Saturday, March 05, 2016

TINJAUAN UMUM TENTANG BUDAYA POLITIK


1.      Tinjauan Umum Tentang Budaya Politik
a. Pengertian Budaya Politik
Konsep  budaya  politik  muncul  damewarnai  wacana  ilmu politik  pada akhir  Perang  Dunia  II, sebagai  dampak  perkembangan ilmu  politik  di  Amerika  Serikat.  Sebagaimana  diungkapkan  oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat  terjadi  apyang  disebut  revolusi  dalam  ilmu  politik,  yang dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan Behavioralism. Behavioral revolution yang terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial termasuk  ilmu politik,  seperti halnya ilmu-ilmu  alam mampu memberikan penjelasan tehadap gejala-gejala alam. Paham ini sangat kuat   diyakini   oleh   tokoh-tokoh   besar   sosiologi,   seperti   Herbert Spencer, Auguste Comte, juga Emile Durkheim (Afan Gaffar, 2006: 97) .

Paham  positivisme  merupakan  pendapat  yang  sangat  kuat  di Amerika  Serikat  semenjak  Charles  E. Merriam  mempeloporinya  di Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik (Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963; Almond, 1990 dalam Afan Gaffar, 2006: 97).
Salah satu dampak yang sangat mencolok dari behavioral revolutuion  ini adalah munculnya  sejumlah teori, baik yang bersifat grand   maupun   pada   tingkat   menengah   (middle   leve theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis, interest aggregation, interest articulation, political  socialization,  politic culture,  conversion,  rule making,  rule dan aplication (Afan Gaffar, 2006: 98).
Budaya     politik merupakan     pola    perilaku     individu     dan orientasinya  dalam  kehidupan  bernegara,  penyelenggaraan administrasi  negara, politik pemerintahan,  hukum,  adat istiadat, dan norma  kebiasaan  yang  dihayati  oleh  seluruh  anggota  masyarakat setiap harinya (Rusadi Kantaprawira, 2006: 25). Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh David Easton, yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, hal ini mewarnai kajian ilmu politik pada kala itu (1950-1970). Dan diantakalangan teoritisi dalam ilmu politik yang sangat berperan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di lima negara yang kemudian  melahirkan  buku  yang  sangat  berpengaruh  pada  1960-an dan  1970-an,  yaitu  The  Civic  Culture.  Civic  Culture  inilah  yang menurut  Almond  dan  Verba  merupakan  basis  bagi  budaya  politik yang membentuk demokrasi (Afan Gaffar, 2006: 99).
Almond (1965:20), menunjukkan bahwa “tiap sistem politik mewujudkan dirinya didalam pola orientasi-orientasi dan tindakan- tindakan  politik  tertentu”.  Dalam  pengertian   yang  hampir  sama, Lucian W. Pye (1965:24) mendefinisikan budaya politik sebagai “the ordered  subjective  realism  of  politic,  yaitu  tertib  dunia  subjektif politik”. Definisi budaya politik menurut Verba (1965:31) merupakan yang paling jelas. Bahwa “budaya politik”, demikian katanya, menunjuk pada sistem kepercayaan-kepercayaan tentang pola-pola interaksi politik dan institusi-institusi  politik (dalam A. Rahman H.I, 2007: 268).

Almond  dan  Verba  menunjuk  bukan  pada  apa  yang  diyakini orang  tentang  kejadian-kejadian  tersebut  dan  kepercayaan- kepercayaan  yang dimaksud  dapat mengenai  beraneka  jenis, berupa kepercayaan-kepercayaan  empirik mengenai situasi kehidupan politik, dapat berupa keyakinan-keyakinan  mengenai tujuan-tujuan atau nilai- nilai yang harus dihayati di dalam kehidupan politik dan semuanya itu dapat  memiliki  perwujudan  atau  dimensi  emosional  yang  sangat penting. Almond dan Verba (1984: 14) mendefinisikan budaya politik sebagai:
“Suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut.

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif.   Buday politik   adalah   keseluruhan    dari   pandangan- pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik, dan pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan  dimensi  psikologis  dari  suatu  sistem  politik,  yaitu sikap-sikap,  sistem-sistem  kepercayaan,  simbol-simbol  yang dimiliki oleh individu-individu,  dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat, serta harapan-harapannya (Miriam Budiardjo,  2008: 58-59).
Kegiatan  politik  warga  negara,  tidak  hanya  ditentukan  oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh harapan- harapan  politik  yang  dimilikinya  dan oleh  pandangannya  mengenai situasi politik. Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi antara lain oleh sejarah perkembangan  dari sistem, oleh agama yang terdapat  dalam masyarakat  itu, kesukuan,  status sosial, konsep mengenai kekuasaan dan kepemimpinan.
Dengan  kata  lain,  budaya  politik  suatu  bangsa  dapat didefinisikan  sebagai pola distribusi orientasi-orientasi  yang dimilikoleh anggota masyarakat terhadap objek-objek politik atau bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat   itu.   Lebih   jauh   dinyatakan,   bahwa   warga   negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga   kenegaraan   berdasarkan   orientasi   yang   mereka   miliki. Dengan  orientasi  itu  pula  mereka  menilai  serta  mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.  Menurut Rusadi Kantaprawira (2006: 25), budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku  individu   dan  orientasinya   terhadap   kehidupan   politik   yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Pengertian  budaya  politik  diatas,  nampaknya  membawa  kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik,   yaitu   siste dan   individu.   Konsep   orientasi   mengikuti pengertian Talcott Parsons dan Verba yang mendefinisikan  orientasi sebagai aspek-aspek dari objek dan hubungan-hubungan yang diinternalisasikan di dalam dunia subjektif individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang siste politiknya,   kita   menganggap   masyarakat   akan   cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan  ini melihat  aspek individu  dalam orientasi  politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu, yang  semakin  mempertegas  bahwa  masyarakat  secara  keseluruha

tidak  dapat  melepaskan  diri  dari  orientasi  individual  (Alfian  dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 21)

Budaya Politik menjadi penting untuk dipelajari dan dipahami karen ad dua   sistem Pertama sika warga   negar terhadap orientasi politik yang menentukan  pelaksanaan  sistem politik. Sikap dan  orientasi  politik  sangat  mempengaruhi  bermacam-macam tuntutan, hal yang diminta, cara tuntutan itu di utarakan, respon dan dukungan terhadap golonganm elit politik, respons dan dukungan terhadap rezim yang berkuasa. Kedua, dengan mengerti sifat dan hubungan antara kebudayaan politik dan pelaksanaan sistemnya, kita akan   lebi dapa menghargai   cara-car yang   lebih   membawa perubahan sehingga sistem politik lebih demokratis dan stabil (A. Rahman H.I, 2007: 269). Budaya politik selalu inhern pada setiap masyarakat  yang  terdiri  dari  sejumlah  individu  yang  hidup  dalam sistem politik tradisional, transnasional, maupun modern.
b. Orientasi dalam Budaya Politik
Dalam pendekatan perilaku politik, terdapat interaksi antara manusia satu dengan lainnya yang akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap, dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul budaya politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi budaya politik seseorang.







Orientasi   politi tersebut   dapat   dipengaruhi   oleh   orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba (1984: 16) mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu:
1. Orientasi  kognitif,  yaitu  kemampuan  yang  menyangkut  tingkat pengetahuan  dan pemahamaserta kepercayaan  dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik dan atributnya, seperti tokoh-tokoh  pemerintahan,  kebijaksanaan  yang  mereka  ambil, atau       mengenai    simbol-simbol    yang   dimiliki    oleh   sistem politiknya seperti   ibukota   negara lambang   negara,   kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lagu kebangsaan negara.
2. Orientasi  afektif,  yaitu  menyangkut  perasaan  seorang  warga negara terhadap sistem politik dan peranannya yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu.
3. Orientas  evaluatif,  yaitu  menyangkut  keputusan  dan  praduga tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi   standa nila dan   kriteria   dengan   informas dan perasaan.
Perlu  disadari  bahwa  dalam  realitas  kehidupan,  ketiga komponen ini tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang- kurangny saling   mempengaruhi.   Semisal   seorang   warga  negara dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai   pengetahua yang   memadai   tentang   si   pemimpin.



             Pengetahuan itu tentu saja sudah dipengaruhi, diwarnai, atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut tentang sesuatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Boleh jadi, pengetahuan tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara keseluruhan (Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 22).

           Pada  hakekatnya  kebudayaan  politik  suatu  masyarakat  terdiri dari sistem  kepercayaan  yang  sifatnya  empiris,  simbol-simbol  yang ekspresif dan  sejumla nilai   yan membatas tindakan-tindakan politik,   maka   kebudayaa politi selal menyediaka arah   dan orientasi subjektif bagi politik. Karena kebudayaan politik merupakan salah satu aspek dari kehidupan politik, maka jika kita ingin mendapatkan  gambaran  dan ciri politik  suatu kelompok  masyarakat secara bulat dan utuh, maka kitapun dituntut melakukan  penelaahan terhadap sisinya yang lain (Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 23).

0 comments: