BAGIAN I
A. Pengertian Sosiologi Politik
Sebelum membahas perkembangan,
pendekatan dan peranan sosiologi politik, terlebih dahulu perlu memahami
pengertian dan hakikat sosiologi politik. Hal ini penting, agar dalam
mempelajari materi selanjutnya memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa itu
sosiologi politik, apa cakupannya dan di mana posisinya antara sosiologi dan
ilmu politik? Apakah sebagai cabang dari sosiologi, atau merupakan pokok
bahasan tersendiri terpisah dari kedua disiplin ilmu tersebut?
Sosiologi politik berasal dari
dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai suatu
disiplin ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Istilah "sosiologi"
pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri
disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosophie
Positive, jilid IV (Duverger, 1989, hal 1). Secara sederhana
"sosiologi" berarti studi tentang masyarakat dipandang dari suatu
segi tertentu. Comte dan 'Spencer (1820-1903) yang juga seorang pendiri lainnya
(Rush & Althoff, 1990: 1), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari
analisis sosiologis. Sementara, berbagai lembaga lainnya, seperti.. keluarga,
dan lembaga-lembaga politik, ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara
lembaga-lembaga tersebut merupakan sub-unit dari analisk
Para sosiolog modern
mendefinisikan sosiologi sebagai "ilmu pengetahuan yang membahas
kelompok-kelompok sosial" (Jhonson, 1961: 2) dan "studi mengenai
interaksi-interaksi manusia dan interrelasinya" (Ginsburg, 1934: 7). Dari
sudut pandang ini, sosiologi memberikan pusat perhatian pada tingkah laku
individual dan tingkah laku kolektifnya secara terpisah dari masyarakat, karena
hal ini bukan merupakan bidang kajian psikiarti dan psikologi, melainkan
tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Dari uraian di atas, dapat kita
ikhtisarkan beberapa pengertian sosiologi sebagai berikut:
1. sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang masyarakat;
2. sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat;
3. sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
tingkah laku manusia, baik individu maupun kelompok dan relasinya dengan
masyarakat, atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Setelah dipahami apa itu sosiologi,
selanjutnya perlu dipahami apa itu "politik". Banyak batasan mengenai
apa itu "politik". Beragamnya batasan ini sangat tergantung dari
sudut pandang para pembuat batasan itu masing-masing. Para pembuat batasan
hanya meneropong satu aspek atau unsur saja dari politik. Unsur itu
diperiakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong
unsur-unsur lainnya. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan kita untuk memahami
apa itu politik. Namun demikian untuk memberikan gambaran mengenai apa itu
politik, berikut akan diuraikan konsep-konsep pokok yang mendasari perumusan
atasan mengenai politik.
Miriam Budiarjo (7) mengemukakan
bahwa konsep-konsep pokok mengenai politik adalah "negara (state), kekuasaan
(power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policys
beleid) dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)".
Secara terurai, Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa politik adalah
"bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut
proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan". Dalam
melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (pubilc policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu perlu dimiliki kekuasaaan (power)
dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik, untuk membina
kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.
Penjelasan yang lebih kurang
sama, dikemukakan oleh Rush dan Althoff mengenai esensi dari politik.
Menurutnya batasan mengenai politik bermacam-macam. Politik bisa diartikan
sebagai proses penyelesaian dari konflik-konflik manusia: atau proses dimana
masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan
tertentu: atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai
tertentu', atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.
Namun demikian, menurut Rush dan
Althoff, meskipun politik itu memiliki batasan yang bermacam-macam, akan sangat
membantu apabila menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi politik.
Batasan ini juga disepakati oleh Duverger (1989) dan beberapa pakar lainnya.
Dengan demikian tampaknya kita menyepakati bahwa politik dibatasi sebagai
"masalah kekuasaan", dan tentunya kita pun sepakat pula membatasi
ilmu politik sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
Dua pengertian, yaitu
"sosiologi" dan "politik" atau "ilmu politik"
telah dipahami dengan baik. Selanjutnya perlu dipahami apa itu "sosiologi
politik", bagaimana konsepsi dasarnya? Apakah pengertiannya merupakan
gabungan dari pengertian sosiologi dan pengertian politik atau memiliki
pengertian tersendiri. Uraian berikut akan memberikan pemahaman?
Mengacu pada pemikiran Duverger
(1989), ada dua arti mengenai "sosiologi politik". Pengertian
pertama, menganggap sosiologi politik sebagai "ilmu tentang negara",
dan yang kedua, menganggap sosiologi politik sebagai "ilmu tentang
kekuasaan".
B.
Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu Negara dan sebagai llmu Tentang Kekuasaan
Konsep ini mempergunakan kata
politik dalam konotasi yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan
"negara". Kata negara di sini dimaksudkan untuk mengartikan kategori
khusus dari kelompokkelompok manusia atau masyarakat. Pertama negara bangsa
(nation state) dan kedua negara pemerintah (government state). Negara bangsa
menunjukkan masyarakat nasional, yaitu komunitas yang muncul pada akhir zaman
pertengahan dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh
berintegrasi. Negara pemerintah menunjukkan pada penguasa dan pemimpin dari
masyarakat nasional ini.
Mendefinisikan sosiologi politik
sebagai ilmu negara berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial
yang didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari.
Sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda dari sosiologi keluarga,
sosiologi kota, sosiologi agama, sosiologi etnik atau kelompok minoritas.
Konsep yang diuraikan di atas
merupakan konsep tua dari sosiologi politik. Konsep lain yang lebih modern
menganggap bahwa dari sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan,
pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua, masyarakat manusia bukan saja
di dalam masyarakat nasional. Konsepsi ini berasal dari Leon Duguits, ahli
hukum Perancis, yang dinamakan perbedaaan anatara yang memerintah (goverments)
dan yang diperintah (gouvemes) (Duverger, 1989: 19). Dia percaya bahwa dalam
setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang
sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka
yang diperintah, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang menaatinya,
mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut.
Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada dalam setiap
masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
Pandangan ini menempatkan
sosiologi politik di dalam klasifikasi yang lain dari pengertian yang pertama,
yaitu suatu yang didasarkan bukan pada hakikat masyarakat yang dipelajari,
tetapi pada jenis fenomena yang ada dalam setiap masyarakat. Dengan demikian,
sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda tetapi sejajar dengan sosiologi
ekonomi, sosiologi kesenian, sosiologi agama dan lain sebagainya. Dari sudut
pandang ini sosiologi politik diartikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan
dalam masyarakat".
Yang menjadi pertanyaan kemudian
adalah kekuasaan dalam masyarakat yang bagaimana yang menjadi cakupan sosiologi
politik. Apa dalam setiap lapisan masyarakat atau dalam lingkup masyarakat
tertentu? Menjawab pertanyaan ini Duverger memberikan dua penjelasan.
Penjelasan pertama dilihat dari ukuran dan kompleksitas kelompok-kelompok
sosial dan kedua dilihat dari hakikat ikatan-ikatan organ isatorisnya.
Menurut Duverger (1989) dilihat
dari ukuran (size) dan kompleksitasnya ada dua kelompok masyarakat, yaitu
kelompok elementer atau kelompok kecil dan kelompok kompleks. Kekuasaan dalam
kelompok yang lebih besar inilah yang ada sangkut-pautnya dengan sosiologi
politik, sedangkan pada kelompok-kelompok yang kecil menjadi wilayah kajian
psikologi sosial. Namun demikian, pembedaan secara demikian dianggap kurang
akurat. Karena teramat sulit membedakan antara kelompok-kelompok elementer dan
kelompok-kelompok
kompleks. Karena pada
kelompok-kelompok elementer pun terdapat kompleksitas tersendiri. Dalam
kelompok sekecil apa pun menurut Duverger menunjukkan adanya proses
diferensiasi yang menghasilkan klik, koalisi-koalisi, dan groups yang
melibatkan peranan atau menggunakan kekuasaan. Berdasarkan ukuran (size) ini,
maka kajian sosiologi politik mencakup "makropolitik" yang berada
dalam komunitas-kominitas yang besar dan "mikropolitik" yang berada
pada kelompok-kelompok kecil.
Sementara itu dilihat dari
ikatan-ikatan organisatorisnya, masyarakat dapat dibedakan dalam masyarakat
"swasta" dan masyarakat "universal". Masyarakat swasta
adalah "kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan khusus dan rasa
solidaritas terbatas yang masing-masing kelompok sesuai dengan kategori
tertentu dari aktivias manusia". Termasuk dalam kategori masyarakat ini,
misalnya serikat buruh, organisasi olahraga, organisasi kesenian, perusahaan
komersial, organisasi-organisasi profesi dan organisasi-organisasi sosial
lainnya. Masyarakat universal adalah masyarakat yang meliputi dan melebihi
semua masyarakat-masyarakat swasta ini. Masyarakat universal adalah
"masyarakat yang memiliki kategori umum tertentu, tidak hanya didasarkan
pada kegiatan atau aktivitas tertentu saja". Tetapi juga, rasa solidaritas
lebih besar, lebih dalam, lebih mesra daripada masyarakat-masyarakat swasta.
Bagi sebagian penulis, kekuasaan
dalam masyarakat universal merupakan objek analisa sosiologi politik bukan
kekuasaan di dalam masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di
dalam masyarakat swasta, otoritas atau kekuasaan dianggap hanya memiliki
hakikat teknis tidak mempersoalkan masalah ketergantungan individuindividu
dalam hubungan dengan yang lain suatu hal yang justru merupakan dasar dari
kekuasaan.
Secara sekilas pembedaan ini
tampak sesuai dengan arti populer dari "politik". Misalnya, jika kita
membicarakan pemimpin-pemimpin politik dan pemerintah berarti membicarakan
otoritas dalam masyarakat universal. Namun, jika dikaji secara mendalam
perbedaan antara masyarakat universal dan masyarakat swasta tidak bisa menjadi
dasar bagi definisi sosiologi politik. Pertama, pembedaan tersebut samarsamar
sifatnya. Misalnya, apakah keluarga
merupakan masyarakat universal
atau masyarakat swasta? Demikian juga apakah masyarakat agama merupakan
masyarakat universal atau masyarakat swasta? Bagi kepala keluarga, keluarga
dipandang sebagai masyarakat universal. Begitu juga bagi pemimpin agama,
masyarakat agama merupakan masyarakat universal. Namun, bagi yang lain tentu
belum tentu dipandang demikian. Kedua, ada dua paham mengenai masyarakat universal.
Paham pertama, didefinisikan oleh perasaan memiliki (sense of belonging) rasa
kekariban (sense of fellowship) yang mempengaruhi totalitas kegiatan anusia.
Paham kedua adalah konsep lebih bersifat formal dan yuridis, yakni menganggap
masyarakat universal pada masa kini sebagai nation state (negara bangsa).
Sementara pada zaman lain, bisa kota, suku, dan lainnya. Jika paham kedua yang
dipakai, maka akibatnya akan terjebak pada teori yang menyamakan sosiologi
politik dengan negara.
Masyarakat mana yang menjadi
kajian sosiologi politik? Apakah masyarakat universal? Menurut Duverger, hal
tersebut sulit diterima, jika sosiologi politik didefinisikan sebagai
"ilmu tentang kekuasaan di dalam masyarakat universal" tidak lebih
baik daripada didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam
negara". Karena seringkali kedua ungkapan tersebut dianggap sinonim oleh
yang mempergunakannya.
Agar dapat keluar dari kesulitan
itu, Duverger menyarankan lebih baik melihatnya dari segi
"hubungan-hubungan otoritas" (authority relationship) yang
berjenis-jenis di dalam semua masyarakat baik itu kecil atau besar, sederhana
atau kompleks, swasta atau universal. Hubungan otoritas yang dimaksudkan adalah
setiap hubungan yang tidak sama di mana seseorang atau beberapa individu menguasai
yang lain dan mengarahkannya menurut kehendaknya sendiri. Pada umumnya hubungan
manusia memang demikian. Dalam kenyataannya, sangat sedikit yang benar-benar
egalitarian (sama sederajat).
Persoalannya sekarang adalah
hubungan otoritas yang bagaimana yang melibatkan "kekuasaan" dalam
arti yang tepat. Untuk menjelaskan masalah ini, Duverger membedakan
hubungan-hubungan yang bersifat luas yakni hubungan yang bersifat
"institusional" dan hubungan dalam arti sempit yang bersifat "personal".
Kekuasaan dari sudut pandang ini adalah terdiri atas seluruh
kerangka institusi sosial yang
berhubungan dengan otoritas yang berarti adanya dominasi beberapa orang
terhadap yang lainnya. la bukan hubungan-hubungan yang sederhana yang tidak
sama dan tidak memiliki sifat institusional dan tidak berasal dari institusi.
Ada dua kriteria untuk membedakan
institusi dengan hubungan yang bersifat sempit. Pertama, yang bersifat fisikal
dan kedua sikap kolektif dan keyakinan. Secara fisikal hubungan yang bersifat
sempit adalah hubungan manusia yang tidak terikat kepada model-model yang sudah
ada terdahulu, iasanya berlangsung tidak permanen, sporadis, sekejap, dan tidak
stabil. Sedangkan, institusi adalah model hubungan yang berlaku sebagai pola
hubungan yang kongkrit, bersifat stabil, berlangsung lama dan kohesif.
Model-model institusional relatif sama dengan pengertian "struktur"
dalam sosiologi modern. Struktur adalah sistem hubungan-hubungan yang tidak
akan terlepas dari hubungan itu sendiri dan keasliannya ditentukan oleh hubungannya
dengan model struktural. Dalam arti ini, maka parlemen, menterimenteri kabinet,
kepala-kepala negara dan pemilihan umum adalah institusi.
Atas dasar keyakinan manusia
kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan oleh mereka yang menaatinya dan mereka
yang menggunakannya. Bagi mereka, hal tersebut bukan hanya fenomena fisik
sebuah dominasi, melainkan juga fenomena psikologis. Dalam hal ini, masalah
"legitimasi" (keabsahan) menjadi penting. Kekuasaan selalu dianggap
sebagai sesuatu yang "legitimate" (sah untuk diterima) sampai tingkat
tertentu. Oleh karena kita menerima kekuasaan tersebut, maka sangatiah wajar
bila kita menaatinya. Kekuasaan ditaati, karena kita pikir kita harus berbuat
demikian, karena kita percaya bahwa kekuasaan "sah" adanya untuk
ditaati. Jadi, keabsahan ini yang membedakan kekuasaan dari sekedar hubungan
otoritas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah "ilmu tentang kekuasaan dalam
setiap kelompok manusia atau masyarakat". Secara lebih tegas, Duverger menganggap
sosiologi politik sama dengan ilmu politik hampir tidak ada bedanya. Hal ini
didasarkan pemahaman bahwa sosiologi sama dengan ilmu-ilmu sosial. Jika ilmu
politik adalah salah satu bidang dari ilmu-ilmu sosial, maka sosiologi politik
dianggap seagai salah satu cabang dari sosiologi. Oleh karena itu, menurut
Duverger yang juga
mendapat pengakuan di Perancis,
sosiologi politik sama dengan ilmu politik yakni sama-sama mengkaji kekuasaan
dalam masyarakat sebagai objek studi.
Pemikiran Duverger yang sangat
sosiologis tersebut, tentu ditolak oleh para ahli politik. Rush dan Althoff,
misalnya keduanya tidak sependapat dengan pemikiran bahwa sosiologi politik
adalah cabang dari sosiologi dan dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya
mengakui bahwa ada studi-studi politik yang dilakukan oleh para sosiolog,
seperti Marx Webwer, Mosca, dan Pareto dengan menggunakan pendekatan
sosiologis. Menurut Rush dan Althoff, sosiologi politik merupakan bidang subjek
yang mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat, antara
struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku
sosial dan tingkah laku politik. Menurutnya sosiologi politik merupakan
jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik,
atau yang oleh Sartori disebut hybrid inter-dicipliner.
Bila disimak lebih mendalam, maka
posisi sosiologi politik sebagaimana diungkapkan oleh Duverger di atas,
tampaknya lebih tepat jika diterapkan pada program sudi Ilmu Sosiologi.
Sementara pemikiran Rush dan Althoff sangat tepat diterapkan pada program studi
ilmu politik. Untu kepentingan pembelajaran pada program studi PPKn, maka
pendapat Rush dan Althoff, secara substantial tampaknya lebih cocok menjadi
acuan mata kuliah ini. Artinya, hakikat sosiologi politik dalam mata kuliah ini
dipandang sebagai "suatu kajian yang menyajikan konsep-konsep sosiologi
dan konsep-konsep ilmu politik serta mengkaji masalah-masalah politik yang
ditinjau secara sosiologis".
C.
Skema Konseptual
Sosiologi politik didefinisikan
sebagai subjek area (bidang subjek) beberapa orang lain menamakan mata rantai
antar politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan
struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku
politik dengan melihat sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan
jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori
disebut hybird inter-dicipliner.
Skema
konsepsi tersebut dilandaskan pada empat konsep, yaitu; sosialisasi politik,
partisipasi, penerimaan atau perekrutan politik dan komunikasi politik. Semua
konsep itu sifatnya interdependent, bergantung satu
Sama lain dan saling berpautan.
Karenanya kita mendefinisikannya sebagai berikut:
1. Sosialisasi politik adalah
proses, oleh pengaruh mana seseorang individu bisa mengenali sistem politik
yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta
reaksinya terhadap gejaiagejala politik. Sosialisasi politik mencakup
pemeriksaan mengenai lingkugan kultural, lingkungan politik dan lingkungan sosial
dari masyarakat individu yang bersangkutan. Juga mempelajari sikap-sikap
politik serta penilaiannya terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu
merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial dengan
sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem
lainnya.
2. Partisipasi politik ialah
keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem
politik. Aktiviatas politik itu bisa bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai
dengan aktivitas jabatannya. Oleh karena itu, partisipasi politik itu
berbeda-beda pada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, juga bisa
bervariasi di dalam masyarakat- masyarakat khusus, maka pentinglah bagi kita
untuk mempelajari konsep-konsep mengenai apa itu politik dan alienasi serta
peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan keterlibatan mereka yang terbatas.
3. Perekrutan politik adalah proses
dengan mana individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki
suatu jabatan. Perekrutan ini merupakan proses dua arah dan sifatnya bisa
formal maupun tidak formal. Merupakan proses dua arah karena
individuindividunya mungkin mampu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati
oleh orang lain dan kemudian bida menjabat posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi politik ialah proses
dimana informasi plitik yang relevan diteruskan dari sauatu bagian sistem
politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan
sistem-sistem politik. Kejadian tersebut merupakan proses yang
berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di antara
individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat.
BAGIAN 2
BUDAYA POLITIK
Istilah budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak
dari "buddhi" yang berarti budi atau akal. Budaya atau
kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan dengan budi atau
akal". Dalam bahasa asing kita sering menjumpai istilah culture yang
artinya sama dengan budaya atau kebudayaan. Culture berasal dari bahasa
Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah
tanah atau bertani. Berasal dari arti tersebut, colore kemudian culture,
diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah
alam.
Menurut E.B. Taylor (1971)
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan kata lain, kebudayaan mencakup segala sesuatu yang didapatkan atua
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan batasan ini,
berarti kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola
perilaku yang normative atau mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir,
merasakan (bersikap) dan bertindak.
Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi memberi batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan
atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh
manusia untuk mengolah alam, agar hasilnya dapat dimanfaatkan untuk
kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia,
mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk
mengatur dan menjadi peodman kehidupan masyarakat dalam arti lugs. Sedangkan
cipta adalah kemampuan mental, kemampuan berpikir manusia sebagai anggota
masyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang dimaksud balk yang berwujud teori murni maupun yang bersfiat
terapan. Rasa dan cipta menghasilkan kebudayaan rohaniyah (immaterial
culture). Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang
menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau
seluruh masyarakat.
Menganalisa lebih lanjut
pemikiran di atas, Soerjono Soekamto menyatakan bahwa sesungguhnya manusia
sebagai individu mempunyai segi material dan spiritual dalam kehdupannya. Segi
material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan
benda-benda atua lainnya yang berwujud benda. Segi spiritual manusia mengandung
cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah
kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, serta rasa yang menghasilkan
keindahan dan kesenian. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui
logika, menyerasikan perilaku dengan kaidah-kaidah melalui etika, dan
mendapatkan keindahan melalui estetika. Semua ini merupakan kebudayaan.
Kebudayaan dimiliki oleh setiap
masyarakat manusia di dunia. Perbedaannya terletak pada tingkatan kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu masing-masing. Ada yang memiliki tingkat
kebudayaan yang masih rendah dan ada masyarakat yang sudah memiliki kebudayaan
yang lebih maju.
Dilihat dari sudut struktur dan
tingkatan, di dalam masyarakat yang besar atau bangsa dikenal adanya
superculture yang berlaku bagi masyarakat. Suatu superculture biasanya dapat
dijabarkan ke dalam cultures yang didasarkan pada kekhasan daerah, golongan
etnik, profesi dan lain sebagainya. Dalam suatu culture mungkin berkembang lagi
kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan
"induk", yang lazim disebut subculture. Namun bila kebudayaan khusus
itu bertentangan dengan kebudayanaan induk, maka kebudayaan khusus tersebut
disebut counter-culture.
Counter-culture tidak harus
selalu diberi arti negatif. Karena, paling tidak adanya gejala tersebut
memberikan petunjuk, bahwa kebudayaan induk kurang dapAt menyerasikan diri
dengan perkembangan kebutuhan. Untuk itu maka perlu
ada upaya dari pihak penguasa
untuk menyesuaikan atau menyerasikan kebudayaan induk dengan
kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Dari sinilah reformasi
kebudayaan berlangsung.
Demikianlah uraian di atas telah
memberikan pengertian kepada kita mengenai budaya atau kebudayaan, yang pokok
pengertiannya diambil dari antropologi. Uraian tersebut memberikan kesimpulan
bahwa secara garis besar kebudayaan meliputi pola pikir, pola sikap dan pola
tindak manusia sebagai anggota masyarakat, atau meliputi karya, karsa, cipta
dan rasa manusia beserta hasil-hasilnya, baik yang bersfiat material maupun
immaterial.
Setelah anda memahami pengertian
pokok mengenai budaya atau kebudayaan, selanjutnya Anda perlu memahami konsep
budaya politik. Apa sesungguhnya budaya politik itu?
Menurut Yahya Muhaimin (1991),
konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan
perasaan) manusia yang merupakan dasar semua tindakan. Budaya politik antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda-beda. Karena itu arch
perjalanan masyarakat menuju modernitas atau kesempurnaan hidupnya berbeda-beda
pula tergantung derajat budaya politik masing-masing. Dalam suatu derajat yang
tinggi, budaya politik membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas
tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial
politik.
Secara konseptual, Almond dan
Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang
khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap
terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Batasan ini memperlihatkan
kepada kita akan adanya unsur individu, yakni warga negara dan sistem politik
serta keterkaitannya. Dalam hal ini budaya politik terlihat dari bagaimana
sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya pula
terhadap individu di dalam sistem politik. Batasan ini juga menekankan
serangkaian orientasi sikap individu terhadap seperangkat objek dan proses
sosial yang bersifat khusus, dalam hal ini adalah sistem dan proses politik.
Karena itu menurut Almond dan Verba pembicaraan mengenai budaya atau kebudaya
politik persis sama dengan kebudayaan ekonomi dan kebudayaan religius
(keagamaan). Perbedaannya terletak pada objeknya, objek kebudayaan politik
adalah sistem dan proses politik, objek kebudayaan ekonomi adalah sistem dan
proses ekonomi, sedangkan objek kebudayaan religius adalah sistem dan proses
religi.
Menyimak penjelasan di atas,
tampaknya konsepsi budaya politik lebih sempit dan lebih terfokus pada pengertian
budaya secara antropologis, balk domain subjek yang hanya menekankan pada segi
pikiran, perasaan dan sikap manusia atau yang oleh Almond dan Verba disebut
orientasi, maupun objeknya yang berfokus pada sistem politik dan
bagian-bagiannya serta proses politik.
Dikatakan oleh Almond dan Verba
di dalam objek yang berfokus pada sistem politik terdapat tiga komponen yang
salinng menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif dan evaluatif.
1. Komponen kognitif: pengetahuan
dan kepercayaan pada politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang
diambil atau simbol-simbol yang dimiliki dalam sistem politiknya, peranan dan
segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Komponen afektif: perasaan
yang khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya
menerima atau menolak sistem politik itu, peranannya, para. aktor dan
penampilannya. Dalam kaftan ini telah menjadi kesepakatan para ahli bahwa
sikap-sikap yang tumbuh dalam lingkungan keluarga atau lingkungan hidup
seseorang mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perasaan individu.
3. Komponen evaluatif: keputusan
dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal (khan) melibatkan
kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan yang memang
telah dipunyai seseorang.
Di dalam realitas kehidupan
ketiga komponen ini tidak terpisahpisah secara tegas. Adanya perbedaan tingkat
pemahaman tentang perkembangan masyarakat pada setiap individu menyebabkan
ketiga komponen tersebut saling berkaitan atau seku rang-ku rang nya saling
mempengaruhi. Untuk dapat membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin,
seorang warga negara harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si
pemimpin. Dan pengetahuannya itu sudah dipengaruhi oleh perasaannya sendiri.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap sistem politik
secara keseluruhan.
Dan objek orientasi politik dapat
digolongkan dalam beberapa objek. Pertama adalah sistem politik secara umum.
Perhatian utama objek ini adalah sistem sebagai suatu keseluruhan, termasuk
berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan alieansi, kognisi dan
evaluasi terhadap bangsa apakah besar atau
kecil, kuat atau lemah, serta
evaluasi terhadap pemerintahan apakah demokratis, konstitusional, atau
sosialistis.
Kedua adalah pribadi sebagai
aktor politik yang meliputi isi dan kualitas, norms-norms kewajiban politik
seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang dalam berhadapan
dengan sistem politik. Sikap ini berkaitan dengan rasa percaya dan permusuhan
yang biasanya memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara
lainnya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari rasa percaya dan
permusuhan ini Bering diwujudkan dalam bentuk kualitas politik yang kita temui
yaitu kerja sama dan konflik. Rasa percaya mendorong seseorang atau kelompok
bekerja sama dengan orang atau kelompok orang. Sebaliknya rasa permusuhan
mengarahkan seseorang atau suaut kelompok pada konflik politik. Jadi kerja sama
dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan suatu masyarakat melainkan jugs
menjadi ciri budaya politik suatu masyarakat.
Ketiga bagian-bagian dari sistem
politik yang dibedakan atas tiga golongan objek:
1. Peranan atau struktur khusus,
seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi dan yudikatif.
2. Pemegang jabatan seperti
pimpinan monarki, legislator dan administrator.
3. Kebijaksanaan, keputusan atau
penguatan keputusan, struktur, pemegang jabatan dan struktur secara timbal
batik yang dapat diklasifikasikan dalam proses atau input politik dan proses
administratif atau output politik. Yang dimaksud proses atau input politik
adalah arus tuntutan dari masyarakat terhadap pemerintah dan proses konversi
(mengubah) tuntutan-tuntutan ini menjadi kebijakan otoritatif. Beberapa
struktur (lembaga) yang terlibat secara intens dalam proses input adalah partai
politik, kelompok kepentingan dan media komunikasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan proses administratif atau output adalah proses di mana kebijakan
otoritatif itu diterapkan atau diperkuat. Struktur-struktur yang berperan aktif
dalam proses ini adalah birokrasi dan lembaga peradilan.
Dari penjelasan di atas, secara
sederhana objek-objek politik dapat digolongkan dalam empat objek, yaitu:
1. Sistem sebagai objek umum.
2. Objek-objek input.
3. objek-objek output dan
4. Pribadi sebagai objek. Bila
dikombinasikan dengan aspek-aspek orientasi politik yang terdiri atas kognisi,
afeksi dan evaluasi maka dimensi politik dapat dibuat dalam bentuk matrik
seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dimensi Orientasi
Politik
1
sistem sebagai objek umum
|
2
objek-objek input
|
3
objek-objek output
|
4
pribadi sebagai objek
|
Kognisi
Afeksi
Evaluasi
|
yang diketahui dan
dipergunakannya dalam membuat penilaian politik, atau dalam menyampaikan
pendapatnya?
Dengan melihat komponen-komponen
individu dan sistem politik sebagaimana tertera dalam tabel, maka Almond dan
Verbs mendefinisikan budaya politik sebagai distribusi pola-pola orientasi
khusus individu terhadap objek-objek politik diantara masyarakat bangsa.
Budaya politik suatu masyarakat
berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai ynag ada dalam masyarakat itu.
Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat dipenuhi oleh interaksi
antar orientasi dan antar nilai. Interaksi yang demikian memngkinkan timbuinya
kontak-kontak di antara budaya politik bangsa. Proses ini kita kenal dengan
"sosialisasi politik yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat
mengalami, menyerap dan menghayati nilai-nilai politik yang ada di sekitarnya.
Jadi antara budaya politik dan sosialisasi politik bersifat sating
mempengaruhi. Pertumbuhan dan perkembangan budaya politik merupakan output
sosialsiasi politik dan dapat pula berfungsi sebagai input proses sosialisasi
politik.
BAGIAN 3
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Seperti dikatakan oleh Almond dan
Verba, bahwa budaya politik adalah "distribusi pola-pola orientasi khusus
individu terhadap objek-objek politik diantara masyarakat bangsa".
Berdasarkan definisi ini, maka tipe budaya politik suatu masyarakat atau bangsa
akan dapat terlihat setelah terlebih dahulu dilakukan survei terhadap
individu-individu anggota masyarakat atau bangsa itu. Dengan kata lain,
definisi ini dapat digunakan untuk mengukur dan menilai budaya politik suatu
masyarakat atau bangsa menurut tipe-tipe budaya politik tertentu.
Jadi budaya politik dalam suatu
masyarakat atau bangsa dapat diketahui melalui tipe-tipe budaya politik yang
ada. Dengan kata lain, melalui pengukuran terhadap sejumah sampel atau
responder dari masyarakat atau bangsa itu, tipe-tipe budaya politik itu
terlihat dari karakteristiknya, yaitu frekuensi (tingkat kognisi atau afeksi
atau evaluasi terhadap objek-objek politik dari sejumlah sampel atau anggota
masyarakat) pada tipe-tipe sel sesuai dengan aspek dan objek politik dalam
matrik pada kegiatan belajar yang pertama.
Apa saja tipe-tipe budaya politik
yang dimaksud dan bagaimana pula karakteristiknya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini. Dari tabel terlihat bahwa berdasarkan frekuensi atau tingkat
orientasi politik anggota masyarakat, dalam hal ini tingkat kognisi, afeksi dan
evaluasinya terhadap objek-objek politik, terdapat tiga tipe budaya politik,
yaitu parokial, subjek dan partisipan.
Tabel Tipe-Tipe Budaya Politik
1
sistem sebagai objek umum
|
2
objek-objek input
|
3
objek-objek output
|
4
pribadi sebagai objek
|
||||
Kognisi
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|||
Afeksi
|
1
|
0
|
1
|
0
|
|||
Evaluasi
|
1
|
1
|
1
|
1
|
|||
komunitas
lokal yang otonom (kerajaan sentralistis) di Afrika atau di benua lain di
dunia.
Beberapa ciri yang menonjol dari
budaya politik parokial diantaranya sebagai berikut:
1. Tidak adanya peran-peran politik
yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung atau dukun merupakan pemencar
peran-peran yang bersifat politik, ekonomi dan keagamaan. Orientasi
anggota-anggota masyarakat terhadap peran-peran ini juga tidak terpisah dari
orientasi religius dan sosial mereka.
2. Orientasi parokial juga
memperlihatkan ketiadaan harapan terhadap perubahan-perubahan yang berarti yang
diinisiatifkan oleh sistem politik. Kaum parokial tidak mengharapkan spa pun
dari sistem politik.
Secara relatif parokialisme
(budaya politik parokial) yang murni terdapat pada masyarakat yang memiliki
sistem tradisional yang lebih sederhana dengan tingkat spesialisasi politik yang
sangat minim. Namun demikian pada masyarakat yang lebih besar juga masih tetap
memiliki budaya politik parokial. Parokialisme dalam sistem politik yang
deferensiatif (masyarakat yang besar) lebih bersifat afektif dan normative
daripada kognitif. Contohnya adalah suku-suku bangsa di Nigeria dan Ghana. Bisa
saja mereka mengetahui akan suramnya rezim politik central, tetapi perasaannya
terhadap hal tersebut bersifat negatif dan mereka tdiak membakukan berbagai
norms untuk mengatur hubungan dengan hal-hal tersebut.
B. Budaya Politik Subjek
Dalam budaya politik subjek
terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang
diferensiatif dan objek-objek output dari sistem itu, tetapi frekuensi
orientasi terhadap objek-objek input dan pribadi sebagai partisipan yang aktif
(aktor politik) mendekati nol.
Beberapa ciri yang menonjol dari
budaya politik subjek diantaranya adalah:
1. Para subjek (anggota masyarakat
yang memiliki budaya subjek) menyadari adanya otoritas pemerintah (sistem
politik), mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut, mereka
juga mungkin merasa bangga terhadap sistem itu atau sebaliknya tidak
menyukainya, dan mereka menilainya absah atau sebaliknya.
2. Hubungan pars subjek dengan
sistem secara umum dan terhadap output, administrative atau "downward
flovV'nya (alur pelaksanaan kebijakan dari sistem politik itu secara esensial
merupakan hubungan yang pasif, walaupun mereka memiliki bentuk kompetensi
(kemampuan) secara terbatas.
Orientasi subjek yang murni
terdapat pada masyarakat yang tidak memiliki struktur input yang
dideferensiasikan. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah
mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normative
daripada kognitif. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan
Perancis. Mereka sangat menyadari akan adanya institusi demokrasi, tetapi
secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan pada mereka.
C.
Budaya Politik Partisipan
Tipe budaya politik partisipan
adalah satu bentuk budaya yang anggota-anggota masyarakatnya cenderung memiliki
orientasi yang nyata terhadap sistem secara keseluruhan, struktur dan proses
politik serta administratif (objek-objek input dan output). Demikian pula
anggota-anggota pemerintah yang partisipatif secara menyenangkan atau
sebaliknya diarahkan kepada berbagai objek politik yang serba ragam. Mereka
cenderung diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, meskipun
perasaan dan penilaian mereka terhadap peranan yang demikian bisa menerima atau
justru menolaknya. Dengan kata lain, tipe budaya politik ini ditandai oleh
anggota masyarakat atau warga negara yang memiliki pengetahuan dan kesadaran
politik, perhatian dan kepedulian terhadap keseluruhan objek-objek politik yang
sangat tinggi. Meskipun mereka sendiri bisa saja bersikap positif atau negatif
terhadap objek-objek politik tersebut. Contoh masyarakat atau bangsa yang
memiliki tipe budaya politik partisipan, menurut studi Almond dan Verba adalah
Inggris dan Amerika Serikat.
Tipe budaya politik partisipan
secara umum tidak akan menanggalkan tipe-tipe terdahulu yaitu parokial dan
subjek, karena ketidaksamaan kondisi di masing-masing masyarakat atau negara.
Ketidaksempurnaan proses-proses sosialisasi politik, pembatasan dalam pendidikan
atau kesempatan untuk
belajar yang menyebabkan tipe
budaya politik parokial dan subjek akan terns ada. Bahkan di negara demokrasi
yang sudah terhitung mapan dan stabil. Begitu pula dengan kebudayaan parokial
akan tetap bertahan walaupun dalam kebudayaan subyek yang tinggi.
Bila dianalisa lebih jauh,
budaya-budaya politik itu dapat disejajarkan dengan struktur-struktur sistem
politik atau sebaliknya. Keharmonisan akan tercipta bilamana struktur politik
yang ada di suatu negara sesuai dengan kebudayaan politiknya. Pada umumnya
budaya parokial, subjek dan partisipan hampir sama dan sebangun dengan struktur
politik tradisional, struktur otorian yang sentralistis dan struktur politik
demokratis. Secara visual kesejajaran itu dapat diskemakan seperti berikut:
Budaya Paroksial ――― Struktur
Politik Tradisional
Budaya Subjek ――― Struktur
Politik Otoritarian Sentralistis
Budaya Partisipan ――― Struktur
Politik Demokratis
Dari skema di atas, tampak bahwa
budaya politik parokial sejajar dengan struktur politik tradisional. Struktur
politik tradisional ini banyak terdapat, misalnya pada struktur komunitas di
desa atau suku yang terpencil. Bila ditafsirkan sebaliknya, maka dapat
diartikan bahwa struktur politik tradisional sangat cocok diterapkan pada
masyarakat yang memiliki budaya politik parokial. Struktur politik yang
otoritarian sentralistis hanya cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa
yang memiliki budaya politik subjek. Dan struktur politik yang demokratis
sangat cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang telah memasuki taraf
budaya politik partisipan. Jika struktur politik diterapkan pada masyarakat
atau bangsa yang tidak sesuai budaya politiknya, maka bisa jadi akan timbul
ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan itu bisa dalam bentuk tidak berjalannya
atau tidak berfungsinya sistem politik atau bahkan timbul kekacauan politik
pada masyarakat atau bangsa itu.
Ketiga macam tipe budaya politik
seperti yang tercantum dalam tabel di atas merupakan tipe-tipe budaya politik
yang bersifat murni. Kombinasi antara tipe-tipe budaya politik tersebut di atas
dapat membentuk tipe-tipe budaya politik campuran. Secara konseptual ada tiga
bentuk budaya politik campuran, yaitu: budaya subjek parokial, budaya subjek
partisipan, dan budaya parokial – partisipan.
1. Budaya Subjek – Parokial Ini
adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak
tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas
feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.
Bentuk budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya
parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang
sentralistis). Sejumlah bangsa di belahan dunia mengalami peristiwa ini.
Bentuk-bentuk klasik kerajaan merupakan contoh budaya ini, seperti
kerajaan-kerajaan di Afrika, Rusia (Jerman) dan The Ottoman Empire (Kekaisaran
Turki).
2. Budaya Subjek – Partisipan Budaya
politik campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek
(pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya partisipan (demokratis).
Cara-cars yang berlangsung dalam proses peralihan dari budaya parokial dan
lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Gejala ini terjadi
pada politik Inggris. Kekuasaan-kekuasaan lokal, lembaga atau unit pemerintah
kota praja, komunitas religius, dan kelompok-kelompok pedagang mendukung proses
perkembangan demokrasi di Inggris. Dalam budaya subjek – partisipan yang
bersifat campuran itu sebagian besar penduduk telah memperoleh
orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi
pribadi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk lainnya terns
diorientasikan ke arah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara
relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif. Secara mudah dapat dikatakan,
pada masyarakat ini ada kelompok yang berorientasi pada pemerintahan
otoritarian. Pada masyarakat yang berorientasi partisipan (demokrat) tidak
dapat menjadi pranata sosial yang mandiri dan berwibawa, karena dihadang oleh
kemampuan budaya subjek (otoritarian). Lagi pula dalam budaya subjek partisipan
terdapat ketidakstabilan pemerintahan yaitu tumpulnya infrastruktur demokratis
dan sistem pemerintahan yang cenderung menghasilkan keterasingan diantara
penduduk yang berorientasi demokratik. Jika budaya campuran ini berlangsung
lama, akan mengubah karakter sub budaya subjek, karena terjadi persaingan
antara kelompok-kelompok yang berorientasi otoritarian. Walaupun tidak mengubah
seluruhnya sub budaya subjek menuju budaya demokratis, namun akan melahirkan
perubahan sehingga membentuk pemerintahan yang berlainan dari sebelumnya.
Contoh negara yang memiliki tipe budaya ini adalah Perancis, Jerman dan Italia
pada abad ke-19 dan saat ini.
3. Budaya Parokial — Partisipan Tipe budaya ini
banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan
pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada umumnya budaya politik yang
dominan adalah budaya parokial. Norma-norms struktural yang diperkenalkan
biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya
partisipan. Persoalan yang muncul adalah seringkali terjadi ketimpangan antara
struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alamiah yang masih
bersifat parokial. Oleh karena itu, satu hal yang harus ditanggulangi adalah
upaya mengembangkan input dan output secara perlahan-lahan. Sehingga tidak
mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil yang suatu ketika ke
arah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi. Birokrasi tidak bisa
menjembatani masyarakat, sedangkan infrastruktur tidak mengakar dengan kuat di
masyarakat.
BAGIAN
4
PARTISIPASI
POLITIK
Partisipasi
politik adalah bagian penting dalam kehidupan suatu negara. Terutama bagi
negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik
merupakan salah satu indikator penting. Artinya suatu negara barn bisa disebut
sebagai negara demokrasi, jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat
partispasi politik yang cukup tinggi. Jika tidak, maka kadar kedemorkatisan
negara tersebut masih diragukan.
Masalah
partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan
negara, melainkan lebih berkaitan dengan sifat dan karakter masyarakat suatu
negara dan pengaruh yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, partisipasi politik
menjadi kajian penting dalam sosiologi politik, di samping juga menjadi kajian
ilmu politik. Dan dalam modul ini, partisipasi politik menjadi topik inti yang
harus Anda pelajari dengan sungguh-sungguh.
Dalam
uraian materi ini, Anda akan mempelajari beberapa hal penting dari partisipasi
politik, yaitu pengertian partisipasi politik, bentukbentuk partisipasi
politik, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi politik, dan
partisipasi politik dalam konteks pembangunan Indonesia.
A. Pengertian
Partisipasi
berasal dari bahasa Latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere (sipasi),
yang artinya mengambil. Bila digabungkan berarti "mengambil bagian".
Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian
atau mengambil peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil bagian atau
mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.
Huntington
dan Nelson (1995:6), mendefinisikan partisipasi politik sebagai "kegiatan
warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah". Dari pengertian tersebut Huntington dan Nelson
memberi batsan partisipasi politik pada beberapa hal:
Pertama, partisipasi politik yang
menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini
komponen-komponen subjektif seperti orientasi-orientasi politik yang meliputi
pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai
kompetisi dan keefektifan politik, dan persepsi-persepsi mengenai relevansi
politik tidak dimasukkan. Hal-hal seperti sikap dan perasaan politik hanya
dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan bentuk tindakan politik, tetapi
terpisah dari tindakan politik.
Kedua, subjek yang dimasukkan dalam
partisipasi politik itu adalah warga negara, preman (private citizen) atau
lebih tepatnya, orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa,
bukan orang-orang profesional di bidang politik seperti pejabat-pejabat
pemerintah, pejabat-pejabat partai, talon-talon politikus, lobbi profesional.
Kegiatan yang disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya
sebagai sambilan atau sebagai pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat
sekunder saja dibandingkan dengan peranan-peranan sosial lainnya.
Ketiga, kegiatan dari apa yang disebut
partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabatpejabat pemerintah
yang mempunyai wewenang politik. Sasarannya adalah untuk mengubah
keputusan-keputusan pejabat-pejabat yang sedang berkuasa, menggantikan atau
mempertahankan pejabatpejabat itu, merubah atau mempertahankan organisasi sistem
politik yang ada dan aturan-aturan main politiknya. Tujuan-tujuan itulah yang
menjadi batasan partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak.
Karena itu aktivitas seperti misalnya protes-protes, huru-hara, demonstrasi,
kekerasan, bahkan pemberontakan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemeirntah
merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.
Keempat, partisipasi politik mencakup
semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu
mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.
Kelima, partisipasi politik mencakup
partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan. Partisipasi otonom adalah
kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemernitah.
Sedangkan partisipasi yang
dimobilisasikan adalah kegiatan politik yang dilakukan karena keinginan oran
glain.
Demikian batasan partisipasi
politik yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Batasan yang lebih luas
mengenai partisipasi politik dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. la memandang
partisipasi politik sebagai kegiatan seeorang atau kelompok orang untuk ikut
secara aktif dalam kehidupan politik, misalnya dalam pemilihan pemimpin negara,
mempengaruhi kebijaksanaan negara dan berbagai kegiatan lainnya.
Batasan yang dikemukakan oleh
Miriam tersebut tidak memperlihatkan batsan yang begitu ketat. Sehingga
memungkinkan untuk memberikan cakupan partisipasi yang lebih luas daripada yang
dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Demikian pula menenai subjek yang
berpartisipasi (partisipan) tidka dibatasi hanya pada warga negara preman
(biasa). Batasan ini sesuai dengan pendapat Mochtar Mas'oed dan Collin Mac
Andrews (1994:42) serta Rush Althoff (1990, hal 124) yang memasukkan mereka
yang menduduki jabatan pemerintahan, politis dan administrasi termasuk mereka
yang memberi jabatan pemerintahan, politis dan adminstrasi termasuk mereka yang
memberi jabatan tersebut atau pars calon pejabat pemerintahan dan calon
politikus.
B. Bentuk-bentuk Partisipasi
Politik
Partisipasi
politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dilihat sebagia suatu suatu
kegiatan partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan
partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan
usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan yang
berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk
mengoreksi kebijakan pemeirntah, membayar pajak dan ikut dalam proses pemilihan
pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati
peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah (Sastroatmodjo; 1995).
Sementara itu dilihat dari kadar
dan jenis aktivitasnya, Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik dalam
beberapa kategori, yaitu:
1. Apatis (masa bodoh), yaitu
orang yang menarik diri dari aktivitas politik;
2. Spektator, yaitu orang-orang
yang paling tidak, pernah ikut dalam pemilihan umum;
3. Gladiator, yaitu orang-orang
yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator
dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja
kampanye, serta aktivis masyarakat;
4. Pengeritik, yaitu orang-orang
yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
Klasifikasi partisipasi politik
yang hampir sama dikemukakan oleh Goel dan Oslan. Mereka melihat partisipasi
politik dari segi stratifikasi sosial. Dari sudut pandang ini, partisipasi
politik dikategorikan dalam beberapa hal, yakni:
1. Pemimpin politik
2. Komunikator, yaitu orang yang
menerima dan menyampaikan ideide, sikap dan informasi politik kepada orang
lain;
3. Aktivis politik
4. Warga negara marginal, yaitu
orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik;
5. Orang-orang yang terisolasi,
yaitu orang-orang yang jarang melakukan kontak dengan sistem politik.
Merangkum berbagai bentuk
partisipasi politik, Huntington dan Nelson (1994, hal. 16-17) mengklasifikasi
partisipasi politik dalam 4 bentuk. Menurutnya dari berbagai studi mengenai
partisipasi politik menggunakan berbagai klasifikasi yang berbeda-beda. Namun
riset yang kebanyakan dilakukan sekarang membedakan jenis-jenis perilaku dalam
4 jenis, yaitu:
1. Kegiatan pemilihan yang
mencakup pemberian suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam
kegiatan pemilihan, mencaru dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan
yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
2. Lobbying yang mencakup
upaya-upaya, balk perorang maupun kelompok, untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah atua pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi
keputusan-keputusan yang akan diambil.
3. Kegiatan organisasi,
menyangkut kegiatan-kegiatan sebagai anggota atau pejabat suatu organisasi yang
tujuan utamanya mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
4. Mencari koneksi (contacting),
yaitu tindakan perorangan yang ditujukan tehadap pejabat-pejabat pemerintah dan
biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa
orang. Oleh Verba, Nie dan Kim partisipasi ini disebut 11 mencari koneksi
khusus" (particularized contacting). Bentuk-bentuk partisipasi politik
yang lebih lengkap dikemukakan oleh Rush dan Althoff. Keduanya
memvisualisasikan bentuk-bentuk partisipasi politik secara hirarkhis, seperti
terlihat di bawah ini.
Bila
dilihat dari jumlah pelaku, sosiologi politik, partisipasi politik dapat
dibedakan menjadi:
1. Partisipasi individual, yaitu
partisipasi yang dilakukan oleh orang per orang secara individual, misainya
menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.
2. Partisipasi kolektif, yakni
kegiatan politik yang dilakukan oleh sejumlah warga negara secara serentak yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa.
Partisipasi kolektif individu
dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Partisipasi kolektif yang
konvensional, seperti pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan
kampanye, dan membentuk organisasi.
b. Partisipasi politik
non-konvensional, seperti pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi,
pemogokan, tindakan kekerasan, pemberontakan dan revolusi untuk menggulingkan pemerintah
yang berkuasa. Dilihat dari motivasi yang melatarbelakangi munculnya
partisipasi politik, maka Huntington dan Nelson (1994, hal 9-13) membagi
partisipasi politik dalam dua kategori, yaitu:
Partisipasi otonom, yaitu
partisipasi politik yang didorong oleh keinginan pelakunya sendiri untuk
melakukan tindakan tersebut.
Partisipasi mobilisasi, yaitu
partisipasi politik yang digerakkan atau diinginkan oleh orang lain, bukan
karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.
C. Fungsi Partisipasi Politik
Sebagai suatu tindakan atau
aktivitas, balk secara individual maupun kelompok, partisipasi politik memiliki
beberapa fungsi. Robert Lane (Rush dan Althof, 1990: 181-182) dalam studinya
tentang keterlibatan politik, menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi
individu-individu, yakni:
1. Sebagai sarana untuk mengejar
kebutuhan ekonomis;
2. Sebagai sarana untuk memuaskan
suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial;
3. Sebagai sarana untuk mengejar
nilai-nilai khusus;
4. Sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.
Dari sisi lain, Arbit Sanit
(Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga fungsi partisipasi politik, yaitu:
1. Memberikan dukungan kepada penguasa
dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya.
2. Sebagai usaha untuk menunjukkan
kelemahan dan kekurangan pemerintah.
3. Sebagai tantangan terhadap
penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi
perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik misalnya
melalui pemogokan, huru-hara, dan kudeta.
Partisipasi politik juga
mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintah. Untuk kepentingan pemerintah,
partisipasi politik memiliki tugas:
1. Memberikan dukungan kepada
penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang
dibentuknya.
2. Sebagai usaha untuk menunjukkan
kelemahan dan kekurangan pemerintah.
3. Sebagai tantangan terhadap
penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi
perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik misalnya
melalui pemogokan, huru-hara, dan kudeta. Partisipasi politik juga mempunyai
fungsi bagi kepentingan pemerintah.
Untuk kepentingan pemerintah, partisipasi
politik memiliki tugas:
1. Untuk mendorong program-program
pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta masyarakat diwujdukan untuk
mendukung program politik dan program pemerintahan.
2. Sebagai institusi yang
menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam
mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
3. Sebagai sarana untuk memberikan
masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan
program-program pembangunan.
D.
Faktor-faktor Yang Berpengaruh
Partisipasi politik, sebagai
suatu aktivitas, tentu banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak pendapat
yang menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhbi partisipasi politik. Ada yang
menyoroti faktor-faktor dari dalam diri seseorang, ada yang menyoroti
faktor-faktor dari luar dan ada yang menggabungkannya. Berbagai pendapat
tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
Surbakti menyebutkan dua variabel
penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik
seseorang. Pertama, adalah aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi
kesadaran terhadap hak dan kewahiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak
politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan
sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam sistem politik,
kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut
bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, balk terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.
Weimar (Sastroadmodjo, 1995)
menyebutkan paling tidak ada 5 faktor yang mempengaruhi partisipasi politik.
1. Modernisasi. Modernisasi di segala bidang
berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus
urbanisasi, peningkatan tingkat pendidikan, meluasnya peran media massa dan
media komunikasi. Kemajuan itu berakibat pada meningkatnya partisipasi warga
negara, terutama di perkotaan, untuk turut serta dalam kekuasaan politik.
Mereka ini misainya kaum buruh, para, pedagang dan pars profesional.
2. Terjadinya perubahan-perubahan
struktur kelas esensial. Dalam
hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas
dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja dibarengi
tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah.
3. Pengaruh kaum intelektual dan
meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide
nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas
mempermudah.
4. Adanya konflik di antara
pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin
politik yang sating memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai
kemenangan dilakukan dengan cars mencari dukungan massa. Dalam konteks ini
seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.
5. Adanya keterlibatan pemerintah
yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas
pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisasi
untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan politik. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.
Milbrath memberikan 4 alasan
bervariasinya partisipasi politik seseorang. Alasen pertama, berkenaan dengan
penerimaan perangsang politik. Keterbukaan dan kepekaan seesorang terhadap
perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi dan melalui media
massa akan memberikan pengaruh bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan
politik. Meskipun demikian dalam menanggapi perangsang-perangsang politik itu
tentu dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, nilai-nilai, pengalaman dan
kepribadian yang dimiliki seseorang.
Alasan kedua, berkenaan
karakteristik sosial seseorang. Status sosial ekonomi, karakteristik suku,
jenis kelamin, usia keyakinan agama merupakan karakteristik sosial yang
berpengaruh terhadap partisipasi politik seseorang dalam politik. Alasan ketiga,
menyangkut sifat dan sisetm politik dan partai tempat seseorang itu berada.
Seseorang yang hidup dalam negara-negara demokratis, partai-partai politik
cenderung mencari dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa. Karena
itu massa cenderung berpartisipasi dalam politik.
Dalam konteks Indonesia, Arbi
Sanit menyebutkan 5 faktor yang mendorong partisipasi politik masyarakat
Indonesia. Pertama, adanya kebebasan berkompetisi di segala bidang, termasuk di
bidang politik. Kedua, adanya kenyataan berpolitik secara lugs dan terbuka.
Ketiga, adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri, sehingga organisasi
masyarakat dan partai politik dapat tumbuh dengan subur. Keempat, adanya
penyebaran sumber days politik dalam masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarakat.
Kelima, adanya distribusi kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta
suatu perimbangan kekuatan.
E.
Partisipasi Politik dalam Konteks Pembangunan Indonesia
Partisipasi politik dinilai
secara berbeda-beds di dalam masyarakat yang berbeda. Di mans hal itu dianggap
sebagai tujuan yang perlu dicapai. Perluasan partisipasi politik melibatkan
biaya dan konsepsi ditinjau dari segi tujuan-tujuan lain, serta biaya-biaya dan
konsepsikonsepsi itu berada di antara masyarakat-masyarakat yang berlainan pada
tingkat yang berlainan dari modernisasi atau pembangunan secara keseluruhan.
Pokok persoalan yang penting adalah bahwa peranan partisipasi politik di dalam
masyarakat merupakan satu fungsi dari prioritas-prioritas yang diberikan keapda
variabel dan tujuan- tujuan lain dan dari strategi pembangunan secara
keseluruhan.
Pembangunan yang dimaksud di sini
adalah sebagai proses modernisasi atau proses pembinaan bangsa (nation
building) di segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial, budaya,
pendidikan maupun mental. Dalam hal ini terkandung satu pengertian bahwa
pemberian prioritas pertama kepada pembangunan ekonomi seperti sekarang ini
hanyalah merupakan suatu strategi menujun ke arah itu. Sukses dalam pembangunan
ekonomi diharapkan akan melimpah ke bidang-bidang yang lain sehingga merangsang
mereka untuk berkembang pula.
Di dapat dipahami sebagai
berikut: (a) satu tujuan utama kaum elit politik, kekuatan-kekuatan sosial dan
perorangan-perorangan yang terlibat di dalam proses itu; (b) sebagai sarana kaum
elit, kelompokkelompok, dan perorangan-perorangan untuk mencapai tujuan-tujuan
lain yang mereka nilai tinggi; atau (c) sebagai hasil sampingan atau
konsekuensi tercapainya tujuan-tujuan lain, baik oleh masyarakat secara
keseluruhan oleh kaum elit, kelompok-kelompok, dan peroranganperorangan di
dalam masyarakat (Huntington dan Nelson, 1994:56)
Seperti telah kami kemukakan,
perluasan partisipasi politik jarang merupakan satu tujuan utama bagi kaum elit
politik di dalam masyarakat yang sedang berkembang. Kalaupun partisipasi
politik memang bertambah, maka tingkat perluasan itu sebagian besar
mencerminkan sejauh mans partisipasi itu merupakan sarana untuk mecnapai
tujuantujuan lain atau merupakan hasil sampingan sebagia akibat tercapainya
tujuan-tujuan lain itu.
Pemimpin-pemimpin politik akan
berusaha untuk memperluas partisipasi politik apabila mereka menggagap
perluasan itu sebagai cars untuk memperkuat atau mempertahankan kekuasaan
mereka dan untuk membina usaha-usaha mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka
anggap perlu dicapai, seperti kemerdekaan nasional atau pemerataan
sosio-ekonomi. Akan tetapi mereka yang memiliki kekuasaan politik, akan lebih
cenderung untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri dan memajukan kestabilan
politik dengan jalan membatasi partisipasi politik daripada memperluasnya.
Sebaliknya, usaha mengejar tujuan-tujuan seperti pembangunan ekonomi,
pemerataan sosio-ekonomi, dan malahan kestabilan politik dapat menimbulkan
kondisi-kondisi yang memudah kan perluasan partisipasi politik. Demikian pula,
cara-cara yang dipilih oleh kaum elit politik dan pemerintahan untuk
melaksanakan program-program pemerintah mempunyai konsekuensi-konsekuensi
penting bagi tingkat dan sifat partisipasi politik.
Pembangunan mampu memberikan
dorongan terhadap peningkatan partisipasi politik. Pada tingkat yang lugs,
memang terlihat adanya korelasi antar kedua faktor dimaksud. Huntington dan
Nelson (1994:60-61) menguraikan secara singkat bagaimana hubungan itu terjadi.
Pertama, di dalam suatu
masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi dengan status
sosio-ekonomi. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi, berpenghasilan lebih
besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih
partisipatif daripada mereka yang miskin, tak berpendidikan dan memiliki
pekerjaan berstatus rendah. Pembangunan ekonomi memperluas proporsi peranan
berstatus lebih tinggi di daiam masyarakat; meningkatnya akdar melek huruf,
berpendidikan, makmur, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kelas menengah. Oleh
sebab itu, bagian masyarakat yang partisipan di bidang politik menjadi lebih
banyak.
Kedua, pembangunan ekonomi dan
sosial melibatkan ketegangan dan tekanan antar kelompok sosial;
kelompok-kelompok yang barn bermunculan; kelompok-kelompok yang sudah mapan
mulai terancam, dan kelompok-kelompok yang lebih rendah menggunakan kesempatan
untuk memperbaiki
nasib mereka. Sebagai akibatnya,
meningkatlah konflik antar kelas sosial, daerah, sedang kelompok-kelompok
komunal dan konflik sosial meningkat secara tajam, dan dalam beberapa kasus,
boleh dikatkaan menciptakan kesadaran kelompok, yang belakangan melahirkan
tindakan kolektif oleh satu kelompok untuk mengembangkan dan melindungi
tuntutan-tuntutannya terhadap berbagai kelompok lain. Pendek kata, kelompok itu
harus memasuki politik.
Ketiga, perekonomian yang semakin
kompleks menyebabkan bertambah banyaknya organisasi dan perkumpulan dan
meningkatnya jumlah orang yang terlibat dalam kelompok-kelompok itu.
Organisasiorganisasi perusahaan, perkumpulan-perkumpulan petani, serikat buruh,
organisasi komunitas, demikian pula organisasi-organisasi kebudayaan, rekreasi,
dan malahan keagamaan, merupakan ciri-ciri yang lebih menonjol bagi
masyarakat-masyarakat yang lebih maju. Di Indonesia, misalnya, pembangunan
ekonomi telah diikuti oleh peningkatan jumlah perkumpulan-perkumpulan, sedang
rasio penduduk jauh lebih tinggi di propinsi-propinsi yang lebih berkembang.
Kedua kesimpulan itu memberikan petunjuk tentnag adanya suaut korelasi positif
antara pembangunan sosio-ekonomi dan intensitas di bidang perkumpulan.
Keterlibatan dalam organisasi pada umumnya jugs dihubungkan dengan partisipasi
politik.
Keempat, pembangunan ekonomi,
untuk sebagian, memerlukan dan untuk sebagian lagi menghasilkan perluasan
penting dari fungsifungsi pemerintah. Sementara lingkup kegiatan pemerintah
dengan jelas dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ideologi politik yang dominan
dalam masyarakat, is semakin dipengaruhi oleh tingkat pembangunan ekonomi di
dalam masyarakat itu. Masyarakat-masyarakat industri maju dan yang mempunyai
pemerintahan yang menganut paham ekonomi liberal seringkali mempunyai
perekonomian yang lebih tingkat sosialisasinya dibandingkan dengan
masyarakat-masyarakat agraris yang diperintah orang-orang sosialis yang sudah
mapan. Yang disebut pertama hanya memerlukan lebih banyak promosi, pengaturan
dan retribusi oleh pemerintah. Akan tetapi, semakin tindakan-tindakan
pemerintah mempengaruhi kelompok-kelompok di dalam masyarakat, semakin
kelompok-kelompok akan melihat relevansi pemerintah bagi tujuan-tujuan mereka
sendiri, dan semakin giatlah mereka mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah.
Kelima. modernisasi sosio-ekonomi
biasanya berlangsung dalam bentuk pembangunan nasional. Negara merupakan wahana
bagi modernisasi sosio ekonomi. Oleh sebab itu, maka bagi perorangan,
hubungannya dengan negara menjadi sangat penting, dan identitasnya sebagai
bagian dari negara cenderung mengabaikan loyalitas lainnya. Secara teoritis,
loyalitas itu dinyatakan dalam konsep kewarganegaraan, yang mengabaikan perbedaan
kelas sosial dan kelompok komunal, dan memberikan landasan bagi partisipasi
politik secara masal. Semua warga negara berkeduudkan sama di hadapan negara;
semuanya mempunyai tanggungjawab yang sama pada tingkat minimal tertentu
sebagai pars pelaku dalam negara. Dengan demikian, maka modernisasi sosio
–ekonomi mengandung arti adanya suatu kebudayaan dan pandangan politik yang
cukup mengesankan, dan oleh sebab itu memudahkan partisipasi politik.
Kelompok-kelompok dan
peroangan-perorangan di dalam satu masyarakat yang sedang berkembang juga tidak
mungkin menilai partisipasi politik sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan
akan lebih cenderung untuk lebih dulu menggunakan cars-cars lain yang mungkin
untuk memperbaiki status sosial dan kesejahteraan materi mereka. Akan tetapi,
tercapainya tujuan-tujuan lain itu mungkin sekali mengakibatkan meningkatanya
partisipasi politik dengan demikian, maka pada umumnya partisipasi politiknya
tidak akan dikejar sebagai satu tujuan pada dirinya sendiri, kadang-kadang yang
mungkin dikejar atas landasan instrumental, sebagai sarana untuk mencapai
tujuan lain-, dan ebsar sekali kemungkinannya is akan muncul sebagai hasil
sampingan sebagai akibat tercapainya sesuatu tujuan lain.
BAGIAN
5
REKRUTMEN
POLITIK
Bahwa, struktur politik sebagai
susunan kekuasaan negara secara kongkrit berisi lembaga-lembaga politik atau
badan-badan politik. Tiap-tiap lembaga atau badan politik menjalankan
fungsi-fungsi politik tertentu sesuai tugas yang dimilikinya menurut ketentuan
peraturan perundangundangan. Agar lembaga atau badan politik dapat menjalankan
fungsinya maka jabatan-jabatan yang ada dalam lembaga atau badan tersebut harus
diisi oleh orang-orang yang memiliki kecakapan yang dipersyaratkan. Pengisian
jabatan-jabatan tersebut tentu saja harus melalui mekanisme tertentu yang
disebut dengan rekrutmen politik. Demikianlah keterkaitan antara struktur
politik, lembaga politik, dan rekrutmen politik yang antara satu dengan lainnya
mempunyai kaftan yang sangat erat dan sating mendukung.
Uraian di atas memberikan
pengertian sederhana mengenai rekrutmen politik, yaitu sebagai proses pengisian
jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk di dalamnya jabatan
dalam birokrasi atau administrasi negara/pemerintah dan partai-partai politik,.
Penjelasan di atas jugs memberikan gambaran bahwa rekrutmen politik merupakan
tahap awal untuk dapat berfungsinya suatu sistem politik. Jika proses rekrutmen
politik berjalan dan berhasil dengan baik, maka akan sangat memungkinkan sistem
politik dapat berfungsi dengan baik pula.
Dari penjelasan ini dapat
diketahui, bahwa rekrutmen politik memegang peranan penting dalam sistem
politik suatu negara. Karena proses ini mennetukan orang-orang yang akan
menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga
politik yang ada. Dalam pada itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik
sangat bergantung pada kualitas rekrutmen politik. Kualitas ini dapat dilihat
dari apakah proses ini dapat menghasilkan orang-orang yang berkualitas atau
tidak dan mendudukkannya pada jabatan yang sesuai atau tidak. Ini semua sangat
begantung pada pola-pola atau mekanisme rekrutmen yang digunakan.
Dalam kepustakaan ilmu politik
dikenal dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang terbuka dan
tertutup. Dalam model rekrutmen yang teruka semua warga negara yang memenuhi
syarat tertentu (seperti kemampuan,
kecakapan, umur, keadaan fisik
dan sebagainya) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisiposisi
yang ada dalam lembaga negara/pemeirntah. Suasana kompetisi untuk mengisi
jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah
teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenang dalam kompetisi
tersebut. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya tentang keadaan masyarakat
atau yang dikenal sebagai platform
politiknya serta nilai moral yang
melekat dalam dirinya, termasuk integritasnya. Sebaliknya dalam sistem
rekrutmen yang tertuutp kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok
kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh
masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil
elite itu sendiri.
A.
Jabatan-jabatan Politik dan Administrasi
Telah disebutkan di atas, bahwa
rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga
politik, termasuk partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh
orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan politik. Jabatan-jabatan itu
misalnya adalah Perdana Menteri atau Presiders, anggota pemerintah atau
gubernur negara bagian, anggota dewan kotapraja setempat atau walikota, anggota
dalam birokrasi nasional atau birokrasi lokal dan pegawai negeri sipil,
administrator negara bagian atau pejabat pemerintah lokal. Di camping
jabatan-jabatan itu bisa saja meluas sampai pada personil partai yang tengah
berkuasa dan hirarki pemerintah dalam masyarakat totaliter.
Dengan demikian secara gars besar
ada dua jenis jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang telah memenuhi
syarat melalui rekrutmen politik, yaitu jabatan politis dan jabatna birokrasi.
Pembahasan terhadap kedua jenis jabatan ini cukup menarik dan penitng dari
sudut panang sosiologi poliitk. Hal ini dikarenakan antara satu sistem politik
di suatu negara dengan sistem politik di negara lainnya bisa berbeda dalam memandang
hubungan antara jabatan politis dengan jabatan administrasi. Sehingga hal ini
mengaburkan proses rekrutmen politik dalam mengisi jabatan-jabatan tersebut
apakah untuk jabatan politis atau jabatan administrasi. Kekakburan ini
disebabkan oleh ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemisahan jabatan politis
dengan jabatan administrasi. Misalnya, perekrutan politik pada negara-negara
atau masyarakat
totaliter, seperti di Uni Sovyet,
Eropa Timur, Republik Rakyat Cina menjadi kabur, karena pembedan yang tidak jelas
antara jabatan-jabatan politis dengan administrasi (birokrasi). Demikian pula
dalam masyarakat di daerah, perbedaan antara politik dan administrasi tampaknya
kurang berarti.
Bila kita cermati lebih jauh,
ternyata hubungan antara para politisi dan para pelaksana administrasi
(birokrasi) dalam sejumlah sistem politik mempunyai perbedaan. Ada yang
berusaha memisahkan jabatan politik dan birokrtasi dengan melembagakakn satu
doktrin netralitas poitik dari para administrator. Misalnya di Inggris,
pegwai-pegwai sipil direkrut melalui badan organisasi poliitk yang netral dan
sekali diangkat, dengan menghindarkan tingkatan kegiatan politik yang lebih
tinggi dan dengan mengabdi secara tidak memihak kepada setiap pemerintahan.
Jadi pemerintahan bisa beranti-ganti, partai-partai yang berbeda dapat memegang
kekuasaan politik, akan tetapi para pegawai sipil tetap berada dalam posnya.
Sistem ini berbeda dengan di Amerika Serikat, di sans partai yang berkuasa
mengadakan perubahan personil secara ekstensif pda eselon yang lebih tinggi
dari dings sipil pada awal pemerintahan barn. Sistem ini mneliputi perluasan
pengawasan partai secara langsung terhadap jabatan politik administratif.
Fenomena ini sebagian besar didasarkan pada ekyakinan, bahwa kontrol langsung
terhadap jabatanjabatan administratif itu perlu. Sebagian disebabkan oleh
keyakinan historic bahwa pergantian personil sedemikian secara admninistratif
menguntungkan, dan sebagian lagi karena adanya adanya tradisi bahwa jabatan
administratif merupakan sarana absah untuk memberikan rasa kesetiaan kepada
partai. Namun hubungan erat antara partai yang berkuasa dengan pars pemegang
jabatan administratif itu terlihat paling jelas dalam sistem politik totaliter,
di mans doktrin dari suatu birokrasi politik yang netral tidak hanya
diharamkan, akan tetapi juga merupakan kontradiksi. Hal ini tidak menutup
pergantian personil, terutama sebagai akibat pembersihan akan tetapi dalam
sistem totaliter jelas tidak terhadap alternatif untuk menggantikan jabatan.
Yang jelas fungsi perekrutan
politik merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan
pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota
organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan terentu dan sebagainya. Fungsi
rekrutmen politik ini dapat juga
disebut fungsi seleksi
kepemimpinan. Seleksi kepemimpinan dalam suatu struktur politik dilakukan
secara berencana dan teratur sesuai dengan, kaidah atau norms-norms yang ads
serta harapan masyarakat. Beberapa persyaratan diperlukan untuk menduduki jabatan
pimpinan balk persyaratan fisik, mental spiritual, serta aspek intelektual.
Seorang pemimpin diharapkan dapat memberikan keteladanan kepada orang-orang
yang dipimpin mengembangkan semangat untuk berusaha mencapai kemajuan, serta
mampu memberikan pengarahan kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Kondisi sosial ekonomi sampai
batas-batas tertentu juga sering menjadi bahan pertimbangan untuk mendukung
segala kegiatan seorang pemimpin yang terkadang harus berkorban secara pribadi,
walaupun banyak juga terjadi sebaliknya. Seorang pemimpin juga diharapkan dapat
mengerti dan menghayati aspirasi serta kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.
Dengan pemenuhan berbagai persyaratan tersebut, seorang pemimpin benar-benar
dapat diterima oleh masyarakat dan pada gilirannya akan mampu menumbuhkan
partisipasi masyarakat dalam segala program yang dilaksanakan. Seorang pemimpin
sebagai pendukung peran dapat muncul karena semata-mata sebagai pimpinan alam
dan yang dibina serta dikembangkan oleh sebuah sistem tertentu. Tetapi seorang
pemimpin yang balk dan berwibawa dipengaruhi oleh dua unsur tali, yaitu unsur
bawaan dan unsur binaan. Kharisma pemimpin memancarkan suatu wibawa. Wibawa
yang ada padanya akan membawakan perasaan tertentu pada orang yang dipimpin,
yaitu segan dan bukan takut.
Dalam hubungan dengan
kepemimpinan ini, Finer (Sastroatmodjo, 1995, hal. 122-123) menyebutkan
beberapa sifat ideal seorang pemimpin, yaitu:
1. Kesadaran
Seorang pemimpin harus dapat
menguasai fakta-fakta yakni pengetahuan yang diperlukan agar dapat menjalankan
jabatannya.
2. Kebulatan pandangan
Seorang pemimpin harus mampu
menghubungkan berbagai cabang pengetahuan yang penting bagi kedudukannya.
3. Ketetapan jiwa
Seorang pemimpin harus memiliki emosi dan
sikap, yang dapat menguasai setiap persoalan bila dibutuhkan dan menggunakan
pikirannya secara tepat dalam setiap permasalahan.
4. Keyakinan
Seorang pemimpin memiliki
berbagai ide dan prinsip-prinsip.
5. Kreativitas
Menemukan hal-hal yang barn dan
menerapkan dalam kebijaksanaannya.
6. Kepekaan hati
Terpanggil oleh hati nuraninya
dan rasa tanggung jawab.
7. Keberanian
Harus berani menanggung resiko
dan tidak menyerah pada perasaan.
8. Kemampuan memukau
Kualitas melalui gays pidato,
pemunculan yang tepat.
9. Kepandaian
B. Bentuk-bentuk Rekrutmen
Politik
Dua cara khusus dalam sistem
perekrutan politik yaitu: seleksi pemilihan melalui ujian khusus serta laihan.
Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak sekali keragaman dan banyak
diantaranya memunyai implikasi penting bagi perekrutan politik. Salah satu
bentuk yang paling tertua dalam perekrutan politik adalah dengan penyortiran
atau penarikan undian. Cara ini dibuat untuk mencegah dominasi jabatan dan
posisiposisi berkuasa oleh orang atau kelompok individu tertentu. Suatu bentuk
yang hampir sama disebtu rotasi yaitu pergiliran.'Presiden dan Wakil Presiden
Dewan Federal Swiss memangku jabatan selama setahun dan tidak boleh langsung
dipilih untuk masa jabatan berikutnya. Demikian juga di Amerika Serikat,
seorang presiden hanya boleh memangku jabatan selama dua periode.
Bentuk perekrutan yang lain
adalah dengan perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan kekerasan.
Penggulingan suatu rezim politik apakah itu dengan coup d etat,
revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan atau kerusuhan rakyat.
Selain dari bentuk perekrutan yang biasanya diasosiasikan dengan perubahan
personil yang ekstensif terdpat juga cara lain yang diasosiasikan dengan
perekrutan yang berkesinambungan. Salah satunya adalah Patronage
yaitu bagian dari sistem
penyuapan dan korupsi yang rumit. Sistem ini merupakan metode yang cukup mapan
untuk mempengaruhi pelaksanaan kekausaan politik melalui pengontrolan terhadap
hasil-hasil dari Pemilu. Karena sisetm ini mengutamakan pembelian di mans
orang-orang diubjuk dengan hadiah-hadiah tertentu, maka sistem ini tidak selalu
menjamin pengrekrutan pemegang jabatanjabatan yang cocok balk secara politik
maupun diukur dari kemampuannya.
Suatu bentuk lain adalah
"Ko-opsi" (co-option), yaitu pemilihan anggota-anggota barn atau
pemilihan seorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada. Pemilihan
ini didasarkan pada kualitas yang dimiliki calon. Bentuk atau metode ini
digunakan di Inggris dan Wales.
C.
Rekrutmen Politik dalam Sistem Politik Indonesia
Rekrutmen politik yang ada di
Indoensia yaitu bisa dilihat dari pengalaman yang ada selama perjalanan bangsa
ini. Tampaknya mekanisme yang terbuka bahkan semi terbuka masih merupakan
sesuatu yang perlu dipikirkan. Dalam beberapa pemilihan umum di Indonesia,
misainya Lembaga Pemilihan Umum memainkan peranan yang cukup besar dalam
menyaring orang-orang untuk dijadikan calon. Bisa saja calon-calon yang sudah
disiapkan oleh partai politik tidak dapat di setujui oleh LPU karena
orang-orang tersebut mempunyai latar belakang yang tidak mengenakkan dalam
kehidupan politik di tanah air. Misalnya, mereka yang pernah menjadi aktivis
partai Masyumi atau mereka yang menjadi organisasi massy yang diblacklist
pemerintah atau mereka adalah orangorang yang dikategorikan berseberangan
dengan pemeirntah atau mereka yang dianggap tidak setia terhadap Pancasila, UUD
1945, Negara dan Pemerintah.
Tampaknya seseorang yang sudah
memiliki cacat politik dari kaca mats pemerintah akan sulit merehabilitasi
dirinya. Salah satu persyaratan yang tidak tertulis dalam proses rekrutmen
politik di Indonesia adalah bahwa mereka yang akan direkrut untuk mengisi
jabatan (seperti Rektor, Dekan, ketua partai dan lain sebagainya) adalah
orang-orang yang harus dapat bekerjasama dengan pemerintah atau orang yang
mampu mengakomodasikan kehendak pemerintah. Mengapa demikian? Dalam mekanisme
politik di Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir ini, kita tidak dapat
menyangkal bahwa konflik harus diletakkan
dalam tingkat yang sangat
minimal, karena konflik selalu mengandung konotasi yang negatif, seperti
menghambat pembangunan atua merusak stabilitas nasional. Dalam sistem politik
yang demokratis, konflik merupakan suatu yang dimungkinkan karena adanya
perbedaan kepentingan serta sistem nilai.
Tingkat kompetisi dalam mengisi
jabatan yang ada boleh clikatakan masih cukup rendah karena mekansimenya yang
kurang terbuka. Salah satu fungsi partai politik yang berkaitan dengan salah
rekrutmen. Akan tetapi di Indonesia fungsi tersebut masih rendah kadar
pelaksanaannya. Partai-partai politik seperti PPP dan PDI tidak akan bermimpi
untuk berebut jabatan-jabatan seperti gubernur, bupati dan walikota. Kedua
partai tersebut paling "banter" hanya menyediakan calon pendamping
saja. Karena peraturan yang ada, kedua partai tersebut masih bersyukur jika
dapat memegang jabatan wakil kedua dalam lembaga perwakilan rakyat seperti MPR,
DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Sekalipun di beberapa daerah
pemilihan, kedua partai tersebut mampu menjadi pemenang dengan memperoleh suara
mayoritas, hal im tidak membawa konsekuensi bahwa partai tersebut akan memegang
jabatan eksekutif.
Daftar Pustaka
(1960).
The Religion ofJava. (Glencoe, Illinois: The Free Press)
(1988).
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
(1989b).
The State Reorganization of Society Under The New Order. Prising no.47
(1994a)
Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
(1994b).
Negara, Kapital dan Demoki-asi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
.(1989a).
Ek-onomi dan Struktur Politik Orde Baru, 19661971. Jakarta: LP3ES
.(1990).
Language and Power; Exploring Political Structures in Indonesia. Ithaca, New
York: Cornell University
A.Muis.
Titian Jalan Detnokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi
Politik. Penerbit Harian Kompas. Jakarta. 2000
Affan
Gaffar. (2002Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alfian
& Nazarudin Syamsudin (1991). Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT.
Temprint
Alfian.
Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia.
Jakarta
Allasyarakat
: Dilemma Birokrasi? dalam Mochtar Mas'oed & Colin Mc
Almond
& Verba. (1966). The Civic Culture. Little Brown. Boston Mass
Almond,
Gabriel & Powel, Bingham. (1966). Comparative Politics Development
Approach. Bombay, India: Little Brown Company
Aminudin
Siregar. (1985). Pemikiran Politik dan Perubahan Sosial. Akademika Pressindo
Anderson,
Benedict. (1972). The Idea of Power in Javanese Society in Claire Holt.
Benedict Anderson, James T. Siegel (Ed). Culture and Politics in Indonesia.
Ithaca, New York: Cornell University Press
Andrews
(Ed). Perbandingan Sistem Politik. Edisi Revisi, cetakan ke-8.
Bottomore,
Tom. Sosiologi Politik. diterjemahkan oleh Sahat Sitomora. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. 1992.
Darji
Darmodiharjo. (1982). Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta
Duverger,
Maurice. (1981). Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali
Frederickson,
George. (1984). Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES
Geertz,
Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books
Huntington,
Samuel P dan Nelson, John. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Penerbit:
Rineka Cipta. Jakarta, 1980
Huntington,
Samuel P. & Nelson, John. (1980). Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Jakarta: Rineka Cipta
Ichlasul
Anial dan Armaidy Armawi. Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional.
Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, cetakan ke-1, Juli 1996.
J.
Soedjati DjiNvandono dan T. A Legowo.Revitalisasi Sistem Politik Indonesia,
Penerbit CSIS. Jakarta
Keller,
Suzanne. (1984). Penguasa dan Kelompok Elit. (Alih Bahasa: Zahara D. Noer).
Jakarta: CV. Rajawali
Koetjaraningrat.
(1965). Pengantar 4niropologi. Jakarta: Penerbit Universitas
Miriam
Budiardjo. (1994). Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar
Harapan
Mochtar
Mas'oed dan MacAndrews,Colin.Perbandingan Sistem Politik. Penerbit Gadjah Mada
University Press. cetakan ke-16, Yogyakarta, December 2001
Mohtar
Mas'oed. (1985). Efektivitas dan Tanggung Jawab pada
Oetojo
Oesman & Alfian. (1991) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Masyarakat Berbagsa dan Bernegara. Jakarta: BP7 Pusat
Phil
Astrid S. Susanto. (1979). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung:
Binacipta
Rafael
Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit Rineka Cipta. cetakan ke-1
Februari 2001. Jakarta
Ramlan
Surbakti. Memahami Rmu Politi., Penerbit PT Grasindo. cetakan ke-4. Jakarta.
September 1999
Rosadi
Kantaprawira. (1999). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Smar Bard Algesindo
Rush,
Michael & Althoff, Philip. (1983). Pengantar Sosiologi Politik. (Alih
Bahasa: Dra. Kartim Kartono). Jakarta: CV. Rajawali
Rush,
Michael & Althoff, Philip.Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit PT
RajaGrafindo Persada. cetakan ke-11, Jakarta, Januari 2005.
Selo
Sumardjan & Soelaiman Sumardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta:
FE UJI.
Soerjono
Soekanto. (2001). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syahrial
Syarbaini dkk, Sosiologi dan Politik. Penerbit Ghalia Indonesia. cetakan ke-1.
Jakarta. Juni 2002
Tim
ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Penerbit
Prenada Media. cetakan ke-2. Agustus 2005
0 comments:
Post a Comment