Wednesday, March 30, 2016

Sejarah Pilkada Di Indonesia

Pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola penunjukkan, pilkada melalui DPRD, dan pilkada secara langsung. Pilihan masing-masing pola tersebut sangat bergantung pada pemegang kekuasaan. Pergantian pemegang kekuasaan maupun masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan memliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama suatu kekuasaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama ini. Masing-masing penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda.[1] Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia apabila dikaji secara historis dibagi menjadi 3 zaman. Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai memperoleh kemerdekaan. Berikut ini penjelasan 3 zaman tersebut :
            Eksistensi pilkada di Indonesia dibagi menjadi 3 zaman, yaitu atara lain sebagai berikut :
a.       Kepala Daerah Pada Zaman Belanda
b.      Kepala Daerah Pada Zaman Jepang
c.       Kepala Daerah Zama Indonesia Merdeka
a.)    Pilkada Pada Zaman Belanda
Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah Jawa dan Mandura. Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimatan dan sebagainya. Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi sebagian kewenangan  kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah.
Ada beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Daerah Jawa dan Madura
Tingkatan pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi dalam beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan pangreh praja dan pamong praja. Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Selanjutnya, tiap-tiap provinsi dibagi menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen. Tiap-tiap Keresidenan dibagi lagi menjadi beberapa Afdelling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kewedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana. Tiap-tiap Kawedana dibagi menjadi Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana. Kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.[2]


2.      Daerah Luar Jawa dan Madura
Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura susunan tingkat-tingkat pemerintahan daerah agak berbeda sedikit dibandingkan dengan daerah Jawa dan Madura. Tingkat pemerintahan yang tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Tiap-tiap Provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Tiap-tiap Karesidenan dibagi menjadi beberapa Afdeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen. Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir. Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi menjadi Kewedanan atau District  yang dikepalai oleh Wedana atau Demang. Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-District yang dikepalai oleh seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap Kecamatan meliputi beberapa Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama lainnya, yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau nama lainnya.[3]
Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan dengan cara penunjkan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan mereka.[4] Oleh sebab itu, aik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda, sedangkan untuk jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya.
Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas pilkada dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintaha di daerah. Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh Belanda melalui Gebernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan di daerah-daerah dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah.[5] Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan yakni harus memberikan upeti.[6]
b.)    Kepala Daerah Pada Zaman Jepang
Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan 3 Osamu Sirei, yang dalam teks berbahasa Indonesia disebut (dalam ejaan aslinya) Oendang-Oendang[7]. Ketiga Oendang-Oendang itu adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun 1902 Tentang Peroebahan Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang Atoeran Pemerintahan Syuu; dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang Mengoebah Nama Negeri dan Nama Daerah. Undang-undang[8] (ejaan sekarang) sebagaimana telah dijelaskan merupakan landasan hukum bagi pemerintahan Jepang untuk menjalankan kekuasaan.[9]
Pada zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari Belanda, Jepang masih meneruskan asas dekonsentrasi[10] sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.Asas ini dilaksanakan Jepang dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang jelas terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan Bahasa Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan kesempatan sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa maupun di luar Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk wilayah Jawa dihapus.
Seperti halnya saat pemerintah Belanda menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem rekrutmen Kepala Daerah saat zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat dan/atau ditunjuk oleh penguasa Jepang selaku pemerintah pusat.
Sistem pengangkatan dan/atau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan diatas dilakukan secara hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala Daerah tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda.[11]
c.)    Kepala Daerah Pada Zaman Kemerdekaan

Kepala Daerah pada zaman ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni : era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang ketiga era tersebut.[12]
1.      Era Orde Lama
Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde baru ialah undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya”.[13] Dalam poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa Kepala Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi Badan Legislatif.[14] Selain itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi sebagai wakil Badan Perwakilan Rakyat Daerah.[15]
Dalam pasal sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah Kepala Daerah yang diangkat pada masa sebelumnya yakni masa pendudukan Jepang. Akibat berbagai situasi yang muncul, seperti situasi politik, keamanan dan hukum ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah diangkat begitu saja untuk menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan.[16]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun 1948, lahir penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945.[17] Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.Secara hierarki, pada saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam undang-undang tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[18] dan Dewan Pemerintah Daerah[19]serta berhak menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.[20] Hal ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang tersebut, yakni bahwa :
“Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan- putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah Propinsi”.

Undang-undang sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi[21]: “Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi”.




[1] Joko. J . prihatmoko, Pilkada Langsung, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005 Hal. 37
[2]  J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksaana otonomi Daerah), Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal. 25
[3] Ibid
[4]  Joko. J . prihatmoko, Op. Cit  hal. 40
[5]  Kalau dicermati proses penentuan daerah tersebut sesungguhnya dalam proses tersebut tidak terjadi pilkada namun yang dilakukan adalah penerapan pola penunjukkan langsung.
[6] Ibid
[7] Penggunaan terminologi oendang-oendang dibuat berdasarkan ejaan asli yang berlaku pada zaman penjajahan di Indonesia. 
[8] Penulisan undang-undang yang memiliki kesamaan makna dengan “oendang-oendang” berdasarkan pada ejaan yang telah disempurnakan
[9] Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 42
[10]  Makna dekonsentrasi dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 201 4tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) Pasal 1 angka 9 UU tersebut memberikan makna dekonsentrasi sebagai pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Makna dekonsentrasi secara umum dapat kita pahami sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan. Lihat. J.Kaloh. Op.Cit hal 29 
[11] Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 45
[12] Ketiga era ini didasarkan pada era yang pernah berlangsung di Indonesia setelah masa pendudukan zaman Belanda dan zaman Jepang 
[13] Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 
[14] Lihat bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 
[15] Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah
[16] Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 47 
[17] Undang-UndangNomor22 tahun 1948 ini terdapat dalam Lembaran Negara .. Tambahan Negara 
[18] Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan disingkat menjadi DPRD 
[19] Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Daerah akan disingkat menjadi DPD 
[20] J.Kaloh, Op.Cit,Hal. 32
[21] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah  

0 comments: