Pilkada
di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan
mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola penunjukkan, pilkada
melalui DPRD, dan pilkada secara langsung. Pilihan masing-masing pola tersebut
sangat bergantung pada pemegang kekuasaan. Pergantian pemegang kekuasaan maupun
masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan memliki pengaruh terhadap pelaksanaan
pilkada selama suatu kekuasaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada
selama ini. Masing-masing penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan
yang berbeda-beda.[1]
Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia apabila dikaji secara historis
dibagi menjadi 3 zaman. Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka
sampai memperoleh kemerdekaan. Berikut ini penjelasan 3 zaman tersebut :
Eksistensi pilkada di Indonesia
dibagi menjadi 3 zaman, yaitu atara lain sebagai berikut :
a. Kepala
Daerah Pada Zaman Belanda
b. Kepala
Daerah Pada Zaman Jepang
c. Kepala
Daerah Zama Indonesia Merdeka
a.) Pilkada
Pada Zaman Belanda
Pada
zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan
menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah Jawa dan
Mandura. Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi,
Kalimatan dan sebagainya. Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi
sebagian kewenangan kewenangan yang
dimiliki pusat kepada daerah-daerah.
Ada
beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Daerah
Jawa dan Madura
Tingkatan
pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi dalam
beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan pangreh praja
dan pamong praja. Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi disebut
Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Selanjutnya, tiap-tiap provinsi dibagi
menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen. Tiap-tiap Keresidenan dibagi
lagi menjadi beberapa Afdelling yang
dipimpin oleh Asisten Residen. Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari
Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi
beberapa Kewedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana. Tiap-tiap Kawedana dibagi
menjadi Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana.
Kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.[2]
2. Daerah
Luar Jawa dan Madura
Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura
susunan tingkat-tingkat pemerintahan daerah agak berbeda sedikit dibandingkan
dengan daerah Jawa dan Madura. Tingkat pemerintahan yang tertinggi disebut
Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Tiap-tiap Provinsi dibagi menjadi
beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Tiap-tiap Karesidenan
dibagi menjadi beberapa Afdeling yang
dikepalai oleh seorang Asisten Residen. Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir. Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi menjadi Kewedanan
atau District yang dikepalai oleh Wedana atau Demang.
Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-District yang dikepalai oleh
seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap Kecamatan meliputi beberapa
Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama lainnya, yang dikepalai oleh
seorang Kepala Desa atau nama lainnya.[3]
Pada zaman Belanda
dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan dengan
cara penunjkan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah
jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan
mereka.[4]
Oleh sebab itu, aik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan
Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Kontrolir
dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda, sedangkan untuk
jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa diberikan kepada pribumi
bangsa Indonesia untuk mendudukinya.
Untuk
tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas pilkada
dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak ada
mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintaha
di daerah. Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman
Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh Belanda melalui
Gebernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan di daerah-daerah
dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah.[5]
Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan yakni harus
memberikan upeti.[6]
b.) Kepala
Daerah Pada Zaman Jepang
Setelah
zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia untuk menjalankan
pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan 3 Osamu
Sirei, yang dalam teks berbahasa Indonesia disebut (dalam ejaan aslinya) Oendang-Oendang[7].
Ketiga Oendang-Oendang itu adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun
1902 Tentang Peroebahan Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang
Atoeran Pemerintahan Syuu; dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang
Mengoebah Nama Negeri dan Nama Daerah. Undang-undang[8]
(ejaan sekarang) sebagaimana telah dijelaskan merupakan landasan hukum bagi
pemerintahan Jepang untuk menjalankan kekuasaan.[9]
Pada
zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari Belanda, Jepang
masih meneruskan asas dekonsentrasi[10] sebagaimana
dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.Asas ini dilaksanakan Jepang dengan
mengadakan perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang
jelas terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan
Bahasa Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan
oleh para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan
kesempatan sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa
maupun di luar Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk
wilayah Jawa dihapus.
Seperti halnya saat pemerintah Belanda
menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem
rekrutmen Kepala Daerah saat zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi,
transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan
diangkat dan/atau ditunjuk oleh penguasa Jepang selaku pemerintah pusat.
Sistem pengangkatan
dan/atau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan diatas dilakukan secara
hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala Daerah tidak mengalami
perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda.[11]
c.)
Kepala Daerah
Pada Zaman Kemerdekaan
Kepala Daerah pada zaman
ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni : era orde lama, era orde baru, dan era
reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang ketiga era tersebut.[12]
1. Era
Orde Lama
Produk hukum yang
melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde baru ialah
undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite
Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh
Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Komite
Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama
dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah
tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya”.[13] Dalam
poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa Kepala
Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi Badan Legislatif.[14]
Selain
itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi sebagai wakil Badan
Perwakilan Rakyat Daerah.[15]
Dalam pasal sebagaimana
telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah duduk di lembaga
eksekutif dan legislatif. Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah Kepala Daerah
yang diangkat pada masa sebelumnya yakni masa pendudukan Jepang. Akibat
berbagai situasi yang muncul, seperti situasi politik, keamanan dan hukum
ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah diangkat begitu saja untuk
menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan
pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus
mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan.[16]
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun 1948, lahir penggantinya
yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945.[17]
Pada
masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan
keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.Secara hierarki, pada
saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga
tingkatan. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik
Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota
besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam
undang-undang tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[18] dan
Dewan Pemerintah Daerah[19]serta
berhak menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan
Pemerintah Daerah.[20]
Hal
ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang tersebut, yakni bahwa :
“Kepala
Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan- putusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu
bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila
putusan-putusan itu diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Pemerintah Daerah di bawah Propinsi”.
Undang-undang
sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dari DPRD dan
Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan
dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang
diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan
Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi[21]:
“Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau
sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi”.
[1] Joko. J . prihatmoko, Pilkada Langsung, Pustaka Pelajar,
Semarang, 2005 Hal. 37
[2] J. Kaloh,
Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala
Daerah Dalam Pelaksaana otonomi Daerah), Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal.
25
[3] Ibid
[4]
Joko. J . prihatmoko, Op. Cit hal. 40
[5]
Kalau dicermati proses penentuan daerah tersebut sesungguhnya dalam
proses tersebut tidak terjadi pilkada namun yang dilakukan adalah penerapan
pola penunjukkan langsung.
[7]
Penggunaan terminologi
oendang-oendang dibuat berdasarkan ejaan asli yang berlaku pada zaman
penjajahan di Indonesia.
[8]
Penulisan undang-undang
yang memiliki kesamaan makna dengan “oendang-oendang” berdasarkan pada ejaan
yang telah disempurnakan
[9]
Joko J. Prihatmoko, Op.Cit,
Hal. 42
[10] Makna
dekonsentrasi dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
201 4tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) Pasal 1
angka 9 UU tersebut memberikan makna dekonsentrasi sebagai pelimpahan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Makna dekonsentrasi secara umum
dapat kita pahami sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah oleh pemerintah
pusat untuk menjalankan pemerintahan. Lihat. J.Kaloh. Op.Cit hal 29
[11] Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal.
45
[12]
Ketiga era ini didasarkan
pada era yang pernah berlangsung di Indonesia setelah masa pendudukan zaman
Belanda dan zaman Jepang
[13]
Lihat pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah
[14]
Lihat bagian penjelasan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite
Nasional Daerah
[15]
Lihat Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah
[16]
Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit,
Hal. 47
[17]
Undang-UndangNomor22 tahun
1948 ini terdapat dalam Lembaran Negara .. Tambahan Negara
[18]
Untuk selanjutnya Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah akan disingkat menjadi DPRD
[19]
Untuk selanjutnya Dewan
Perwakilan Daerah akan disingkat menjadi DPD
[20] J.Kaloh, Op.Cit,Hal. 32
[21] Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
0 comments:
Post a Comment