Wednesday, March 23, 2016

Sistem Pemilihan Proporsional



a.      Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau golongan-golongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000. Imbangan suara seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara 400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai 1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan Umum (Partai Politik/Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di Parlemen Pusat.
Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilihan.

Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan faktor-faktor politik lainnya - kursi yang tersedia di Parlemen Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang sering disebut Multy member constituency. Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan Umum - maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedikit, merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung kelemahan yang cukup substansiil, yaitu :[1]
1.      Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan sistem proposional justru menjurus kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2.      Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya, yaitu partai politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanyaanggapan bahwa keberadaan partai politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan dari padakemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih partai politik. Bukan memilih seorang wakil.
3.      Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada  umumnya penentuan pemerintahan didasarkan pada kolisi dari dua partai atau lebih.
            Disamping kedua sistem tersebut diatas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu pada tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, partai politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan abjad. Bukan nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat pemilih disamping “mencoblos” partai politik yang dikehendaki mereka juga memilih nama-nama calon wakil yang diajukan oleh partai politik yang bersangkutan. Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan kepentingan partai politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini, diharapkan wakil-wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hal ini mengingat walapun dia dicalonkan oleh partai politik namun secara definitif dapat atau tidaknya dia duduk di DPR semata-mata sangat tergantung pada hasil pilihan rakyat yang diambil dari daftar calon tersebut.
            Menurut Pasal 2 Undang-undnag tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan Pemilu berdasarkan asa langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dapat dipertanggung jawabkan. Perluasan asas pemilu semacam ini memang dirasa terlalu “membabi-buta”. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika asas-asas pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
            Masih berkaitan dengan asas pemilihan umum. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 dan ketentuan pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab. Berkaitan dengan ketentuan semacam inilah, maka Unang-undang tentang Pemilihan Umum mengembangkan asas Pemilihan Umum.[2]

2.3 Tinjauan Tentang Pemilukada
  2.3.1. Pengertian Pemilikada
            Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah, karena disinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara.[3]
            Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang “ pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
            Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 56 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah selanjutnya disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan.

2.3.2 Konsep Pemilukada Langsung
            Pelaksanaan pilkada langsung pada hakikatnya  tidak hanya untuk tujuan mengoptimalkan demokratisasi didaerah, melaikan merupakan perwujudkan dari prinsip otomi daerah seluas-luasnya. Pasal 56 ayat 1 Undang-undang No 32 tahun 2004 berbunyik “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dala satu calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan atas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.[4]           
            pemilihan kepala daerah secara langsung adalah momentum yang paling strategis untuk memilih kepala daerah yang berkualitas. Keberhasilan tidak hanya diukur dari proses penyelenggaraannya yang berlangsung lancar dan damai terapi juga diukur dai hasil yang diperoleh, apakah telah menghasilkan pemipin yang berkualitas terutama dari sisi manajerial dan kompetesi. Bila pemilihan ini hanya dijadikan sebagai ajang perebutkan kekuasaan melalui voting yang hanya populasi dan diterima secara luas, namun tidak mempunyai kecakapan dan kemampuan dalam mengelola daerah.
            Penguatan demokrasi lokal melalui pemilihan ini adalah bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Upaya penguatan demokrasi lokal melalui pemilukada langsung ini adalah mekanisme yang tepat sebagai bentuk terobosan atas mandengnya pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah secara langsung dimulai pada tahun 2005, yang diselenggarakan di 226 daerah, yang meliputi 11 Provinsi, 180 kabupaten, dan 35 kota.
            Pemilukada adalah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering disingkat dengan pilkada. Pemilihan umum ini dilaksanakan untuk memilih Kepala Daerah yaitu Gubernur Wakil Gubernur untuk tingkat privinsi, Bupati Wakil Bupati untuk kabupaten dan Walikota Wakil Walikota untuk kota madya yang dipilih secara langsung oleh masyarakat diwilayah tersebut. Secara nasional pemilukada pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 diantaranya pemilihan walikota dan wakil wali kota Depok, Pilkada Kabupaten Sukabumi, dan Pilkada Kabupaten Sumenep.
            Pemilukada Aceh secara langsung diselenggarakan pada tahun 2006. Tepatnya pada 11 Desember 2006. Pilkada Aceh dilaksanakan secara serentak di 4 Kota dan 15 Kabupaten. Kota melakukan pilkada, yakni Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa. Sedangkan kabupaten yang melaksanakan pilkada adalah Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Simeulue. Berbeda dengan daerah lainnya  di Indonesia Pilkada Aceh ini tergolong unik karena diikuti oleh mantan kombatan GAM yang notabenenya adalah pemberontak, dari 20 jabatan kepala daerah GAM berhasil memperoleh 9 jabatan yaitu 8 posisi bupati/walikota 1 gubernur.
            Disamping itu Pilkada Aceh tahun 2006 bukanlah Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang terjadi landasan hukumnya sebagaimana pelaksanaan pilkada untuk daerah lainnya di Indonesia. Namun, Aceh memiliki landasan hukum khusus tersendiri yaitu Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang  pemerintah Aceh. Bahkan yang lebih uniknya Pilkada Aceh adanya kenderaan politik bagi para mantan kombatan GAM yang tidak ingin maju lewat partai politik nasional.

2.3.3 Penyelenggara Pemilu di Aceh
            Dalam bab ketentuan umum pasal 1 ayat 12 Undang-undang No 11 tahun 2006 tetang pemerintahan Aceh disebutkan bahwa Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubenur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.[5]
            Dari aturan ini dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan Pemilihan umum di Aceh baik legislatif maupun pemilihan eksekutif akan diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan. KIP Aceh sebagaimana pasal 56 ayat 1 bertugas menyelenggarakan pemilihan umum presiden/wakil presiden, anggota PDR, anggota DPD, pemilihan Gubernur/ Wakil Gubenur. Sedangkan KIP Kabupaten/Kota selain melaksanakan tugas turunan dari KIP Aceh juga melaksanakan pemilu untuk pemilih Bupati/Wakil Bupati dan pemilihan Walikota/Wakil Walikota.[6]
            Berdasarkan Undang-undang No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa KIP memiliki tugas, wewenang dan kewajiban, diantaranya :[7]
a.       Merancang dan menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gebernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
b.      Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota
c.       Mengoordinasika, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahap pelaksanaan pelaksanaan pemilih Gubernur/ Wakil Gebenur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota


[1]  Ibid, hlm. 180
[2] Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.
[3] Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme PenyelesaiiannyaI. Jurnal Konstitusi Vol II nomor 2, November 2010, hlm 44.
[4]  Pasal 56 ayat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
[5] Pasal 11 ayat 12 Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
[6] Pasal 56 ayat 1
[7] Pasal 58 ayat 1

0 comments: