Sunday, February 21, 2016

Komunikasi Pemimpin Daerah

Abstrak
           
 Dalam bidang kepemimpinan, pemimpin daerah memiliki political leadership yang menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah. Pemimpin daerah yang dikenal dengan Kepala Daerah merupakan pemimpin bagi masyarakat di daerahnya. Dia dipilih langsung oleh rakyat di daerah tersebut, oleh karena itu, hal penting yang perlu dilakukannya adalah peduli terhadap persoalan-persoalan yang menyentuh mayoritas masyarakat. Banyaknya persoalan yang berujung pada konflik dan kerusuhan di daerah menandakan belum efektifnya komunikasi yang dilakukan kepala daerah dengan rakyat dan bawahannya. Komunikasi yang efektif, ditandai dengan keterbukaan, empati, perilaku suportif, perilaku positif, dan kesamaan.  
 Kata Kunci: Komunikasi, Pemimpin Daerah.

 Pengantar
Organisasi pemerintah daerah saat ini telah mengalami perubahan yang sangat besar. Pasca reformasi lahirlah Undang-Undang N0. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Reformasi terus bergulir, pemberian otonomi luas, lebih diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Tuntutan reformasi seperti ini, tidak bisa lagi dipenuhi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, sehingga pada tanggal 15 Oktober 2004 diundangkan sebuah undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Reformasi politik di Indonesia yang menimbulkan serangkaian perubahan di bidang politik, sosial budaya dan ekonomi tidak saja berdampak pada tataran nasional, tetapi juga pada tataran lokal. Sebagai konsekuensi dari reformasi politik maka perubahan format politik dan sistem pemerintahan, telah ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dalam hal pengisian pemimpin daerah.
Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (UU RI No. 32 tahun 2004), pemimpin daerah yang dikenal dengan nama kepala daerah, memegang peran yang penting dalam rangka pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian diperlukan figur kepala daerah yang inovatif, punya wawasan luas, dan mempunyai kesiapan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Sebagai konsekuensi dari gerakan demokrasi, kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Hal ini merupakan wujud dari bentuk pengisian pejabat publik oleh masyarakat sehingga diharapkan pertanggungjawabannya kepada masyarakat menjadi lebih konkrit. Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung juga sebagai bagian dari desentralisasi; membangun struktur politik lokal mejadi lebih demokratis, membentuk birokrasi lokal yang efektif, efisien, setara, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Kepala daerah merupakan kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis. Menurut UU RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah diartikan sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kepala daerah adalah jabatan strategis dan memiliki posisi sentral terhadap eksistensi sebuah daerah. Secara formal berdasarkan pasal 25 dan 27 UU RI No. 32 tahun 2004, kepala daerah mempunyai tugas, wewenang, dan kewajiban yang meliputi:
1.      Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
2.      Mengajukan rancangan Perda.
3.      Menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD.
4.      Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
5.      Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
6.      Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
7.      Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kepala daerah mempunyai kewajiban yang meliputi:
a.       Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c.       Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
d.      Melaksanakan kehidupan demokrasi.
e.       Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
f.       Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
g.      Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.
h.      Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
i.        Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.
j.        Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
k.      Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan rapat paripurna DPRD.
Selain mempunyai kewajiban seperti yang dimaksudkan diatas, menurut pasal 27 ayat 2, UU RI No. 32 tahun 2004, kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Dalam UU itu, terlihat jelas bahwa kepala daerah dalam tugas, wewenang, dan kewajibannya, memerlukan komunikasi dengan DPRD, Instansi vertikal, aparat penerintah daerah dan dengan masyarakatnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dalam artian, kepala daerah mempunyai kewajiban menyerap aspirasi, meningkatkan partisipasi serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat.


Kepemimpinan
            Dalam komunikasi organisasi, kajian tentang kepemimpinan seringkali dibahas. Kepemimpinan mengacu pada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau lebih individu dalam kelompok yang membantu kelompok mencapai tujuannya.  Dalam bidang kepemimpinan, pemimpin daerah memiliki political leadership yang menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah. Pemimpin yang baik diperoleh dari proses yang panjang, tidak muncul secara tiba-tiba. Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara sukarela.
Seorang kepala daerah yang mempunyai kapasitas sebagai pejabat politik dan pemimpin pemerintahan di daerahnya, haruslah mempunyai kepemimpinan di bidang organisasi dan kepemimpinan di bidang sosial. Di bidang organisasi, seorang kepala daerah mempunyai bawahan yang patuh pada berbagai ikatan norma-norma organisasi formal. Di bidang sosial, seorang kepala daerah memiliki kapasitas dan kualitas pribadi dalam menggerakkan bawahannya. Dalam hal ini aspek sosial dan politik lebih dominan daripada aspek administratif. Kepemimpinan di bidang sosial lebih banyak diperoleh dari proses politik yang membawa dirinya menjadi kepala daerah.
Kepemimpinan berhubungan erat dengan komunikasi, tujuan komunikasi adalah mencapai kesamaan makna. Pada dasarnya kesamaan makna ini merupakan upaya untuk mempengaruhi karena makna yang dimaksud adalah makna yang dikehendaki oleh satu pihak yang ditujukan pada pihak lain. Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara sukarela.
Keberhasilan seorang pemimpin dapat diperoleh dari keberhasilannya dalam kegiatan komunikasi. Dia tidak mungkin menjadi pemimpin tanpa punya pengikut. Oleh karena itu, pemimpin haruslah mempunyai kemampuan membina hubungan komunikatif dengan pengikut-pengikutnya. Dia hendaknya mempunyai daya tarik dan kredibilitas. Seorang pemimpin yang juga sebagai komunikator, hendaknya mempunyai daya tarik misalnya daya tarik fisik, busana, suara dan dukungan fisik lainnya serta kesamaan diantara pemimpin sebagai komunikator dengan khalayaknya. Kredibilitas menurut Rakhmat (1991) adalah seperangkat persepsi khalayak tentang sifat-sifat komunikator, sehingga sesungguhnya kredibilitas tidak melekat dalam diri komunikator. Kredibilitas mencakup dua komponen yaitu keahlian dan dapat dipercaya. Keahlian adalah kesan yang dibentuk oleh khalayak tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan seperti cerdas. Mampu, ahli, berpengalaman atau terlatih. Sedangkan kepercayaan adalah kesan khalayak tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya seperti jujur, bermoral, tulus, adil, sopan dan sebagainya.
Faktor homofili atau kebersamaan komunikator dengan khalayak akan mempermudah interaksi yang memberikan efek positif. Menurut Anwar Arifin (2003), keakraban atau hubungan baik antara komunikator politik dengan khalayak merupakan hal yang penting dalam proses dan efektivitas komunikasi politik. Keakaraban ini dapat dicapai, jika komunikator dengan khalayak dapat hidup bersama dan bermain bersama. Hal ini dapat terwujud bila antara komunikatordengan khalayaknya banyak memiliki kesamaan, terutama dalam hal nilai-nilai, pendidikan, status dan sebagainya.
Tingkat perbedaan antara komunikator dengan khalayak merupakan masalah paling menonjol dalam komunikasi inovasi atau komunikasi yang menharapkan perubahan atau pembaruan. Untuk mengatasi hal tersebut, komunikator politik harus mempelajari kerangka referensi dan kerangka pengalaman khalayak yang dikenal sebagai filter konseptual dan berusaha menciptakan sebanyak mungkin persamaan. Dalam hal ini komunikator harus memiliki kemampuan empati, yaitu kemampuan menempatkan diri pada posisi diri orang lain. Empati merupakan kepribadian saat seseorang dengan mudah menyesuaikan diri dengan kondisi, situasi dan kepribadian orang lain (Arifin, 2003).



