a.
Sistem
Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah mempergunakan
mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan
dalam suatu Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau
golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan
imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk
kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000. Imbangan suara
seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara
400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai
1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu
daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang
diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari
suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta
Pemilihan Umum (Partai Politik/Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di
Parlemen Pusat.
Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan,
namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar,
maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk
daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam
daerah-daerah pemilihan.
Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara,
jumlah penduduk dan faktor-faktor politik lainnya - kursi yang tersedia di Parlemen
Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan ke
daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh
satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang
sering disebut Multy member constituency.
Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu
orang.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan
jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik
peserta Pemilihan Umum - maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah
suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah
pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini
mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat
sedikit, merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan
wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung kelemahan yang cukup
substansiil, yaitu :[1]
1. Sistem
ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Dengan
keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan sistem proposional justru
menjurus kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam
perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari
dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta
politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2. Wakil-wakil
yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya, yaitu
partai politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini
disebabkan oleh adanyaanggapan bahwa keberadaan partai politik dalam menentukan
seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan dari padakemampuan individu dari
sang wakil. Rakyat hanya memilih partai politik. Bukan memilih seorang wakil.
3. Dengan
membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru mempersulit
terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada umumnya penentuan pemerintahan didasarkan
pada kolisi dari dua partai atau lebih.
Disamping
kedua sistem tersebut diatas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka.
Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu pada
tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional.
Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, partai
politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan
abjad. Bukan nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat
pemilih disamping “mencoblos” partai politik yang dikehendaki mereka juga
memilih nama-nama calon wakil yang diajukan oleh partai politik yang
bersangkutan. Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan
rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan
kepentingan partai politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini,
diharapkan wakil-wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat
pemilih. Hal ini mengingat walapun dia dicalonkan oleh partai politik namun
secara definitif dapat atau tidaknya dia duduk di DPR semata-mata sangat
tergantung pada hasil pilihan rakyat yang diambil dari daftar calon tersebut.
Menurut Pasal 2 Undang-undnag
tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan Pemilu berdasarkan asa langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, adil, dan dapat dipertanggung jawabkan. Perluasan asas
pemilu semacam ini memang dirasa terlalu “membabi-buta”. Akan tetapi,
berdasarkan pengalaman pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif,
penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika
asas-asas pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
Masih berkaitan dengan asas
pemilihan umum. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara tahun 1999-2004 dan ketentuan pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan
bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas
dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab. Berkaitan dengan
ketentuan semacam inilah, maka Unang-undang tentang Pemilihan Umum mengembangkan
asas Pemilihan Umum.[2]
2.3
Tinjauan Tentang Pemilukada
2.3.1. Pengertian Pemilikada
Pemilihan umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah,
karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan
kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur
pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa
yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang
selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.[3]
Pemilukada menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang “ pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
pasal 56 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah
peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang telah memenuhi persyaratan.
2.3.2 Konsep Pemilukada Langsung
Pelaksanaan pilkada langsung pada
hakikatnya tidak hanya untuk tujuan mengoptimalkan
demokratisasi didaerah, melaikan merupakan perwujudkan dari prinsip otomi
daerah seluas-luasnya. Pasal 56 ayat 1 Undang-undang No 32 tahun 2004 berbunyik
“kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dala satu calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan atas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil”.[4]
pemilihan
kepala daerah secara langsung adalah momentum yang paling strategis untuk
memilih kepala daerah yang berkualitas. Keberhasilan tidak hanya diukur dari
proses penyelenggaraannya yang berlangsung lancar dan damai terapi juga diukur
dai hasil yang diperoleh, apakah telah menghasilkan pemipin yang berkualitas
terutama dari sisi manajerial dan kompetesi. Bila pemilihan ini hanya dijadikan
sebagai ajang perebutkan kekuasaan melalui voting yang hanya populasi dan
diterima secara luas, namun tidak mempunyai kecakapan dan kemampuan dalam
mengelola daerah.
