Teori
partisipasi politik
Partisipasi merupakan salah satu
aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga
masyarakat dalam kegiata-kegiatan politik baik bersifat aktif maupun pasif dan
bersifat langsung maupun yang tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Pada abad 14, hak untuk
berpartisipasi dalam hal pembuatan keputusan politik, untuk memberi suara, atau
menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk untuk sekelompok kecil
orang yang berkuasa, kaya, dan keturunan orang terpandang.[1]
Kecenderungan kearah partisipasi rakyat
yang lebih luas dalam politik bermula pada masa renaisance dan reformasi abad
ke 15 sampai abad 17, abad 18 dan abad 19. Tetapi cara-cara bagaimana berbagai
golongan masyarakat (pedagang, tukang, orang-orang professional, buruh kota,
wiraswasta, industri, petani desa, dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk
berpartisipasi lebih las dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di
berbagai negara.[2]
Menurut Myron Weiner seperti dikutip
oleh Mas’oed, paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan
kearah partispasi lebih luas dalam proses politik.
1. Modernisasi
Ketika
penduduk kota baru ( yaitu buruh dan pedagang, kaum profesional) melakukan
komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat,
penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media
massa, mereka merasa dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri, makin banyaj
menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2. Perubahan-Perubahan
Struktural Kelas Sosial
Begitu
terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah
selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang
berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola
partisipasi politik.
3. Pengaruh
Kaum Intelektual Dan Komunikasi Massa Modern
Kaum
intelektual (sarjana, filosof, pengarang, wartawan) sering mengemukakan ide-ide
seperti egaliterisme dan nasionalisme kepada masyarakat untuk membangkitkan
tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik.
Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern memudahkan dan mempercepat
penyebaran ide-ide baru.
4. Konflik
Di Antara Kelompok-Kelompok Pemimpin Politik
Kalau
timbul kompetisi memperebutkan
kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling
berhadapan adalah mencari dukungan rakyat. Dalam hal ini mereka tentu
menganggap sah dan memperjuangkan ide-ide partisipasi massa dan akibatnya
menimbulkan geraka-gerakan yang menuntut agar “hak-hak” ini dipenuhi. Jadi
kelas-kelas menengah dalam perjuangannya melawan kaum buruh dan membantu
memperluas hak pilih rakyat.
5. Keterlibatan
Pemerintah Yang Meluas Dalam Urusan Sosial, Ekonomi Dan Budaya
Perluasan
kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijakasanaan baru biasanya berarti
bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintah menjadi semakin menyusup pada
kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik,
individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah
dapat merugikan kepentingannya. Maka
dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang
timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan
keputusan politik.
Menurut
Roseberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik :[3]
Pertama bahwa
individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek
kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak
hubungan sosial dengan lawannya dan pekerjaannya karena kedekatannya dengan
partai-partai politik tertentu. Kedua,
bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai
pekerjaan sia-sia. Mungkin disini aktivitas individu merasa adanya jurang
pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah
begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktivitas politik yang kiranya
dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan
bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah
sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka
dengan tidak adanya perangsang politik
yang sedemikiana, hal itu membuat atau mendiring kearah perasaan yang
semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang
politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat
politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu
merasa bahwa kegiata-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung
menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik
diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu
yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
Partisipasi politik dapat diartikan sebagai
kegiata sekolompok orang untuk ikut dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat
berupa memilih kepala daerah atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut
Ramlan Surbakti :[4]
Partisipasi politik adalah keikut sertaan warga negara biasa dalam menentukan
segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Partisipasi
politik dapat diartikan sebagian kegiatan sekolompok orang untuk ikut dalam
kegiatan politik. Kegiatan ini dapat berupa memilih kepala daerah atau
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Hantington dan Nelson, (dalam
Partispasi Politik Di Negara Berkembang), partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara preman (private citizen), yang bertujuan mempengaruhi keputusan
pemerintag. Sedangkan Miriam Budiardjo mengartikan partisipasi politik sebagai
kegiatan sesorang atay sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kegiatan
politik, yaitu dengan jalan memilih kepala daerahsecara langsung maupun tidak, serta
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
0 comments:
Post a Comment