Komunikasi yang Perlu Dilakukan Pemimpin Daerah

Nasib rakyat lebih banyak ditentukan oleh pemimpin politik. Karena itu kajian tentang pemimpin politik penting untuk dilakukan. Salah satu kajian yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan komunikasi politik. Komunikasi politik diibaratkan sebagai sirkulasi darah dalam tubuh.
Bukan darahnya tapi apa yang terkandung dalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup (Alfian, 1993). Komunikasi politik mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemrosesan sistem politik dan hasil pemoresan itu, dialirkan kembali oleh komunikasi politik.
Fagen (1966), mengartikan komunikasi politik sebagai segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Menurut Dahlan (1999) komunikasi adalah unsur yang esensial dalam demokrasi. Batasan demokrasi banyak ditentukan oleh komunikasi. komunikasi menentukan watak dan mutu demokrasi pada suatu masyarakat.
Bachtiar Aly (2010), menyebut komunikasi politik sebagai proses penyampaian pesan politik dari elit politik kepada masyarakat secara timbal balik agar pesan-pesan politik yang disampaikan memperoleh respons yang diharapkanseperti terjadinya proses pengambilan keputusan politik secara demokratis, transparan dan tanggung gugat (akuntabilitas).
Elit politik dikenal dengan elit yang memegang kekuasaan politik formal dalam negara. Menurut Suryadi (1993), dalam komunikasi politik terjadi pola hubungan memberi dan menerima, yang berarti bagaimana elit politik menggunakan kekuasaannya kepada mayarakat dan bagaimana masyarakat itu menanggapi serta menerima keinginan keinginan elit politik, begitu juga sebaliknya. Pola hubungan seperti ini tergantung pada ideologi yang melandasi sistem politik negara yang bersangkutan. Jika ideologinya demokratis maka komunikasi politiknya akan demokratis pula. Dalam hal ini, elit politik ketika mempengaruhi atau mengendalikan masyarakat tidak semata-mata mengandalkan kekuasaan formal yang dimilikinya maupun wibawa dan pengaruhnya untuk senantiasa memaksakan kehendak dengan cara yang bertentangan dengan norma atau etika yang berlaku dalam masyarakat. Elit menerapkan kekuasaannya berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut, sehingga masyarakat dapat menerima dan patuh terhadap kekuasaan tersebut.
Elit lokal, yaitu para elit yang memerintah di tingkat daerah seperti kepala daerah memegang peranan penting dalam komunikasi politik karena dia adalah pemimpin masyarakat di daerahnya yang harus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Kepala daerah dapat juga sebagai penghubung untuk menyerasikan kebijakan pembangunan atau kebijakan politik nasional dengan aspirasi yang lahir dan berkembang dalam masyarakat sehingga menjadi kekuatan actual yang dapat mendorong laju pembangunan. Tugas yang berat ini dapat dilalui oleh kepala daerah tentu saja jika ada keterbukaan, keadilan dan suasana dialogis sehingga terjadi komunikasi yang seimbang antara elit daerah/kepala daerah dengan masyarakat.
Persoalan di Daerah
Kepala daerah seringkali digugat, ia dianggap kurang responsif, tidak bertanggung jawab atas kemelut politik yang terjadi, tidak peka terhadap penderitaan rakyat, kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat dan kurang cepat belajar untuk tidak mengulangi kesalahan pendahulunya masa lalu. Dilain pihak, kepala daerah menganggap masyarakat kurang paham dengan agenda kepala daerah, tidak mengerti bagaimana suka duka mereka merealisasikan aspirasi masyarakat. Persoalan seperti ini sering kali terjadi di berbagai daerah yang kalau tidak ditangani dapat berujung pada konflik. Peristiwa Tanjung Priok dapat dijadikan contoh, buruknya komunikasi antara kepala daerah dengan masyarakat. Komunikasi yang baik justru terjadi setelah ada kerusuhan. Setelah terjadi kerusuhan yang menelan korban jiwa dan benda, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengundang semua pihak yang terlibat untuk berdialog dari hati ke hati. Dialog yang diliput media itu berlangsung dengan kesepakatan yang diterima semua pihak.

Rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat merupakan prasyarat utama bagi keberlangsungan proses peningkatan kesejahteraan dan pengembangan standar-standar baru kesejahteraan hidup masyarakat secara menyeluruh. Rasa saling percaya dan harmonisasi akan mengantar masyarakat untuk bekerja bersama-sama tanpa rasa saling curiga di dalam melaksanakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor dan di berbagai lapisan masyarakat guna mencapai kesejahteraan rakyat daerah.
Walaupun berbagai kemajuan dalam menjaga harmonisasi di dalam masyarakat telah dicapai dan berbagai upaya telah ditempuh, guna menciptakan dan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi di dalam masyarakat, tetapi masih dirasakan bahwa kadar kekerasan serta harmonisasi tersebut masih jauh dari harapan. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai konflik antarmasyarakat, antargolongan, antarkelompok, bahkan antara masyarakat daerah tertentu dan pemerintah daerah yang sudah tentu akan menghambat upaya penciptaan harmonisasi antarkelompok masyarakat, serta menghambat upaya penciptaan rasa aman dan damai di hati warga, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah seperti di Cengkareng Jakarta Barat, Mamasa-Sulawesi Barat, Poso, dan Papua.
Dapat ditengarai bahwa terjadinya konflik berdimensi kekerasan di beberapa daerah, antara lain, dilatarbelakangi oleh adanya faktor kompleksitas kepentingan sosial politik, ketidakadilan, serta provokasi yang mengeksploitasi perbedaan-perbedaan etnis, agama, dan golongan. Ketiadaan forum-forum dialog atau belum optimal dan efektifnya pelaksanaan mekanisme penyelesaian konflik semakin memperluas konflik dan sulitnya penyelesaiannya secara tuntas. Komunikasi politik antarelit termasuk kepala daerah dan masyarakat belum dapat berkembang dengan efektif. Hal lain yang juga signifikan mendorong terjadinya konflik yang disebabkan oleh berbagai dimensi yang kompleks tersebut, adalah rentannya pemahaman dan pelaksanaan nilai kebangsaan terutama dalam konteks menjaga harmonisasi di dalam masyarakat. Dengan demikian, penyelesaian akar permasalahan dan penerapan strategi yang tepat dalam penyelesaian konflik menjadi tantangan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah secara sistematis mengingat penyelesaiannya akan memakan waktu yang panjang.
Selain berhubungan dengan masyarakatnya, kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, berhubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala daerah dan DPRD berwenang menentukan pengaturan pembangunan daerah, melalui penetapan peraturan daerah (Perda) dan kebijakan strategis daerah. Oleh karena itu hubungan yang baik antara pihak kepala daerah dengan DPRD sangat menentukan keberhasilan kinerja pembangunan daerah. Hubungan kepala daerah dengan DPRD diwujudkan dalam bentuk komunikasi politik.
Kepala daerah dan DPRD sering kali melakukan komunikasi politik dengan masyarakat menyangkut masalah-masalah yang ada di masyarakat seperti tuntutan kenaikan gaji dari kelompok buruh, tuntutan menolak keberadaan pasar swalayan dari kelompok pedagang dan lain sebagainya.
Hubungan antara kepala daerah dengan DPRD memperlihatkan gejala masing-masing merasa lebih superior sehingga terjadi tarik menarik kepentingan antara kedua institusi tersebut. Mereka memiliki kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Pihak kepala daerah lebih memahami kedudukan mereka sebagai pelaksana kebijakan sehingga mereka lebih memiliki akses politik khususnya terhadap publik. Di pihak lain, DPRD merasa sesuai dengan kewenangannya mereka merasa lebih kuat karena mereka adalah yang mengawasi kebijakan kepala daerah, memberikan persetujuan terhadap APBD dan peraturan daerah.


Dialog
Martin Buber (1970) memandang dialog sebagai inti komunikasi. Menurutnya dialog merupakan hubungan Saya-Anda (I-Thou), yaitu manusia dengan manusia, yang ditandai dengan kebersamaan, keterbukaan hati, kelangsungan, kejujuran, spontanitas, keterusterangan, tidak pura-pura, tidak manipulatif, kerukunan, intensitas dan cinta kasih dalam arti bertanggung jawab kepada orang lain. Dialog berbeda dengan komunikasi Saya-Benda (I-It) atau komunikasi monologis yang ditandai dengan cinta diri, penipuan, kepura-puraan, kelicikan, dominasi, eksploitasi dan manipulasi. Dalam menangani berbagai persoalan di daerah, bentuk komunikasi dialogis hendaknya lebih banyak dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang suatu masalah kepada masyarakat dan cata-cara yang ditawarkan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, bentuk dialogis yang menghasilkan komunikasi dua arah, sangat tepat untuk menjaring aspirasi masyarakat, dan dapat dengan cepat mengartikulasikan aspirasi itu sehingga lebih mudah dipahami oleh pembuat kebijakan publik.
Dalam komunikasi politik, dialog mensyaratkan bahwa kepala daerah menempatkan diri dalam posisi pengambil peran yang baik untuk memahami berbagai makna yang terdapat dalam dunia simbolik rakyat, tidak memaksakan “kebenaran” atau pendapatnya sendiri kepada masyarakat. (Mulyana, 2001).
Kepedulian Pemimpin Daerah
Kepala Daerah merupakan pemimpin bagi masyarakat di daerahnya. Dia dipilih langsung oleh rakyat di daerah tersebut, oleh karena itu, hal penting yang perlu dilakukannya adalah peduli terhadap persoalan-persoalan yang menyentuh mayoritas masyarakat. Banyaknya persoalan yang berujung pada konflik dan kerusuhan di daerah menandakan belum efektifnya komunikasi politik yang dilakukan kepala daerah dengan rakyat dan bawahannya. Komunikasi yang efektif, ditandai dengan keterbukaan, empati, perilaku suportif, perilaku positif, dan kesamaan (DeVito, 1996).
Sifat keterbukaan menujukkan kepada kemauan kepala daerah untuk membuka diri pada masalah-masalah yang berkaitan dengan publik. Disini publik akan mengetahui gagasan, pendapat, pikiran kepala daerah sehingga komunikasi lebih mudah dilakukan. Ciri kedua adalah empati, yaitu kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Kepala daerah secara emosional maupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami masyarakatnya. Melalui empati, kepala daerah berusaha melihat dan merasakan seperti yang dilihat dan dirasakan masyarakatnya.Ciri ketiga disebut perilaku suportif, artinya dalam menghadapi suatu masalah, kepala daerah tidak bersikap bertahan (defensif). Keterbukaan dan empati tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak suportif.
Selanjutnya kepala daerah hendaknya memiliki perilaku positif. Sikap positif dalam komunikasi menunjuk paling tidak dua aspek. Pertama, komunikasi akan berkembang bila kepala daerah mempunyai pandangan positif terhadap diri sendiri. Kedua, kepala daerah mempunyai perasaan positif terhadap orang lain dalam berbagai situasi komunikasi. Ciri terakhir adalah kesamaan. Kesamaan dalam pengertian bahwa kepala daerah setara dengan rakyatnya. Dia tidak boleh menganggap dirinya lebih tinggi derajatnya daripada rakyatnya. Jika tidak ada kesetaraan, maka akan mudah muncul pemaksaan kebenaran, padahal rakyat adalah manusia yang punya jiwa, kemauan dan kebebasan untuk ikut menentukan apa yang mereka inginkan. Berdasarkan paparan di atas, dapat dirumuskan bahwa seorang pemimpin seperti kepala daerah yang ingin berhasil dalam berkomunikasi, hendaknya selalu mengedepankan komunikasi dialogis (dua arah). Mulyana (2001) mengatakan dialogis mengisyarat kemampuan memahami keinginan, aspirasi, harapan, kepentingan, cita-cita, ketakutan, kekawatiran yang dirasakan mitra dialog. Dialog juga mengisyarakatkan bahwa kepala daerah berusaha melibatkan diri secara intim dalam dunia sosial rakyat, memasuki perspektif dan pengalaman batin mereka.
Mendengarkan dan Groupthink
Dalam komunikasi organisasi, ketidakmampuan mendengarkan orang lain dapat menimbulkan kegagalan dalam melaksanakan tugas. Kepala daerah gagal dalam tugasnya karena ia gagal mendengarkan suara rakyatnya. Bencana Situ Gintung, kerusuhan Tanjung Priok dan kasus lain adalah contoh kasus yang dapat dijadikan pengalaman yang berharga bagi kepala daerah. Mendengarkan (listening) menurut DeVito (1996), berbeda dengan mendengar (hearing). Mendengarkan diartikan sebagai proses aktif menerima rangsangan telinga. Mendengarkan menuntut tenaga dan komitmen sedangkan mendengar sebagai suatu proses fisiologis bersifat pasif.

Mendengarkan dalam situasi dialogis dapat menciptakan kemajuan yaitu terbentuknya perspektif yang lebih baik dan semakin solid dalam melihat permasalahan konflik yang ditunjukkan dengan adanya komitmen untuk menjaga situasi keamanan di wilayahnya. Upaya ini dilakukan dengan dialog yang melibatkan Musyawarah Pimpinan Daerah, tokoh masyarakat, pemuka agama, kepala daerah, dan lembaga swadaya masyarakat.
Mekanisme umpan balik juga perlu diperhatikan oleh kepala daerah sebagai kontrol untuk mengkaji dan menguji kebijakan yang dibuat kepala daerah. Hal ini diperlukan karena para pemimpin politik mempunyai kecenderungan untuk terjebak dalam groupthink, yaitu suatu cara pembahasan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan untuk mencapai kesepakatan bersama melebihi motivasi mereka untuk menilai seluruh rencana tindakan yang ada. Janis (dalam Littlejohn dan Foss, 2008) mengatakan, terdapat sifat negatif dalam groupthink, yaitu:
1.      Kelompok membatasi diskusi atau pembahasan hanya pada beberapa alternatif tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan alternatif yang tersedia.
2.      Kelompok tidak kritis dalam meneliti implikasi dan keputusan atau solusi yang dipilih.
3.      Pandangan minoritas dengan cepat dipatahkan dan diabaikan tidak saja oleh mayoritas anggota, tetapi juga oleh mereka yang pada awalnya menyukai alternatif yang pertama itu.
4.       Kelompok sudah merasa puas dengan dirinya sendiri dan merasa terancam oleh pandangan orang luar.
5.      Anggota kelompok cenderung berkonsenterasi hanya pada informasi yang mendukung rencana yang mereka sukai saja.
6.      Kelompok merasa sangat percaya diri dengan gagasan mereka. Mereka tidak melihat kemungkinan mereka akan gagal.
Kecenderungan terjebak dalam groupthink ini, dapat dihindari oleh kepala daerah, jika ada keterbukaan, keadilan dan suasana dialogis. Keadaan seperti ini dapat dimulai dari pembahasan dengan beberapa kemungkinan alternatif yang tersedia, mencari kesulitan yang tersembunyi dan berupaya mencari pendapat beberapa ahli.
Penutup
Komunikasi yang dilakukan pemimpin daerah janganlah dianggap sebagai panacea atau obat mujarab dalam mengatasi persoalan-persoalan di daerah. Komunikasi tanpa memperdulikan persoalan-persoalan yang mendasar dalam masyarakat tidak akan memberikan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh, terjadinya konflik di berbagai daerah memerlukan perhatian oleh kepala daerah, persoalan konflik yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi, kemiskinan hendaknya dapat dicarikan jalan keluarnya. Persoalan konflik yang terjadi sangatlah kompleks karena tidak hanya menyangkut persoalan politik semata, tetapi juga persoalan ekonomi, sosial, dan budaya. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin daerah dapat membantu atau memberikan kontribusi untuk mempercepat penyelesaian masalah-masalah di daerah.



Daftar Pustaka
Alfian. 1993. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Aly, Bachtiar. 2010. “Komunikasi Politik sebagai Penjuru Penyelesaian  Konflik dan Mengoptimalkan Sinergitas Hubungan Pusat dan Daerah”. Makalah. Seminar Nasional di UMB Jakaarta. 15 Mei 2010.

Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik:Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi  dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Buber, Martin. 1970. I and Thou. New York: Charles Scribner’s Sons.

Dahlan, M. Alwi. 1999. “Teknologi Informasi dan Demokrasi”. Jurnal ISKI nNo. 4 Oktober.

DeVito, Joseph. 1996. Human Communication. Herpercollins Publisher Inc.
Fagen, R.R. 1966. Politics and Communication. Boston: Litlle Brown and  Company.

Littlejohn, Stephen W dan Karen A.Foss. 2008. Theories of Human  Communication, 9th Edition. Belmont: Thomson Wadsworth.

Mulyana, Deddy. “Merancang Peran Baru Humas dalam Pengembangan  Otonomi Daerah” dalam Jurnal Komunikasi Mediator Volume 2 Nomor 1 Tahun 2001.

Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Psikologi Komunikasi.Bandung: Remaja

Rosdakarya.  Suryadi, Samsu. 1993.”Elit Politik dalam Komunikasi Politik di Indonesia”  dalam Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia.

0 comments: