Thursday, March 31, 2016

CONTOH METOLOGI PENELITIAN


BAB III
METOLOGI PENELITIAN

3.1. METODE PENELITIAN

Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan yang dihadapinya ( Soejono Soekamto, 1986: 6). Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh data yang akurat, lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian
Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doctrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985 : 15).

3.2.   Sifat Penelitian
Dalam melakukan penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau dalam rangka menyusun tori baru (Soerjono Soekanto, 2006:10). Berdasarkan pegertian di atas metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini, penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang latar belakang dan implikasi Pemilu 2014 di Aceh Timur.
  
3.3. Jenis Data
Data adalah hasil dari penelitian baik berupa fakta-fakta atau angka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu sumber informasi. Jenis data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara tidak langsung yaitu dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan antara lain dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya. (Soerjono Soekanto, 1984: 12)

­
3.4. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian diperoleh. Dalam penelitian ini penulis mengambil sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka termasuk didalamnya literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, internet dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.

3.5. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis teknik pengumpulan data, yaitu : studi dokumen atau bahan pustaka, pengamayan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soejono Soekanto , 2006:21).

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu berupa pengumpulan data sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, serta dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.




3.6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah suatu tentang cara-cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kuantitatif. Teknis analisis data adalah pengolahan data yang pada hakekatnya untuk megadakan sistemasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang diadakan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara mareriil atau mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil kesimpulan / verivikasi dan akan diperoleh kebenaran obyektif.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menemukan hasil. Analisis data merupakan langkah yang selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.

III.2. Waktu Penelitian
III.3. Sumber Data
III.4. Instrumen Pegumpulan Data
III.5. Teknik Analisi Data


Wednesday, March 30, 2016

Sejarah Pilkada Di Indonesia

Pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola penunjukkan, pilkada melalui DPRD, dan pilkada secara langsung. Pilihan masing-masing pola tersebut sangat bergantung pada pemegang kekuasaan. Pergantian pemegang kekuasaan maupun masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan memliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama suatu kekuasaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama ini. Masing-masing penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda.[1] Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia apabila dikaji secara historis dibagi menjadi 3 zaman. Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai memperoleh kemerdekaan. Berikut ini penjelasan 3 zaman tersebut :
            Eksistensi pilkada di Indonesia dibagi menjadi 3 zaman, yaitu atara lain sebagai berikut :
a.       Kepala Daerah Pada Zaman Belanda
b.      Kepala Daerah Pada Zaman Jepang
c.       Kepala Daerah Zama Indonesia Merdeka
a.)    Pilkada Pada Zaman Belanda
Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah Jawa dan Mandura. Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimatan dan sebagainya. Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi sebagian kewenangan  kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah.
Ada beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Daerah Jawa dan Madura
Tingkatan pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi dalam beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan pangreh praja dan pamong praja. Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Selanjutnya, tiap-tiap provinsi dibagi menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen. Tiap-tiap Keresidenan dibagi lagi menjadi beberapa Afdelling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kewedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana. Tiap-tiap Kawedana dibagi menjadi Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana. Kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.[2]


2.      Daerah Luar Jawa dan Madura
Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura susunan tingkat-tingkat pemerintahan daerah agak berbeda sedikit dibandingkan dengan daerah Jawa dan Madura. Tingkat pemerintahan yang tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Tiap-tiap Provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Tiap-tiap Karesidenan dibagi menjadi beberapa Afdeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen. Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir. Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi menjadi Kewedanan atau District  yang dikepalai oleh Wedana atau Demang. Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-District yang dikepalai oleh seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap Kecamatan meliputi beberapa Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama lainnya, yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau nama lainnya.[3]
Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan dengan cara penunjkan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan mereka.[4] Oleh sebab itu, aik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda, sedangkan untuk jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya.
Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas pilkada dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintaha di daerah. Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh Belanda melalui Gebernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan di daerah-daerah dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah.[5] Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan yakni harus memberikan upeti.[6]
b.)    Kepala Daerah Pada Zaman Jepang
Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan 3 Osamu Sirei, yang dalam teks berbahasa Indonesia disebut (dalam ejaan aslinya) Oendang-Oendang[7]. Ketiga Oendang-Oendang itu adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun 1902 Tentang Peroebahan Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang Atoeran Pemerintahan Syuu; dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang Mengoebah Nama Negeri dan Nama Daerah. Undang-undang[8] (ejaan sekarang) sebagaimana telah dijelaskan merupakan landasan hukum bagi pemerintahan Jepang untuk menjalankan kekuasaan.[9]
Pada zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari Belanda, Jepang masih meneruskan asas dekonsentrasi[10] sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.Asas ini dilaksanakan Jepang dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang jelas terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan Bahasa Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan kesempatan sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa maupun di luar Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk wilayah Jawa dihapus.
Seperti halnya saat pemerintah Belanda menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem rekrutmen Kepala Daerah saat zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat dan/atau ditunjuk oleh penguasa Jepang selaku pemerintah pusat.
Sistem pengangkatan dan/atau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan diatas dilakukan secara hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala Daerah tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda.[11]
c.)    Kepala Daerah Pada Zaman Kemerdekaan

Kepala Daerah pada zaman ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni : era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang ketiga era tersebut.[12]
1.      Era Orde Lama
Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde baru ialah undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya”.[13] Dalam poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa Kepala Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi Badan Legislatif.[14] Selain itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi sebagai wakil Badan Perwakilan Rakyat Daerah.[15]
Dalam pasal sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah Kepala Daerah yang diangkat pada masa sebelumnya yakni masa pendudukan Jepang. Akibat berbagai situasi yang muncul, seperti situasi politik, keamanan dan hukum ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah diangkat begitu saja untuk menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan.[16]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun 1948, lahir penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945.[17] Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.Secara hierarki, pada saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam undang-undang tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[18] dan Dewan Pemerintah Daerah[19]serta berhak menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.[20] Hal ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang tersebut, yakni bahwa :
“Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan- putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah Propinsi”.

Undang-undang sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi[21]: “Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi”.




[1] Joko. J . prihatmoko, Pilkada Langsung, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005 Hal. 37
[2]  J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksaana otonomi Daerah), Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal. 25
[3] Ibid
[4]  Joko. J . prihatmoko, Op. Cit  hal. 40
[5]  Kalau dicermati proses penentuan daerah tersebut sesungguhnya dalam proses tersebut tidak terjadi pilkada namun yang dilakukan adalah penerapan pola penunjukkan langsung.
[6] Ibid
[7] Penggunaan terminologi oendang-oendang dibuat berdasarkan ejaan asli yang berlaku pada zaman penjajahan di Indonesia. 
[8] Penulisan undang-undang yang memiliki kesamaan makna dengan “oendang-oendang” berdasarkan pada ejaan yang telah disempurnakan
[9] Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 42
[10]  Makna dekonsentrasi dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 201 4tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) Pasal 1 angka 9 UU tersebut memberikan makna dekonsentrasi sebagai pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Makna dekonsentrasi secara umum dapat kita pahami sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan. Lihat. J.Kaloh. Op.Cit hal 29 
[11] Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 45
[12] Ketiga era ini didasarkan pada era yang pernah berlangsung di Indonesia setelah masa pendudukan zaman Belanda dan zaman Jepang 
[13] Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 
[14] Lihat bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah 
[15] Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah
[16] Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 47 
[17] Undang-UndangNomor22 tahun 1948 ini terdapat dalam Lembaran Negara .. Tambahan Negara 
[18] Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan disingkat menjadi DPRD 
[19] Untuk selanjutnya Dewan Perwakilan Daerah akan disingkat menjadi DPD 
[20] J.Kaloh, Op.Cit,Hal. 32
[21] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah  

Tuesday, March 29, 2016

Teori partisipasi politik

Teori partisipasi politik
            Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiata-kegiatan politik baik bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
            Pada abad 14, hak untuk berpartisipasi dalam hal pembuatan keputusan politik, untuk memberi suara, atau menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk untuk sekelompok kecil orang yang berkuasa, kaya, dan keturunan orang terpandang.[1] Kecenderungan  kearah partisipasi rakyat yang lebih luas dalam politik bermula pada masa renaisance dan reformasi abad ke 15 sampai abad 17, abad 18 dan abad 19. Tetapi cara-cara bagaimana berbagai golongan masyarakat (pedagang, tukang, orang-orang professional, buruh kota, wiraswasta, industri, petani desa, dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk berpartisipasi lebih las dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di berbagai negara.[2]
            Menurut Myron Weiner seperti dikutip oleh Mas’oed, paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partispasi lebih luas dalam proses politik.


1.      Modernisasi
Ketika penduduk kota baru ( yaitu buruh dan pedagang, kaum profesional) melakukan komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa, mereka merasa dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri, makin banyaj menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2.      Perubahan-Perubahan Struktural Kelas Sosial
Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan  politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
3.      Pengaruh Kaum Intelektual Dan Komunikasi Massa Modern
Kaum intelektual (sarjana, filosof, pengarang, wartawan) sering mengemukakan ide-ide seperti egaliterisme dan nasionalisme kepada masyarakat untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik. Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern memudahkan dan mempercepat penyebaran ide-ide baru.
4.      Konflik Di Antara Kelompok-Kelompok Pemimpin Politik
Kalau timbul  kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari dukungan rakyat. Dalam hal ini mereka tentu menganggap sah dan memperjuangkan ide-ide partisipasi massa dan akibatnya menimbulkan geraka-gerakan yang menuntut agar “hak-hak” ini dipenuhi. Jadi kelas-kelas menengah dalam perjuangannya melawan kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
5.      Keterlibatan Pemerintah Yang Meluas Dalam Urusan Sosial, Ekonomi Dan Budaya
Perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijakasanaan baru biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintah menjadi semakin menyusup pada kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas partisipasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan dengan mudah dapat  merugikan kepentingannya. Maka dari itu, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Menurut Roseberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik :[3]
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial dengan lawannya dan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini aktivitas individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktivitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik  yang sedemikiana, hal itu membuat atau mendiring kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu  merasa bahwa kegiata-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
Partisipasi politik dapat diartikan sebagai kegiata sekolompok orang untuk ikut dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat berupa memilih kepala daerah atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Ramlan Surbakti :[4] Partisipasi politik adalah keikut sertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya. Partisipasi politik dapat diartikan sebagian kegiatan sekolompok orang untuk ikut dalam kegiatan politik. Kegiatan ini dapat berupa memilih kepala daerah atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Hantington dan Nelson, (dalam Partispasi Politik Di Negara Berkembang), partisipasi politik adalah kegiatan warga negara preman (private citizen),  yang bertujuan mempengaruhi keputusan pemerintag. Sedangkan Miriam Budiardjo mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan sesorang atay sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kegiatan politik, yaitu dengan jalan memilih kepala daerahsecara langsung maupun tidak, serta mempengaruhi kebijakan pemerintah.






[1] Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm 45
[2] Ibid,hlm. 45
[3] Michael Rush dan Althoff, Pengatar Sosiologi Politik, (Jakarta: PT Rajawali, 1989), hlm 131
[4]  Sujiono sastroatmodjo, Drs. Perilaku politik, semarang : IKIP Semarang press, 1995, hal 24

Saturday, March 26, 2016

Tinjauan Mengenai Partisipasi Politik

LANDASAN TEORI
Dalam penelitian ini menjelaskan tentang beberapa pendekatan teoritik yang nantinya akan menunjang dalam analisis data. Beberapa teoritik tersebut adalah komunikasi politik, sosialisasi politik dan analisis wacana. Teori politik yang digunakan dalam penelitian ini dikarenakan fokusnya terletak pada pendidikan Politik, Dan  merupakan bentuk dari komunikasi politik. Sedangkan sosialisasi politik berdampak pada faktor ekonomi politik pada pemilukada 2014 di Aceh Timur ini karena sosialisasi politik merupakan penunjang dalam hal berkampanye. Dan untuk pendekatan teori analisis wacana adalah untuk menganalisis data dari media massa. Media massa dalam penelitian ini merupakan objeknya, sehingga perlu juga adanya teori ini
1. Kajian Teoritis
a.    Tinjauan Mengenai Partisipasi Politik
1.    Pengertian Partisipasi Politik
Pengertian partisipasi politik menurut Ramlan Surbakti (1999:54) adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik Warga negaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warga negara di negaranegara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani). Dari definisi-definisi di atas terdapat beberapa kriteria dari pengertian partisipasi politik yaitu:
1. Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dapat diamati dan bukan sikap atau orientasi. Jadi partisipasi politik hanya berhubungan dengan hal yang objektif dan bukan subjektif.
2. Kegiatan politik warga negara biasa atau orang perorangan sebagai warga negara biasa yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung (perantara).
3. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan bahkan pergolakan terhadap keberadaan figur para pelaku politik dan pemerintah.
4. Kegiatan tersbut diarahkan kepada upaya mempengaruhi pemerintah tanpa peduli efek yang akan timbul gagal ataupun berhasil.
5. Kegiatan yang dilakukan dapat melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekrasan (konvesional) maupun dengan cara yang diluar prosedur yang wajar (tidak konvesional) dan berupa kekerasan (violence).
6. Partisipasi politik adalah kegiatan seorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan poliitk seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah (Rahman, 2007:285).


2.    Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Jika model partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (1990:67) membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
a. Kegiatan Pemilihan yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
b. Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
c. Kegiatan Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
d. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
e. Tindakan Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huruhara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan. Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan 19 Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subjektif individu.
3. Faktor-faktor Penyebab Partisipasi Politik
Sebab-sebab adanya partisipasi politik yang luas yaitu :
1) Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyakat masih banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2) Perubahan-perubahan struktur-struktur kelas sosial, masalah siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
3) Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern, ide demokratisasi partisipasi telah meyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
4) Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elit maka yang dicari adalah dukungan rakyat maka terjadi perjuangan kelas menengah melawan aristrokrasi sehingga menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam uruusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan, maka menyebabkan meluasnya lingkup aktivitas pemerintah, sehingga sering timbul tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik (Myron Weiner yang dikutip Rahman, 2007:286).
Faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya suatu partisipasi masyarakat adalah tingkat kepercayaan atau trust masyarakat terhadap para pemimpin bangsa, kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Berdasarkan tinggi rendahnya kedua faktor tersebut maka Paige seperti yang dikutip Ramlan Surbakti (2010:184) membagi partisipasi politik menjadi empat tipe yaitu :
a.         Aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi.
b.         Apatis, yaitu apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, dan apabila partisipasi politik cenderung pasif tertekan.
c.         Militian Radikal, yaitu apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, dan
d.        Pasif, yaitu apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi.
Secara umum Tipologi partisipasi adalah sebagai kegiatan yang dibedakan menjadi :
a. Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses-proses input dan output. Artinya setiap warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk merumuskan kebijakan umum, memilih pemimpin daerah dan sebagainya.
b. Partisipasi Pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
c. Golongan putih (Golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang dicita-citakan (Rahman, 2007:282).
B. Tinjauan Mengenai Pemilihan Umum
1. Pengertian Pemilu
Salah satu syarat suatu negara yang menganut paham demokrasi adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin negara dengan diadakannya pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan menegakan suatu tatanan politik yang demokratis. Artinya pemilu merupakan mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian elit politik atau pembuat kebijakan. Dari pemilu ini diharapkan lahirnya lembaga perwakilan dan pemerintahan yang demokratis. Salah satu fungsinya adalah sebagai alat penegak atau penyempurna demokrasi dan bukan sebagai tujuan demokrasi. Menurut Undang-Undang Pemilu No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan umum bahwa : “Pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia negara yang berdasarkan Pancasila dsebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indinesia Tahun 1945” Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Pemilihan Umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia negara yang berdasarkan Pancasila sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indinesia Tahun 1945.
Menurut Kristiadi (1996 : hal 33) pemilihan umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancar kebawah sebagai suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Artinya pemilu merupakan roh demokrasi yang betul-betul merupakan sarana pemberian mandat kedaulatan rakyat.
C. Pengaruh Politik Terhadap Perekonomian
Politik adalah kegiatan dalam suatu sistem pembangunan negara melalui pembagian-pembagian kekuasan atau pendapatan untuk mencapai tujuan yang telah di sepakati dan melaksanakan tujuan tersebut. Kancah dunia politik di Indonesia sangat berpengaruh besar terhadap kemajuan ekonomi bangsa ini. Seperti kita ketahui dengan adanya campur tangan antara dunia politik di pemerintahan akan menghasilkan suatu perjanjian atau kerjasama dengan Dunia Internasional.
Dalam berbisnis sangatlah penting mempertimbangkan risiko politik dan pengaruhnya terhadap organisasi. Hal ini patut dipertimbangkan karena perubahan dalam suatu tindakan maupun kebijakan politik di suatu negara dapat menimbulkan dampak besar pada sektor keuangan dan perekonomian negara tersebut. Risiko politik umumnya berkaitan erat dengan pemerintahan serta situasi politik dan keamanan di suatu negara.
Setiap tindakan dalam organisasi bisnis adalah politik, kecuali organisasi charity atau sosial. Faktor-faktor tersebut menentukan kelancaran berlangsungnya suatu bisnis. Oleh karena itu, jika situasi politik mendukung, maka bisnis secara umum akan berjalan dengan lancar. Dari segi pasar saham, situasi politik yang kondusif akan membuat harga saham naik. Sebaliknya, jika situasi politik tidak menentu, maka akan menimbulkan unsur ketidakpastian dalam bisnis.
Dalam konteks ini, kinerja sistem ekonomi-politik sudah berinteraksi satu sama lain, yang menyebabkan setiap peristiwa ekonomi-politik tidak lagi dibatasi oleh batas-batas tertentu Sebagai contoh, IMF, atau Bank Dunia, atau bahkan para investor asing mempertimbangkan peristiwa politik nasional dan lebih merefleksikan kompromi-kompromi antara kekuatan politik nasional dan kekuatan-kekuatan internasional.
Tiap pembentukan pola bisnis juga senantiasa berkait erat dengan politik. Budaya politik merupakan serangkaian keyakinan atau sikap yang memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan administrasi publik di suatu negara, termasuk di dalamnya pola yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi atau perilaku bisnis.
Terdapat politik yang dirancang untuk menjauhkan campur tangan pemerintah dalam bidang perekonomian/bisnis. Sistemnya disebut sistem liberal dan politiknya demokratis. Ada politik yang bersifat intervensionis secara penuh dengan dukungan pemerintahan yang bersih. Ada pula politik yang cenderung mengarahkan agar pemerintah terlibat atau ikut campur tangan dalam bidang ekonomi bisnis.

Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia

Pemilu dan Proses Demokratisasi di Indonesia

Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala.
 Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis. Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Didalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat. Pemilihan umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam system politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku.
Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan ayng berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadic dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional. Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa.
 Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat tau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Dan ketiga, dalam dunia modern para pengusa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya.
Gramsci bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana control dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi. Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrsi itu sendiri. Pemilihan akan system pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari system pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada didalam masyarkat serta sejarah yang mempengaruhinya. Pemilu di Indonesia Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif. Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakilnya BJ Habiebie memulai babak baru dalam proses demokratisasi di Indonesia.
 Tidak adanya legitimasi dari para anggota legislative produk pemilu 1997 pada mas Orde Baru mengakibatkan banyaknya tuntutan untuk segera melaksanakan pemilu pada saat itu. BJ Habiebie sebagai pengganti Soeharto secara konstitusional kemudian memiliki tugas utama yakni menyelenggarakan pemilu. langkah awal Habiebie pada saat itu adalah membentuk Tim Tujuh yang bertugas untuk mempersiapkan pemilu secara segera. Selain itu juga, Golkar yang merupakan produk kekuasaan Orde Baru kemudian memepersiapkan diri menjadi partai politik baru, serta perpecahan PPP menjadi banyak partai pada saat itu merupakan langkah awal dari proses demokratisasi di Indonesia. Selama pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia telah menjalakan Pemilihan Umum, diawali dari tahun 1966 hingga tahun 1997 telah diadakan 6 (enam) kali pemilihan umum secara berkala, yakni berturut-turut dari tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992 dan tahun 1997, begitu pula pada era reformasi telah diselenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh multipartai tanggal 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya pada tanggal 5 April 2004.

Terkait dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 1999 rakyat hanya memilih mereka di lembaga parlemen, setelah itu barulah anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Bergulirnya gerakan reformasi telah melahirkan beberapa perubahan, termasuk dalam soal penyelenggara pemilu tahun 1999. Sistem multi partai pemilu 1999 ternyata benar-benar membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi politiknya, karena dalam perjalanannya partai politik yang sudah ada tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, partai-partai yang sudah ada hanya mempertahankan status quo saja. Munculnya banyak partai politik dengan segmen dan ideologi yang beragam membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak buta politik meskipun sistem pemilunya masih proporsional tanpa menyertakan nama calegnya dalam kartu suara, tetapi pemilu pada masa reformasi menjadi ajang kompetisi yang cukup sehat bagi para kontestan pemilu. Dari segi kelembagaan pelaksanaan pemilu 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati demokratis, dengan adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang di dalamnya mempresentasikan golongan pemerintahan dan partai politik. Selain itu, terdapat juga lembaga pengawas pemilu dan lembaga pemantau pemilu non partisan yang bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan pemilu. Dari pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat dikatakan merupakan langkah awal meunuju proses demokratisasi di Indonesia, karena mengingat sebelumnya yakni pada masa orde baru partai politik yang menjadi kontestan pemilu hanya 3 partai saja, akan tetapi pada tahun 1999 begitu banyak partai politik yang ikut serta. System pemilu dan pelembagaan pemilu juga berlangsung transparan dan dapat mencerminkan langkah awal menuju Negara yang demokratis. Satu hal juga bahwa dalam pemilu 1999 terdapat lembaga pengawasan pemilu yang walaupun dengan kekurangannya, hal ini merupakan cerminan dari keinginan masyarakat akan terwujudnya pemilu yang jujur, adil, akuntabel serta memunculkan pemimpin sesaui dengan harapan masyarakat. Pemilu selanjutnya dilaksanakan adalah pada tahun 2004.
Pemilu tahun 2004 ini mempunyai makna yang sangat strategis bagi masa depan bangsa Indonesia karena merupakan momentum ujian bagi kelanjutan agenda reformasi dan demokratisasi. Apabila pemilu sistem multipartai pada 1999 menandai berlangsungnya transisi demokrasi, maka pemilu tahun 2004 diharapkan menjadi momentum pulihnya kedaulatan rakyat, tegaknya pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi, dan berakhirnya krisis bersegi-banyak yang dialami bangsa Indonesia. Berbeda dengan pemilu pada tahun 1999, pemilu pada tahun 2004 dari segi kelembagaan pemilu ada perubahan, komposisi Komisi Pemilihan Umum tidak lagi seperti pemilu 1999. Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan yang sangat besar baik kewenangan menyiapkan dan melaksanakan pemilu dari segi prosedur juga harus menyediakan logistik pemilu, kewenangan yang besar itu sebenarnya dalam praktiknya dapat berakibat pada terganggunya kinerja Komisi Pemilihan Umum, selain juga tugas menyiapkan daftar pemilih yang tidak di dapatkan dari Departemen Dalam Negeri. Sistem kepartaian pada pemilu tahun 2004 memang menawarkan banyak pilihan pada rakyat dan rakyat cukup kritis dalam menjatuhkan pilihannya, meskipun pemilu tahun 2004 diwarnai oleh berbagai kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu tahun 2004 lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya.
 Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya baik pilihan partainya maupun pilihan wakil-wakilnya, sistem pemilihan dengan memilih partai, calon legislatif, calon Presiden dan Wakil Presidennya dapat menciptakan kontrol yang kuat dari rakyat terhadap wakilnya di lembaga legislatif maupun eksekutif, sehingga nantinya wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat akan mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan maupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 merupakan masalah yang benar-benar baru bagi bangsa Indonesia. Pemilu tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki babak baru dalam perpolitikan nasional, bahwa pemilihan langsung pada pemilu kali ini merupakan perkembangan politik yang sangat besar. Dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat pasca pemilu tahun 2004, maka Presiden secara politik tidak akan bertanggungjawab lagi kepada MPR melainkan akan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih Presiden. Dengan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 dan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan hasil dari pemilu yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat, merupakan wujud dari berhasilnya proses demokratisasi di Indonesia.
 Pelaksanaan pemilu tahun 2004 yang sangat sulit dan rumit, yang bahkan mungkin saja tersulit yang pernah ada di dunia dapat dilaksanakan di Indonesia dengan tanpa ada konflik serta perpecahan, mengingat Indonesia pada saat itu masih berada dalam transisis demokrasi. Pemilu 2004 lah menurut saya merupakan tonggak demokratisasi di Indonesia yang kemudian tinggal diteruskan melalui pemilu-pemilu selanjutnya dengan penyempurnaan disana-sini yang dianggap masih kurang. Aspek actor-aktor politik yang ada pada saat itu serta aspek kelembagaan pada pemilu 2004 yang oleh banyak pihak akan gagal menyelenggarakan pemilu pada saat itu terbantah dengan suksesnya pemilu 2004 dilaksanakan. Maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini dalam konteks pemilu telah sukses berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilu tahun 2004. Pemilihan umum tahun 2009 merupakan pemilihan umum kedua yang tetap menerapkan pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden. Secara kualitatif pilpres 2009 memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai factor. Pertama, kelemahan berada pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang mengatur Pilpres. UU itu dinilai terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai salah satu persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi kependudukan masih belum tertib.
 UU Pilpres ini juga dinilai tidak memberikan kekuatan kepada Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya, sehingga pengawasan tidak berjalan efektif. Selain itu, UU Pilpres juga tidak mengakomodasi kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang memenuhi persyaratan hak pilih, yang tujuannya menurut KPU adalah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT, padahal sebenarnya DPT yang dipakai masih merupakan lanjuta data dari Pemilu 2004. Kelemahan kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh tekanan publik, termasuk oleh peserta pemilu. Sehingga, terkesan kurang kompatibel dan kurang professional serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya. Kelemahan ketiga, datang dari kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT dan DPS, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak. Kemudian kelemahan terakhir, budaya ‘siap menang dan siap kalah’ dalam pemilu secara elegan belum dihayati oleh peserta pemilu beserta para pendukungnya. Pemilihan umum tahun 2009 sebagai pemilu ke tiga setelah reformasi memang menjadi harapan terbesar masyarakat Indonesia untuk menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat.
 Sehingga wajar jika semua pihak menaruh harapan bahwa pemilu 2009 akan jauh lebih berkualitas dan lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun banyak pihak memandang bahwa dibanding penyelenggaraan pemilu tahun 1999 dan tahun 2004, pemilu kali ini justru menurun kualitasnya baik dilihat dari banyaknya kasus maupun angka partisipasinya. Jumlah kasus dalam pemilu legislatif 2009 meningkat 128% dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya tercatat 273 kasus. Tercatat warga negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak menggunakan haknya mencapai 49. 677. 076 orang atau 29,01% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di luar warga Negara yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena kekacauan administratif DPT. Padahal salah satu tujuan pendidikan politik dalam konteks pemilu yang lebih bersifat nyata dan rasional adalah meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilihan (electoral participation ). Kesimpulan Pemilu sebagai sebuah lembaga dan praktik politik didalam Negara demokratis memang menjadi sebuah keharusan. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang telah melaksanakan pemilu yang didorong demokratis sebanyak 3 kali setelah bergulirnya reformasi ternyata dalam praktiknya mengalami kemunduran yang signifikan pada pemilu ketiga yang dilaksanakan pada tahun 2009. Kemunduran ini dapat dilihat dari pelembagaan, kebijakan, serta manajemen pemilu yang terlihat kirang professional. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat keberhasilan pemilu 2004 seharusnya dapat menjadi modal awal bagi suksesnya pelakasanaan pemilu 2009.
Peran elit politik bangsa ini tentu sangat dibutuhkan dalam konteks yang positif untuk menjaga lancarnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu, bukan malah kemudian menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri tempat bertarung para elit politik yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi proses demokratisasi di Indonesia. Pada tingkat aktor politik, kepentingan elite politik dan kepentingan partai yang bersifat jangka pendek masih mendominasi arah transisi demokrasi di Indonesia. Semua ini tentu saja berdampak pada tertundanya kembali konsolidasi demokrasi. Seperti dikemukakan oleh Larry Diamond (1999), konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya dengan terselenggaranya pemilu secara prosedural, melainkan juga melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai dan parlemen yang dihasilkannya. Dengan begitu transisi demokrasi masih akan berlangsung dalam tarik-menarik kepentingan pribadi, partai dan kelompok, sehingga cenderung mengarah pada pelestarian status quo politik ketimbang menuju suatu demokrasi yang lebih baik serta pemerintahan yang bersih dan lebih bertanggung jawab.
















DAFTAR PUSTAKA

Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebook, Translation by Q Hoare and N Smith, (New York: International Publisher, 1978)

Benyamin Ginsberg, The Consequences of consent: Elections, Citizen control and Popular Acquisecence, (Mass: Addison-Wesley Publishing, 1982)
Benjamin Reilly, Democracy in Divided Societies: Electoral Engineering for Conflict Management, (Cambridge: Cambridge University Press, 2001) Hal. 14
Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia, Perspektif konstitusi, cetakan pertama, Total Media, Yogyakarta 2009, hlm. 98.

Syamsudin Harris: “Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru”, (Jakarta, yayasan obor Indonesia, 1998).


Robert A Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (Jakarta, yayasan obor Indonesia, 1992).

Samuel. P Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: pustaka Utama Grafiti, 1995)
Ronald H chilcote, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Haris S, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI, 1998)

Goerge Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003)

Mashudi, Pengertian-pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum di Indonesia Menurut UUD 1945, (Bandung, Mandar Maju, 1993)

Harris, syamsudin: “menggugat pemilihan umum orde baru”, (Jakarta, yayasan obor Indonesia, 1998), Hal 

Jurnal POLITIKA Vol.I. No.1. April 2010. Hal 63


Josep M Colomer, Handbook Of Electoral System Choice, (New York, Pallgrave Macmillan, 2004) Hal. 499


Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia, Perspektif konstitusi,( Yogyakarta Total Media, 2009) Hal . 98
Syamsuddin Haris dalam Pengantar seri diskusi publik Propatria, tanggal 4 Februari 2004 di Jakarta

Maruarar Siahaan, (Hakim Konstitusi) dalam wawancara dengan Vivanews, Rabu, 12 Agustus 2009.