Monday, December 28, 2015

hubungan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan politik desa

BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang
Teori demokrasi mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa (ardinary people) dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekedar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintah desa. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (Inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion (termasuk) menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan sehingga evaluasi. Proses ini tidak semata didominasi oleh elite-elite desa (Pamong Desa, BPD, Pengurus RT maupun Pemuka Masyarakat), melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh dan sebagainya. Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekedar menerima sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal.
Partisipasi politik dalam pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan (rencana strategis desa, program pembangunan dan APBDES, dan lain-lain), antara lain melalui forum RT, Musbangdus, Musbangdes maupun Rembuk Desa. Forum-forum itu juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol terhadap pemerintah desa.
Secara substantif, partisipasi masyarakat mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pembangunan. Pemerintah, sebaliknya mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis perencanaan pembangunan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi perencanaan pembangunan desa dan akses terhadap sumber daya lokal. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap lingkungan kehidupan dan pelaksanaan pembangunan.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap implementasi otonomi daerah. Tak terkecuali masyarakat ditingkat desa, memberikan dinamika dan suasana baru dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di desa. Sebab, masyarakat desa sangat sadar keberadaan institusi-institusi demokrasi desa selama ini berada dalam kondisi yang tidak kondusif dalam mendorong menegakkan demokrasi pada level akar rumput (masyarakat pedesaan).
Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi sering kali ditentukan secara masif yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tetapi juga mulai tahap perencanaan pengambilan keputusan. (http//:www.jurnal kopertis.org)
Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumber daya lokal berdasarkan kajian musyawarah, yaitu peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peran serta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan, dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun.
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan masyarakat Community Devlopment sangat bergantung kepada peranan pemerintah dan masyarakatnya. Keduanya harus mampu menciptakan sinergi. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan secara optimal. Pembangunan hanya akan melahirkan produk-produk baru yang kurang berarti bagi masyarakatnya, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Demikian pula sebaliknya, tanpa peran yang optimal dari pemerintah, pembangunan akan berjalan secara tidak teratur dan tidak terarah, yang akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru. Selain memerlukan keterlibatan masyarakat, pembangunan juga membutuhkan strategi yang tepat agar dapat lebih efisien segi pembiayaan dan efektif dari segi hasil. Pemilihan strategi pembangunan ini penting karena akan menentukan di mana peran pemerintah dan di mana peran masyarakat, sehingga kedua pihak mampu berperan secara optimal dan sinergi. (http//www.eeqbal.blogspot.com)
Partisipasi masyarakat dalam otonomi desa berupa subtansi nyata dari kemampuan masyarakat setempat untuk mengakses potensi sumber daya yang ada di lingkungannya. Sehingga potensi sumber daya yang sangat melimpah ruah itu bisa dijadikan nilai tambahan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa-desa bersangkutan. Maka bantuan pemerintah daerah berupa financial (keuangan), program pembangunan, dan pelimpahan kewenangan merupakan syarat yang perlu dipenuhi. Meskipun hasil harus terbatas pada beberapa hal yang dianggap penting bagi percepatan pembangunan kemandirian desa.
Kenyataan partisipasi masyarakat desa yang dianggap kunci keberhasilan pembangunan otonomi daerah justru hanya merupakan partisipasi manipulatif. Artinya masyarakat desa tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk melibatkan diri dalam pembangunan di desanya. Bahkan banyak objek pembangunan pedesaan yang masih dilakukan secara sepihak dari atas (Top-Down). Sehingga sasaran pembangunan tidak sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat setempat.
Partisipasi politik masyarakat dalam rencana pembangunan desa harus sudah dimulai sejak saat perencanaan kemudian pelaksanaan dan seterusnya pemeliharaan. Kegiatan masyarakat yang disebut partisipasi politik adalah perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, perilaku politik masyarakat (individu/kelompok) yang berhak mempengaruhi lembaga dan pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan politik, karena menyangkut kehidupan masyarakat.
Dalam perspektif politik, Huntington (1993:270), partisipasi politik masyarakat merupakan ciri khas modernisasi politik dalam pembangunan desa, kemajuan demokrasi dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat. (Tjokroamidjojo, 1991:113), pertama, partisipasi politik aktif masyarakat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan; kedua, keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Alexander Abe (2001:110), Partisipasi politik masyarakat merupakan hal terpenting dalam pembangunan desa, yaitu akan menjadi wahana political education yang sangat baik. Sedangkan menurut Conyers Pertama, partisipasi politik masyarakat sebagai alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat yang tanpa kehadirannya program pembangunan desa serta proyek akan gagal; kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan didesa, jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan pengambilan keputusan terhadap priritas pembangunan yang sesuai kebutuhan masyarakat, karena akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek; dan ketiga, yang mendorong partisipasi umum dibanyak negara karena timbul anggapan bahwa hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat.” Katz ” partisipasi politik masyarakat diwujudkan melalui partisipasi politik dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi.
(http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/Annisa%20partisipasi%20politik 20dalam%20pembangunan%20desa.pdf, 13 Desember 2015).

Partisipasi politik dapat dianggap sebagai tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan desa. Jika masyarakat desa, tidak berkesempatan untuk berpartisipasi politik dalam pembangunan suatu proyek didesanya. Proyek tersebut pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan desa (Ndraha, 1990:103).
Partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa bertujuan untuk menjamin agar pemerintah selalu tanggap terhadap masyarakat atau perilaku demokratisnya. Dan itu juga berarti bahwa metode yang digunakan dalam pembangunan desa harus sesuai dengan kondisi fisiologis sosial dan ekonomi serta lingkungan kebudayaan didesa. (Bharracharyya,J, 1972:20) Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian.
(http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/Annisa%20partisipasi%20polit
ik 20dalam%20pembangunan%20desa.pdf, 13 Desember 2015).

Desa Kelanga sebagai salah satu desa di daerah Kabupaten Natuna, dalam pembangunannya, salah satunya pembangunan desa telah berupaya menempatkan partisipasi politik masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan terhadap pembangunan desa dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan program, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan evaluasi pembangunan desa sesuai dengan substansi yang terkandung dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Namun karena pelaksanaan pembangunan desa yang melibatkan peran aktif dari masyarakat merupakan fenomena baru bagi masyarakat, dimana selama ini pelaksanaan pembangunannya jarang sekali melibatkan partisipasi masyarakatnya. Walaupun ada, partisipasi masyarakat hanya bersifat manipulatif belaka. Pada Desa Kelanga, partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa belum diimbangi dengan adanya proses pemilihan yang memadai, melainkan hanya sekedar bentuk baru dari tanggapan masyarakat terhadap manipulasi para elite atas kehidupan politik nasional mereka. Padahal proses partisipasi politik masyarakat merupakan bagian penting dari pembangunan desa di mana ia selalu berhadapan dengan berbagai rintangan dan halangan terhadap tindakan yang kaku ataupun penghasut-penghasut yang membahayakan. Partisipasi politik masyarakat nampaknya terbentur dengan  minimnya pertemuan untuk memusyawarahkan tentang program pembangunan desa yang akan dijalankan, hal ini terlihat dengan beberapa orang tertentu saja yang terlibat dalam pertemuan musyawarah desa. ( Hasil Wawancara Via Telepon dengan Bapak Saleh Tokoh Masyarakat Desa Kelanga Tanggal 27 Maret 2008)

2.      Kerangka Teori
2.1. Desa
Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia.
Pengertian desa dari sudut pandang sosial budaya dapat diartikan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu agar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung kepada alam. Oleh karena itu, desa diasosiakan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang dikatakan rendah. Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Melalui kaca mata ini, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintah negara. (Juliantara, 2000:18)
Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2005 selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dibentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di kabupaten atau kota, sebagaimana dimaksud dalam UU 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai wujud demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab pada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawaban disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberi keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawaban namun tetap memberikan peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang dimakasud.
Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintah desa, keuangan desa, pembangunan desa, dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

2.2. Pemerintahan Desa
Dalam pemerintah daerah Kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa, pembentukan, penghapusan, dan penggabungan desa dengan memperhatikan asal usul dan prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemeritah desa bersama BPD yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pemeritah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
A.    Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
B.     Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
C.     Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemeritah kebupaten.
D.    Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber daya manusia. Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Lembaga kemasyarakatan bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam pemberdayaan masyarakat desa.
Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, dan pengolahan keuangan desa. Sumber pendapatan desa adalah :
a.       Pendapat asli desa.
b.      Bagi hasil pajak daerah dan distribusi kabupaten.
c.       Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten.
d.      Bantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintahan kebupaten atau kota.
e.       Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Pelaksanaan pembangunan kawasan pedesaan diatur dengan perda, dengan memperhatikan:
a.       Kepentingan masyarakat desa;
b.      Kewenangan desa;
c.       Kelancaran pelaksanaan investasi;
d.      Kelestarian lingkungan hidup;
e.       Keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Perda sebagaimana dimaksud wajib mengakui dan menghormati hak, asal usul, dan adat istiadat desa.

2.3. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat telah sekian lama diperbincangkan dan didengungkan dalam berbagai forum dan kesempatan. Intinya adalah agar masyarakat ikut serta dengan pemerintah memberi bantuan guna meningkatkan, memperlancar, mempercepat, dan menjamin berhasilnya usaha pembangunan. Maka secara umum partisipasi dapat diartikan sebagian “pengikutsertaan” atau pengambil bagian dalam kegiatan bersama.




Secara umum ada 2 (dua) jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat, menurut Soetrisno (1995:221), yaitu:
1.      Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan masyarakat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuan oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam defenisi ini pun diukur dengan kemauan masyarakat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan.
2.      Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerja sama erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak masyarakat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dapat digunakan adalah ada tidaknya kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu.

Dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan, maka pengertian partisipasi setidak-tidaknya mengandung tiga pokok pikiran,yaitu:
1.      Titik berat partisipasi adalah keterlibatan dari mental dan emosional, kehadiran secara fisik semata-mata dalam suatu kelompok. Tampa keterlibatan tersebut bukanlah merupakan partisipasi.
2.      Kesediaan memberikan kontribusi. Wujud kontribusi dalam pembangunan dapat bermacam-macam, misalnya: barang, uang, jasa, bahan-bahan, sebuah pikiran, ketrampilan dan sebagainya.
3.      Kebersediaan untuk bertanggung jawab sepenuh hati.

Suksesnya partisipasi langsung berhubungan dengan syarat-syarat tertentu. Kondisi seperti itu terjadi pada partisipasi yang ada dalam lingkungannya. Perkerjaan partisipasi lebih baik situasinya dari pada lainnya. Syarat-syarat tersebut yaitu:

1.      Diperlukan banyak waktu untuk berpartisipasi sebelum bertindak. Partisipasi tidak akan terjadi dalam keadaan mendadak.
2.      Biaya partisipasi tidak boleh melebihi nilai-nilai ekonomi dan sebagainya.
3.      Subjek partisipasi harus relevan dengan organisasi, partisipasi sesuatu yang akan menarik perhatian partisipasi atau akan dianggapnya sebagai perkerjaan yang sibuk.
4.       Partisipasi harus mempunyai kemampuan, kecerdasan dan pengetahuan untuk berpartisipasi secara efektif.
5.      Partisipasi harus mampu berkomunikasi untuk saling bertukar gagasan.
6.      Tidak seorangpun akan merasakan bahwa posisinya diancam dengan partisipasi; partisipasi untuk memutuskan arah tindakan pada seluruh organisasi hanya dapat menempati lingkungan kebebasan kerja kelompok.

Dengan demikian konsepsi partisipasi dalam pembangunan memiliki perspektif yang sangat luas. Seorang dikatakan telah berpartisipasi apabila ia telah terlibat secara utuh dalam proses pelaksanaan pembangunan baik secara pisik maupun mental. Keterlibatan individu dapat dimanifiestasikan dalam berbagai bentuk kontribusi.
Tingkat partisipasi yang tinggi akan memunculkan kemandirian masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, yang secara betahap akan menimbulkan jati diri, harkat dan martabat masyarakat secara maksimal. Partisipasi sendiri diterapkan dalam tiga sektor:
1.      Sektor ekonomi fokusnya adalah mekanisme pasar.
2.      Sektor politik fokusnya adalah pengembangan demokrasi
3.      Sektor sosial dan budaya fokusnya adalah partisipasi sosial.

2.4.Pembangunan Politik Desa
Pembangunan adalah perubahan yang dilakukan secara terencana dan menyeluruh yang dilakukan oleh negara-bangsa dalam rangka memperoleh kemajuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Menurut Kuncoro (2004:3), pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Karena itu dengan penuh keyakinan para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya desentralisasi dalam pembangunan.
Menurut Siagian (2003:4), pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan secara berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju moderenitas dalam rangka pembinaan bangsa. Lebih jauh lagi dia menyatakan bahwa pembangunan mengandung aspek yang sangat luas salah satunya mencakup pembangunan di bidang politik.
Ndraha (2000:15) mengartikan pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya. Sebaliknya dia mengatakan implikasi dari defenisi tersebut yaitu:
1.      Pembangunan berarti membangkitkan kemauan optimal manusia baik dan kesejahteraan (Equity)
2.      Menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (Empowermwnt )
3.      Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (Sustainability)
4.      Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan yang lainnya dan menciptakan hubungan yang saling menggantungkan dan saling menghormati (Interdependece)

Ada beberapa ide pokok yang sangat penting diperhatikan tentang pembangunan yaitu sebagai berikut:
Pertama, bahwa pembangunan merupakan suatu proses berarti suatu kegiatan yang terus-menerus dilaksanakan meskipun sudah barang tentu bahwa proses itu dapat dibagi dan biasanya memang dibagi menjadi tahap-tahap tertentu yang berdiri sendiri. Pentahapan itu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu, biaya, atau hasil tertentu yang diharapkan akan diperoleh.
Kedua, bahwa pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilaksanakan. Jika ada kegiatan yang kelihatannya nampak seperti pembangunan, akan tetapi sebenarnya tidak dilaksanakan secara sadar dan timbul hanya secara insedental di masyarakat tidaklah dapat digolongkan kepada kategori pembangunan.
Ketiga, bahwa pembangunan dilakukan secara berencana dan perencanaan itu berorientasi kepada pertumbuhan dan perubahan.
Keempat, bahwa pembangunan mengarah kepada modernitas. Modernitas disini diartikan sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik dari pada sebelumnya serta kemampuan untuk lebih menguasai alam lingkungan dalam rangka peningkatan kemampuan swasembada dan mengurangi ketergantungan pada pihak lain.
Kelima, bahwa modernitas yang dicapai melalui pembangunan itu bersifat multi dimensional. Artinya bahwa modernitas itu mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara, terutama aspek politik, ekonomi, sosial budaya.
Keenam, bahwa semua hal yang telah disebutkan dimuka ditujukan kepada usaha membina bangsa yang terus menerus dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan bangsa dan negara yang telah ditentukan sebelumnya.
Sedangkan menurut Nugroho (2003:24) inti dari pembangunan pada dasarnya adalah pergerakan ekonomi rakyat. Ada pepatah mengatakan bahwa negara dalam kondisi paling berbahaya jika rakyatnya miskin. Kemiskinan mempunyai pengaruh paling buruk kepada setiap sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, tugas pembangunan adalah menanggunglangi kemiskinan. Dengan pemahaman ini dapat dikatakan bahwa inti pembangunan adalah menggerakan ekonomi agar rakyat mempunyai kemampuan untuk tidak berada dalam kemiskinan. Dalam bahasa politis disebut sebagai ” menggerakan ekonomi rakyat”.
Pembangunan yang mencapai hasil dapat secara efektif dicapai dengan melihat kekuatan pokok yang harus dibangun dan mengidentifikasikan tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga strategis pembangunan. Kekuatan pokok yang dibangun oleh indonesia adalah keunggulan bersaing. Hanya bangsa yang memiliki keunggulan bersaing yang pokok adalah keunggulan ekonomi. Dengan demikian, setiap bidang harus mendukung kearah terbentuknya daya saing ekonomi.
 Secara khusus prioritas bagi sektor ekonomi adalah membangun daya saing pelaku ekonomi baik secara sektoral maupun secara regional. Daya dukung ideologi, politik dan hukum adalah implementasi kebijakan otonomi daerah yang taat asas dan penegakkan hukum yang konsisten. Daya dukung di bidang sosial budaya adalah membangun paradigma pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu saja kesemuanya tidak akan terjadi jika tidak didukung keamanan dan ketertiban yang mantap. Dengan melihat kondisi tersebut, maka strategi untuk pelaku ekonomi/ usaha adalah mewajibkan implementasi good cooperate governance, dan untuk sektor bukan ekonomi bisnis dengan mewajibkan implementasi good governance.
Visi dari pembangunan adalah terwujudnya masyarakat yang maju, mandiri, sejatera, adil, dan setia kepada pancasila dan UU 45. Visi ini mempunyai jangka waktu tak terbatas, karena sifat dari ” kemajuan” bersifat tergantung dengan waktu. Oleh karena itu, dapat pula disusun visi lima tahunan, dan disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan yang harus dijangkau dalam lima tahun kedepan. Misi pembangunan tidak berbeda dengan misi dari Negara Indonesia, Seperti yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dikaitkan dengan konteks kekinian, maka misi pembangunan disempurnakan lagi dengan mencermati kondisi objektif dalam masyarakat yaitu adanya kesenjangan sebagai tantangan pembangunan. Oleh karenanya, secara lebih fokus, maka misi dari pembangunan adalah menanggulangi kesenjangan, mempersiapkan kompetisi global, dan menjaga kesinambungan hidup bangsa dengan pola pembangunan untuk rakyat, dilaksanakan oleh rakyat sesuai aspirasi yang tumbuh dari rakyat.
Manajemen strategi pembangunan yang diturunkan dari misi diatas adalah ” Strategi Pembangunan Partisipatif”, atau dapat juga disebut sebagai ”Strategi Pembangunan Pemberdayaan ”. Pembangunan yang partisipatif sendiri diterapkan dalam lima sektor:
1.      Sektor Ekonomi fokusnya adalah mekanisme pasar
2.      Sektor Politik fokusnya adalah pengembangan demokrasi
3.      Sektor Sosial fokusnya adalah partisipasi sosial
4.      Sektor Hukum fokusnya adalah membangun tertib hukum
5.      Sektor Administrasi fokusnya adalah membangun good govertnance
Pembangunan nasional indonesia mengambil konsep dasar pembangunan sesuai dengan kondisi terkini dari negara indonesia, yaitu adanya keragaman potensi, kecakapan, keinginan dari setiap daerah di indonesia, dan telah disepakatinya desentralisasi sebagai pola penyelenggaraan pembangunan, dimana otonomi daerah diletakkan pada tingkat kabupaten dan kota. Dengan demikian konsep dasar pembangunannya adalah bahwa tugas dari pemerintah nasional adalah menyusun visi, misi, dan strategi pembangunan nasional. Pemerintah Kabupaten dan kota melaksanakan sesuai dengan potensi, kecakapan, dan aspirasi. Pemerintah Provinsi bertugas untuk menjadi pendamping dan penyelaraskan pembangunan natar daerah otonom tersebut.
Mengingat konsep dasar pembangunan tersebut, maka startegi pembangunan nasional yang disusun oleh Pemerintah Provinsi adalah menyusun secara rinci secara sektoral strategi-strategi pembangunan dimana setiap daerah dapat memilih sektor dan strateginya sesuai dengan potensi, kecakapan, dan aspirasi lokal. Jadi, ibaratnya, strategi pembangunan nasional adalah menu yang lengkap untuk diberikan kepada masyarakat membangun di daerahnya untuk dapat memilih sesuai dengan prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing.
Konsep pembangunan desa menjelaskan : pembangunan masyarakat adalah suatu gerakan untuk memajukan suatu kehiduapan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat, dengan partisipasi aktif, bahkan jika mungkin dengan swakarsa (inisiatif) masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu bagaimana menggugah dan menumbuhkembangkan partisipasi sangatlah diperlukan untuk proses pembangunan masyarakat itu sendiri ( DEPDAGRI).
Menurut Islamy (2004) partisipasi masyarakat berarti : (1). Memberilkan kesempatan yang nyata kepada mereka untuk mempengaruhi pembuatan keputusan tentang masalah kehidupan ya ng mereka hadapi sehari-hari dan memperkecil jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat (2). Memperluas pendidikan politik sebagai landasan bagi demokrasi, dengan demikian mereka akan terlatih dalam menyusun prioritas-prioritas kebutuhan melalui suatu pola kompromi yang sehat (3). Akan memperkuat solidaritas komunitas masyarakat lokal.
Masalah-masalah pembangunan merupakan suatu akibat dari modernisasi politik, pembangunan politik sering dilihat sebagai kapasitas sistem politik untuk menyelesaikan masalah ini. Pembangunan politik didefinisikan secara sempit sebagai meningkatnya diferensiasi dan spesialisasi struktur politik dan meningkatnya sekularisasi budaya politik. Pembangunan politik terjadi jika sistem politik berhasil mengatasai tantangan masalah pembangunan negara dan bangsa, distribusi, dan lain- lain. Makna pembangunan seperti ini secara umum adalah meningkatnya efektivitas dan efisiensi perilaku sistem politik, serta meningkatkan kapabilitasnya.

Bahwa ukuran pembangunan politik adalah rasionalisasi wewenang, diferensiasi struktur, dan perluasan partisipasi massa, keberhasilan pemilihan pimpinan di berbagai tingkatan wilayah dapat dijadikan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan politik nasional. Sebabnya, unsur-unsur yang terlibat dalam proses pemilihan pimpinan, baik masyarakat maupun pemerintah, mencerminkan tiga fungsi di atas. Pembangunan politik sebagai kemampuan penyelesaian masalah yang timbul dari modernisasi, diperlihatkan secara lebih sederhana, meskipun berbeda. Pembangunan politik didefinisikan tidak sebagai suatu proses dengan tujuan kondisi politik tertentu, tetapi proses yang menciptakan kerangka lembaga untuk menyelesaikan masalah sosial yang terus berkembang. Ini menandai keinginan untuk menghindari perincian tujuan pembangunan politik seperti menciptakan negara demokrasi liberal atau sosialis.Tapi yang lebih penting adalah masalah yang diselesaikan menjadi luas dan keluar dari batas-batas perangkat masalah pembangunan.

Menurut J.J. Rousseau (Zakaria Bangun, 2008:1) bahwa demokrasi bersipat mutlak dalam penyelenggaraan pemerintah sebuah negara. demokrasi merupakan sebuah cita-cita sekaligus cara pengelolaan pemerintah sebuah negara secara beradap. Dengan demokrasi segala tindakan penguasa dapat diawasi dan dikontrol oleh rakyat secara langsung maupun melalui wakil-wakil rakyat (parlemen). Dalam negara demokrasi penguasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat (aux mains du people). Di negara demokrasi setiap warga negara mempunyai kedudukkan yang dhadapan pemerintah. Setiap warga negara berhak ikut menentukan kebijakan pemerintah dan mengontrol jalannya pemerintahan.
            Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang artinya rakyat dan cratein yang berarti kekuasaanatau pemerintahan. Demokrasi harus menjadi alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Bukan rakyat menjadi alat demokrasi, intansi demokrasi yang hakiki adalah kekuasaan politik berada ditangan rakyat. Oleh karena itu, demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama.
Dalam pandangan ”Cillffod Geertzter” (Muhaimin, 1982:11) bahwa satusatunya
bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi.
Bahkan ada berapa orang menekankan pentingnya hubungan ini dan berpendapat bahwa pembangunan baru bermakna bila dikaitkan dengan suatu ideologi tertentu, apakah demokrasi, komunisme, ataupun totaliterisme. Menurut pandangan ini pembangunan baru berarti bila dihubungkan dengan penguatan nilai-nilai tertentu, dan usaha untuk berdalih bahwa hal itu tidak relevan adalah sama dengan menipu diri sendiri. Menggunakan pembinaan demokrasi sebagai kunci bagi pembangunan politik dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk memaksakan nilai-nilai dengan bangsa lain.
Masalah hubungan birokrasi dengan pembangunan politik sangat rumit tetapi karena hal ini merupakan issue penting. Untuk sementara hanya perlu diperhatikan bahwa banyak orang yang berpendapat bahwa pembangunan betul-betul ber beda dengan demokrasi, dan justru usaha untuk memperkenalkan demokrasi bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan pembangunan. Banyak mereka merasa bahwa demokrasi itu tidak sesuai dengan pembangunan yang cepat memandang pembangunan hampir semata-mata dalam artian ekonomis dan tertib sosial. (Muhaimin,1982:11)
Konsep pembangunan politik mengandung pengertian sebagai berikut:
1.      Perubahan politik perlu untuk mencapai tujuan khusus, yaitu demokrasi liberal, masyarakat komunis atau negara Islam.
2.      Suatu proses perubahan umum dalam kawasan politik berkaitan erat dengan aspek masyarakat lainnya, yaitu, a) perluasan dan sentralisasi kekuasaan pemerintah serta diferensiasi dan spesialisasi fungsi dan struktur politik, b) peningkatan partisipasi masyarakat dalam politik, c) peningkatan identifikasi masyarakat dengan sistem politik.
3.      Kemampuan sistem politik dalam a) menyelesaikan persoalan-persoala pembangunan, dan b) mengawali kebijaksanaan baru bagi masyarakat, menyusun struktur baru dan memperbaiki yang lama.
4.      Kemampuan belajar lebih baik dan bagaimana melaksanakan fungsi politik dan menyusun struktur politik. (Dodd, C.H., 1986:6)
Masih ada tafsiran-tafsiran lain mengenai dengan pembangunan politik, misalnya pandangan yang umum dibanyak wilayah bekas jajahan bahwa pembangunan berarti membangkitkan rasa harga diri dan kebanggaan nasional dalam hubungan internasional, atau padangan yang lebih umum di negara-negara maju bahwa pembangunan politik harus mengarah pada jaman purna-nasionalisme (post nationalism) dimana negara bukan lagi merupakan unit utama kehidupan politik. Pembahasan itu sudah cukup banyak untuk menunjukkan kepada kita : pertama, tingkat kekacauan yang ada dalam hal istilah pembangunan politik, dan kedua, dibalik kekacauan itu masih ada kemungkinan membentuk dasar persetujuan tertentu yang lebih kokoh. Tanpa mencoba untuk mempertahankan salah satu orientasi filosofis atau kerangka teori tertentu, sangat bermanfaat untuk meneliti berbagai definisi atau pandangan yang dibahas untuk mencari ciri-ciri pembangunan politik yang paling dapat diterima umum dan paling fundamentil dalam pemikiran umum mengenai masalah-masalah pembangunan politik.
Ciri pokok pertama yang ditunjukan oleh kebanyakan konsep-konsep adalah semangat dan sikap umum terhadap persamaan (equality). Dalam kebanyakan pandangan mengenai hal ini, pembangunan politik betul-betul berkenaan dengan masalah partisipasi massa dan terlibatan rakyat dalam kegiatan-kegiatan politik. Partisipasi mungkin terwujud mobilisasi demogratis atau totaliter, tetapi yang penting adalah bahwa seorang harus menjadi warga negara yang aktif.
Persamaan berarti juga bahwa pemasukan ke dalam jabatan politik harus mencerminkan ukuran pecakapan berdasar prestasi dan bukan pertimbanganpertimbangan status berdasarkan sistem sosial tradisionil. Asumsi dalam sistem politik yang sudah maju adalah bahwa orang harus menunjukan jasa yang cukup untuk menduduki jabatan pemerintahan dan para pejabat pemerintah harus lulus ujian kecakapan yang kompetitif.
Ciri pokok kedua ditemui dalam kebanyakan konsep pembangunan politik itu berkaitan dengan kapasitas atau kesanggupan dari suatu sistem politik. Dalam artitertentu, kapasitas berkaitan dengan output sistem politik, dan seberapa jauh sistem politik dapat mempengaruhi sistem sosial dan sistem ekonomi. Kapasitas juga berhubungan erat dengan prestasi pemerintah dan keadaan-keadaan yang mempengaruhi prestasi itu.
Lebih khususnya kapasitas pertama-tama melibat masalah besarnya, ruang lingkup dan skala prestasi politik dan pemerintah. Sistem yang telah maju dianggap bisa berbuat lebih banyak dan dapat menjangkau berbagai kehidupan sosial yang lebih luas dari pada sistem yang belum maju.
Kapasitas berarti efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijaksanaan umum. Sistem yang sudah maju dianggap tidak hanya dapat berbuat lebih banyak dari sistem yang belum maju, tetapi juga dapat bekerja lebi cepat dan teliti. Di sini terdapat kecenderungan kearah profesionalisasi pemerintah. Diperhatikan efisiensi dan efektivitas mengakibatkan timbulnya ukuran-ukuran prestasi yang diakui secara universal.
Ciri ketiga yang sering muncul dalam diskusi masalah pembangunan politik adalah diferensiasi dan spesialisasi. Jadi segi pembangunan politik ini pertama-tama menyangkut diferensiasi dan spesialisasi struktur. Jabatan-jabatan dan badan-badan pemerintah masing-masing cenderung memiliki fungsi yang tersendiri dan terbatas, dan ada persamaan pembagian kerja didalam pemerintahan.
Dengan differensiasi timbul peningkatan spesialisasi fungsional dari berbagai peranan politik dalam sistem tersebut. Diferensiasi juga menyangkut integrasi dari struktur-struktur dan proses-proses yang rumit. Artinya, diferensiasi bukanlah fragmentasi dan isolasi bagian-bagian yang berbeda dari sistem politik, tetapi spesialisasi yang didasarkan atas suatu pemahaman mengenai integrasi.
Dengan menerima tiga dimensi ini, yaitu persamaan, kapasitas dan diferensiasi, sebagai inti proses pembangunan tidaklah berarti kita menyatakan bahwa ketiganya mudah ditemukan satu sama lain. Bahkan sebaliknya menurut sejarah, biasanya terjadi ketegangan yang takut antara tuntutan akan persamaan, kebutuhan akan kapasitas dan proses differensiasi yang lebih besar.
Jadi sebetulnya kita dapat membedakan pola-pola pembangunan menurut sistem yang ditempuh oleh masyarakat dalam usaha menangani segi-segi yang berlainandari gejala pembangunan (development syndrome). Dalam pengertian ini pembangunan bukan proses yang unilinier (searah dan menaik), bukan pula proses yang dapat diatur berdasar tahap-tahap yang berbeda tegas, tetapi lebih ditentukan oleh luasnya cakupan masalah yang timbul, baik secara terpisah-pisah maupun bersama-sama.
Dalam usaha untuk mencari pola dari proses-proses pembangunan yang berbeda ini dapat untuk menganalisa berbagai tipe dari masalah ini, perlu diperhatikan bahwa masalah-masalah persamaan biasanya berkaitan erat dengan budaya politik dan perasaan-perasaan mengenai keabsahan dan keterikatan pada sistem; masalah-masalah kapasitas umumnya berkaitan erat dengan prestasi dan struktur-struktur pemerintahan yang memiliki wewenang resmi (authoritative); dan masalah-masalah diferensiasi terutama sekali berkaitan dengan prestasi strukturstruktur yang tidak memiliki wewenang resmi (non-authoritative) dan dengan proses politik dalam masyarakat umumnya. Ini berarti pada akhir masalah pembangunan politik berkisar pada masalah hubungan antara budaya politik, struktur-struktur yang berwenang, dan proses politik umumnya. (Muhaimin 1982:16).

2.5. Hubungan antara Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Politik Desa
Tentang tujuan Otonomi Desa, baik undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah menjelaskan salah satu tujuan dari implementasi otonomi desa tersebut adalah: ” Otonomi Desa dapat menjadi wahana yang baik bagi peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, melalui implementasi otonomi desa, diharapkan prakarsa dari pembangunan tumbuh dan berkembang dari aspirasi masyarakat desa, sehingga masyarakat desa akan memiliki Sense of Belonging dari setiap derap dan hasil pembangunan di desanya”.
Partisipasi Masyarakat adalah suatu hal yang sangat penting dalam pemerintahan demokratis, terutama dalam praktek pemerintahan daerah. Yusran (2006:10) mengartikan partisipasi masyarakat sebagai keterlibatan terus menerus dan aktif dalam pembuatan keputusan yang dapat mempengaruhi kepentingan umum. Partisipasi Masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap pembangunan kehidupan bersama-sama warga desa. Partisipasi pada intinya adalah agar masyarakat ikut serta dengan pemerintah memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar, mempercepat, dan menjamin berhasilnya usaha pembangunan. Maka secara umum partisipasi dapat diartikan sebagai ”pengikutsertaan” atau pengambilan bagian dalam kegiatan bersama.
Pembangunan menyangkut pengertian bahwa manusia adalah objek dan subjek pembangunan. Karena manusia sebagai subjek pembangunan, maka dia harus diperhitungkan. Oleh karena itu, perlu mengajak subjek tadi berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Sering kita mendengar bahwa pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat sambutan rakyat, hal ini meminta pemimpin memiliki persepsi yang tajam dalam mendeteksi keinginan masyarakat untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. Mengapa perlu partisipasi masyarakat dalam mengakses pembangunan? Karena pembangunan adalah usaha masyarakat sebanyak mungkin ikut serta dengan pemerintah, memberi bantuan guna meningkatkan, memperlancar, mempercepat dan menjamin keberhasilan pembangunan. Mengapa pemerintah perlu menghimbau masyarakat? Karena keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh partisipasi unsur masyarakat dapat bercorak pasif (memang tidak menolak program tapi tidak ada prakarsa) atau bercorak aktif (menerima) malahan aktif mengajak orang lain memperluas jangkauan (pemerataan) dan meningkatkan hasil pembangunan.
Pembangunan yang meliputi segala aspek segi kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya itu baru berhasil apabila kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat di dalam usaha negara. Tidak saja dalam pengambilan kebijakan tertinggi, perencanaan, pimpinan pelaksanaan operasional, tapi juga petani yang masih tradisional, buruh, nelayan dan lainnya. Telihat tiga aspek dalam rangka partisipasi pembangunan.
1.      Terlibat dan ikut serta rakyat sesuai dengan mekanisme proses politik dalam sebuah negara turut menentukan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
2.      Meningkatkan artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan dan arah serta strategi rencana yang telah ditentukan dalam proses politik
3.      Adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipasi dalam pembangunan berencana.



Menurut pandangan umum, pembangunan politik memang meliputi kegiatan perluasan partisipasi massa, akan tetapi sangat perlu membedakan kondisi-kondisi yang memungkinkan adanya perluasan tersebut. Dari sudut sejarah, di negara-negara Barat dimensi pembangunan politik erat bertalian dengan perluasan hak pilih dan pengikutsertaan kelompok-kelompok baru dalam masyarakat di dalam proses politik. Proses partisipasi massa ini berarti penyebarluasan pengambilan keputusan, di mana partisipasi tersebut berpengaruh pula terhadap masalah pilihan dan keputusan.(Gaffar, 1989:42)

HUBUNGAN AGAMA DAN POLITIK DALAM PANDANGAN IMAM KHOMEINI

HUBUNGAN AGAMA DAN POLITIK DALAM PANDANGAN IMAM KHOMEINI
Imam Khomeini, -lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun 1902, dan pernah tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama 14 tahun, tapi menyelesaikan pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan hukum Islam (fiqih)- memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran yang spektakuler. Dalam istilah yang kita kenal di Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin Besar Revolusi” dan sekaligus “Ratu Adil”. Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di tunggu-tunggu itu, adalah menegakkan keadilan. Ia sendiri termasuk ke dalam ketegori “hakim yang adil” (just jurist), atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah “benteng Islam”. Dalam konteks revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa ’80-an, Imam Khomeini menyerukan agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam, “memperhatikan keadaan negara sebagaimana kaum saudagar menjaga pasar, tapi dengan kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah buku kritik yang sangat tajam terhadap rezim Dinasti Pahlevi dan kondisi di Iran pada tahun 1940-an, dalam bukunya “Kasyful Asrar” (“Menyingkap Rahasia”, yaitu keadaan yang tidak disadari masyarakat umumnya). Shiah sendiri adalah suatu mazhab yang meneruskan tradisi Mu’tazilah di abad pertengahan yang menyebut dirinya sebagai “ahlul tauhid wa al adl”, ahli tauhid dan keadilan. Dalam kata-kata itu, tauhid dan keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keadilan bersumber dari tauhid dan tauhid yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min al Allah) diwujudkan dalam keadilan dalam hubungan antar sesama manusia (habun min al naas).
Memperhatikan keadaan negara mengisyaratkan agar kaum fuqaha ikut bertanggung-jawab dalam mengurus masalah negara dan pemerintahan. Dalam doktrin Islam Shiah, masyarakat itu dipimpin oleh para imam, khususnya Imam yang 12. Imam yang terakhir telah menghilang, tetapi ia akan kembali sebagai Imam Mahdi. Tapi selama Sang Imam ghaib itu, kaum ulama, kaum fuqaha harus tampil mengambil alih kepemimpinan. Dengan demikian, kepemimpinan kontemporer, yaitu kaum fuqaha, adalah wakil atau khalifah dari para imam yang ghaib. Atas dasar kepercayaan itu, maka Imam Khomeini menciptakan konsep “Wilayah al-Faqih” yang menjadi garda (guardian) terhadap hukum Islam. Konsep inilah yang menimbulkan kharisma terhadap kaum fuqaha yang diwakili oleh Imam Khomeini. Agaknya Imam Khomeini menyadari kepemimpinan semacam itu, yaitu kepemimpinan itu bisa hilang setelah ia meninggal. Karena itu, maka kharisma kemimpinan atau Imamah itu dilembagakannya dalam konsep Wilayah al-Faqih, sehingga keimaman itu dapat dilanjutkan dari waktu ke waktu. Sementara itu kefuqahaan itu dibibitkan dan dikembangkan melalui hauzah-fuqaha, yaitu lembaga pendidikan dan penelitian sebagaimana terdapat dan berkonsentrasi di kota suci Qom Iran atau Najef Iraq, di mana Imam Khomeini sendiri dididik dan dibesarkan.
Menurut Imam Khomeini, fuqaha bukan hanya ahli di bidang hukum Islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang paripurna harus juga ahli d bidang-bidang lain, misalnya filsafat, politik, sosial dan ekonomi. Ayatullah Rafsanjani umpamanya, adalah juga seorang ahli ekonomi yang piawai. Demikian pula ulama ahli tafsir besar Tabataba’i yang menulis buku mengenai sistem ekonomi Islam. Sedangkan Ayatullah Murtadha Mutahhari adalah juga ahili sejarah, ahli sosiologi dan filsuf sosial yang sangat produktif menulis buku di berbagai bidang dan sudah banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia.
Sejalan dengan pemikiran itu, maka Imam Khomeini sangat menentang sekularisme yang memisahkan agama dari negara atau politik. Pandangan ini tidak semata-mata bersifat normatif, tetapi juga empiris, sebagaimana diperlihatkan dalam gerakan revolusioner Iran. Dalam penjelasannya sendiri:
Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemesyarakatan, patriotisme adminstrasi keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis merusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan pemerintahan dan politik.
Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma (kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi yang dijalankan oleh negara dan pemerintahan yang adil. Dalam menentang rezim dinasti Syah Iran, berbagai kelompok telah mencobanya, termasuk kelompok sosialis atau Marxis dan terakhir kelompok nasionalis yang dipimpin oleh pemimpin legendaris yang berani menentang imperialisme AS, Mosaddeq. Tapi kesemuanya telah gagal. Setelah itu, maka agama adalah satu-satunya suara oposisi yang mampu didengarkan. Sejak tahun 1964, Imam Khomeini adalah satu-satunya tokoh yang mampu menyajikan konsep oposisi dalam ideologi yang secara sistematik berbeda atau merupakan alternatif baru. Ideologinya itu didasarkannya pada suatu konsep teologi yang disebut Wilayah al-Faqih yang menentang kepemimpinan tradisional yaitu sistem dinanti.
Imam Khomeini memang menduduki posisi yang dominan sebagai pemipin kharismatis, meminjam konsep Weber yang berbeda dengan kepemimpinan tradisional di satu pihak dan kepemimpinan demokratis di lain pihak. Tapi sebenarnya ia tidak sendirian dalam menyebarkan bibit revolusi. Pada pokoknya ada dua kelompok pemimpin yang mengakumulasi proses revolusi Islam Iran. Pertama adalah kelompok ulama atau fukaha dan filsuf. Selain Khomeini, terkemuka juga ayatullah-ayatullah lain, seperti Morteza Muttahari, Ayatullah Madari, Ayatullah Ni’matullah Salihi dan Ayatullah Talegani untuk mengambil sebagian yang terkemuka. Muttahari banyak melakukan pendekatan kesejaharan dan kemasyarakatan, sedangkan ketiga ayatullah lainnya punya konsep yang berbeda tentang Wilayah al-Faqih dalam kaitannya dengan demokrasi. Kedua, adalah kelompok cendekiawan yang tercerahkan yang diwakili oleh Ali Syari’ati, Dr. Mehdi Bazargan dan Bani Sadr. Ali Syari’ati sendiri menentang konsep dominasi kaum fuqaha, sebab baginya kaum fuqaha belum tentu bisa memahami ajaran Islam dengan baik, bahkan di masa lalu telah banyak membuat kesalahan yang menyebabkan kemunduran Islam. Mereka belum tentu juga lebih unggul akhlaknya, apalagi dalam masyarakat modern. Ali Syari’ati lebih cenderung pada kepemimpinan apa yang disebutnya cendekiawan yang tercerahkan (rausan fikr). Tapi rausan fikr ini bukan hanya berasal dari cendekiawan umum, melainkan juga dapat berasal dari ulama, sebagai contohnya Ayatullah Muttahari yang seorang filsuf sosial yang tidak saja menguasai teologi tetapi juga filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan sejarah.
Ayatullah Khomeini berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan dan memandang al-Qur’an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa negara tidak memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya rakyat itu sudah punya UU dasar, yaitu al Qur’an yang didukung oleh Sunnah. Tapi ini bukan berarti parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk menciptakan peraturan-peraturan pelaksanaan atau UU organik guna memberikan tugas kepada eksekutif. Namun pemegang kekuasaan eksekutif harus juga kaum fuqaha.
Itulah konsep formal Ayatullah Khomeini. Tapi dalam pelaksanannya, Imam Khomeini juga mengakomodasi pandangan Ali Syari’ati yang berbeda itu. Buktinya ia memilih Dr. Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri Pemerintahan Sementara yang dibentuknya pada masa transsi. Ia kemudian merestui Bani Sadr sarjana ekonomi didikan Paris yang berkecenderungan sosialis sebagai Presiden Iran nyang pertama, walaupun kemudian digulingkannya sendiri. Tokoh cendekiawan lain yang juga terkemuka lainnya misalnya adalah Sadeq Godzabeg dan Dr. Ebrahim Yazdi Dalam kenyataannya sekarang, walaupun presidennya adalah ulama atau ayatullah, namun para wakil dan menteri-menteri dalam kabinet adalah para cendekiawan Muslim didikan Barat.
Karya utama Ayatullah Khomeini adalah Revolusi Islam Iran itu sendiri. Revolusi yang dipimpinnya itu sendiri cukup spektakuler karena pertama, berhasil menggulingkan rezim despotik Syah Pahlevi yang pada waktu itu sangat kuat yang didukung oleh angkatan bersenjata yang nomer lima terkuat di dunia pada masanya, berkat kekayaan minyak bumi dan program modernisasi. Kedua, revolusi itu mampu mengusir penjajah AS, sebuah negara adidaya dunia yang sangat ditakuti oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Tapi lepas dari itu Revolusi Islam Iran memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Revolisi Amerika, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia ataupun Revolusi Cina di Timur. Ahli ilmu politik internasional terkemuka Richard Falk yang juga peneliti konfik dan perdamaian (Peace and Conflict Research) menengarai tiga karakteristik Revolusi Islam Iran tahun 1979 itu yaitu:
1.     Relatif tidak mempergunakan kekerasan, seperti ketika Nabi saw menaklukkan Mekah, dan tidak seperti revolusi-revolusi lain yang berdarah-darah itu.
2.     Tidak meniru model revolusi-revolusi lain di Barat maupun Timur.
3.     Bersifat keagamaan yang menggabungkan politik dan agama serta agama dan nasionalisme pada abad modern.
Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini memang khas bersifat keagamaan yang mengambil inspirasinya dari ajaran Islam yang menentang tirani. Namun Revolusi Islam Iran itu juga mengandung nilai-nilai yang universal. Garis-garis besar landasan Pemikiran Imam Khomeini itu, menurut Jusuf Abdulah Puar yang beraliran Sunni adalah sebagai berikut:
1.      Menegakkan kemerdekaan atas dasar ajaran Islam yang murni.
2.      Unsur rakyat harus kuat dalam pemerintahan.
3.      Kekayaan negara didistribusikan secara merata guna mencapai keadilan sosial.
4.      Melakukan pembebasan kebudayaan dari pengaruh asing.
5.      Kekayaan dalam masyarakat dipergunakan untuk kepentingan umum.
Dengan rumusan itu nampak bahwa Revolusi Islam Iran memiliki kesejajaran dengan Revolusi Indonesia yang mendasarkan diri pada prinsip Sosio-Demokrasi dan Sosio-Nalionalisme, sedangkan demokrasi Iran juga bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi yang mengacu kepada keadilan sosial. Misi itulah yang sebenarnya diemban oleh Wilayah al Faqih.
Dengan konsep Wilayah al Faqih itu Imam Khomeini sering disebut sebagai kaum fundamentalis. Memang ada benarnya, karena ia ingin mengaktualisasikan model pemerintahan Nabi Muhammad saw dan kekhalifahan Imam Ali ra. Tapi sebaliknya, ia ingin mengaktualisasikan konsep Imamah dalam tradisi Shiah itu dalam konteks modern. Hanya saja ia percaya kepada kepemimpinan kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan Barat (setidak-tidaknya dalam teori). Konsep kenegaraannya sebenarnya adalah teokrasi, yang berbeda dengan konsep theo-demokrasi yang pernah diusulkan oleh Mohammad Natsir dan diperjuangkan oleh partai Masyumi dari Indonesia.
Tapi gagasannya itu berbeda dengan gagasan kaum fundamentalis Sunni yang ingin menegakkan kekhalifahan Islam di bumi. Prinsip kekhalifaan itu mengandung empat prinsip, yaitu:
Prinsip 1 : Kedaulatan di tangan Tuhan.

Prinsip 2 : Otoritas berada di tangan kaum Muslim

Prinsip 3 : Hanya ada satu Khalifah.

Prinsip 4 : Khalifah menjalankan UU dan Hukum (Islam).
Konsep Wilayah al-Faqih juga mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan Tuhan. Dia-lah yang menciptakan hukum bagi manusia, bukan manusia menciptakan hukum untuk dirinya sendiri seperti sistem demokrasi Barat. Namun otoritas dipegang oleh kelompok, jadi merupakan otoritas kolektif, berdeda dengan konsep khilafah Sunni yang otokratis. Imam Khomeini sebenarnya mengagumi filsafat Plato dan Aristoteles, yaitu konsep philosopher king. Hanya saja menurut tafsirannya, philosopher itu adalah para fuqaha secara kolektif. Sebenarnya ayatullah seperti Tabataba’i, Mutahhari dan Khomeini dapat dikategorikan sebagai philosopher yang ideal. Sedangkan menurut Ali Syari’ati, kepemimpinan itu dipegang oleh rausan fikr, cendekiawan yang tercerahkan baik yang berasal dari pendidikan umum maupun fuqaha.
Dewasa ini, walaun kaum fuqaha tetap memegang kedaulatan tertinggi dalam lembaga Wilayah al-Faqih, namun sistem politiknya dijalankan melalui demokrasi, dengan indikator utama, adanya pemilihan umum, baik untuk badan lagislatif maupun presiden. Sistem demokrasi itu ditandai pula oleh adanya berbagai kelompok dengan aliran-aliran yang berbeda-beda. Pertama aliran fundamentalis konservatif yang diwakili oleh Ayatullah Khamenei, murid utama ayatullah Khomeini sendiri. Kedua, aliran fudamentalis moderat dan pragmatis yang diwakili oleh Ayatullah Rafsanjani yang pernah menjabat sebagai PM Iran. Ketiga adalah aliran reformis liberal yang dulu diwakili oleh Dr. Mehdi Bazargan yang pernah menjabat sebagai PM Iran tunjukan Imam Khomeini langsung. Wakil yang sekarang (2005) adalah Ayatullah Khatami yang berhasil dipilih menjadi Presiden Republik Islam Iran.
Dalam perjalanannya, memang telah terjadi perubahan-perubahan yang tadinya seolah-olah monolitis, sekarang menjad lebih pluralis. Bahkan golongan Marxis pun memainkan peranan penting, yang dulu dikenal sebagai Partai Tudeh (Partai Komunis Iran) dan sekarang kelompok Mujahidin Khalk yang lama memiliki tradisi oposisi dan gerakan pembebasan Iran. Di awal revolusi, kaum perempuan masih mengalam diskriminasi, misalnya tidak boleh menjadi hakim apalagi pimpinan negara. Sekarang (2005), salah seorang wakil presiden Iran pimpinan Khatami adalah seorang perempuan.
Yang menarik dari Republik Islam Iran adalah komitmen negara dan pemerintah dalam menjalankan syari’at Islam tetapi sekaligus juga berusaha mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. Dalam sistem ekonomi, Iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam berekonomi. Secagai contoh pemerintah Iran secara total mengkonversi sistem bank konvensional menjadi sepenuhnya bank Islam atau bank syari’ah. Pemerintah Iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara Muslim.
Dalam sistem negara dan pemerintahan, Iran melakukan model “ideologization of religion” untuk membentuk suatu religious ideology. Menurut Geiger, ideologi adalah ”suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar penafsiran, komentar dan indoktrinas. Dalam ini, ideologsasi Islam menurut Ali Merad berarti“ merumusklan kandungan Islam dalam bentuk norma dan nilai mengenai tatatan sosal-politik”. Masalahnya adalah siapa yang bisa menulis konsep ideologi itu. Menurut Khomeini, yang mampu adalah para fuqaha. Tetapi apakah mereka mampu bekerja sendirian tanpa bantuan kaum cendekiawan modern? Karena itu maka mau tidak mau konsep Wilayatul Faqih menurut Imam Khomeini itu harus mengalami revisi.
Pandangan Khomeini itu sebenarnya sudah didahului oleh ulama-ulama sebelumnya, misalnya Mulla Ahmad Naraqu (wafat tahun 1629) dan Syaikh Muhammad Husain Naimi (wafat tahun 1936) dua tokoh yang memiliki pandangan yang sama mengenai hak prerogatif kaum fukaha di bidang politik, kendali keduanya tidak mengembangkan suatu tema sentral teori politik. Bagi Imam Khomeini, kaum fukaha harus memegang kekuasaan, menggantikan para raja atau penguasa, kendati masalah-masalah teknis bisa diserahkan pada para ahlinya, namun pemegang kekuasaan tertinggi di bidang sosia-politik harus tetap berada di tangan para faqih yang adil.
Dalam pandangan Iran sekarang, pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan, di mana kepala pemerintahan tertinggi harus dipegang seorang faqih, yang ahli di bidang hukum Islam yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam pemerintahan Islam model Shiah, kaum ulama menduduki posisi, baik sebagai pengawal (guardian atau wali), penafsir (interpreter) maupun pelaksana (executor) hukum-hhhhukum Tuhan. Oleh sebab itu maka pemerintahan yang demikian itu merupakan pemerintahan yang benar dan adil. Pemerntahan Islam harus bertindak sesuai dengan syari’at. Syarat-syarat tersebut asumsinya hanya bisa dipenuhi oleh para faqih. Kerenanya para faqih adalah figur yang dianggap paling siap memerintah masyarakat.
Nilai kepemimpinan kekuasaan pada hakekat dan intinya sesuai konsep Wilayatul Faqih menurut Iman Khomeini, walaupun dalam pelaksanaannya ternyata mengalami modifikasi. Pemilihan umum ikut menentukan siapa yang akhirnya dipilih menjadi presiden dan anggota legislatif. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang konstitusional dengan al Qur’an dan Hadist. Sebagai konstitusinya.

Namun demikian, tidak semua ayatullah menyetujui konsep itu. Misalnya saja Ayatullah Ni’matullah Salihi Najasafabagi. Baginya sifat yuridis Wilayah haruslah merupakan kontrak sosial (social contract) antara rakyat dan faqih yang dipercaya oleh rakyat. Dalam rangka melibatkan kepentingan dan peranan rakyat dengan lembaga pemegang kekuasaan hukum, ia berusaha mamadukan konsep-konsep modern seperti “pemerintahan mayoritas”, “kontrak sosial”, dan “perwakilan” dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam.
Tujuan Imam Khomeini dalam konsep Wilayah al-Faqih adalah menuntut keadilan sosial, pembagian kekayaan yang adil, ekonomi yang produktif yang berdasar kepada kekuatan nasional dan gaya hidup yang sederhana serta berdasarkan konsepsi yang akan mengurangi jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin dan antara yang memerintah dan diperintah. Imam Khomeni memang lebih percaya kepada kaum fuqaha dalam memimpin pemerintahan, tetapi ia juga menekankan bahwa dalam Republik Islam, pemerintah harus bertanggung-jawab kepada rakyat, melalui mekanisme pemilihan umum dan adanya dewan perwakilan rakyat.
Pemerintahan Iran yang ada sekarang memang mendasarkan diri pada konsep Wilayah al Faqih yang ditawarkan oleh Imam Khomeini. Dalam realitas pemerintahan dan sistem politik Iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk yang dipengaruhi oleh aliran aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan antara kaum ulama dan kaum cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum mullah sendiri. Pandangan Ayatullah Khamanei umpamanya berbeda dengan pandangan Ayatullah Khatami yang liberal dan progresif, di samping adanya perbedaan antara Imam Khomeini dengan Dr. Ali Syari’ati di masa lalu.
Imam Khomeini memang akan tetap dikenang sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Republik Islam Iran dan Sang Ratu Adil, namun tidak seluruh pendapatnya agaknya diikuti sepenuhnya dan secara dogmatis, bahkan oleh kaum mullah sendiri yang ternyata punya banyak pandangan yang berbeda. Masyarakat Islam Shia Iran adalah sebuah masyarakat yang pluralistis dengan beragam aliran keagamaaan dan pemikiran sejak dari yang fundamentalis dan konservatif hingga yang liberal atau Marxis. Dan ternyata juga, Islam di Iran bisa menerima pengaruh aliran-aliran modern itu, termasuk aliran Marxis sebagaimana diperlihatkan oleh Ali Syari’ati, walaupun istilah “Islam-Marxis” yang sempat terlontar seperti “teologi pembebasan Amerika Latin”, dianggap sebagai suatu yang absurd oleh Imam Khomeini. [Sumber: www.icas-indonesia.org]