Abstrak
Dalam bidang kepemimpinan, pemimpin daerah
memiliki political leadership yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
masyarakat dalam suatu wilayah. Pemimpin daerah yang dikenal dengan Kepala
Daerah merupakan pemimpin bagi masyarakat di daerahnya. Dia dipilih langsung
oleh rakyat di daerah tersebut, oleh karena itu, hal penting yang perlu
dilakukannya adalah peduli terhadap persoalan-persoalan yang menyentuh
mayoritas masyarakat. Banyaknya persoalan yang berujung pada konflik dan
kerusuhan di daerah menandakan belum efektifnya komunikasi yang dilakukan
kepala daerah dengan rakyat dan bawahannya. Komunikasi yang efektif, ditandai
dengan keterbukaan, empati, perilaku suportif, perilaku positif, dan kesamaan.
Kata Kunci: Komunikasi, Pemimpin
Daerah.
Pengantar
Organisasi
pemerintah daerah saat ini telah mengalami perubahan yang sangat besar. Pasca
reformasi lahirlah Undang-Undang N0. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Reformasi terus bergulir, pemberian otonomi luas, lebih diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.
Tuntutan reformasi seperti ini, tidak bisa lagi dipenuhi oleh Undang-Undang No.
22 Tahun 1999, sehingga pada tanggal 15 Oktober 2004 diundangkan sebuah
undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.
Reformasi politik di Indonesia yang
menimbulkan serangkaian perubahan di bidang politik, sosial budaya dan ekonomi
tidak saja berdampak pada tataran nasional, tetapi juga pada tataran lokal.
Sebagai konsekuensi dari reformasi politik maka perubahan format politik dan
sistem pemerintahan, telah ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan
perundang-undangan yang mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
dalam hal pengisian pemimpin daerah.
Dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah (UU RI No. 32 tahun 2004), pemimpin daerah yang dikenal
dengan nama kepala daerah, memegang peran yang penting dalam rangka
pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian diperlukan figur kepala daerah yang inovatif, punya
wawasan luas, dan mempunyai kesiapan untuk melakukan perubahan ke arah yang
lebih baik.
Sebagai konsekuensi dari gerakan
demokrasi, kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Hal ini
merupakan wujud dari bentuk pengisian pejabat publik oleh masyarakat sehingga
diharapkan pertanggungjawabannya kepada masyarakat menjadi lebih konkrit.
Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung juga sebagai bagian dari
desentralisasi; membangun struktur politik lokal mejadi lebih demokratis,
membentuk birokrasi lokal yang efektif, efisien, setara, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik.
Kepala
daerah merupakan kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis.
Menurut UU RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah
diartikan sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah jabatan strategis
dan memiliki posisi sentral terhadap eksistensi sebuah daerah. Secara formal
berdasarkan pasal 25 dan 27 UU RI No. 32 tahun 2004, kepala daerah mempunyai tugas,
wewenang, dan kewajiban yang meliputi:
1. Memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD.
2. Mengajukan
rancangan Perda.
3. Menetapkan
Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD.
4. Menyusun
dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama.
5. Mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah.
6. Mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
7. Melaksanakan
tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kepala daerah mempunyai
kewajiban yang meliputi:
a. Memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
c. Memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
d. Melaksanakan
kehidupan demokrasi.
e. Menaati
dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
f. Menjaga
etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
g. Memajukan
dan mengembangkan daya saing daerah.
h. Melaksanakan
prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
i.
Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan
pengelolaan keuangan daerah.
j.
Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi
vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
k. Menyampaikan
rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan rapat
paripurna DPRD.
Selain mempunyai
kewajiban seperti yang dimaksudkan diatas, menurut pasal 27 ayat 2, UU RI No.
32 tahun 2004, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan
keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Dalam UU itu,
terlihat jelas bahwa kepala daerah dalam tugas, wewenang, dan kewajibannya,
memerlukan komunikasi dengan DPRD, Instansi vertikal, aparat penerintah daerah
dan dengan masyarakatnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat,
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan
demokrasi dalam artian, kepala daerah mempunyai kewajiban menyerap aspirasi,
meningkatkan partisipasi serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat.
Kepemimpinan
Dalam
komunikasi organisasi, kajian tentang kepemimpinan seringkali dibahas.
Kepemimpinan mengacu pada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau lebih
individu dalam kelompok yang membantu kelompok mencapai tujuannya. Dalam bidang kepemimpinan, pemimpin daerah
memiliki political leadership yang menyangkut seluruh aspek kehidupan
masyarakat dalam suatu wilayah. Pemimpin yang baik diperoleh dari proses yang
panjang, tidak muncul secara tiba-tiba. Kepemimpinan merupakan kemampuan
mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin
secara sukarela.
Seorang kepala
daerah yang mempunyai kapasitas sebagai pejabat politik dan pemimpin
pemerintahan di daerahnya, haruslah mempunyai kepemimpinan di bidang organisasi
dan kepemimpinan di bidang sosial. Di bidang organisasi, seorang kepala daerah
mempunyai bawahan yang patuh pada berbagai ikatan norma-norma organisasi
formal. Di bidang sosial, seorang kepala daerah memiliki kapasitas dan kualitas
pribadi dalam menggerakkan bawahannya. Dalam hal ini aspek sosial dan politik
lebih dominan daripada aspek administratif. Kepemimpinan di bidang sosial lebih
banyak diperoleh dari proses politik yang membawa dirinya menjadi kepala
daerah.
Kepemimpinan
berhubungan erat dengan komunikasi, tujuan komunikasi adalah mencapai kesamaan
makna. Pada dasarnya kesamaan makna ini merupakan upaya untuk mempengaruhi
karena makna yang dimaksud adalah makna yang dikehendaki oleh satu pihak yang
ditujukan pada pihak lain. Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang
lain untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara sukarela.
Keberhasilan
seorang pemimpin dapat diperoleh dari keberhasilannya dalam kegiatan
komunikasi. Dia tidak mungkin menjadi pemimpin tanpa punya pengikut. Oleh
karena itu, pemimpin haruslah mempunyai kemampuan membina hubungan komunikatif
dengan pengikut-pengikutnya. Dia hendaknya mempunyai daya tarik dan
kredibilitas. Seorang pemimpin yang juga sebagai komunikator, hendaknya
mempunyai daya tarik misalnya daya tarik fisik, busana, suara dan dukungan
fisik lainnya serta kesamaan diantara pemimpin sebagai komunikator dengan
khalayaknya. Kredibilitas menurut Rakhmat (1991) adalah seperangkat persepsi
khalayak tentang sifat-sifat komunikator, sehingga sesungguhnya kredibilitas
tidak melekat dalam diri komunikator. Kredibilitas mencakup dua komponen yaitu
keahlian dan dapat dipercaya. Keahlian adalah kesan yang dibentuk oleh khalayak
tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan
seperti cerdas. Mampu, ahli, berpengalaman atau terlatih. Sedangkan kepercayaan
adalah kesan khalayak tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya
seperti jujur, bermoral, tulus, adil, sopan dan sebagainya.
Faktor homofili
atau kebersamaan komunikator dengan khalayak akan mempermudah interaksi yang
memberikan efek positif. Menurut Anwar Arifin (2003), keakraban atau hubungan
baik antara komunikator politik dengan khalayak merupakan hal yang penting
dalam proses dan efektivitas komunikasi politik. Keakaraban ini dapat dicapai,
jika komunikator dengan khalayak dapat hidup bersama dan bermain bersama. Hal
ini dapat terwujud bila antara komunikatordengan khalayaknya banyak memiliki
kesamaan, terutama dalam hal nilai-nilai, pendidikan, status dan sebagainya.
Tingkat
perbedaan antara komunikator dengan khalayak merupakan masalah paling menonjol
dalam komunikasi inovasi atau komunikasi yang menharapkan perubahan atau
pembaruan. Untuk mengatasi hal tersebut, komunikator politik harus mempelajari
kerangka referensi dan kerangka pengalaman khalayak yang dikenal sebagai filter
konseptual dan berusaha menciptakan sebanyak mungkin persamaan. Dalam hal ini
komunikator harus memiliki kemampuan empati, yaitu kemampuan menempatkan diri
pada posisi diri orang lain. Empati merupakan kepribadian saat seseorang dengan
mudah menyesuaikan diri dengan kondisi, situasi dan kepribadian orang lain
(Arifin, 2003).
Komunikasi yang Perlu Dilakukan Pemimpin Daerah
Nasib rakyat
lebih banyak ditentukan oleh pemimpin politik. Karena itu kajian tentang pemimpin
politik penting untuk dilakukan. Salah satu kajian yang dapat dilakukan adalah
melalui pendekatan komunikasi politik. Komunikasi politik diibaratkan sebagai
sirkulasi darah dalam tubuh.
Bukan darahnya
tapi apa yang terkandung dalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu
hidup (Alfian, 1993). Komunikasi politik mengalirkan pesan-pesan politik berupa
tuntutan, protes dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat)
pemrosesan sistem politik dan hasil pemoresan itu, dialirkan kembali oleh
komunikasi politik.
Fagen (1966), mengartikan
komunikasi politik sebagai segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem
politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Menurut Dahlan (1999)
komunikasi adalah unsur yang esensial dalam demokrasi. Batasan demokrasi banyak
ditentukan oleh komunikasi. komunikasi menentukan watak dan mutu demokrasi pada
suatu masyarakat.
Bachtiar Aly
(2010), menyebut komunikasi politik sebagai proses penyampaian pesan politik
dari elit politik kepada masyarakat secara timbal balik agar pesan-pesan
politik yang disampaikan memperoleh respons yang diharapkanseperti terjadinya
proses pengambilan keputusan politik secara demokratis, transparan dan tanggung
gugat (akuntabilitas).
Elit politik
dikenal dengan elit yang memegang kekuasaan politik formal dalam negara.
Menurut Suryadi (1993), dalam komunikasi politik terjadi pola hubungan memberi
dan menerima, yang berarti bagaimana elit politik menggunakan kekuasaannya
kepada mayarakat dan bagaimana masyarakat itu menanggapi serta menerima
keinginan keinginan elit politik, begitu juga sebaliknya. Pola hubungan seperti
ini tergantung pada ideologi yang melandasi sistem politik negara yang
bersangkutan. Jika ideologinya demokratis maka komunikasi politiknya akan
demokratis pula. Dalam hal ini, elit politik ketika mempengaruhi atau
mengendalikan masyarakat tidak semata-mata mengandalkan kekuasaan formal yang
dimilikinya maupun wibawa dan pengaruhnya untuk senantiasa memaksakan kehendak
dengan cara yang bertentangan dengan norma atau etika yang berlaku dalam
masyarakat. Elit menerapkan kekuasaannya berdasarkan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat tersebut, sehingga masyarakat dapat menerima dan patuh
terhadap kekuasaan tersebut.
Elit lokal,
yaitu para elit yang memerintah di tingkat daerah seperti kepala daerah
memegang peranan penting dalam komunikasi politik karena dia adalah pemimpin
masyarakat di daerahnya yang harus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya. Kepala daerah dapat juga sebagai penghubung untuk menyerasikan
kebijakan pembangunan atau kebijakan politik nasional dengan aspirasi yang
lahir dan berkembang dalam masyarakat sehingga menjadi kekuatan actual yang
dapat mendorong laju pembangunan. Tugas yang berat ini dapat dilalui oleh kepala
daerah tentu saja jika ada keterbukaan, keadilan dan suasana dialogis sehingga
terjadi komunikasi yang seimbang antara elit daerah/kepala daerah dengan
masyarakat.
Persoalan di Daerah
Kepala daerah
seringkali digugat, ia dianggap kurang responsif, tidak bertanggung jawab atas
kemelut politik yang terjadi, tidak peka terhadap penderitaan rakyat, kurang
responsif terhadap aspirasi masyarakat dan kurang cepat belajar untuk tidak
mengulangi kesalahan pendahulunya masa lalu. Dilain pihak, kepala daerah
menganggap masyarakat kurang paham dengan agenda kepala daerah, tidak mengerti
bagaimana suka duka mereka merealisasikan aspirasi masyarakat. Persoalan
seperti ini sering kali terjadi di berbagai daerah yang kalau tidak ditangani
dapat berujung pada konflik. Peristiwa Tanjung Priok dapat dijadikan contoh,
buruknya komunikasi antara kepala daerah dengan masyarakat. Komunikasi yang
baik justru terjadi setelah ada kerusuhan. Setelah terjadi kerusuhan yang
menelan korban jiwa dan benda, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengundang semua
pihak yang terlibat untuk berdialog dari hati ke hati. Dialog yang diliput
media itu berlangsung dengan kesepakatan yang diterima semua pihak.
Rasa saling
percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat merupakan prasyarat utama bagi
keberlangsungan proses peningkatan kesejahteraan dan pengembangan
standar-standar baru kesejahteraan hidup masyarakat secara menyeluruh. Rasa
saling percaya dan harmonisasi akan mengantar masyarakat untuk bekerja
bersama-sama tanpa rasa saling curiga di dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan daerah di berbagai sektor dan di berbagai lapisan masyarakat guna
mencapai kesejahteraan rakyat daerah.
Walaupun
berbagai kemajuan dalam menjaga harmonisasi di dalam masyarakat telah dicapai
dan berbagai upaya telah ditempuh, guna menciptakan dan meningkatkan rasa
saling percaya dan harmonisasi di dalam masyarakat, tetapi masih dirasakan
bahwa kadar kekerasan serta harmonisasi tersebut masih jauh dari harapan. Hal
ini ditandai dengan masih adanya berbagai konflik antarmasyarakat,
antargolongan, antarkelompok, bahkan antara masyarakat daerah tertentu dan
pemerintah daerah yang sudah tentu akan menghambat upaya penciptaan harmonisasi
antarkelompok masyarakat, serta menghambat upaya penciptaan rasa aman dan damai
di hati warga, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah seperti di
Cengkareng Jakarta Barat, Mamasa-Sulawesi Barat, Poso, dan Papua.
Dapat ditengarai
bahwa terjadinya konflik berdimensi kekerasan di beberapa daerah, antara lain,
dilatarbelakangi oleh adanya faktor kompleksitas kepentingan sosial politik,
ketidakadilan, serta provokasi yang mengeksploitasi perbedaan-perbedaan etnis,
agama, dan golongan. Ketiadaan forum-forum dialog atau belum optimal dan
efektifnya pelaksanaan mekanisme penyelesaian konflik semakin memperluas
konflik dan sulitnya penyelesaiannya secara tuntas. Komunikasi politik
antarelit termasuk kepala daerah dan masyarakat belum dapat berkembang dengan
efektif. Hal lain yang juga signifikan mendorong terjadinya konflik yang
disebabkan oleh berbagai dimensi yang kompleks tersebut, adalah rentannya
pemahaman dan pelaksanaan nilai kebangsaan terutama dalam konteks menjaga
harmonisasi di dalam masyarakat. Dengan demikian, penyelesaian akar
permasalahan dan penerapan strategi yang tepat dalam penyelesaian konflik
menjadi tantangan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah secara sistematis
mengingat penyelesaiannya akan memakan waktu yang panjang.
Selain
berhubungan dengan masyarakatnya, kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan
daerah, berhubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala daerah
dan DPRD berwenang menentukan pengaturan pembangunan daerah, melalui penetapan
peraturan daerah (Perda) dan kebijakan strategis daerah. Oleh karena itu
hubungan yang baik antara pihak kepala daerah dengan DPRD sangat menentukan
keberhasilan kinerja pembangunan daerah. Hubungan kepala daerah dengan DPRD
diwujudkan dalam bentuk komunikasi politik.
Kepala daerah
dan DPRD sering kali melakukan komunikasi politik dengan masyarakat menyangkut
masalah-masalah yang ada di masyarakat seperti tuntutan kenaikan gaji dari kelompok
buruh, tuntutan menolak keberadaan pasar swalayan dari kelompok pedagang dan
lain sebagainya.
Hubungan antara
kepala daerah dengan DPRD memperlihatkan gejala masing-masing merasa lebih
superior sehingga terjadi tarik menarik kepentingan antara kedua institusi
tersebut. Mereka memiliki kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Pihak
kepala daerah lebih memahami kedudukan mereka sebagai pelaksana kebijakan
sehingga mereka lebih memiliki akses politik khususnya terhadap publik. Di
pihak lain, DPRD merasa sesuai dengan kewenangannya mereka merasa lebih kuat
karena mereka adalah yang mengawasi kebijakan kepala daerah, memberikan
persetujuan terhadap APBD dan peraturan daerah.
Dialog
Martin Buber (1970)
memandang dialog sebagai inti komunikasi. Menurutnya dialog merupakan hubungan
Saya-Anda (I-Thou), yaitu manusia dengan manusia, yang ditandai dengan
kebersamaan, keterbukaan hati, kelangsungan, kejujuran, spontanitas,
keterusterangan, tidak pura-pura, tidak manipulatif, kerukunan, intensitas dan
cinta kasih dalam arti bertanggung jawab kepada orang lain. Dialog berbeda
dengan komunikasi Saya-Benda (I-It) atau komunikasi monologis yang ditandai
dengan cinta diri, penipuan, kepura-puraan, kelicikan, dominasi, eksploitasi
dan manipulasi. Dalam menangani berbagai persoalan di daerah, bentuk komunikasi
dialogis hendaknya lebih banyak dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang
suatu masalah kepada masyarakat dan cata-cara yang ditawarkan untuk mengatasi
masalah tersebut. Selain itu, bentuk dialogis yang menghasilkan komunikasi dua
arah, sangat tepat untuk menjaring aspirasi masyarakat, dan dapat dengan cepat
mengartikulasikan aspirasi itu sehingga lebih mudah dipahami oleh pembuat
kebijakan publik.
Dalam komunikasi
politik, dialog mensyaratkan bahwa kepala daerah menempatkan diri dalam posisi
pengambil peran yang baik untuk memahami berbagai makna yang terdapat dalam
dunia simbolik rakyat, tidak memaksakan “kebenaran” atau pendapatnya sendiri
kepada masyarakat. (Mulyana, 2001).
Kepedulian Pemimpin Daerah
Kepala Daerah
merupakan pemimpin bagi masyarakat di daerahnya. Dia dipilih langsung oleh
rakyat di daerah tersebut, oleh karena itu, hal penting yang perlu dilakukannya
adalah peduli terhadap persoalan-persoalan yang menyentuh mayoritas masyarakat.
Banyaknya persoalan yang berujung pada konflik dan kerusuhan di daerah menandakan
belum efektifnya komunikasi politik yang dilakukan kepala daerah dengan rakyat
dan bawahannya. Komunikasi yang efektif, ditandai dengan keterbukaan, empati,
perilaku suportif, perilaku positif, dan kesamaan (DeVito, 1996).
Sifat
keterbukaan menujukkan kepada kemauan kepala daerah untuk membuka diri pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan publik. Disini publik akan mengetahui
gagasan, pendapat, pikiran kepala daerah sehingga komunikasi lebih mudah dilakukan.
Ciri kedua adalah empati, yaitu kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya
pada peranan atau posisi orang lain. Kepala daerah secara emosional maupun
intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami masyarakatnya.
Melalui empati, kepala daerah berusaha melihat dan merasakan seperti yang
dilihat dan dirasakan masyarakatnya.Ciri ketiga disebut perilaku suportif,
artinya dalam menghadapi suatu masalah, kepala daerah tidak bersikap bertahan
(defensif). Keterbukaan dan empati tidak dapat berlangsung dalam suasana yang
tidak suportif.
Selanjutnya
kepala daerah hendaknya memiliki perilaku positif. Sikap positif dalam
komunikasi menunjuk paling tidak dua aspek. Pertama, komunikasi akan berkembang
bila kepala daerah mempunyai pandangan positif terhadap diri sendiri. Kedua,
kepala daerah mempunyai perasaan positif terhadap orang lain dalam berbagai
situasi komunikasi. Ciri terakhir adalah kesamaan. Kesamaan dalam pengertian
bahwa kepala daerah setara dengan rakyatnya. Dia tidak boleh menganggap dirinya
lebih tinggi derajatnya daripada rakyatnya. Jika tidak ada kesetaraan, maka
akan mudah muncul pemaksaan kebenaran, padahal rakyat adalah manusia yang punya
jiwa, kemauan dan kebebasan untuk ikut menentukan apa yang mereka inginkan. Berdasarkan
paparan di atas, dapat dirumuskan bahwa seorang pemimpin seperti kepala daerah
yang ingin berhasil dalam berkomunikasi, hendaknya selalu mengedepankan
komunikasi dialogis (dua arah). Mulyana (2001) mengatakan dialogis mengisyarat
kemampuan memahami keinginan, aspirasi, harapan, kepentingan, cita-cita,
ketakutan, kekawatiran yang dirasakan mitra dialog. Dialog juga
mengisyarakatkan bahwa kepala daerah berusaha melibatkan diri secara intim
dalam dunia sosial rakyat, memasuki perspektif dan pengalaman batin mereka.
Mendengarkan dan Groupthink
Dalam komunikasi
organisasi, ketidakmampuan mendengarkan orang lain dapat menimbulkan kegagalan
dalam melaksanakan tugas. Kepala daerah gagal dalam tugasnya karena ia gagal
mendengarkan suara rakyatnya. Bencana Situ Gintung, kerusuhan Tanjung Priok dan
kasus lain adalah contoh kasus yang dapat dijadikan pengalaman yang berharga
bagi kepala daerah. Mendengarkan (listening) menurut DeVito (1996), berbeda
dengan mendengar (hearing). Mendengarkan diartikan sebagai proses aktif
menerima rangsangan telinga. Mendengarkan menuntut tenaga dan komitmen
sedangkan mendengar sebagai suatu proses fisiologis bersifat pasif.
Mendengarkan
dalam situasi dialogis dapat menciptakan kemajuan yaitu terbentuknya perspektif
yang lebih baik dan semakin solid dalam melihat permasalahan konflik yang ditunjukkan
dengan adanya komitmen untuk menjaga situasi keamanan di wilayahnya. Upaya ini
dilakukan dengan dialog yang melibatkan Musyawarah Pimpinan Daerah, tokoh
masyarakat, pemuka agama, kepala daerah, dan lembaga swadaya masyarakat.
Mekanisme umpan
balik juga perlu diperhatikan oleh kepala daerah sebagai kontrol untuk mengkaji
dan menguji kebijakan yang dibuat kepala daerah. Hal ini diperlukan karena para
pemimpin politik mempunyai kecenderungan untuk terjebak dalam groupthink, yaitu
suatu cara pembahasan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan untuk
mencapai kesepakatan bersama melebihi motivasi mereka untuk menilai seluruh
rencana tindakan yang ada. Janis (dalam Littlejohn dan Foss, 2008) mengatakan,
terdapat sifat negatif dalam groupthink, yaitu:
1.
Kelompok membatasi diskusi atau pembahasan hanya
pada beberapa alternatif tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan alternatif
yang tersedia.
2.
Kelompok tidak kritis dalam meneliti implikasi
dan keputusan atau solusi yang dipilih.
3.
Pandangan minoritas dengan cepat dipatahkan dan
diabaikan tidak saja oleh mayoritas anggota, tetapi juga oleh mereka yang pada
awalnya menyukai alternatif yang pertama itu.
4.
Kelompok
sudah merasa puas dengan dirinya sendiri dan merasa terancam oleh pandangan
orang luar.
5.
Anggota kelompok cenderung berkonsenterasi hanya
pada informasi yang mendukung rencana yang mereka sukai saja.
6.
Kelompok merasa sangat percaya diri dengan
gagasan mereka. Mereka tidak melihat kemungkinan mereka akan gagal.
Kecenderungan
terjebak dalam groupthink ini, dapat dihindari oleh kepala daerah, jika
ada keterbukaan, keadilan dan suasana dialogis. Keadaan seperti ini dapat
dimulai dari pembahasan dengan beberapa kemungkinan alternatif yang tersedia,
mencari kesulitan yang tersembunyi dan berupaya mencari pendapat beberapa ahli.
Penutup
Komunikasi yang
dilakukan pemimpin daerah janganlah dianggap sebagai panacea atau obat
mujarab dalam mengatasi persoalan-persoalan di daerah. Komunikasi tanpa
memperdulikan persoalan-persoalan yang mendasar dalam masyarakat tidak akan
memberikan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh, terjadinya konflik di
berbagai daerah memerlukan perhatian oleh kepala daerah, persoalan konflik yang
dipicu oleh kesenjangan ekonomi, kemiskinan hendaknya dapat dicarikan jalan
keluarnya. Persoalan konflik yang terjadi sangatlah kompleks karena tidak hanya
menyangkut persoalan politik semata, tetapi juga persoalan ekonomi, sosial, dan
budaya. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin daerah dapat membantu atau
memberikan kontribusi untuk mempercepat penyelesaian masalah-masalah di daerah.
Daftar Pustaka
Alfian. 1993. Komunikasi Politik
dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Aly, Bachtiar. 2010. “Komunikasi
Politik sebagai Penjuru Penyelesaian Konflik dan Mengoptimalkan Sinergitas Hubungan
Pusat dan Daerah”. Makalah. Seminar Nasional di UMB Jakaarta. 15 Mei
2010.
Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi
Politik:Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Buber, Martin. 1970. I and Thou.
New York: Charles Scribner’s Sons.
Dahlan, M. Alwi. 1999. “Teknologi
Informasi dan Demokrasi”. Jurnal ISKI nNo. 4 Oktober.
DeVito, Joseph. 1996. Human
Communication. Herpercollins Publisher Inc.
Fagen, R.R. 1966. Politics and
Communication. Boston: Litlle Brown and Company.
Littlejohn, Stephen W dan Karen A.Foss.
2008. Theories of Human Communication,
9th Edition. Belmont: Thomson Wadsworth.
Mulyana, Deddy. “Merancang Peran
Baru Humas dalam Pengembangan Otonomi
Daerah” dalam Jurnal Komunikasi Mediator Volume 2 Nomor 1 Tahun 2001.
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Psikologi
Komunikasi.Bandung: Remaja
Rosdakarya. Suryadi, Samsu. 1993.”Elit Politik dalam
Komunikasi Politik di Indonesia” dalam Indonesia
dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.
0 comments:
Post a Comment