta hares dijauhkan dari upaya-upaya penyelesaian lewat pendekatan militer. Menurut Rufriadi, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, pemberlakuan darurat sipil atau darurat militer bukanlah ide terbaik bagi penyelesaian Aceh saat ini. Lembaga Swadaya Masyarakat selalu mendorong untuk terjadinya proses-proses dialog yang sekarang telah terjadi antar pemerintah dan GAM dan berharap agar proses dialog tidak diganggu dengan wacan adarurat sipil atau darurat militer. Alasan penolakan terhadap pemberlakuan darurat militer adalah bahwa militer tidak bisa mencoba menyelesaikan masalah Aceh. Yang diinginkan oleh masyarakat Aceh adalah penyelesaian masalah secara bermartabat, berkeadilan dan dalam forum dialog. Hasil evaluasi sementara Menko Polkam selama tiga hari melakukan kunjungan ke Aceh menunjukkan ada tiga masalah mendasar yang perlu dicermati:

1.      operasi pemulihan keamanan harus ditingkatkan efektivitasnya supaya lebih cermat dan akurat yang dilengkapi dengan peralatan yang mendukung tugas mereka.
2.       pendekatan kesejahteraan harus dikonkretkan dan harus dirasakan oleh masyarakat Aceh.
3.      format dialog antara pemerintah dan GAM harus ditata kembali jika memang dialog tersebut akan berlanjut. Pemerintah juga mengingatkan Henry Dunant Centre (HDC) agar berpegang teguh pada mandat untuk menjadi mediator atau fasilitator dialog pemerintah dan GAM, baik pra dialog, saat dialog maupun setelah dialog.

            Ketika HDC bergerak terlalu jauh dengan melibatkan aktivis LSM/NGO, itu berarti HDC telah menyalahi mandatnya dan menjadi kurang netral. Saat ada konflik bare pemerintah dengan GAM, HDC malah menjustifikasi dan justru menjadi juru bicara GAM. Karena itu pemerintah mengingatkan HDC untuk kembali pada mandatnya. Menurut Gus Dur pemerintah tidak perlu membuat status darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Menurutnya, kebijakan itu tidak akan menyelesaikan pertikaian di Aceh. Kalau diberlakukan darurat sipil atau darurat militer seperti yang dimaui tentara dan Polri, pasti akan ada perlawanan. Sebab, rakyat Aceh akan dipakai oleh GAM untuk melawan. Ia menyatakan satu-satunya jalan untuk menghentikan pertikaian di Aceh adalah dengan berunding dan menghentikan kekerasan. Sedangkan menurut Jenderal Ryamizard Ryacudu (KSAD) bahwa TM Angkatan Darat tidak perlu lagi berunding dengan GAM. Ia mengemukakan GAM adalah gerakan separatis yang sudah jelas ingin merusak keutuhan negara dan harus ditumpas habis. (Kompas 12 Juli 2002)

            Pemerintah kembali menghadapi kesulitan dalam menentukan langkah penyelesaian kasus Aceh. Pemerintah berjanji akan mengambil keputusan tentang penyelesaian masalah Aceh di awal Agustus 2002. Menurut Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono jika pihak GAM bersedia untuk tetap konsisten pada hasil dialog Geneva (Swiss), maka pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan bahwa dialog akan diteruskan. Sebelumnya di Sigli pada saat kunjungannya di Aceh, Menko Polkam mengatakan bahwa pemerintah ingin berdialog dengan pimpinan GAM di Aceh. Juru bicara GAM Sofyan Dawood mengatakan kewenangan untuk melakukan dialog tersentral pada para juru runding GAM di Geneva (Swiss). Menurutnya GAM tidak bisa melaksanakan dialog apabila harus meletakkan senjata dan menerima UU Otonomi Khusus NAD. Pihak GAM juga tidak akan bersedia berdialog jika tidak melibatkan Henry Dunant Centre sebagai mediator. Dalam pidato "Progress Report" Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden Megawati menegaskan pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang lebih tegas terhadap gerakan separatis bersenjata GAM untuk menjamin terwujudnya keamanan dan keselamatan rakyat. Selama keinginan untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan aksi-aksi bersenjata serta teror terhadap masyarakat terus berlanjut, penyelesaian masalah Aceh akan semakin sulit terwujud.

            Pemerintah memberi batas waktu kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hingga setelah Ramadhan (awal Desember 2002) untuk memutuskan apakah akan meneruskan dialog dalam kerangka otonomi khusus dan penghentian konflik bersenjata atau tidak. Apabila GAM tidak menentukan sikap positifnya, pemerintah akan mengambil langkah keras dan tepat termasuk meningkatkan intensitas operasi pemulihan keamanan dan mempertahankan kedaulatan serta keutuhan Republik Indonesia. Juru bicara militer GAM Sofwan Dawood menyatakan pemerintah hendaknya tidak memaksa GAM untuk menerima Undang-undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalaam (NAD). Menurut Susilo Bambang Yudhoyono bahwa seharusnya sesuai kesepakatan Geneva 10 Mei 2002 pemerintah ingin GAM mengakui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang NAD. Pada April 2002 pemerintah melakukan konsultasi dengan Pemerintah Swedia agar mendorong para pemimpin GAM di Swedia melakukan dialog secara serius. Pemerintah juga melaksanakan pertemuan dengan Henry Dunant Centre beserta para konsultannya di Singapura, Jakarta, dan Aceh pada Agustus 2002 untuk mematangkan kesepakatan Geneva. Menurut Yudhoyono pemerintah tetap menghendaki penyelesaian komprehensif dalam soal Aceh dengan lima pendekatan: pemulihan keamanan, penegakan hukum dan HAM, percepatan pembangunan social ekonomi, dialog dengan beberapa syarat diantaranya rehabilitasi dan rekonsiliasi, dan amnesti. Menanggapi ajakan dialog dengan pemerintah, pihak GAM melalui Sofwan Dawood mengatakan bahwa GAM menolak UU NAD. Keberatan GAM menerima UU NAD karena GAM menuntut kemerdekaan dari tangan Indonesia menurut prosedur internasional. Terhadap sikap pemerintah yang memberi waktu hingga Ramadhan, Sofwan Dawood mengatakan tidal ( perlu menunggu hingga Ramadhan untuk berdialog. Pihak GAM siap apabila bulan Agustus ini diajak berdialog dengan Pemerintah (Kompas, 20 agustus 2002).

            Menurut pengamat militer Kusnanto Anggoro dan Wakil Ketua MPR Agus Widjojo bahwa penyelesaian masalah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalaam tidak bisa hanya mengandalkan keberhasilan operasi militer. Operasi militer hanya sebagian kecil dari kebijakan penanganan Aceh secara keseluruhan. Penyelesaian Aceh justru terletak pada koordinasi antar lembaga dan penanganan berbagai sektor secara komprehensif dan sinergis. Intervensi pihak militer atas CoHa terlihat gamblang dua minggu menjelang gagalnya pertemuan CoHA, 28 Arpril 2003 di Tokyo Jepang. Bahkan antisipasi gagalnya CoHA tampak ketika kurang dari dua minggu, pasukan organik telah dikirim ke Aceh (Moch, Nurhasyim. (ed) Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh 2003-2004. Jakarta P2P LIPI, 2006). Akhirnya pada 19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarnoputeri mengeluarkan keputusan Presiden No 28 Tahun 2003 tentang peningkatan keadaan status di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Pendekatan militer ini pun tidak berhasil menyelesaiakan masalah separatisme Aceh. Meskipun dari segi jumlah TNI yang dikirimkan lebih dari 50 ribu pasukan, karena prinsip pendekatan yang dianut dalam memerangi separatisme yang menggunakan taktik perang gerilya adalah 1:10. dengan biaya jumlah pasukan yang cukup besar dan hampir dalam waktu satu tahun (19 Mei 2003- 18 Mei 2004) ternyata eksistensi GAM tidak dapat ditumpas.

            Upaya untuk menumpas pemberontakan GAM, baik di masa Presiden Abdurrahman Wahid maupun Megawati, tampaknya kurang membuahkan hasil. Sejumlah faktor menjadi kendala, pertama infrastruktur pembangunan tidak berjalan dan pemerintah daerah tidak bekerja secara maksimal. Pemerintah daerah tidak berkerja karena situasi keamanan yang tidak memungkinkan bagi mereka. Hal ini berlangsung hingga tahun 2003, salah seorang pejabat di Pemerintahan Daerah Kabupaten Aceh timur mengatakan bahwa pemerintah bekerja dengan cara yang tidak sewajarnya, karena takut diteror dan dibunuh oleh kelompok pemberontakan. Kedua, masih kentalnya pendekatan operasi-operasi keamanan dalam menyelesaikan konflik Aceh. Ketiga, kebijakan yang sifatnya untuk membangun ekonomi sulit dilaksanakan karena pemerintahan daerah lumpuh, akibat konflik yang berlarut-larut. Keempat, walaupun telah ada gencatan senjata pada maa Megawati Soekarnoputeri melalui CoHA antara Pemerintah RI dengan GAM, Namun butir-butirnya sulit diimplemtasikan di lapangan. Kegagalan pendekatan penyelesaian separatisme di Aceh sejak Orde Baru hingga Presiden Megawati Soekarnoputeri, tampak dalam tabel berikut ini (Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008 hl 104):


Kegagalan Penyelesaian Konflik Sebelum Perundingan Helsinki
Periode
Pemerintahan
Kebijaksanaan Penyelesesaian
Konflik Aceh
Hasil/ Dampak
Presiden Soeharto (1976-1998)
Pendekatan militer dengan menekankan pada Operasi Jaringan Merah untuk menumbuhkan GAM (1990-1995)
1. Stabilitas keamanan dan politik di Aceh terjamin. GAM menyingkirkan keluar negeri
2. Dampaknya, hancur kekerasan dan pelanggaran HAM.
3. Muncul generasi dendam yang mendukung GAM.
Presiden Habibie
(1998-1999)
Kombinasi pendekatan antara operasi keamanan dengan kebijakan politik.
Sebagai besar operasi keamanan yang dilakukan tidak efektif mengurangi atau mengahmbat pertumbuhan GAM. Kebijakan politik. 10 program Habibie untuk Aceh tidak dapat dilaksanakan karena yang bersangkutan hanya kurang dari satu tahun menjadi presiden.
Presiden Abdurrahman Wahid
1. Jeda Kemanusiaan
2. Pengehentian permusuhan (CoHA)
3. Inpres IV/2001 untuk penanganan masalah konflik Aceh
4. Otonomi Khusus Bagi Aceh
1. Langkah dan janji Habibie tidak diteruskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
2. Jeda Kemanusiaan tidak efektif untuk menghentikan kekerasan.
3. CoHA mengalami kegagalan karenagencatan senjata yang menjadi acuan uatamanya tidak diindahkan oleh kedua belah pihak.
Presiden Megawati Soekarnoputeri
1. Otonomi Khusus Aceh, UU No 18 tahun 2001
2. Inpres No VII/2001 tentang penanganan masalah konflik Aceh.
3. Melanjutkan CoHA.
4. Darurrat militer di Aceh, Kepres No 23/2003 berlaku 19 Mei 2003 dan berakhir 18 Mei 2004
1. pemberian otonomi khusus tidak dapat meredam tuntutan kemerdekaan dari GAM, karena prosesnya ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan kelompok GAM.
2. Inpres No VII/2001 tidak dapat berjalan maksimal, karena program penanganan konflik melalui CoHA untuk penghentian permusuhan tidak dijadikan sebagai dasar kebijakan utama.
3. CoHA gagal karena orientasi pemerintah pusat yang memandang CoHA sebagai keturunan GAM untuk memperbesar kelompoknya.
4. Operasi terpadu melalui darurat militer gagal diakukan karena operasi terpadu pincang, lebih pada operasi militer, kurang disertai oleh operasi kemanusiaan, peningkatan kinerja pemerintahan dan operasi penegakan hukum.




Sumber: Muhammad Jafar. AW (2009), Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tesis - Magister Ilmu Politik pada Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro