Tuesday, March 29, 2016

Teori partisipasi politik

Teori partisipasi politik
            Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiata-kegiatan politik baik bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
            Pada abad 14, hak untuk berpartisipasi dalam hal pembuatan keputusan politik, untuk memberi suara, atau menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk untuk sekelompok kecil orang yang berkuasa, kaya, dan keturunan orang terpandang.[1] Kecenderungan  kearah partisipasi rakyat yang lebih luas dalam politik bermula pada masa renaisance dan reformasi abad ke 15 sampai abad 17, abad 18 dan abad 19. Tetapi cara-cara bagaimana berbagai golongan masyarakat (pedagang, tukang, orang-orang professional, buruh kota, wiraswasta, industri, petani desa, dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk berpartisipasi lebih las dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di berbagai negara.[2]
            Menurut Myron Weiner seperti dikutip oleh Mas’oed, paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partispasi lebih luas dalam proses politik.


1.      Modernisasi
Ketika penduduk kota baru ( yaitu buruh dan pedagang, kaum profesional) melakukan komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa, mereka merasa dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri, makin banyaj menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2.      Perubahan-Perubahan Struktural Kelas Sosial
Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan  politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
3.      Pengaruh Kaum Intelektual Dan Komunikasi Massa Modern
Kaum intelektual (sarjana, filosof, pengarang, wartawan) sering mengemukakan ide-ide seperti egaliterisme dan nasionalisme kepada masyarakat untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik. Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern memudahkan dan mempercepat penyebaran ide-ide baru.
4.      Konflik Di Antara Kelompok-Kelompok Pemimpin Politik
Kalau timbul  kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari dukungan rakyat. Dalam hal ini mereka tentu menganggap sah dan memperjuangkan ide-ide partisipasi massa dan akibatnya menimbulkan geraka-gerakan yang menuntut agar “hak-hak” ini dipenuhi. Jadi kelas-kelas menengah dalam perjuangannya melawan kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
5.      Keterlibatan Pemerintah Yang Meluas Dalam Urusan Sosial, Ekonomi Dan Budaya
Perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijakasanaan baru biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintah menjadi semakin menyusup pada kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat  merugikan kepentingannya. Maka dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Menurut Roseberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik :[3]
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial dengan lawannya dan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini aktivitas individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktivitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik  yang sedemikiana, hal itu membuat atau mendiring kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu  merasa bahwa kegiata-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
Partisipasi politik dapat diartikan sebagai kegiata sekolompok orang untuk ikut dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat berupa memilih kepala daerah atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Ramlan Surbakti :[4] Partisipasi politik adalah keikut sertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Partisipasi politik dapat diartikan sebagian kegiatan sekolompok orang untuk ikut dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat berupa memilih kepala daerah atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Hantington dan Nelson, (dalam Partispasi Politik Di Negara Berkembang), partisipasi politik adalah kegiatan warga negara preman (private citizen),  yang bertujuan mempengaruhi keputusan pemerintag. Sedangkan Miriam Budiardjo mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan sesorang atay sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kegiatan politik, yaitu dengan jalan memilih kepala daerahsecara langsung maupun tidak, serta mempengaruhi kebijakan pemerintah.






[1] Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm 45
[2] Ibid,hlm. 45
[3] Michael Rush dan Althoff, Pengatar Sosiologi Politik, (Jakarta: PT Rajawali, 1989), hlm 131
[4]  Sujiono sastroatmodjo, Drs. Perilaku politik, semarang : IKIP Semarang press, 1995, hal 24

0 comments: