Monday, December 28, 2015

HUBUNGAN AGAMA DAN POLITIK DALAM PANDANGAN IMAM KHOMEINI

HUBUNGAN AGAMA DAN POLITIK DALAM PANDANGAN IMAM KHOMEINI
Imam Khomeini, -lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun 1902, dan pernah tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama 14 tahun, tapi menyelesaikan pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan hukum Islam (fiqih)- memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran yang spektakuler. Dalam istilah yang kita kenal di Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin Besar Revolusi” dan sekaligus “Ratu Adil”. Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di tunggu-tunggu itu, adalah menegakkan keadilan. Ia sendiri termasuk ke dalam ketegori “hakim yang adil” (just jurist), atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah “benteng Islam”. Dalam konteks revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa ’80-an, Imam Khomeini menyerukan agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam, “memperhatikan keadaan negara sebagaimana kaum saudagar menjaga pasar, tapi dengan kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah buku kritik yang sangat tajam terhadap rezim Dinasti Pahlevi dan kondisi di Iran pada tahun 1940-an, dalam bukunya “Kasyful Asrar” (“Menyingkap Rahasia”, yaitu keadaan yang tidak disadari masyarakat umumnya). Shiah sendiri adalah suatu mazhab yang meneruskan tradisi Mu’tazilah di abad pertengahan yang menyebut dirinya sebagai “ahlul tauhid wa al adl”, ahli tauhid dan keadilan. Dalam kata-kata itu, tauhid dan keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keadilan bersumber dari tauhid dan tauhid yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min al Allah) diwujudkan dalam keadilan dalam hubungan antar sesama manusia (habun min al naas).
Memperhatikan keadaan negara mengisyaratkan agar kaum fuqaha ikut bertanggung-jawab dalam mengurus masalah negara dan pemerintahan. Dalam doktrin Islam Shiah, masyarakat itu dipimpin oleh para imam, khususnya Imam yang 12. Imam yang terakhir telah menghilang, tetapi ia akan kembali sebagai Imam Mahdi. Tapi selama Sang Imam ghaib itu, kaum ulama, kaum fuqaha harus tampil mengambil alih kepemimpinan. Dengan demikian, kepemimpinan kontemporer, yaitu kaum fuqaha, adalah wakil atau khalifah dari para imam yang ghaib. Atas dasar kepercayaan itu, maka Imam Khomeini menciptakan konsep “Wilayah al-Faqih” yang menjadi garda (guardian) terhadap hukum Islam. Konsep inilah yang menimbulkan kharisma terhadap kaum fuqaha yang diwakili oleh Imam Khomeini. Agaknya Imam Khomeini menyadari kepemimpinan semacam itu, yaitu kepemimpinan itu bisa hilang setelah ia meninggal. Karena itu, maka kharisma kemimpinan atau Imamah itu dilembagakannya dalam konsep Wilayah al-Faqih, sehingga keimaman itu dapat dilanjutkan dari waktu ke waktu. Sementara itu kefuqahaan itu dibibitkan dan dikembangkan melalui hauzah-fuqaha, yaitu lembaga pendidikan dan penelitian sebagaimana terdapat dan berkonsentrasi di kota suci Qom Iran atau Najef Iraq, di mana Imam Khomeini sendiri dididik dan dibesarkan.
Menurut Imam Khomeini, fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang paripurna harus juga ahli d bidang-bidang lain, misalnya filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Ayatullah Rafsanjani umpamanya, adalah juga seorang ahli ekonomi yang piawai. Demikian pula ulama ahli tafsir besar Tabataba’i yang menulis buku mengenai sistem ekonomi Islam. Sedangkan Ayatullah Murtadha Mutahhari adalah juga ahili sejarah, ahli sosiologi dan filsuf sosial yang sangat produktif menulis buku di berbagai bidang dan sudah banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia.
Sejalan dengan pemikiran itu, maka Imam Khomeini sangat menentang sekularisme yang memisahkan agama dari negara atau politik. Pandangan ini tidak semata-mata bersifat normatif, tetapi juga empiris, sebagaimana diperlihatkan dalam gerakan revolusioner Iran. Dalam penjelasannya sendiri:
Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemesyarakatan, patriotisme adminstrasi keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis merusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik.
Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh negara dan pemerintahan yang adil. Dalam menentang rezim dinasti Syah Iran, berbagai kelompok telah mencobanya, termasuk kelompok sosialis atau Marxis dan terakhir kelompok nasionalis yang dipimpin oleh pemimpin legendaris yang berani menentang imperialisme AS, Mosaddeq. Tapi kesemuanya telah gagal. Setelah itu, maka agama adalah satu-satunya suara oposisi yang mampu didengarkan. Sejak tahun 1964, Imam Khomeini adalah satu-satunya tokoh yang mampu menyajikan konsep oposisi dalam ideologi yang secara sistematik berbeda atau merupakan alternatif baru. Ideologinya itu didasarkannya pada suatu konsep teologi yang disebut Wilayah al-Faqih yang menentang kepemimpinan tradisional yaitu sistem dinanti.
Imam Khomeini memang menduduki posisi yang dominan sebagai pemipin kharismatis, meminjam konsep Weber yang berbeda dengan kepemimpinan tradisional di satu pihak dan kepemimpinan demokratis di lain pihak. Tapi sebenarnya ia tidak sendirian dalam menyebarkan bibit revolusi. Pada pokoknya ada dua kelompok pemimpin yang mengakumulasi proses revolusi Islam Iran. Pertama adalah kelompok ulama atau fukaha dan filsuf. Selain Khomeini, terkemuka juga ayatullah-ayatullah lain, seperti Morteza Muttahari, Ayatullah Madari, Ayatullah Ni’matullah Salihi dan Ayatullah Talegani untuk mengambil sebagian yang terkemuka. Muttahari banyak melakukan pendekatan kesejaharan dan kemasyarakatan, sedangkan ketiga ayatullah lainnya punya konsep yang berbeda tentang Wilayah al-Faqih dalam kaitannya dengan demokrasi. Kedua, adalah kelompok cendekiawan yang tercerahkan yang diwakili oleh Ali Syari’ati, Dr. Mehdi Bazargan dan Bani Sadr. Ali Syari’ati sendiri menentang konsep dominasi kaum fuqaha, sebab baginya kaum fuqaha belum tentu bisa memahami ajaran Islam dengan baik, bahkan di masa lalu telah banyak membuat kesalahan yang menyebabkan kemunduran Islam. Mereka belum tentu juga lebih unggul akhlaknya, apalagi dalam masyarakat modern. Ali Syari’ati lebih cenderung pada kepemimpinan apa yang disebutnya cendekiawan yang tercerahkan (rausan fikr). Tapi rausan fikr ini bukan hanya berasal dari cendekiawan umum, melainkan juga dapat berasal dari ulama, sebagai contohnya Ayatullah Muttahari yang seorang filsuf sosial yang tidak saja menguasai teologi tetapi juga filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan sejarah.
Ayatullah Khomeini berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan dan memandang al-Qur’an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa negara tidak memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya rakyat itu sudah punya UU dasar, yaitu al Qur’an yang didukung oleh Sunnah. Tapi ini bukan berarti parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk menciptakan peraturan-peraturan pelaksanaan atau UU organik guna memberikan tugas kepada eksekutif. Namun pemegang kekuasaan eksekutif harus juga kaum fuqaha.
Itulah konsep formal Ayatullah Khomeini. Tapi dalam pelaksanannya, Imam Khomeini juga mengakomodasi pandangan Ali Syari’ati yang berbeda itu. Buktinya ia memilih Dr. Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Sementara yang dibentuknya pada masa transsi. Ia kemudian merestui Bani Sadr sarjana ekonomi didikan Paris yang berkecenderungan sosialis sebagai Presiden Iran nyang pertama, walaupun kemudian digulingkannya sendiri. Tokoh cendekiawan lain yang juga terkemuka lainnya misalnya adalah Sadeq Godzabeg dan Dr. Ebrahim Yazdi Dalam kenyataannya sekarang, walaupun presidennya adalah ulama atau ayatullah, namun para wakil dan menteri-menteri dalam kabinet adalah para cendekiawan Muslim didikan Barat.
Karya utama Ayatullah Khomeini adalah Revolusi Islam Iran itu sendiri. Revolusi yang dipimpinnya itu sendiri cukup spektakuler karena pertama, berhasil menggulingkan rezim despotik Syah Pahlevi yang pada waktu itu sangat kuat yang didukung oleh angkatan bersenjata yang nomer lima terkuat di dunia pada masanya, berkat kekayaan minyak bumi dan program modernisasi. Kedua, revolusi itu mampu mengusir penjajah AS, sebuah negara adidaya dunia yang sangat ditakuti oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Tapi lepas dari itu Revolusi Islam Iran memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Revolisi Amerika, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia ataupun Revolusi Cina di Timur. Ahli ilmu politik internasional terkemuka Richard Falk yang juga peneliti konfik dan perdamaian (Peace and Conflict Research) menengarai tiga karakteristik Revolusi Islam Iran tahun 1979 itu yaitu:
1.     Relatif tidak mempergunakan kekerasan, seperti ketika Nabi saw menaklukkan Mekah, dan tidak seperti revolusi-revolusi lain yang berdarah-darah itu.
2.     Tidak meniru model revolusi-revolusi lain di Barat maupun Timur.
3.     Bersifat keagamaan yang menggabungkan politik dan agama serta agama dan nasionalisme pada abad modern.
Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini memang khas bersifat keagamaan yang mengambil inspirasinya dari ajaran Islam yang menentang tirani. Namun Revolusi Islam Iran itu juga mengandung nilai-nilai yang universal. Garis-garis besar landasan Pemikiran Imam Khomeini itu, menurut Jusuf Abdulah Puar yang beraliran Sunni adalah sebagai berikut:
1.      Menegakkan kemerdekaan atas dasar ajaran Islam yang murni.
2.      Unsur rakyat harus kuat dalam pemerintahan.
3.      Kekayaan negara didistribusikan secara merata guna mencapai keadilan sosial.
4.      Melakukan pembebasan kebudayaan dari pengaruh asing.
5.      Kekayaan dalam masyarakat dipergunakan untuk kepentingan umum.
Dengan rumusan itu nampak bahwa Revolusi Islam Iran memiliki kesejajaran dengan Revolusi Indonesia yang mendasarkan diri pada prinsip Sosio-Demokrasi dan Sosio-Nalionalisme, sedangkan demokrasi Iran juga bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi yang mengacu kepada keadilan sosial. Misi itulah yang sebenarnya diemban oleh Wilayah al Faqih.
Dengan konsep Wilayah al Faqih itu Imam Khomeini sering disebut sebagai kaum fundamentalis. Memang ada benarnya, karena ia ingin mengaktualisasikan model pemerintahan Nabi Muhammad saw dan kekhalifahan Imam Ali ra. Tapi sebaliknya, ia ingin mengaktualisasikan konsep Imamah dalam tradisi Shiah itu dalam konteks modern. Hanya saja ia percaya kepada kepemimpinan kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan Barat (setidak-tidaknya dalam teori). Konsep kenegaraannya sebenarnya adalah teokrasi, yang berbeda dengan konsep theo-demokrasi yang pernah diusulkan oleh Mohammad Natsir dan diperjuangkan oleh partai Masyumi dari Indonesia.
Tapi gagasannya itu berbeda dengan gagasan kaum fundamentalis Sunni yang ingin menegakkan kekhalifahan Islam di bumi. Prinsip kekhalifaan itu mengandung empat prinsip, yaitu:
Prinsip 1 : Kedaulatan di tangan Tuhan.

Prinsip 2 : Otoritas berada di tangan kaum Muslim

Prinsip 3 : Hanya ada satu Khalifah.

Prinsip 4 : Khalifah menjalankan UU dan Hukum (Islam).
Konsep Wilayah al-Faqih juga mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan Tuhan. Dia-lah yang menciptakan hukum bagi manusia, bukan manusia menciptakan hukum untuk dirinya sendiri seperti sistem demokrasi Barat. Namun otoritas dipegang oleh kelompok, jadi merupakan otoritas kolektif, berdeda dengan konsep khilafah Sunni yang otokratis. Imam Khomeini sebenarnya mengagumi filsafat Plato dan Aristoteles, yaitu konsep philosopher king. Hanya saja menurut tafsirannya, philosopher itu adalah para fuqaha secara kolektif. Sebenarnya ayatullah seperti Tabataba’i, Mutahhari dan Khomeini dapat dikategorikan sebagai philosopher yang ideal. Sedangkan menurut Ali Syari’ati, kepemimpinan itu dipegang oleh rausan fikr, cendekiawan yang tercerahkan baik yang berasal dari pendidikan umum maupun fuqaha.
Dewasa ini, walaun kaum fuqaha tetap memegang kedaulatan tertinggi dalam lembaga Wilayah al-Faqih, namun sistem politiknya dijalankan melalui demokrasi, dengan indikator utama, adanya pemilihan umum, baik untuk badan lagislatif maupun presiden. Sistem demokrasi itu ditandai pula oleh adanya berbagai kelompok dengan aliran-aliran yang berbeda-beda. Pertama aliran fundamentalis konservatif yang diwakili oleh Ayatullah Khamenei, murid utama ayatullah Khomeini sendiri. Kedua, aliran fudamentalis moderat dan pragmatis yang diwakili oleh Ayatullah Rafsanjani yang pernah menjabat sebagai PM Iran. Ketiga adalah aliran reformis liberal yang dulu diwakili oleh Dr. Mehdi Bazargan yang pernah menjabat sebagai PM Iran tunjukan Imam Khomeini langsung. Wakil yang sekarang (2005) adalah Ayatullah Khatami yang berhasil dipilih menjadi Presiden Republik Islam Iran.
Dalam perjalanannya, memang telah terjadi perubahan-perubahan yang tadinya seolah-olah monolitis, sekarang menjad lebih pluralis. Bahkan golongan Marxis pun memainkan peranan penting, yang dulu dikenal sebagai Partai Tudeh (Partai Komunis Iran) dan sekarang kelompok Mujahidin Khalk yang lama memiliki tradisi oposisi dan gerakan pembebasan Iran. Di awal revolusi, kaum perempuan masih mengalam diskriminasi, misalnya tidak boleh menjadi hakim apalagi pimpinan negara. Sekarang (2005), salah seorang wakil presiden Iran pimpinan Khatami adalah seorang perempuan.
Yang menarik dari Republik Islam Iran adalah komitmen negara dan pemerintah dalam menjalankan syari’at Islam tetapi sekaligus juga berusaha mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. Dalam sistem ekonomi, Iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam berekonomi. Secagai contoh pemerintah Iran secara total mengkonversi sistem bank konvensional menjadi sepenuhnya bank Islam atau bank syari’ah. Pemerintah Iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara Muslim.
Dalam sistem negara dan pemerintahan, Iran melakukan model “ideologization of religion” untuk membentuk suatu religious ideology. Menurut Geiger, ideologi adalah ”suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar penafsiran, komentar dan indoktrinas. Dalam ini, ideologsasi Islam menurut Ali Merad berarti“ merumusklan kandungan Islam dalam bentuk norma dan nilai mengenai tatatan sosal-politik”. Masalahnya adalah siapa yang bisa menulis konsep ideologi itu. Menurut Khomeini, yang mampu adalah para fuqaha. Tetapi apakah mereka mampu bekerja sendirian tanpa bantuan kaum cendekiawan modern? Karena itu maka mau tidak mau konsep Wilayatul Faqih menurut Imam Khomeini itu harus mengalami revisi.
Pandangan Khomeini itu sebenarnya sudah didahului oleh ulama-ulama sebelumnya, misalnya Mulla Ahmad Naraqu (wafat tahun 1629) dan Syaikh Muhammad Husain Naimi (wafat tahun 1936) dua tokoh yang memiliki pandangan yang sama mengenai hak prerogatif kaum fukaha di bidang politik, kendali keduanya tidak mengembangkan suatu tema sentral teori politik. Bagi Imam Khomeini, kaum fukaha harus memegang kekuasaan, menggantikan para raja atau penguasa, kendati masalah-masalah teknis bisa diserahkan pada para ahlinya, namun pemegang kekuasaan tertinggi di bidang sosia-politik harus tetap berada di tangan para faqih yang adil.
Dalam pandangan Iran sekarang, pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan, di mana kepala pemerintahan tertinggi harus dipegang seorang faqih, yang ahli di bidang hukum Islam yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam pemerintahan Islam model Shiah, kaum ulama menduduki posisi, baik sebagai pengawal (guardian atau wali), penafsir (interpreter) maupun pelaksana (executor) hukum-hhhhukum Tuhan. Oleh sebab itu maka pemerintahan yang demikian itu merupakan pemerintahan yang benar dan adil. Pemerntahan Islam harus bertindak sesuai dengan syari’at. Syarat-syarat tersebut asumsinya hanya bisa dipenuhi oleh para faqih. Kerenanya para faqih adalah figur yang dianggap paling siap memerintah masyarakat.
Nilai kepemimpinan kekuasaan pada hakekat dan intinya sesuai konsep Wilayatul Faqih menurut Iman Khomeini, walaupun dalam pelaksanaannya ternyata mengalami modifikasi. Pemilihan umum ikut menentukan siapa yang akhirnya dipilih menjadi presiden dan anggota legislatif. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang konstitusional dengan al Qur’an dan Hadist. Sebagai konstitusinya.

Namun demikian, tidak semua ayatullah menyetujui konsep itu. Misalnya saja Ayatullah Ni’matullah Salihi Najasafabagi. Baginya sifat yuridis Wilayah haruslah merupakan kontrak sosial (social contract) antara rakyat dan faqih yang dipercaya oleh rakyat. Dalam rangka melibatkan kepentingan dan peranan rakyat dengan lembaga pemegang kekuasaan hukum, ia berusaha mamadukan konsep-konsep modern seperti “pemerintahan mayoritas”, “kontrak sosial”, dan “perwakilan” dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam.
Tujuan Imam Khomeini dalam konsep Wilayah al-Faqih adalah menuntut keadilan sosial, pembagian kekayaan yang adil, ekonomi yang produktif yang berdasar kepada kekuatan nasional dan gaya hidup yang sederhana serta berdasarkan konsepsi yang akan mengurangi jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin dan antara yang memerintah dan diperintah. Imam Khomeni memang lebih percaya kepada kaum fuqaha dalam memimpin pemerintahan, tetapi ia juga menekankan bahwa dalam Republik Islam, pemerintah harus bertanggung-jawab kepada rakyat, melalui mekanisme pemilihan umum dan adanya dewan perwakilan rakyat.
Pemerintahan Iran yang ada sekarang memang mendasarkan diri pada konsep Wilayah al Faqih yang ditawarkan oleh Imam Khomeini. Dalam realitas pemerintahan dan sistem politik Iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk yang dipengaruhi oleh aliran aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan antara kaum ulama dan kaum cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum mullah sendiri. Pandangan Ayatullah Khamanei umpamanya berbeda dengan pandangan Ayatullah Khatami yang liberal dan progresif, di samping adanya perbedaan antara Imam Khomeini dengan Dr. Ali Syari’ati di masa lalu.
Imam Khomeini memang akan tetap dikenang sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Republik Islam Iran dan Sang Ratu Adil, namun tidak seluruh pendapatnya agaknya diikuti sepenuhnya dan secara dogmatis, bahkan oleh kaum mullah sendiri yang ternyata punya banyak pandangan yang berbeda. Masyarakat Islam Shia Iran adalah sebuah masyarakat yang pluralistis dengan beragam aliran keagamaaan dan pemikiran sejak dari yang fundamentalis dan konservatif hingga yang liberal atau Marxis. Dan ternyata juga, Islam di Iran bisa menerima pengaruh aliran-aliran modern itu, termasuk aliran Marxis sebagaimana diperlihatkan oleh Ali Syari’ati, walaupun istilah “Islam-Marxis” yang sempat terlontar seperti “teologi pembebasan Amerika Latin”, dianggap sebagai suatu yang absurd oleh Imam Khomeini. [Sumber: www.icas-indonesia.org]


0 comments: