1.
Tinjauan Umum Tentang Budaya Politik
a. Pengertian Budaya Politik
Konsep budaya
politik
muncul
dan mewarnai
wacana
ilmu politik pada akhir
Perang Dunia II, sebagai dampak
perkembangan
ilmu politik di
Amerika
Serikat. Sebagaimana
diungkapkan
oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II
selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang
disebut
revolusi
dalam
ilmu politik,
yang dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan
Behavioralism. Behavioral revolution yang terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari
semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan
gejala sosial termasuk ilmu politik,
seperti halnya ilmu-ilmu
alam mampu memberikan penjelasan tehadap gejala-gejala alam. Paham ini
sangat kuat
diyakini oleh
tokoh-tokoh besar
sosiologi, seperti
Herbert Spencer,
Auguste Comte, juga Emile Durkheim (Afan Gaffar, 2006: 97)
.
Paham positivisme merupakan
pendapat yang sangat kuat di Amerika Serikat semenjak
Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru
dalam ilmu politik (Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963; Almond, 1990 dalam Afan Gaffar, 2006: 97).
Salah
satu dampak yang sangat mencolok dari behavioral
revolutuion ini adalah munculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand
maupun
pada tingkat menengah (middle level theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis, interest
aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture, conversion,
rule making, rule dan aplication (Afan
Gaffar, 2006: 98).
Budaya
politik merupakan
pola
perilaku individu dan orientasinya dalam
kehidupan bernegara,
penyelenggaraan administrasi
negara, politik
pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan
yang dihayati
oleh
seluruh anggota
masyarakat setiap harinya (Rusadi Kantaprawira, 2006: 25).
Budaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang
memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan kolektif dan
penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Teori tentang sistem
politik yang diajukan oleh David Easton, yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, hal ini
mewarnai kajian ilmu politik pada kala itu (1950-1970).
Dan diantar kalangan teoritisi dalam ilmu politik yang sangat berperan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di
lima negara yang kemudian melahirkan
buku
yang sangat berpengaruh pada 1960-an
dan 1970-an, yaitu The Civic Culture. Civic
Culture inilah yang menurut
Almond
dan
Verba merupakan
basis bagi
budaya politik yang membentuk demokrasi (Afan Gaffar, 2006: 99).
Almond
(1965:20), menunjukkan bahwa “tiap sistem politik mewujudkan dirinya didalam pola orientasi-orientasi dan tindakan-
tindakan politik tertentu”. Dalam pengertian yang hampir sama, Lucian W. Pye (1965:24) mendefinisikan budaya politik sebagai “the ordered
subjective
realism
of politic, yaitu tertib dunia subjektif politik”. Definisi budaya politik menurut Verba (1965:31) merupakan yang paling jelas. Bahwa “budaya politik”, demikian katanya, “menunjuk pada
sistem kepercayaan-kepercayaan tentang pola-pola interaksi politik dan institusi-institusi politik (dalam A. Rahman H.I, 2007: 268).
Almond dan
Verba menunjuk bukan pada
apa yang diyakini orang tentang kejadian-kejadian tersebut dan kepercayaan- kepercayaan
yang dimaksud dapat
mengenai beraneka jenis, berupa kepercayaan-kepercayaan empirik mengenai situasi kehidupan politik, dapat berupa keyakinan-keyakinan
mengenai tujuan-tujuan atau nilai- nilai yang harus dihayati di dalam kehidupan politik dan semuanya itu dapat memiliki perwujudan
atau dimensi emosional
yang sangat penting. Almond dan Verba (1984: 14) mendefinisikan budaya politik sebagai:
“Suatu sikap orientasi yang
khas warga negara terhadap sistem politik dan
aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut”.
Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif.
Budaya politik adalah
keseluruhan dari
pandangan- pandangan politik,
seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik, dan
pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi psikologis
dari suatu
sistem politik,
yaitu sikap-sikap,
sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki
oleh individu-individu,
dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat,
serta harapan-harapannya (Miriam Budiardjo, 2008: 58-59).
Kegiatan politik
warga
negara, tidak hanya ditentukan
oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, akan tetapi juga oleh harapan-
harapan politik yang dimilikinya dan
oleh pandangannya
mengenai situasi politik. Bentuk dari
budaya politik dalam suatu masyarakat
dipengaruhi antara
lain oleh sejarah
perkembangan dari sistem, oleh agama yang terdapat
dalam masyarakat
itu, kesukuan, status
sosial,
konsep mengenai kekuasaan dan kepemimpinan.
Dengan kata lain,
budaya politik
suatu bangsa dapat didefinisikan sebagai pola distribusi orientasi-orientasi
yang dimiliki oleh anggota masyarakat terhadap objek-objek politik atau
bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan
politik diantara masyarakat itu.
Lebih jauh
dinyatakan, bahwa
warga
negara
senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan
orientasi itu
pula mereka menilai serta
mempertanyakan tempat dan peranan mereka di
dalam sistem politik. Menurut Rusadi
Kantaprawira (2006: 25),
budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Pengertian budaya politik diatas,
nampaknya membawa
kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua
tingkat orientasi
politik, yaitu
sistem dan
individu. Konsep orientasi mengikuti pengertian Talcott Parsons
dan Verba yang mendefinisikan orientasi sebagai aspek-aspek dari
objek dan hubungan-hubungan yang diinternalisasikan di dalam dunia subjektif individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini,
tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya, kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke
arah
individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat
aspek individu
dalam orientasi
politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat tertentu, yang
semakin mempertegas
bahwa
masyarakat secara
keseluruha
tidak dapat melepaskan diri
dari orientasi individual (Alfian
dan Nazaruddin Sjamsuddin,
1991: 21)
Budaya Politik menjadi penting untuk dipelajari
dan dipahami karena ada dua
sistem. Pertama, sikap warga negara terhadap
orientasi politik yang menentukan pelaksanaan sistem politik. Sikap dan
orientasi politik sangat
mempengaruhi bermacam-macam tuntutan, hal yang diminta, cara tuntutan itu di
utarakan, respon dan dukungan terhadap golonganm elit
politik, respons dan dukungan terhadap rezim yang berkuasa. Kedua, dengan mengerti sifat dan hubungan antara kebudayaan politik dan
pelaksanaan sistemnya, kita akan
lebih dapat menghargai
cara-cara yang
lebih membawa perubahan sehingga sistem politik lebih demokratis dan stabil (A. Rahman H.I, 2007:
269). Budaya politik selalu inhern pada setiap masyarakat
yang
terdiri dari
sejumlah individu
yang
hidup
dalam sistem politik tradisional, transnasional, maupun modern.
b. Orientasi dalam Budaya Politik
Dalam pendekatan perilaku politik, terdapat interaksi antara
manusia satu dengan lainnya yang akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap, dan nilai
seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul
budaya politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul
tersebut akhirnya mempengaruhi budaya politik seseorang.
Orientasi
politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba
(1984: 16) mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu:
1. Orientasi
kognitif, yaitu
kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan
dan pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik dan
atributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan,
kebijaksanaan
yang mereka
ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki
oleh
sistem
politiknya, seperti
ibukota negara, lambang
negara,
kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan
lagu kebangsaan
negara.
2. Orientasi
afektif,
yaitu menyangkut
perasaan
seorang
warga negara terhadap sistem politik dan
peranannya yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu.
3. Orientas
evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik yang
secara tipikal melibatkan kombinasi
standar nilai dan kriteria dengan informasi dan
perasaan.
Perlu disadari
bahwa dalam
realitas kehidupan,
ketiga komponen ini tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau sekurang-
kurangnya saling mempengaruhi.
Semisal
seorang warga negara dalam melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia
harus mempunyai pengetahuan yang memadai
tentang
si
pemimpin.
Pengetahuan itu
tentu saja sudah dipengaruhi, diwarnai, atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang tersebut
tentang sesuatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu.
Boleh jadi, pengetahuan tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan
seseorang terhadap sistem
politik secara keseluruhan (Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin,
1991: 22).
Pada hakekatnya
kebudayaan politik
suatu masyarakat
terdiri dari sistem kepercayaan
yang sifatnya empiris, simbol-simbol
yang ekspresif, dan sejumlah nilai yang
membatasi tindakan-tindakan politik, maka kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan orientasi subjektif bagi
politik. Karena kebudayaan politik merupakan
salah satu aspek dari
kehidupan politik, maka jika kita
ingin mendapatkan
gambaran dan
ciri politik suatu kelompok
masyarakat
secara bulat dan utuh, maka kitapun dituntut melakukan
penelaahan terhadap sisinya yang lain (Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1991: 23).
0 comments:
Post a Comment