BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara yang menganut
paham demokrasi, dimana negara
menjamin partisipasi masyarakat dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan
berpolitik dengan bebas, tanpa tekanan namun tetap dalam koridor hukum dan
undang-undang. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana negara menjamin kemerdekaan untuk
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini dilakukan sebagai wujud partisipasi
politik masyarakat
dalam menyampaikan aspirasi politiknya untuk pembangunan bangsa sesuai dengan kehendak dan
cita-cita rakyat.
Setiap warga negara Indonesia
mempunyai kebebasan umtuk menyampaikan usulan-usulan atau aspirasi-aspirasi yang dimilikinya yang bertujuan untuk membangun dan
memajukan bangsa dan negara. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari upaya partisipasi masyarakat dalam
proses pembangnan
bangsa. Oleh karena itu diperlukan suatu sarana atau alat yang dapat menampung semua aspirasi
yang dimiliki oleh seluruh rakyat tersebut. Dalam hal ini sarana yang dirasa
paling tepat dalam menempung dan menyampaikan aspirasi rakyat tersebut adalah Partai Politik.
Dihubungkan dengan undang-undang
dasar sebuah negara, maka partai politik merupakan pelembagaan dari kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul yang
telah dijamin oleh undang-undang dasar. Hal itu berarti, partai politik
berfungsi sebagai pemberi wadah dari hak yang dimiliki oleh setiap warga negara
untuk berserikat atau berkumpul. Dengan wadah itu, maka apa yang menjadi nilai, keyakinan
atau tujuan sekelompok warga negara dapat mereka perjuangkan secara lebih
sistematis dan dijamin oleh hukum.
Partai politik merupakan
komponen penting dari sistem politik moderen, yang bersendikan perwakilan
politik. Negara moderen yang tidak memungkinkan lagi menerapkan demokrasi
langsung, baik disebabkan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, maupun
diferensiasi sosial dari warga negara, memerlukan lembaga dan struktur sosial
politik yang memungkinkan warga negara
sebagai pemilik negara yang sesungguhnya
berpartisipasi menentukan bentuk dan arah perjalanan kehidupan bersama. Di
antara lembaga dan struktur politik itu adalah badan perwakilan dan partai politik.
Keberadaan Partai
Politik di Indonesia sendiri telah dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda
mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908. Dengan adanya Politik Etis ini, maka
banyak kalangan cerdik pandai kaum Bumiputera yang mulai tergerak untuk ikut
serta dalam kehidupan ketatanegaraan melalui berbagai organisasi
kemasyarakatan. Pelopor utama dari organisasi kemasyarakat tersebut adalah
Boedi Oetomo. Dinamka sistem ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia turut
merubah tatanan partai politik di tanah air. Seiring dengan kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945 maka telah diundangkan berbagai produk
perundang-undangan yang mengakomodasi dan mengatur berbagai aspek mengenai
partai politik. Hal ini menyebabkan bermunculannya partai politik dengan
berbagai ideologi yang mengusung dan memperjuangkan visi dan misinya
masing-masing.
Sejak pemilu pertama
kali yang diselenggarakan pada tahun 1955 Indonesia telah melakukan 10 kali
pemilihan umum yang dilakukan secara teratur setiap 5 tahun sekali. Pemilu pada
pertengahan tahun 2009 menjadi istimewa dari pada pemilu periode sebelumnya
karena juga diikuti oleh partai politik lokal Aceh. Terhitung ada 6 partai
politik lokal Aceh yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Sejak awal
issu mengenai partai politik lokal menjadi perdebatan yang cukup pelik baik di
kalangan akademisi maupaun di kalangan praktisi hukum tata negara Indonesia.
Adanya fakta bahwa perangkat hukum yang ada pada saat itu belum bisa
mengakomodasi keberadaan partai politik lokal dan kekhawatiran akan bermunculan
banyak partai politik-partai politik lokal di banyak daerah yang akan memicu
disintegrasi menjadi alasan bagi kalangan yang tidak setuju dengan keberadaan
partai politik lokal.
Isu mengenai partai
politik lokal muncul paska dicapainya kesepakatan dalam nota kesepahaman antara
perwakilan dari pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di
Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam. Salah satu butir nota kesepahaman itu
menyepakati bahwa akan dibentuknya partai politik lokal di Aceh. Dalam nota
kesepahaman antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka
atau yang sering disebut dengan perjanjian Helsinki itu disebutkan bahwa dalam
tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak ditandatanganinya perjanjian
tersebut pemerintah akan menfasilitasi berdirinya partai politik lokal di aceh
melalui adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung hal tersebut. Hal
tersebut telah diakomodasi oleh pemerintah dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Rakyat Indonesia menjadi subjek utama dari pembangunan. Pembangunan
nasional tidak boleh pandang bulu dan harus dirasakan “segenap bangsa
Indonesia” dan “seluruh tumpah darah Indonesia”. Sayangnya, pembangunan
Indonesia masih belum sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Pemilihan
Umum yang telah diadakan tiga kali setelah reformasi 1998 sepertinya masih
belum menjawab jeritan masyarakat. Banyak kasus korupsi yang justru menjerat
para pemimpin daerah dan nasional yang seharusnya menjadi contoh teladan dalam
meniadakan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjamur pada
masa Orde Baru. Para pemimpin di pemerintahan yang seharusnya memberikan
manfaat dan mencerminkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan justru memberikan
mudarat dan menunjukkan citra yang buruk dan tidak adil.
Peran aktif masyarakat sangat
besar untuk memilih kepala daerah atau nasional maupun anggota legislatif
karena masyarakat menjadi subjek dari pembangunan itu sendiri. Masyarakat harus
dicerdaskan sehingga tidak mudah diperalat oleh oknum-oknum yang memiliki
kepentingan. Menjelang pemilihan umum, masyarakat diberi pilihan yang pelik.
Memilih tidak menggunakan hak suaranya karena sudah pesimis akan hadirnya
pembangunan yang ideal, ataukah tetap menggunakan hak suaranya, namun kembali
harus tertipu dan tidak mendapatkan pembangunan yang sesuai harapannya selama
lima tahun ke depan. Layaknya buah simalakama, kedua pilihan tersebut tidak
akan akan memberikan pembangunan yang adil dan merata bagi masyarakat. Menjawab
itu, pendidikan politik harus dilakukan bagi penduduk yang miskin dan tingkat
pendidikannya masih rendah.
Pendidikan politik pada pemilihan umum harus diupayakan karena kunci terjadi pembangunan
nasional yang dicita-citakan bergantung kepada hasil dari pemilihan umum, baik
pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Apabila masyarakat belum cerdas
untuk memilih, maka orang-orang tidak baik akan lebih mudah masuk ke dalam
sistem pemerintahan. Oleh karena itu, masyarakat harus paham dan dicerdaskan
sehingga dapat memilih pemimpin yang tepat. Masyarakat yang cerdas dalam
politik akan mendukung tumbuhnya kehidupan demokrasi yang diidamkan. Masyarakat
yang cerdas dan berintegritas akan memilih pemimpin yang cerdas dan
berintegritas. Beberapa pemilihan kepala daerah telah menjadi contoh pemilihan
yang dilakukan oleh masyarakat dengan cerdas tanpa terpengaruh dengan politik
uang. Kepala daerah yang terpilih dengan sistem yang baik ini pada akhirnya
tidak punya utang atau janji kampanye kepada para sponsor dan pengusaha yang
memberikan dana kampanye serta tidak perlu korupsi untuk mengganti biaya
kampanye.
Pemerintah yang lahir dari pemilihan yang ideal ini akan fokus pada
pembangunan yang diidam-idamkan segenap rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga
masyarakat harus berperan aktif melakukan pembinaan dan pelatihan politik
kepada masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Partai politik seharusnya juga melakukan pembinaan politik terhadap para
anggotanya dan tidak hanya mengutamakan kepentingan partai saja. Partai politik
harus mendidik kader-kader partainya agar memiliki nilai-nilai integritas,
keadilan, kejujuran, dan rasa nasionalisme yang kuat sehingga tidak membedakan
suku, agama, gender, dan golongan.
Pemerintahan baik pusat maupun daerah dipilih dan ditentukan oleh
rakyat. Oleh karena itu, rakyat memiliki peranan penting dalam menentukan siapa
saja yang diberi wewenang untuk menjadi pemerintah. Menjadi waktu yang tepat
bagi rakyat pada pemilihan umum yang akan dilakukan di waktu mendatang. Apabila rakyat cerdas memilih, maka dapat
ditempatkan negarawan yang berkeadilan sosial, yang siap membangun Indonesia
dari Sabang sampai Merauke. Tidak lepas dari itu, setiap rakyat Indonesia harus
diajak merefleksi ke belakang dan melihat jauh ke depan. Kekritisan rakyat
adalah jawaban dalam menentukan pemimpin yang tepat, pemimpin yang memiliki
karakter negarawan yang berkeadilan social
Data Empiris Dalam Studi Kasus
Pemilu 2014 di Aceh Timur sebuah perhelatan politik massal, yang melibatkan
seluruh rakyat, laki-laki dan perempuan yang telah berusia 17 tahun ke
atas. Bisa memilih dan juga dipilih. Secara de jure tidak ada beda
antara laki-laki dan perempuan dalam pesta ini. Namun secara de facto,
perbedaan itu cukup tajam. Sudah 10 kali pesta itu dilakukan, namun kesenjangan
dalam pelaksanaan masih berlangsung hingga saat ini. Padahal partisipasi
rakyat untuk ikut serta dalam pesta tersebut sebelumnya cukup tinggi, namun
kini semakin menurun. Pada Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama seusai reformasi
partisipasi masyaraat mencapai angka 93%.” lalu turun pada Pemilu 2004 menjadi
84% dan Pemilu 2009 menurun lagi menjadi 71%,”. Artinya, terjadi
penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu karena turunnya kepercayaan
publik terhadap penyelenggara pemilu itu sendiri. Sesungguhnya, baik
buruknya kualitas pemilu sangat ditentukan oleh tingginya angka partisipasi
masyarakat dalam mengikuti Pemilu. Kemungkinan dalam pesta demokrasi tahun 2014
partisipasi masyarakat untuk ikutan dalam memilih juga semakin menurun sejalan
dengan semakin hilangnya kepercayaan terhadap hasil Pemilu selama ini yang
hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang kebanyakan hanya memikirkan kepentingan
perut sendiri.
Pada Tahun 2014 juga hiruk pikuk para politisi, partai politik, KPU dan
para partisipan partai politik menyambut pemilu 2014 sudah sangat terasa. Suhu
politik setiap hari memanas karena berbagai hal, karena regulasi, juga
karena persaingan politik yang semakin menajam. Namun, di tengah memanasnya
suhu politik menjelang pesta demokrasi tahun 2014 ini, ada fenomena menarik
yang membuat galaunya banyak partai politik.
Perhelatan demokrasi yang kini akan menjadi pesta ke 11 kalinya, masih
menyimpan banyak persoalan. Salah satunya adalah persoalan partisipasi
perempuan yang rendah dalam gemerlapnya pelaksanaan Pemilu. Undang-undang
menyatakan bahwa setiap warga Negara ( laki-laki dan perempuan), berhak untuk
memilih dan dipilih. Namun, dalam realitasnya partisipasi perempuan dalam
gelanggang politik masih jauh tertinggal baik secara kuantitif, maupun
kualitatif. Keberadaan perempuan di sector politik, dalam Pemilu tidak
ubahnya hanya sebagai supporter dan lumbung suara bagi para politisi dan partai
politik yang ingin memenangkan politaktik mereka di dunia politik dan di pesta
demokrasi tersebut. Artinya, partisipasi perempuan di bidang ini, tidak
dimaksimalkan untuk bisa ikut berperan aktif melahirkan kebijakan Negara secara
berkeadilan antara kepentingan laki-laki dan perempuan. Padahal, partisipasi
yang hakiki adalah partisipasi dalam bentuk keikutsertaan secara aktif dan pro
aktif, dalam semua proses pengambilan keputusan politis tersebut.
Realitas keterlibatan perempuan yang rendah di bidang politik, disebabkan
oleh banyak factor, seperti budaya patriarchy yang menempatkan perempuan
hanya bisa berperan di sector domestic, sementara sector public, termasuk
politik menjadi peran utama kaum laki-laki. Ketidakadilan gender seperti ini
telah berlangsung sedemikian lama, membuat garis start bagi perempuan untuk
terjun ke politik tertinggal jauh di track belakang. Perempuan menjadi sangat
sulit untuk bisa bersaing dengan laiki-laki, ketika terjun di arena politik.
Maka, bila kita melihat pada realitas perpolitikan saat ini, semua partai
politik dan jabatan-jabatan politis dikuasi oleh laki-laki. Pendek kata, posisi
perempuan menjadi pihak yang tidak berdaya (powerless) di bidang politik.
Pantas pula kalau banyak perempuan tidak melek politik, karena
kapasitas dan kesempatan perempuan di politik masih sangat rendah. Jadi
bukanlah hal yang mengherankan bila Pemilu 2009 representasi
perempuuan di tingkat provinsi 16%, dan di tingkat kabupaten 12 %.
Memprihatinkan bukan?
Rendahnya partisipasi dan keterwakilan perempuan di legislative, di satu
sisi memang disebabkan oleh di rendahnya kapasitas politik kaum
perempuan. Namun, hal ini terjadi juga tidak terlepas dari pengaruh buruk dari
perspektif dan perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Dominasi kaum
laki-laki terhadap praktek politik di partrai politik menghilangkan akses dan
control perempuan di bidang politik. Partai politik banyak yang tidak
melibatkan perempuan sebagai pengurus partai maupun politisinya. Kalaupun ada
lebih kepada posisi-posisi yang tidak strategis.
Buruknya kondisi dan posisi perempuan di bidang politik, telah menyadarkan
banyak pihak, terutama kaum perempuan. Banyak aktivis dan NGO perempuan
dan yang bekerja memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan
bidang politik, terus membangun kapasitas politik kaum perempuan untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan di legislative. Keterwakilan perempuan
secara optimal di parlemen sangat penting agar bisa mewakili kepentingan dan
kebutuhan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan. Sayangnya, system politik
dan budaya partai politik yang tidak sensitive gender itu masih menjadi
hambatan bagi perjuangan perempuan. Kini, buah perjuangan tersebut
keluarlah aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nomor 10/2008 yang mengharuskan
menempatkan 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif di tiap daerah
pemilihan. Keluarnya aturan KPU ini dan lainnya, menimbulkan
berbagai polemic di kalangan partai politik. Ada partai politik yang
keberatan terhadap aturan itu karena beberapa alasan yang tersekasan
dicari-cari. Apalagi dengan keluarnya peraturan baru pemilu 2014 yang dituangkan
dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7/2013 yang mewajibkan partai
politik memenuhi 30 persen kuota perempuan dan pengaturan nomor urut tiap tiga
caleg satu perempuan di tiap daerah pemilihan (dapil) akan menambah resah
partai politik.
Bagi kaum perempuan dan pergerakan politik perempuan, kondisi ini adalah
peluang untuk memberikan pelajaran kepada partai politik yang selama ini
mengabaikan eksistensi kaum perempuan di bidang politik. Dalam kondisi semacam
ini, perempuan bisa menggunakan posisi tawar (bargaining position) terhadap
partai politik dan meminta Komisi pemilihan Umum (KPU) bersikap tegas
terhadap parpol-parpol yang tidak memenuhi quota 30 persen perempuan. Sebab,
andai parpol serius dengan tuntutan ini, maka rentang waktu 5 tahun pasca
Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 cukup waktu untuk menyiapkan kader perempuan.
Pemilukada
2014 menjadi catatan sejarah besar di dalam benak masyarakat Aceh Timur. Genta
demokrasi mulai hidup dengan politik yang adil. Rakyat pun telah memiliki
pemimpin yang baru dalam mengemban misi memajukan dan mensejahtrakan Aceh
Timur.
0 comments:
Post a Comment