Penguatan demokrasi lokal melalui
pemilihan ini adalah bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Upaya penguatan demokrasi lokal melalui pemilukada langsung ini adalah
mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobosan atas mandengnya pembangunan
demokrasi di tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah secara langsung dimulai
pada tahun 2005, yang diselenggarakan di 226 daerah, yang meliputi 11 Provinsi,
180 kabupaten, dan 35 kota.
Pemilukada adalah pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering disingkat dengan pilkada.
Pemilihan umum ini dilaksanakan untuk memilih Kepala Daerah yaitu Gubernur
Wakil Gubernur untuk tingkat privinsi, Bupati Wakil Bupati untuk kabupaten dan
Walikota Wakil Walikota untuk kota madya yang dipilih secara langsung oleh
masyarakat diwilayah tersebut. Secara nasional pemilukada pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2005 diantaranya pemilihan walikota dan wakil wali kota
Depok, Pilkada Kabupaten Sukabumi, dan Pilkada Kabupaten Sumenep.
Pemilukada Aceh secara langsung
diselenggarakan pada tahun 2006. Tepatnya pada 11 Desember 2006. Pilkada Aceh
dilaksanakan secara serentak di 4 Kota dan 15 Kabupaten. Kota melakukan
pilkada, yakni Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa. Sedangkan
kabupaten yang melaksanakan pilkada adalah Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh
Utara, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Barat
Daya, Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Simeulue. Berbeda
dengan daerah lainnya di Indonesia
Pilkada Aceh ini tergolong unik karena diikuti oleh mantan kombatan GAM yang
notabenenya adalah pemberontak, dari 20 jabatan kepala daerah GAM berhasil
memperoleh 9 jabatan yaitu 8 posisi bupati/walikota 1 gubernur.
Disamping
itu Pilkada Aceh tahun 2006 bukanlah Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah yang terjadi landasan hukumnya sebagaimana pelaksanaan
pilkada untuk daerah lainnya di Indonesia. Namun, Aceh memiliki landasan hukum
khusus tersendiri yaitu Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. Bahkan yang lebih uniknya
Pilkada Aceh adanya kenderaan politik bagi para mantan kombatan GAM yang tidak
ingin maju lewat partai politik nasional.
2.3.3 Penyelenggara Pemilu di Aceh
Dalam
bab ketentuan umum pasal 1 ayat 12 Undang-undang No 11 tahun 2006 tetang
pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Komisi Independen Pemilihan selanjutnya
disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dai
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK,
pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.[5]
Dari
aturan ini dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan Pemilihan
umum di Aceh baik legislatif maupun pemilihan eksekutif akan diselenggarakan
oleh Komisi Independen Pemilihan. KIP Aceh sebagaimana pasal 56 ayat 1 bertugas
menyelenggarakan pemilihan umum presiden/wakil presiden, anggota PDR, anggota
DPD, pemilihan Gubernur/ Wakil Gubenur. Sedangkan KIP Kabupaten/Kota selain
melaksanakan tugas turunan dari KIP Aceh juga melaksanakan pemilu untuk pemilih
Bupati/Wakil Bupati dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota.[6]
Berdasarkan Undang-undang No 11
tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa KIP memiliki tugas,
wewenang dan kewajiban, diantaranya :[7]
a. Merancang
dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gebernur, Bupati/Wakil Bupati,
dan Walikota/Wakil Walikota.
b. Menetapkan
tata cara pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan
Walikota/ Wakil Walikota
c. Mengoordinasika,
menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pelaksanaan pemilih
Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
[1] Ibid, hlm. 180
[2] Lihat Penjelasan Umum dalam
Draft RUU tentang Pemilihan Umum.
[3] Yusdianto, Identifikasi Potensi
Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme
PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, hlm 44.
[4] Pasal 56 ayat Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[5] Pasal 11 ayat 12 Undang-Undang
No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
[6] Pasal 56 ayat 1
[7] Pasal 58 ayat 1
0 comments:
Post a Comment