Thursday, March 24, 2016

ANALISIS EKONOMI POLITIK TERHADAP PENDIDIKAN POLITIK DI ACEH TIMUR PADA PEMILU 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi, dimana negara menjamin partisipasi masyarakat dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan berpolitik dengan bebas, tanpa tekanan namun tetap dalam koridor hukum dan undang-undang. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana negara menjamin kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini dilakukan sebagai wujud partisipasi politik masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya untuk pembangunan bangsa sesuai dengan kehendak dan cita-cita rakyat.
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kebebasan umtuk menyampaikan usulan-usulan atau aspirasi-aspirasi yang dimilikinya yang bertujuan untuk membangun dan memajukan bangsa dan negara. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari upaya partisipasi masyarakat dalam proses pembangnan bangsa. Oleh karena itu diperlukan suatu sarana atau alat yang dapat menampung semua aspirasi yang dimiliki oleh seluruh rakyat tersebut. Dalam hal ini sarana yang dirasa paling tepat dalam menempung dan menyampaikan aspirasi rakyat tersebut adalah Partai Politik.
Dihubungkan dengan undang-undang dasar sebuah negara, maka partai politik merupakan pelembagaan dari kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul yang telah dijamin oleh undang-undang dasar. Hal itu berarti, partai politik berfungsi sebagai pemberi wadah dari hak yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk berserikat atau berkumpul. Dengan wadah itu, maka apa yang menjadi nilai, keyakinan atau tujuan sekelompok warga negara dapat mereka perjuangkan secara lebih sistematis dan dijamin oleh hukum.
Partai politik merupakan komponen penting dari sistem politik moderen, yang bersendikan perwakilan politik. Negara moderen yang tidak memungkinkan lagi menerapkan demokrasi langsung, baik disebabkan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, maupun diferensiasi sosial dari warga negara, memerlukan lembaga dan struktur sosial politik  yang memungkinkan warga negara sebagai  pemilik negara yang sesungguhnya berpartisipasi menentukan bentuk dan arah perjalanan kehidupan bersama. Di antara lembaga dan struktur politik itu adalah badan perwakilan dan partai politik.
Keberadaan Partai Politik di Indonesia sendiri telah dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908. Dengan adanya Politik Etis ini, maka banyak kalangan cerdik pandai kaum Bumiputera yang mulai tergerak untuk ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan melalui berbagai organisasi kemasyarakatan. Pelopor utama dari organisasi kemasyarakat tersebut adalah Boedi Oetomo. Dinamka sistem ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia turut merubah tatanan partai politik di tanah air. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 maka telah diundangkan berbagai produk perundang-undangan yang mengakomodasi dan mengatur berbagai aspek mengenai partai politik. Hal ini menyebabkan bermunculannya partai politik dengan berbagai ideologi yang mengusung dan memperjuangkan visi dan misinya masing-masing.
Sejak pemilu pertama kali yang diselenggarakan pada tahun 1955 Indonesia telah melakukan 10 kali pemilihan umum yang dilakukan secara teratur setiap 5 tahun sekali. Pemilu pada pertengahan tahun 2009 menjadi istimewa dari pada pemilu periode sebelumnya karena juga diikuti oleh partai politik lokal Aceh. Terhitung ada 6 partai politik lokal Aceh yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Sejak awal issu mengenai partai politik lokal menjadi perdebatan yang cukup pelik baik di kalangan akademisi maupaun di kalangan praktisi hukum tata negara Indonesia. Adanya fakta bahwa perangkat hukum yang ada pada saat itu belum bisa mengakomodasi keberadaan partai politik lokal dan kekhawatiran akan bermunculan banyak partai politik-partai politik lokal di banyak daerah yang akan memicu disintegrasi menjadi alasan bagi kalangan yang tidak setuju dengan keberadaan partai politik lokal.
Isu mengenai partai politik lokal muncul paska dicapainya kesepakatan dalam nota kesepahaman antara perwakilan dari pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam. Salah satu butir nota kesepahaman itu menyepakati bahwa akan dibentuknya partai politik lokal di Aceh. Dalam nota kesepahaman antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan perjanjian Helsinki itu disebutkan bahwa dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut pemerintah akan menfasilitasi berdirinya partai politik lokal di aceh melalui adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung hal tersebut. Hal tersebut telah diakomodasi oleh pemerintah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Rakyat Indonesia menjadi subjek utama dari pembangunan. Pembangunan nasional tidak boleh pandang bulu dan harus dirasakan “segenap bangsa Indonesia” dan “seluruh tumpah darah Indonesia”. Sayangnya, pembangunan Indonesia masih belum sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Pemilihan Umum yang telah diadakan tiga kali setelah reformasi 1998 sepertinya masih belum menjawab jeritan masyarakat. Banyak kasus korupsi yang justru menjerat para pemimpin daerah dan nasional yang seharusnya menjadi contoh teladan dalam meniadakan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjamur pada masa Orde Baru. Para pemimpin di pemerintahan yang seharusnya memberikan manfaat dan mencerminkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan justru memberikan mudarat dan menunjukkan citra yang buruk dan tidak adil.
 Peran aktif masyarakat sangat besar untuk memilih kepala daerah atau nasional maupun anggota legislatif karena masyarakat menjadi subjek dari pembangunan itu sendiri. Masyarakat harus dicerdaskan sehingga tidak mudah diperalat oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan. Menjelang pemilihan umum, masyarakat diberi pilihan yang pelik. Memilih tidak menggunakan hak suaranya karena sudah pesimis akan hadirnya pembangunan yang ideal, ataukah tetap menggunakan hak suaranya, namun kembali harus tertipu dan tidak mendapatkan pembangunan yang sesuai harapannya selama lima tahun ke depan. Layaknya buah simalakama, kedua pilihan tersebut tidak akan akan memberikan pembangunan yang adil dan merata bagi masyarakat. Menjawab itu, pendidikan politik harus dilakukan bagi penduduk yang miskin dan tingkat pendidikannya masih rendah.
Pendidikan politik pada pemilihan umum harus diupayakan karena kunci terjadi pembangunan nasional yang dicita-citakan bergantung kepada hasil dari pemilihan umum, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Apabila masyarakat belum cerdas untuk memilih, maka orang-orang tidak baik akan lebih mudah masuk ke dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, masyarakat harus paham dan dicerdaskan sehingga dapat memilih pemimpin yang tepat. Masyarakat yang cerdas dalam politik akan mendukung tumbuhnya kehidupan demokrasi yang diidamkan. Masyarakat yang cerdas dan berintegritas akan memilih pemimpin yang cerdas dan berintegritas. Beberapa pemilihan kepala daerah telah menjadi contoh pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cerdas tanpa terpengaruh dengan politik uang. Kepala daerah yang terpilih dengan sistem yang baik ini pada akhirnya tidak punya utang atau janji kampanye kepada para sponsor dan pengusaha yang memberikan dana kampanye serta tidak perlu korupsi untuk mengganti biaya kampanye.
Pemerintah yang lahir dari pemilihan yang ideal ini akan fokus pada pembangunan yang diidam-idamkan segenap rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga masyarakat harus berperan aktif melakukan pembinaan dan pelatihan politik kepada masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Partai politik seharusnya juga melakukan pembinaan politik terhadap para anggotanya dan tidak hanya mengutamakan kepentingan partai saja. Partai politik harus mendidik kader-kader partainya agar memiliki nilai-nilai integritas, keadilan, kejujuran, dan rasa nasionalisme yang kuat sehingga tidak membedakan suku, agama, gender, dan golongan.
Pemerintahan baik pusat maupun daerah dipilih dan ditentukan oleh rakyat. Oleh karena itu, rakyat memiliki peranan penting dalam menentukan siapa saja yang diberi wewenang untuk menjadi pemerintah. Menjadi waktu yang tepat bagi rakyat pada pemilihan umum yang akan dilakukan di waktu mendatang. Apabila rakyat cerdas memilih, maka dapat ditempatkan negarawan yang berkeadilan sosial, yang siap membangun Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak lepas dari itu, setiap rakyat Indonesia harus diajak merefleksi ke belakang dan melihat jauh ke depan. Kekritisan rakyat adalah jawaban dalam menentukan pemimpin yang tepat, pemimpin yang memiliki karakter negarawan yang berkeadilan social
Data Empiris Dalam Studi Kasus
Pemilu 2014 di Aceh Timur sebuah perhelatan politik massal, yang melibatkan seluruh rakyat, laki-laki dan perempuan yang telah berusia 17 tahun  ke atas.  Bisa memilih dan juga dipilih. Secara de jure  tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan dalam pesta ini. Namun secara de facto, perbedaan itu cukup tajam. Sudah 10 kali pesta itu dilakukan, namun kesenjangan dalam pelaksanaan masih berlangsung hingga saat ini.  Padahal partisipasi rakyat untuk ikut serta dalam pesta tersebut sebelumnya cukup tinggi, namun kini semakin menurun. Pada Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama seusai reformasi partisipasi masyaraat mencapai angka 93%.” lalu turun pada Pemilu 2004 menjadi 84% dan Pemilu 2009 menurun lagi menjadi 71%,”.  Artinya, terjadi penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu karena turunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu itu sendiri.  Sesungguhnya, baik buruknya kualitas pemilu sangat ditentukan oleh tingginya angka partisipasi masyarakat dalam mengikuti Pemilu. Kemungkinan dalam pesta demokrasi tahun 2014 partisipasi masyarakat untuk ikutan dalam memilih juga semakin menurun sejalan dengan semakin hilangnya kepercayaan terhadap hasil Pemilu selama ini yang hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang kebanyakan hanya memikirkan kepentingan perut sendiri.
Pada Tahun 2014 juga hiruk pikuk para politisi, partai politik, KPU dan para partisipan partai politik menyambut pemilu 2014 sudah sangat terasa. Suhu politik setiap hari  memanas karena berbagai hal, karena regulasi, juga karena persaingan politik yang semakin menajam. Namun, di tengah memanasnya suhu politik menjelang pesta demokrasi tahun 2014 ini, ada fenomena menarik  yang membuat galaunya banyak partai politik.
Perhelatan demokrasi yang kini akan menjadi pesta ke 11 kalinya, masih menyimpan banyak persoalan. Salah satunya adalah persoalan partisipasi perempuan yang rendah dalam gemerlapnya pelaksanaan Pemilu.  Undang-undang menyatakan bahwa setiap warga Negara ( laki-laki dan perempuan), berhak untuk memilih dan dipilih. Namun, dalam realitasnya partisipasi perempuan dalam gelanggang politik masih jauh tertinggal baik secara kuantitif, maupun  kualitatif. Keberadaan perempuan di sector politik, dalam Pemilu tidak ubahnya hanya sebagai supporter dan lumbung suara bagi para politisi dan partai politik yang ingin memenangkan politaktik mereka di dunia politik dan di pesta demokrasi tersebut. Artinya, partisipasi perempuan di bidang ini, tidak dimaksimalkan untuk bisa ikut berperan aktif melahirkan kebijakan Negara secara berkeadilan antara kepentingan laki-laki dan perempuan. Padahal, partisipasi yang hakiki adalah partisipasi dalam bentuk keikutsertaan secara aktif dan pro aktif, dalam semua proses pengambilan keputusan politis tersebut.
Realitas keterlibatan perempuan yang rendah di bidang politik, disebabkan oleh banyak factor, seperti  budaya patriarchy yang menempatkan perempuan hanya bisa berperan di sector domestic, sementara sector public, termasuk politik menjadi peran utama kaum laki-laki. Ketidakadilan gender seperti ini telah berlangsung sedemikian lama, membuat garis start bagi perempuan untuk terjun ke politik tertinggal jauh di track belakang. Perempuan menjadi sangat sulit untuk bisa bersaing dengan laiki-laki, ketika terjun di arena politik. Maka, bila kita melihat pada realitas perpolitikan saat ini, semua partai politik dan jabatan-jabatan politis dikuasi oleh laki-laki. Pendek kata, posisi perempuan menjadi pihak yang tidak berdaya (powerless) di bidang politik. Pantas pula kalau banyak perempuan tidak melek politik,  karena  kapasitas dan kesempatan perempuan di politik masih sangat rendah. Jadi bukanlah hal yang mengherankan bila  Pemilu 2009  representasi perempuuan di tingkat provinsi  16%,  dan di tingkat kabupaten 12 %. Memprihatinkan bukan?
Rendahnya partisipasi dan keterwakilan perempuan di legislative, di satu sisi memang disebabkan oleh di  rendahnya kapasitas politik kaum perempuan. Namun, hal ini terjadi juga tidak terlepas dari pengaruh buruk dari perspektif dan perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Dominasi kaum laki-laki terhadap praktek politik di partrai politik menghilangkan akses dan control perempuan di bidang politik. Partai politik banyak yang tidak melibatkan perempuan sebagai pengurus partai maupun politisinya. Kalaupun ada lebih kepada posisi-posisi yang tidak strategis.
Buruknya kondisi dan posisi perempuan di bidang politik, telah menyadarkan banyak pihak, terutama kaum perempuan. Banyak aktivis dan NGO perempuan  dan yang bekerja  memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan  bidang politik, terus membangun kapasitas politik kaum perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di legislative. Keterwakilan perempuan secara optimal di parlemen sangat penting agar bisa mewakili kepentingan dan kebutuhan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan. Sayangnya, system politik dan budaya partai politik  yang tidak sensitive gender itu masih menjadi hambatan bagi perjuangan perempuan. Kini, buah  perjuangan tersebut keluarlah aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nomor 10/2008 yang mengharuskan menempatkan 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif di tiap daerah pemilihan.  Keluarnya aturan KPU ini dan lainnya,  menimbulkan berbagai polemic di kalangan partai politik. Ada  partai politik yang keberatan terhadap aturan itu karena beberapa alasan yang tersekasan dicari-cari. Apalagi dengan keluarnya peraturan baru pemilu 2014 yang dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7/2013 yang mewajibkan partai politik memenuhi 30 persen kuota perempuan dan pengaturan nomor urut tiap tiga caleg satu perempuan di tiap daerah pemilihan (dapil) akan menambah resah partai politik.
Bagi kaum perempuan dan pergerakan politik perempuan, kondisi ini adalah peluang untuk memberikan pelajaran kepada partai politik yang selama ini mengabaikan eksistensi kaum perempuan di bidang politik. Dalam kondisi semacam ini, perempuan bisa menggunakan posisi tawar (bargaining position) terhadap partai politik dan  meminta Komisi pemilihan Umum (KPU) bersikap tegas terhadap parpol-parpol yang tidak memenuhi quota 30 persen perempuan. Sebab, andai parpol serius dengan tuntutan ini, maka rentang waktu 5 tahun pasca Pemilu 2009  ke Pemilu 2014 cukup waktu untuk menyiapkan kader perempuan.

Pemilukada 2014 menjadi catatan sejarah besar di dalam benak masyarakat Aceh Timur. Genta demokrasi mulai hidup dengan politik yang adil. Rakyat pun telah memiliki pemimpin yang baru dalam mengemban misi memajukan dan mensejahtrakan Aceh Timur.

0 comments: