Monday, February 22, 2016

HAKEKAT DAN KONSEP SOSIOLOGI POLITIK

BAGIAN I

A. Pengertian Sosiologi Politik
Sebelum membahas perkembangan, pendekatan dan peranan sosiologi politik, terlebih dahulu perlu memahami pengertian dan hakikat sosiologi politik. Hal ini penting, agar dalam mempelajari materi selanjutnya memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa itu sosiologi politik, apa cakupannya dan di mana posisinya antara sosiologi dan ilmu politik? Apakah sebagai cabang dari sosiologi, atau merupakan pokok bahasan tersendiri terpisah dari kedua disiplin ilmu tersebut?
Sosiologi politik berasal dari dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Istilah "sosiologi" pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosophie Positive, jilid IV (Duverger, 1989, hal 1). Secara sederhana "sosiologi" berarti studi tentang masyarakat dipandang dari suatu segi tertentu. Comte dan 'Spencer (1820-1903) yang juga seorang pendiri lainnya (Rush & Althoff, 1990: 1), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisis sosiologis. Sementara, berbagai lembaga lainnya, seperti.. keluarga, dan lembaga-lembaga politik, ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara lembaga-lembaga tersebut merupakan sub-unit dari analisk
Para sosiolog modern mendefinisikan sosiologi sebagai "ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial" (Jhonson, 1961: 2) dan "studi mengenai interaksi-interaksi manusia dan interrelasinya" (Ginsburg, 1934: 7). Dari sudut pandang ini, sosiologi memberikan pusat perhatian pada tingkah laku individual dan tingkah laku kolektifnya secara terpisah dari masyarakat, karena hal ini bukan merupakan bidang kajian psikiarti dan psikologi, melainkan tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Dari uraian di atas, dapat kita ikhtisarkan beberapa pengertian sosiologi sebagai berikut:
1.      sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat;
2.      sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat;
3.      sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, baik individu maupun kelompok dan relasinya dengan masyarakat, atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
 Setelah dipahami apa itu sosiologi, selanjutnya perlu dipahami apa itu "politik". Banyak batasan mengenai apa itu "politik". Beragamnya batasan ini sangat tergantung dari sudut pandang para pembuat batasan itu masing-masing. Para pembuat batasan hanya meneropong satu aspek atau unsur saja dari politik. Unsur itu diperiakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan kita untuk memahami apa itu politik. Namun demikian untuk memberikan gambaran mengenai apa itu politik, berikut akan diuraikan konsep-konsep pokok yang mendasari perumusan atasan mengenai politik.
Miriam Budiarjo (7) mengemukakan bahwa konsep-konsep pokok mengenai politik adalah "negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policys beleid) dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)". Secara terurai, Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa politik adalah "bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan". Dalam melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (pubilc policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu perlu dimiliki kekuasaaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik, untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.
Penjelasan yang lebih kurang sama, dikemukakan oleh Rush dan Althoff mengenai esensi dari politik. Menurutnya batasan mengenai politik bermacam-macam. Politik bisa diartikan sebagai proses penyelesaian dari konflik-konflik manusia: atau proses dimana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu: atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu', atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.

Namun demikian, menurut Rush dan Althoff, meskipun politik itu memiliki batasan yang bermacam-macam, akan sangat membantu apabila menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi politik. Batasan ini juga disepakati oleh Duverger (1989) dan beberapa pakar lainnya. Dengan demikian tampaknya kita menyepakati bahwa politik dibatasi sebagai "masalah kekuasaan", dan tentunya kita pun sepakat pula membatasi ilmu politik sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
Dua pengertian, yaitu "sosiologi" dan "politik" atau "ilmu politik" telah dipahami dengan baik. Selanjutnya perlu dipahami apa itu "sosiologi politik", bagaimana konsepsi dasarnya? Apakah pengertiannya merupakan gabungan dari pengertian sosiologi dan pengertian politik atau memiliki pengertian tersendiri. Uraian berikut akan memberikan pemahaman?
Mengacu pada pemikiran Duverger (1989), ada dua arti mengenai "sosiologi politik". Pengertian pertama, menganggap sosiologi politik sebagai "ilmu tentang negara", dan yang kedua, menganggap sosiologi politik sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
B. Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu Negara dan sebagai llmu Tentang Kekuasaan
Konsep ini mempergunakan kata politik dalam konotasi yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan "negara". Kata negara di sini dimaksudkan untuk mengartikan kategori khusus dari kelompokkelompok manusia atau masyarakat. Pertama negara bangsa (nation state) dan kedua negara pemerintah (government state). Negara bangsa menunjukkan masyarakat nasional, yaitu komunitas yang muncul pada akhir zaman pertengahan dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi. Negara pemerintah menunjukkan pada penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional ini.
Mendefinisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi kota, sosiologi agama, sosiologi etnik atau kelompok minoritas.

Konsep yang diuraikan di atas merupakan konsep tua dari sosiologi politik. Konsep lain yang lebih modern menganggap bahwa dari sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua, masyarakat manusia bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsepsi ini berasal dari Leon Duguits, ahli hukum Perancis, yang dinamakan perbedaaan anatara yang memerintah (goverments) dan yang diperintah (gouvemes) (Duverger, 1989: 19). Dia percaya bahwa dalam setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka yang diperintah, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang menaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada dalam setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
Pandangan ini menempatkan sosiologi politik di dalam klasifikasi yang lain dari pengertian yang pertama, yaitu suatu yang didasarkan bukan pada hakikat masyarakat yang dipelajari, tetapi pada jenis fenomena yang ada dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda tetapi sejajar dengan sosiologi ekonomi, sosiologi kesenian, sosiologi agama dan lain sebagainya. Dari sudut pandang ini sosiologi politik diartikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan dalam masyarakat".
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kekuasaan dalam masyarakat yang bagaimana yang menjadi cakupan sosiologi politik. Apa dalam setiap lapisan masyarakat atau dalam lingkup masyarakat tertentu? Menjawab pertanyaan ini Duverger memberikan dua penjelasan. Penjelasan pertama dilihat dari ukuran dan kompleksitas kelompok-kelompok sosial dan kedua dilihat dari hakikat ikatan-ikatan organ isatorisnya.
Menurut Duverger (1989) dilihat dari ukuran (size) dan kompleksitasnya ada dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok elementer atau kelompok kecil dan kelompok kompleks. Kekuasaan dalam kelompok yang lebih besar inilah yang ada sangkut-pautnya dengan sosiologi politik, sedangkan pada kelompok-kelompok yang kecil menjadi wilayah kajian psikologi sosial. Namun demikian, pembedaan secara demikian dianggap kurang akurat. Karena teramat sulit membedakan antara kelompok-kelompok elementer dan kelompok-kelompok
kompleks. Karena pada kelompok-kelompok elementer pun terdapat kompleksitas tersendiri. Dalam kelompok sekecil apa pun menurut Duverger menunjukkan adanya proses diferensiasi yang menghasilkan klik, koalisi-koalisi, dan groups yang melibatkan peranan atau menggunakan kekuasaan. Berdasarkan ukuran (size) ini, maka kajian sosiologi politik mencakup "makropolitik" yang berada dalam komunitas-kominitas yang besar dan "mikropolitik" yang berada pada kelompok-kelompok kecil.
Sementara itu dilihat dari ikatan-ikatan organisatorisnya, masyarakat dapat dibedakan dalam masyarakat "swasta" dan masyarakat "universal". Masyarakat swasta adalah "kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan khusus dan rasa solidaritas terbatas yang masing-masing kelompok sesuai dengan kategori tertentu dari aktivias manusia". Termasuk dalam kategori masyarakat ini, misalnya serikat buruh, organisasi olahraga, organisasi kesenian, perusahaan komersial, organisasi-organisasi profesi dan organisasi-organisasi sosial lainnya. Masyarakat universal adalah masyarakat yang meliputi dan melebihi semua masyarakat-masyarakat swasta ini. Masyarakat universal adalah "masyarakat yang memiliki kategori umum tertentu, tidak hanya didasarkan pada kegiatan atau aktivitas tertentu saja". Tetapi juga, rasa solidaritas lebih besar, lebih dalam, lebih mesra daripada masyarakat-masyarakat swasta.
Bagi sebagian penulis, kekuasaan dalam masyarakat universal merupakan objek analisa sosiologi politik bukan kekuasaan di dalam masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di dalam masyarakat swasta, otoritas atau kekuasaan dianggap hanya memiliki hakikat teknis tidak mempersoalkan masalah ketergantungan individuindividu dalam hubungan dengan yang lain suatu hal yang justru merupakan dasar dari kekuasaan.
Secara sekilas pembedaan ini tampak sesuai dengan arti populer dari "politik". Misalnya, jika kita membicarakan pemimpin-pemimpin politik dan pemerintah berarti membicarakan otoritas dalam masyarakat universal. Namun, jika dikaji secara mendalam perbedaan antara masyarakat universal dan masyarakat swasta tidak bisa menjadi dasar bagi definisi sosiologi politik. Pertama, pembedaan tersebut samarsamar sifatnya. Misalnya, apakah keluarga
merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta? Demikian juga apakah masyarakat agama merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta? Bagi kepala keluarga, keluarga dipandang sebagai masyarakat universal. Begitu juga bagi pemimpin agama, masyarakat agama merupakan masyarakat universal. Namun, bagi yang lain tentu belum tentu dipandang demikian. Kedua, ada dua paham mengenai masyarakat universal. Paham pertama, didefinisikan oleh perasaan memiliki (sense of belonging) rasa kekariban (sense of fellowship) yang mempengaruhi totalitas kegiatan anusia. Paham kedua adalah konsep lebih bersifat formal dan yuridis, yakni menganggap masyarakat universal pada masa kini sebagai nation state (negara bangsa). Sementara pada zaman lain, bisa kota, suku, dan lainnya. Jika paham kedua yang dipakai, maka akibatnya akan terjebak pada teori yang menyamakan sosiologi politik dengan negara.
Masyarakat mana yang menjadi kajian sosiologi politik? Apakah masyarakat universal? Menurut Duverger, hal tersebut sulit diterima, jika sosiologi politik didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam masyarakat universal" tidak lebih baik daripada didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam negara". Karena seringkali kedua ungkapan tersebut dianggap sinonim oleh yang mempergunakannya.
Agar dapat keluar dari kesulitan itu, Duverger menyarankan lebih baik melihatnya dari segi "hubungan-hubungan otoritas" (authority relationship) yang berjenis-jenis di dalam semua masyarakat baik itu kecil atau besar, sederhana atau kompleks, swasta atau universal. Hubungan otoritas yang dimaksudkan adalah setiap hubungan yang tidak sama di mana seseorang atau beberapa individu menguasai yang lain dan mengarahkannya menurut kehendaknya sendiri. Pada umumnya hubungan manusia memang demikian. Dalam kenyataannya, sangat sedikit yang benar-benar egalitarian (sama sederajat).
Persoalannya sekarang adalah hubungan otoritas yang bagaimana yang melibatkan "kekuasaan" dalam arti yang tepat. Untuk menjelaskan masalah ini, Duverger membedakan hubungan-hubungan yang bersifat luas yakni hubungan yang bersifat "institusional" dan hubungan dalam arti sempit yang bersifat "personal". Kekuasaan dari sudut pandang ini adalah terdiri atas seluruh
kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas yang berarti adanya dominasi beberapa orang terhadap yang lainnya. la bukan hubungan-hubungan yang sederhana yang tidak sama dan tidak memiliki sifat institusional dan tidak berasal dari institusi.
Ada dua kriteria untuk membedakan institusi dengan hubungan yang bersifat sempit. Pertama, yang bersifat fisikal dan kedua sikap kolektif dan keyakinan. Secara fisikal hubungan yang bersifat sempit adalah hubungan manusia yang tidak terikat kepada model-model yang sudah ada terdahulu, iasanya berlangsung tidak permanen, sporadis, sekejap, dan tidak stabil. Sedangkan, institusi adalah model hubungan yang berlaku sebagai pola hubungan yang kongkrit, bersifat stabil, berlangsung lama dan kohesif. Model-model institusional relatif sama dengan pengertian "struktur" dalam sosiologi modern. Struktur adalah sistem hubungan-hubungan yang tidak akan terlepas dari hubungan itu sendiri dan keasliannya ditentukan oleh hubungannya dengan model struktural. Dalam arti ini, maka parlemen, menterimenteri kabinet, kepala-kepala negara dan pemilihan umum adalah institusi.
Atas dasar keyakinan manusia kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan oleh mereka yang menaatinya dan mereka yang menggunakannya. Bagi mereka, hal tersebut bukan hanya fenomena fisik sebuah dominasi, melainkan juga fenomena psikologis. Dalam hal ini, masalah "legitimasi" (keabsahan) menjadi penting. Kekuasaan selalu dianggap sebagai sesuatu yang "legitimate" (sah untuk diterima) sampai tingkat tertentu. Oleh karena kita menerima kekuasaan tersebut, maka sangatiah wajar bila kita menaatinya. Kekuasaan ditaati, karena kita pikir kita harus berbuat demikian, karena kita percaya bahwa kekuasaan "sah" adanya untuk ditaati. Jadi, keabsahan ini yang membedakan kekuasaan dari sekedar hubungan otoritas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah "ilmu tentang kekuasaan dalam setiap kelompok manusia atau masyarakat". Secara lebih tegas, Duverger menganggap sosiologi politik sama dengan ilmu politik hampir tidak ada bedanya. Hal ini didasarkan pemahaman bahwa sosiologi sama dengan ilmu-ilmu sosial. Jika ilmu politik adalah salah satu bidang dari ilmu-ilmu sosial, maka sosiologi politik dianggap seagai salah satu cabang dari sosiologi. Oleh karena itu, menurut Duverger yang juga
mendapat pengakuan di Perancis, sosiologi politik sama dengan ilmu politik yakni sama-sama mengkaji kekuasaan dalam masyarakat sebagai objek studi.
Pemikiran Duverger yang sangat sosiologis tersebut, tentu ditolak oleh para ahli politik. Rush dan Althoff, misalnya keduanya tidak sependapat dengan pemikiran bahwa sosiologi politik adalah cabang dari sosiologi dan dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya mengakui bahwa ada studi-studi politik yang dilakukan oleh para sosiolog, seperti Marx Webwer, Mosca, dan Pareto dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Rush dan Althoff, sosiologi politik merupakan bidang subjek yang mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Menurutnya sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybrid inter-dicipliner.
Bila disimak lebih mendalam, maka posisi sosiologi politik sebagaimana diungkapkan oleh Duverger di atas, tampaknya lebih tepat jika diterapkan pada program sudi Ilmu Sosiologi. Sementara pemikiran Rush dan Althoff sangat tepat diterapkan pada program studi ilmu politik. Untu kepentingan pembelajaran pada program studi PPKn, maka pendapat Rush dan Althoff, secara substantial tampaknya lebih cocok menjadi acuan mata kuliah ini. Artinya, hakikat sosiologi politik dalam mata kuliah ini dipandang sebagai "suatu kajian yang menyajikan konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep ilmu politik serta mengkaji masalah-masalah politik yang ditinjau secara sosiologis".





C. Skema Konseptual
Sosiologi politik didefinisikan sebagai subjek area (bidang subjek) beberapa orang lain menamakan mata rantai antar politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik dengan melihat sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybird inter-dicipliner.
Skema konsepsi tersebut dilandaskan pada empat konsep, yaitu; sosialisasi politik, partisipasi, penerimaan atau perekrutan politik dan komunikasi politik. Semua konsep itu sifatnya interdependent, bergantung satu
Sama lain dan saling berpautan. Karenanya kita mendefinisikannya sebagai berikut:
1.      Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana seseorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksinya terhadap gejaiagejala politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkugan kultural, lingkungan politik dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang bersangkutan. Juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem lainnya.
2.      Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktiviatas politik itu bisa bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai dengan aktivitas jabatannya. Oleh karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat- masyarakat khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep-konsep mengenai apa itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan keterlibatan mereka yang terbatas.
3.      Perekrutan politik adalah proses dengan mana individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Perekrutan ini merupakan proses dua arah dan sifatnya bisa formal maupun tidak formal. Merupakan proses dua arah karena individuindividunya mungkin mampu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati oleh orang lain dan kemudian bida menjabat posisi-posisi tertentu.
4.      Komunikasi politik ialah proses dimana informasi plitik yang relevan diteruskan dari sauatu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Kejadian tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkat masyarakat.
BAGIAN 2
BUDAYA POLITIK
Istilah budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari "buddhi" yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal". Dalam bahasa asing kita sering menjumpai istilah culture yang artinya sama dengan budaya atau kebudayaan. Culture berasal dari bahasa Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Berasal dari arti tersebut, colore kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut E.B. Taylor (1971) kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup segala sesuatu yang didapatkan atua dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan batasan ini, berarti kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normative atau mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan (bersikap) dan bertindak.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi memberi batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk mengolah alam, agar hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur dan menjadi peodman kehidupan masyarakat dalam arti lugs. Sedangkan cipta adalah kemampuan mental, kemampuan berpikir manusia sebagai anggota masyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud balk yang berwujud teori murni maupun yang bersfiat terapan. Rasa dan cipta menghasilkan kebudayaan rohaniyah (immaterial culture). Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.

Menganalisa lebih lanjut pemikiran di atas, Soerjono Soekamto menyatakan bahwa sesungguhnya manusia sebagai individu mempunyai segi material dan spiritual dalam kehdupannya. Segi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atua lainnya yang berwujud benda. Segi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan dan kesenian. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku dengan kaidah-kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Semua ini merupakan kebudayaan.
Kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat manusia di dunia. Perbedaannya terletak pada tingkatan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu masing-masing. Ada yang memiliki tingkat kebudayaan yang masih rendah dan ada masyarakat yang sudah memiliki kebudayaan yang lebih maju.
Dilihat dari sudut struktur dan tingkatan, di dalam masyarakat yang besar atau bangsa dikenal adanya superculture yang berlaku bagi masyarakat. Suatu superculture biasanya dapat dijabarkan ke dalam cultures yang didasarkan pada kekhasan daerah, golongan etnik, profesi dan lain sebagainya. Dalam suatu culture mungkin berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan "induk", yang lazim disebut subculture. Namun bila kebudayaan khusus itu bertentangan dengan kebudayanaan induk, maka kebudayaan khusus tersebut disebut counter-culture.
Counter-culture tidak harus selalu diberi arti negatif. Karena, paling tidak adanya gejala tersebut memberikan petunjuk, bahwa kebudayaan induk kurang dapAt menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan. Untuk itu maka perlu
ada upaya dari pihak penguasa untuk menyesuaikan atau menyerasikan kebudayaan induk dengan kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Dari sinilah reformasi kebudayaan berlangsung.
Demikianlah uraian di atas telah memberikan pengertian kepada kita mengenai budaya atau kebudayaan, yang pokok pengertiannya diambil dari antropologi. Uraian tersebut memberikan kesimpulan bahwa secara garis besar kebudayaan meliputi pola pikir, pola sikap dan pola tindak manusia sebagai anggota masyarakat, atau meliputi karya, karsa, cipta dan rasa manusia beserta hasil-hasilnya, baik yang bersfiat material maupun immaterial.
Setelah anda memahami pengertian pokok mengenai budaya atau kebudayaan, selanjutnya Anda perlu memahami konsep budaya politik. Apa sesungguhnya budaya politik itu?
Menurut Yahya Muhaimin (1991), konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang merupakan dasar semua tindakan. Budaya politik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda-beda. Karena itu arch perjalanan masyarakat menuju modernitas atau kesempurnaan hidupnya berbeda-beda pula tergantung derajat budaya politik masing-masing. Dalam suatu derajat yang tinggi, budaya politik membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik.
Secara konseptual, Almond dan Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Batasan ini memperlihatkan kepada kita akan adanya unsur individu, yakni warga negara dan sistem politik serta keterkaitannya. Dalam hal ini budaya politik terlihat dari bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya pula terhadap individu di dalam sistem politik. Batasan ini juga menekankan serangkaian orientasi sikap individu terhadap seperangkat objek dan proses sosial yang bersifat khusus, dalam hal ini adalah sistem dan proses politik. Karena itu menurut Almond dan Verba pembicaraan mengenai budaya atau kebudaya politik persis sama dengan kebudayaan ekonomi dan kebudayaan religius (keagamaan). Perbedaannya terletak pada objeknya, objek kebudayaan politik adalah sistem dan proses politik, objek kebudayaan ekonomi adalah sistem dan proses ekonomi, sedangkan objek kebudayaan religius adalah sistem dan proses religi.

Menyimak penjelasan di atas, tampaknya konsepsi budaya politik lebih sempit dan lebih terfokus pada pengertian budaya secara antropologis, balk domain subjek yang hanya menekankan pada segi pikiran, perasaan dan sikap manusia atau yang oleh Almond dan Verba disebut orientasi, maupun objeknya yang berfokus pada sistem politik dan bagian-bagiannya serta proses politik.
Dikatakan oleh Almond dan Verba di dalam objek yang berfokus pada sistem politik terdapat tiga komponen yang salinng menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif dan evaluatif.
1. Komponen kognitif: pengetahuan dan kepercayaan pada politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang diambil atau simbol-simbol yang dimiliki dalam sistem politiknya, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Komponen afektif: perasaan yang khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu, peranannya, para. aktor dan penampilannya. Dalam kaftan ini telah menjadi kesepakatan para ahli bahwa sikap-sikap yang tumbuh dalam lingkungan keluarga atau lingkungan hidup seseorang mempunyai pengaruh terhadap pembentukan perasaan individu.
3. Komponen evaluatif: keputusan dan pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal (khan) melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan yang memang telah dipunyai seseorang.
Di dalam realitas kehidupan ketiga komponen ini tidak terpisahpisah secara tegas. Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakat pada setiap individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling berkaitan atau seku rang-ku rang nya saling mempengaruhi. Untuk dapat membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin, seorang warga negara harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang si pemimpin. Dan pengetahuannya itu sudah dipengaruhi oleh perasaannya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Dan objek orientasi politik dapat digolongkan dalam beberapa objek. Pertama adalah sistem politik secara umum. Perhatian utama objek ini adalah sistem sebagai suatu keseluruhan, termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan alieansi, kognisi dan evaluasi terhadap bangsa apakah besar atau
kecil, kuat atau lemah, serta evaluasi terhadap pemerintahan apakah demokratis, konstitusional, atau sosialistis.
Kedua adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi isi dan kualitas, norms-norms kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik. Sikap ini berkaitan dengan rasa percaya dan permusuhan yang biasanya memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari rasa percaya dan permusuhan ini Bering diwujudkan dalam bentuk kualitas politik yang kita temui yaitu kerja sama dan konflik. Rasa percaya mendorong seseorang atau kelompok bekerja sama dengan orang atau kelompok orang. Sebaliknya rasa permusuhan mengarahkan seseorang atau suaut kelompok pada konflik politik. Jadi kerja sama dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan suatu masyarakat melainkan jugs menjadi ciri budaya politik suatu masyarakat.
Ketiga bagian-bagian dari sistem politik yang dibedakan atas tiga golongan objek:
1. Peranan atau struktur khusus, seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi dan yudikatif.
2. Pemegang jabatan seperti pimpinan monarki, legislator dan administrator.
3. Kebijaksanaan, keputusan atau penguatan keputusan, struktur, pemegang jabatan dan struktur secara timbal batik yang dapat diklasifikasikan dalam proses atau input politik dan proses administratif atau output politik. Yang dimaksud proses atau input politik adalah arus tuntutan dari masyarakat terhadap pemerintah dan proses konversi (mengubah) tuntutan-tuntutan ini menjadi kebijakan otoritatif. Beberapa struktur (lembaga) yang terlibat secara intens dalam proses input adalah partai politik, kelompok kepentingan dan media komunikasi. Sedangkan yang dimaksud dengan proses administratif atau output adalah proses di mana kebijakan otoritatif itu diterapkan atau diperkuat. Struktur-struktur yang berperan aktif dalam proses ini adalah birokrasi dan lembaga peradilan.
Dari penjelasan di atas, secara sederhana objek-objek politik dapat digolongkan dalam empat objek, yaitu:
1. Sistem sebagai objek umum.
2. Objek-objek input.

3. objek-objek output dan
4. Pribadi sebagai objek. Bila dikombinasikan dengan aspek-aspek orientasi politik yang terdiri atas kognisi, afeksi dan evaluasi maka dimensi politik dapat dibuat dalam bentuk matrik seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dimensi Orientasi Politik
1
sistem sebagai objek umum
2
objek-objek input
3
objek-objek output
4
pribadi sebagai objek
Kognisi
Afeksi
Evaluasi
yang diketahui dan dipergunakannya dalam membuat penilaian politik, atau dalam menyampaikan pendapatnya?
Dengan melihat komponen-komponen individu dan sistem politik sebagaimana tertera dalam tabel, maka Almond dan Verbs mendefinisikan budaya politik sebagai distribusi pola-pola orientasi khusus individu terhadap objek-objek politik diantara masyarakat bangsa.
Budaya politik suatu masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai ynag ada dalam masyarakat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai. Interaksi yang demikian memngkinkan timbuinya kontak-kontak di antara budaya politik bangsa. Proses ini kita kenal dengan "sosialisasi politik yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat mengalami, menyerap dan menghayati nilai-nilai politik yang ada di sekitarnya. Jadi antara budaya politik dan sosialisasi politik bersifat sating mempengaruhi. Pertumbuhan dan perkembangan budaya politik merupakan output sosialsiasi politik dan dapat pula berfungsi sebagai input proses sosialisasi politik.
BAGIAN 3
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Seperti dikatakan oleh Almond dan Verba, bahwa budaya politik adalah "distribusi pola-pola orientasi khusus individu terhadap objek-objek politik diantara masyarakat bangsa". Berdasarkan definisi ini, maka tipe budaya politik suatu masyarakat atau bangsa akan dapat terlihat setelah terlebih dahulu dilakukan survei terhadap individu-individu anggota masyarakat atau bangsa itu. Dengan kata lain, definisi ini dapat digunakan untuk mengukur dan menilai budaya politik suatu masyarakat atau bangsa menurut tipe-tipe budaya politik tertentu.
Jadi budaya politik dalam suatu masyarakat atau bangsa dapat diketahui melalui tipe-tipe budaya politik yang ada. Dengan kata lain, melalui pengukuran terhadap sejumah sampel atau responder dari masyarakat atau bangsa itu, tipe-tipe budaya politik itu terlihat dari karakteristiknya, yaitu frekuensi (tingkat kognisi atau afeksi atau evaluasi terhadap objek-objek politik dari sejumlah sampel atau anggota masyarakat) pada tipe-tipe sel sesuai dengan aspek dan objek politik dalam matrik pada kegiatan belajar yang pertama.
Apa saja tipe-tipe budaya politik yang dimaksud dan bagaimana pula karakteristiknya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dari tabel terlihat bahwa berdasarkan frekuensi atau tingkat orientasi politik anggota masyarakat, dalam hal ini tingkat kognisi, afeksi dan evaluasinya terhadap objek-objek politik, terdapat tiga tipe budaya politik, yaitu parokial, subjek dan partisipan.
Tabel Tipe-Tipe Budaya Politik 1
sistem sebagai objek umum
2
objek-objek input
3
objek-objek output
4
pribadi sebagai objek
Kognisi
0
0
0
0
Afeksi
1
0
1
0
Evaluasi
1
1
1
1

komunitas lokal yang otonom (kerajaan sentralistis) di Afrika atau di benua lain di dunia.
Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik parokial diantaranya sebagai berikut:
1.      Tidak adanya peran-peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung atau dukun merupakan pemencar peran-peran yang bersifat politik, ekonomi dan keagamaan. Orientasi anggota-anggota masyarakat terhadap peran-peran ini juga tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka.
2.      Orientasi parokial juga memperlihatkan ketiadaan harapan terhadap perubahan-perubahan yang berarti yang diinisiatifkan oleh sistem politik. Kaum parokial tidak mengharapkan spa pun dari sistem politik.
Secara relatif parokialisme (budaya politik parokial) yang murni terdapat pada masyarakat yang memiliki sistem tradisional yang lebih sederhana dengan tingkat spesialisasi politik yang sangat minim. Namun demikian pada masyarakat yang lebih besar juga masih tetap memiliki budaya politik parokial. Parokialisme dalam sistem politik yang deferensiatif (masyarakat yang besar) lebih bersifat afektif dan normative daripada kognitif. Contohnya adalah suku-suku bangsa di Nigeria dan Ghana. Bisa saja mereka mengetahui akan suramnya rezim politik central, tetapi perasaannya terhadap hal tersebut bersifat negatif dan mereka tdiak membakukan berbagai norms untuk mengatur hubungan dengan hal-hal tersebut.
B. Budaya Politik Subjek
Dalam budaya politik subjek terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan objek-objek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap objek-objek input dan pribadi sebagai partisipan yang aktif (aktor politik) mendekati nol.
Beberapa ciri yang menonjol dari budaya politik subjek diantaranya adalah:
1.      Para subjek (anggota masyarakat yang memiliki budaya subjek) menyadari adanya otoritas pemerintah (sistem politik), mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut, mereka juga mungkin merasa bangga terhadap sistem itu atau sebaliknya tidak menyukainya, dan mereka menilainya absah atau sebaliknya.
2.      Hubungan pars subjek dengan sistem secara umum dan terhadap output, administrative atau "downward flovV'nya (alur pelaksanaan kebijakan dari sistem politik itu secara esensial merupakan hubungan yang pasif, walaupun mereka memiliki bentuk kompetensi (kemampuan) secara terbatas.
Orientasi subjek yang murni terdapat pada masyarakat yang tidak memiliki struktur input yang dideferensiasikan. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normative daripada kognitif. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan Perancis. Mereka sangat menyadari akan adanya institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan pada mereka.
C. Budaya Politik Partisipan
Tipe budaya politik partisipan adalah satu bentuk budaya yang anggota-anggota masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap sistem secara keseluruhan, struktur dan proses politik serta administratif (objek-objek input dan output). Demikian pula anggota-anggota pemerintah yang partisipatif secara menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada berbagai objek politik yang serba ragam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, meskipun perasaan dan penilaian mereka terhadap peranan yang demikian bisa menerima atau justru menolaknya. Dengan kata lain, tipe budaya politik ini ditandai oleh anggota masyarakat atau warga negara yang memiliki pengetahuan dan kesadaran politik, perhatian dan kepedulian terhadap keseluruhan objek-objek politik yang sangat tinggi. Meskipun mereka sendiri bisa saja bersikap positif atau negatif terhadap objek-objek politik tersebut. Contoh masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe budaya politik partisipan, menurut studi Almond dan Verba adalah Inggris dan Amerika Serikat.
Tipe budaya politik partisipan secara umum tidak akan menanggalkan tipe-tipe terdahulu yaitu parokial dan subjek, karena ketidaksamaan kondisi di masing-masing masyarakat atau negara. Ketidaksempurnaan proses-proses sosialisasi politik, pembatasan dalam pendidikan atau kesempatan untuk
belajar yang menyebabkan tipe budaya politik parokial dan subjek akan terns ada. Bahkan di negara demokrasi yang sudah terhitung mapan dan stabil. Begitu pula dengan kebudayaan parokial akan tetap bertahan walaupun dalam kebudayaan subyek yang tinggi.
Bila dianalisa lebih jauh, budaya-budaya politik itu dapat disejajarkan dengan struktur-struktur sistem politik atau sebaliknya. Keharmonisan akan tercipta bilamana struktur politik yang ada di suatu negara sesuai dengan kebudayaan politiknya. Pada umumnya budaya parokial, subjek dan partisipan hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otorian yang sentralistis dan struktur politik demokratis. Secara visual kesejajaran itu dapat diskemakan seperti berikut:
Budaya Paroksial ――― Struktur Politik Tradisional
Budaya Subjek ――― Struktur Politik Otoritarian Sentralistis
Budaya Partisipan ――― Struktur Politik Demokratis
Dari skema di atas, tampak bahwa budaya politik parokial sejajar dengan struktur politik tradisional. Struktur politik tradisional ini banyak terdapat, misalnya pada struktur komunitas di desa atau suku yang terpencil. Bila ditafsirkan sebaliknya, maka dapat diartikan bahwa struktur politik tradisional sangat cocok diterapkan pada masyarakat yang memiliki budaya politik parokial. Struktur politik yang otoritarian sentralistis hanya cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang memiliki budaya politik subjek. Dan struktur politik yang demokratis sangat cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang telah memasuki taraf budaya politik partisipan. Jika struktur politik diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang tidak sesuai budaya politiknya, maka bisa jadi akan timbul ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan itu bisa dalam bentuk tidak berjalannya atau tidak berfungsinya sistem politik atau bahkan timbul kekacauan politik pada masyarakat atau bangsa itu.
Ketiga macam tipe budaya politik seperti yang tercantum dalam tabel di atas merupakan tipe-tipe budaya politik yang bersifat murni. Kombinasi antara tipe-tipe budaya politik tersebut di atas dapat membentuk tipe-tipe budaya politik campuran. Secara konseptual ada tiga bentuk budaya politik campuran, yaitu: budaya subjek parokial, budaya subjek partisipan, dan budaya parokial – partisipan.

1.      Budaya Subjek – Parokial Ini adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Bentuk budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis). Sejumlah bangsa di belahan dunia mengalami peristiwa ini. Bentuk-bentuk klasik kerajaan merupakan contoh budaya ini, seperti kerajaan-kerajaan di Afrika, Rusia (Jerman) dan The Ottoman Empire (Kekaisaran Turki).
2.      Budaya Subjek – Partisipan Budaya politik campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya partisipan (demokratis). Cara-cars yang berlangsung dalam proses peralihan dari budaya parokial dan lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Gejala ini terjadi pada politik Inggris. Kekuasaan-kekuasaan lokal, lembaga atau unit pemerintah kota praja, komunitas religius, dan kelompok-kelompok pedagang mendukung proses perkembangan demokrasi di Inggris. Dalam budaya subjek – partisipan yang bersifat campuran itu sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk lainnya terns diorientasikan ke arah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif. Secara mudah dapat dikatakan, pada masyarakat ini ada kelompok yang berorientasi pada pemerintahan otoritarian. Pada masyarakat yang berorientasi partisipan (demokrat) tidak dapat menjadi pranata sosial yang mandiri dan berwibawa, karena dihadang oleh kemampuan budaya subjek (otoritarian). Lagi pula dalam budaya subjek partisipan terdapat ketidakstabilan pemerintahan yaitu tumpulnya infrastruktur demokratis dan sistem pemerintahan yang cenderung menghasilkan keterasingan diantara penduduk yang berorientasi demokratik. Jika budaya campuran ini berlangsung lama, akan mengubah karakter sub budaya subjek, karena terjadi persaingan antara kelompok-kelompok yang berorientasi otoritarian. Walaupun tidak mengubah seluruhnya sub budaya subjek menuju budaya demokratis, namun akan melahirkan perubahan sehingga membentuk pemerintahan yang berlainan dari sebelumnya. Contoh negara yang memiliki tipe budaya ini adalah Perancis, Jerman dan Italia pada abad ke-19 dan saat ini.
3.       Budaya Parokial — Partisipan Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada umumnya budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norms struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan. Persoalan yang muncul adalah seringkali terjadi ketimpangan antara struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu, satu hal yang harus ditanggulangi adalah upaya mengembangkan input dan output secara perlahan-lahan. Sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil yang suatu ketika ke arah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi. Birokrasi tidak bisa menjembatani masyarakat, sedangkan infrastruktur tidak mengakar dengan kuat di masyarakat.


BAGIAN 4
PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan suatu negara. Terutama bagi negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik merupakan salah satu indikator penting. Artinya suatu negara barn bisa disebut sebagai negara demokrasi, jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat partispasi politik yang cukup tinggi. Jika tidak, maka kadar kedemorkatisan negara tersebut masih diragukan.
Masalah partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara, melainkan lebih berkaitan dengan sifat dan karakter masyarakat suatu negara dan pengaruh yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, partisipasi politik menjadi kajian penting dalam sosiologi politik, di samping juga menjadi kajian ilmu politik. Dan dalam modul ini, partisipasi politik menjadi topik inti yang harus Anda pelajari dengan sungguh-sungguh.
Dalam uraian materi ini, Anda akan mempelajari beberapa hal penting dari partisipasi politik, yaitu pengertian partisipasi politik, bentukbentuk partisipasi politik, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi politik, dan partisipasi politik dalam konteks pembangunan Indonesia.
A. Pengertian
Partisipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere (sipasi), yang artinya mengambil. Bila digabungkan berarti "mengambil bagian". Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.
Huntington dan Nelson (1995:6), mendefinisikan partisipasi politik sebagai "kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah". Dari pengertian tersebut Huntington dan Nelson memberi batsan partisipasi politik pada beberapa hal:

Pertama, partisipasi politik yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini komponen-komponen subjektif seperti orientasi-orientasi politik yang meliputi pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan keefektifan politik, dan persepsi-persepsi mengenai relevansi politik tidak dimasukkan. Hal-hal seperti sikap dan perasaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan bentuk tindakan politik, tetapi terpisah dari tindakan politik.
Kedua, subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara, preman (private citizen) atau lebih tepatnya, orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik seperti pejabat-pejabat pemerintah, pejabat-pejabat partai, talon-talon politikus, lobbi profesional. Kegiatan yang disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya sebagai sambilan atau sebagai pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat sekunder saja dibandingkan dengan peranan-peranan sosial lainnya.
Ketiga, kegiatan dari apa yang disebut partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabatpejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. Sasarannya adalah untuk mengubah keputusan-keputusan pejabat-pejabat yang sedang berkuasa, menggantikan atau mempertahankan pejabatpejabat itu, merubah atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan-aturan main politiknya. Tujuan-tujuan itulah yang menjadi batasan partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak. Karena itu aktivitas seperti misalnya protes-protes, huru-hara, demonstrasi, kekerasan, bahkan pemberontakan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemeirntah merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.
Keempat, partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.
Kelima, partisipasi politik mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan. Partisipasi otonom adalah kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemernitah.
Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan adalah kegiatan politik yang dilakukan karena keinginan oran glain.
Demikian batasan partisipasi politik yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Batasan yang lebih luas mengenai partisipasi politik dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. la memandang partisipasi politik sebagai kegiatan seeorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, misalnya dalam pemilihan pemimpin negara, mempengaruhi kebijaksanaan negara dan berbagai kegiatan lainnya.
Batasan yang dikemukakan oleh Miriam tersebut tidak memperlihatkan batsan yang begitu ketat. Sehingga memungkinkan untuk memberikan cakupan partisipasi yang lebih luas daripada yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Demikian pula menenai subjek yang berpartisipasi (partisipan) tidka dibatasi hanya pada warga negara preman (biasa). Batasan ini sesuai dengan pendapat Mochtar Mas'oed dan Collin Mac Andrews (1994:42) serta Rush Althoff (1990, hal 124) yang memasukkan mereka yang menduduki jabatan pemerintahan, politis dan administrasi termasuk mereka yang memberi jabatan pemerintahan, politis dan adminstrasi termasuk mereka yang memberi jabatan tersebut atau pars calon pejabat pemerintahan dan calon politikus.
B. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
            Partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dilihat sebagia suatu suatu kegiatan partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemeirntah, membayar pajak dan ikut dalam proses pemilihan pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah (Sastroatmodjo; 1995).
Sementara itu dilihat dari kadar dan jenis aktivitasnya, Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Apatis (masa bodoh), yaitu orang yang menarik diri dari aktivitas politik;
2. Spektator, yaitu orang-orang yang paling tidak, pernah ikut dalam pemilihan umum;

3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat;
4. Pengeritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
Klasifikasi partisipasi politik yang hampir sama dikemukakan oleh Goel dan Oslan. Mereka melihat partisipasi politik dari segi stratifikasi sosial. Dari sudut pandang ini, partisipasi politik dikategorikan dalam beberapa hal, yakni:
1. Pemimpin politik
2. Komunikator, yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ideide, sikap dan informasi politik kepada orang lain;
3. Aktivis politik
4. Warga negara marginal, yaitu orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik;
5. Orang-orang yang terisolasi, yaitu orang-orang yang jarang melakukan kontak dengan sistem politik.
Merangkum berbagai bentuk partisipasi politik, Huntington dan Nelson (1994, hal. 16-17) mengklasifikasi partisipasi politik dalam 4 bentuk. Menurutnya dari berbagai studi mengenai partisipasi politik menggunakan berbagai klasifikasi yang berbeda-beda. Namun riset yang kebanyakan dilakukan sekarang membedakan jenis-jenis perilaku dalam 4 jenis, yaitu:
1. Kegiatan pemilihan yang mencakup pemberian suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam kegiatan pemilihan, mencaru dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
2. Lobbying yang mencakup upaya-upaya, balk perorang maupun kelompok, untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atua pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil.
3. Kegiatan organisasi, menyangkut kegiatan-kegiatan sebagai anggota atau pejabat suatu organisasi yang tujuan utamanya mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
4. Mencari koneksi (contacting), yaitu tindakan perorangan yang ditujukan tehadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa orang. Oleh Verba, Nie dan Kim partisipasi ini disebut 11 mencari koneksi khusus" (particularized contacting). Bentuk-bentuk partisipasi politik yang lebih lengkap dikemukakan oleh Rush dan Althoff. Keduanya memvisualisasikan bentuk-bentuk partisipasi politik secara hirarkhis, seperti terlihat di bawah ini.

Bila dilihat dari jumlah pelaku, sosiologi politik, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi:
1. Partisipasi individual, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh orang per orang secara individual, misainya menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.
2. Partisipasi kolektif, yakni kegiatan politik yang dilakukan oleh sejumlah warga negara secara serentak yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa.
Partisipasi kolektif individu dibagi lagi menjadi dua, yaitu:

a. Partisipasi kolektif yang konvensional, seperti pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, dan membentuk organisasi.
b. Partisipasi politik non-konvensional, seperti pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, pemogokan, tindakan kekerasan, pemberontakan dan revolusi untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa. Dilihat dari motivasi yang melatarbelakangi munculnya partisipasi politik, maka Huntington dan Nelson (1994, hal 9-13) membagi partisipasi politik dalam dua kategori, yaitu:

Partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong oleh keinginan pelakunya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.
Partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi politik yang digerakkan atau diinginkan oleh orang lain, bukan karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.
C. Fungsi Partisipasi Politik
Sebagai suatu tindakan atau aktivitas, balk secara individual maupun kelompok, partisipasi politik memiliki beberapa fungsi. Robert Lane (Rush dan Althof, 1990: 181-182) dalam studinya tentang keterlibatan politik, menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu, yakni:
1. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis;
2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial;
3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus;
4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.
Dari sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga fungsi partisipasi politik, yaitu:
1.      Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya.
2.      Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah.
3.      Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik misalnya melalui pemogokan, huru-hara, dan kudeta.



Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintah. Untuk kepentingan pemerintah, partisipasi politik memiliki tugas:
1.      Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya.
2.      Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah.
3.      Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik misalnya melalui pemogokan, huru-hara, dan kudeta. Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintah.
 Untuk kepentingan pemerintah, partisipasi politik memiliki tugas:

1.      Untuk mendorong program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta masyarakat diwujdukan untuk mendukung program politik dan program pemerintahan.
2.      Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
3.      Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan.


D. Faktor-faktor Yang Berpengaruh
Partisipasi politik, sebagai suatu aktivitas, tentu banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak pendapat yang menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhbi partisipasi politik. Ada yang menyoroti faktor-faktor dari dalam diri seseorang, ada yang menyoroti faktor-faktor dari luar dan ada yang menggabungkannya. Berbagai pendapat tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
Surbakti menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, adalah aspek kesadaran politik seseorang yang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewahiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial, dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap pemerintah, balk terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.
Weimar (Sastroadmodjo, 1995) menyebutkan paling tidak ada 5 faktor yang mempengaruhi partisipasi politik.
1.      Modernisasi. Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan tingkat pendidikan, meluasnya peran media massa dan media komunikasi. Kemajuan itu berakibat pada meningkatnya partisipasi warga negara, terutama di perkotaan, untuk turut serta dalam kekuasaan politik. Mereka ini misainya kaum buruh, para, pedagang dan pars profesional.
2.      Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial. Dalam hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja dibarengi tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
3.      Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah.
4.      Adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang sating memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cars mencari dukungan massa. Dalam konteks ini seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.
5.      Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

Milbrath memberikan 4 alasan bervariasinya partisipasi politik seseorang. Alasen pertama, berkenaan dengan penerimaan perangsang politik. Keterbukaan dan kepekaan seesorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik. Meskipun demikian dalam menanggapi perangsang-perangsang politik itu tentu dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, nilai-nilai, pengalaman dan kepribadian yang dimiliki seseorang.
Alasan kedua, berkenaan karakteristik sosial seseorang. Status sosial ekonomi, karakteristik suku, jenis kelamin, usia keyakinan agama merupakan karakteristik sosial yang berpengaruh terhadap partisipasi politik seseorang dalam politik. Alasan ketiga, menyangkut sifat dan sisetm politik dan partai tempat seseorang itu berada. Seseorang yang hidup dalam negara-negara demokratis, partai-partai politik cenderung mencari dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa. Karena itu massa cenderung berpartisipasi dalam politik.
Dalam konteks Indonesia, Arbi Sanit menyebutkan 5 faktor yang mendorong partisipasi politik masyarakat Indonesia. Pertama, adanya kebebasan berkompetisi di segala bidang, termasuk di bidang politik. Kedua, adanya kenyataan berpolitik secara lugs dan terbuka. Ketiga, adanya keleluasaan untuk mengorganisasi diri, sehingga organisasi masyarakat dan partai politik dapat tumbuh dengan subur. Keempat, adanya penyebaran sumber days politik dalam masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarakat. Kelima, adanya distribusi kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu perimbangan kekuatan.

E. Partisipasi Politik dalam Konteks Pembangunan Indonesia
Partisipasi politik dinilai secara berbeda-beds di dalam masyarakat yang berbeda. Di mans hal itu dianggap sebagai tujuan yang perlu dicapai. Perluasan partisipasi politik melibatkan biaya dan konsepsi ditinjau dari segi tujuan-tujuan lain, serta biaya-biaya dan konsepsikonsepsi itu berada di antara masyarakat-masyarakat yang berlainan pada tingkat yang berlainan dari modernisasi atau pembangunan secara keseluruhan. Pokok persoalan yang penting adalah bahwa peranan partisipasi politik di dalam masyarakat merupakan satu fungsi dari prioritas-prioritas yang diberikan keapda variabel dan tujuan- tujuan lain dan dari strategi pembangunan secara keseluruhan.
Pembangunan yang dimaksud di sini adalah sebagai proses modernisasi atau proses pembinaan bangsa (nation building) di segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan maupun mental. Dalam hal ini terkandung satu pengertian bahwa pemberian prioritas pertama kepada pembangunan ekonomi seperti sekarang ini hanyalah merupakan suatu strategi menujun ke arah itu. Sukses dalam pembangunan ekonomi diharapkan akan melimpah ke bidang-bidang yang lain sehingga merangsang mereka untuk berkembang pula.
Di dapat dipahami sebagai berikut: (a) satu tujuan utama kaum elit politik, kekuatan-kekuatan sosial dan perorangan-perorangan yang terlibat di dalam proses itu; (b) sebagai sarana kaum elit, kelompokkelompok, dan perorangan-perorangan untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka nilai tinggi; atau (c) sebagai hasil sampingan atau konsekuensi tercapainya tujuan-tujuan lain, baik oleh masyarakat secara keseluruhan oleh kaum elit, kelompok-kelompok, dan peroranganperorangan di dalam masyarakat (Huntington dan Nelson, 1994:56)
Seperti telah kami kemukakan, perluasan partisipasi politik jarang merupakan satu tujuan utama bagi kaum elit politik di dalam masyarakat yang sedang berkembang. Kalaupun partisipasi politik memang bertambah, maka tingkat perluasan itu sebagian besar mencerminkan sejauh mans partisipasi itu merupakan sarana untuk mecnapai tujuantujuan lain atau merupakan hasil sampingan sebagia akibat tercapainya tujuan-tujuan lain itu.
Pemimpin-pemimpin politik akan berusaha untuk memperluas partisipasi politik apabila mereka menggagap perluasan itu sebagai cars untuk memperkuat atau mempertahankan kekuasaan mereka dan untuk membina usaha-usaha mencapai tujuan-tujuan lain yang mereka anggap perlu dicapai, seperti kemerdekaan nasional atau pemerataan sosio-ekonomi. Akan tetapi mereka yang memiliki kekuasaan politik, akan lebih cenderung untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri dan memajukan kestabilan politik dengan jalan membatasi partisipasi politik daripada memperluasnya. Sebaliknya, usaha mengejar tujuan-tujuan seperti pembangunan ekonomi, pemerataan sosio-ekonomi, dan malahan kestabilan politik dapat menimbulkan kondisi-kondisi yang memudah kan perluasan partisipasi politik. Demikian pula, cara-cara yang dipilih oleh kaum elit politik dan pemerintahan untuk melaksanakan program-program pemerintah mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi tingkat dan sifat partisipasi politik.
Pembangunan mampu memberikan dorongan terhadap peningkatan partisipasi politik. Pada tingkat yang lugs, memang terlihat adanya korelasi antar kedua faktor dimaksud. Huntington dan Nelson (1994:60-61) menguraikan secara singkat bagaimana hubungan itu terjadi.
Pertama, di dalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi dengan status sosio-ekonomi. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih partisipatif daripada mereka yang miskin, tak berpendidikan dan memiliki pekerjaan berstatus rendah. Pembangunan ekonomi memperluas proporsi peranan berstatus lebih tinggi di daiam masyarakat; meningkatnya akdar melek huruf, berpendidikan, makmur, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kelas menengah. Oleh sebab itu, bagian masyarakat yang partisipan di bidang politik menjadi lebih banyak.
Kedua, pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan ketegangan dan tekanan antar kelompok sosial; kelompok-kelompok yang barn bermunculan; kelompok-kelompok yang sudah mapan mulai terancam, dan kelompok-kelompok yang lebih rendah menggunakan kesempatan untuk memperbaiki
nasib mereka. Sebagai akibatnya, meningkatlah konflik antar kelas sosial, daerah, sedang kelompok-kelompok komunal dan konflik sosial meningkat secara tajam, dan dalam beberapa kasus, boleh dikatkaan menciptakan kesadaran kelompok, yang belakangan melahirkan tindakan kolektif oleh satu kelompok untuk mengembangkan dan melindungi tuntutan-tuntutannya terhadap berbagai kelompok lain. Pendek kata, kelompok itu harus memasuki politik.
Ketiga, perekonomian yang semakin kompleks menyebabkan bertambah banyaknya organisasi dan perkumpulan dan meningkatnya jumlah orang yang terlibat dalam kelompok-kelompok itu. Organisasiorganisasi perusahaan, perkumpulan-perkumpulan petani, serikat buruh, organisasi komunitas, demikian pula organisasi-organisasi kebudayaan, rekreasi, dan malahan keagamaan, merupakan ciri-ciri yang lebih menonjol bagi masyarakat-masyarakat yang lebih maju. Di Indonesia, misalnya, pembangunan ekonomi telah diikuti oleh peningkatan jumlah perkumpulan-perkumpulan, sedang rasio penduduk jauh lebih tinggi di propinsi-propinsi yang lebih berkembang. Kedua kesimpulan itu memberikan petunjuk tentnag adanya suaut korelasi positif antara pembangunan sosio-ekonomi dan intensitas di bidang perkumpulan. Keterlibatan dalam organisasi pada umumnya jugs dihubungkan dengan partisipasi politik.
Keempat, pembangunan ekonomi, untuk sebagian, memerlukan dan untuk sebagian lagi menghasilkan perluasan penting dari fungsifungsi pemerintah. Sementara lingkup kegiatan pemerintah dengan jelas dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ideologi politik yang dominan dalam masyarakat, is semakin dipengaruhi oleh tingkat pembangunan ekonomi di dalam masyarakat itu. Masyarakat-masyarakat industri maju dan yang mempunyai pemerintahan yang menganut paham ekonomi liberal seringkali mempunyai perekonomian yang lebih tingkat sosialisasinya dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat agraris yang diperintah orang-orang sosialis yang sudah mapan. Yang disebut pertama hanya memerlukan lebih banyak promosi, pengaturan dan retribusi oleh pemerintah. Akan tetapi, semakin tindakan-tindakan pemerintah mempengaruhi kelompok-kelompok di dalam masyarakat, semakin kelompok-kelompok akan melihat relevansi pemerintah bagi tujuan-tujuan mereka sendiri, dan semakin giatlah mereka mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
Kelima. modernisasi sosio-ekonomi biasanya berlangsung dalam bentuk pembangunan nasional. Negara merupakan wahana bagi modernisasi sosio ekonomi. Oleh sebab itu, maka bagi perorangan, hubungannya dengan negara menjadi sangat penting, dan identitasnya sebagai bagian dari negara cenderung mengabaikan loyalitas lainnya. Secara teoritis, loyalitas itu dinyatakan dalam konsep kewarganegaraan, yang mengabaikan perbedaan kelas sosial dan kelompok komunal, dan memberikan landasan bagi partisipasi politik secara masal. Semua warga negara berkeduudkan sama di hadapan negara; semuanya mempunyai tanggungjawab yang sama pada tingkat minimal tertentu sebagai pars pelaku dalam negara. Dengan demikian, maka modernisasi sosio –ekonomi mengandung arti adanya suatu kebudayaan dan pandangan politik yang cukup mengesankan, dan oleh sebab itu memudahkan partisipasi politik.
Kelompok-kelompok dan peroangan-perorangan di dalam satu masyarakat yang sedang berkembang juga tidak mungkin menilai partisipasi politik sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan akan lebih cenderung untuk lebih dulu menggunakan cars-cars lain yang mungkin untuk memperbaiki status sosial dan kesejahteraan materi mereka. Akan tetapi, tercapainya tujuan-tujuan lain itu mungkin sekali mengakibatkan meningkatanya partisipasi politik dengan demikian, maka pada umumnya partisipasi politiknya tidak akan dikejar sebagai satu tujuan pada dirinya sendiri, kadang-kadang yang mungkin dikejar atas landasan instrumental, sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain-, dan ebsar sekali kemungkinannya is akan muncul sebagai hasil sampingan sebagai akibat tercapainya sesuatu tujuan lain.
BAGIAN 5
REKRUTMEN POLITIK
Bahwa, struktur politik sebagai susunan kekuasaan negara secara kongkrit berisi lembaga-lembaga politik atau badan-badan politik. Tiap-tiap lembaga atau badan politik menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu sesuai tugas yang dimilikinya menurut ketentuan peraturan perundangundangan. Agar lembaga atau badan politik dapat menjalankan fungsinya maka jabatan-jabatan yang ada dalam lembaga atau badan tersebut harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kecakapan yang dipersyaratkan. Pengisian jabatan-jabatan tersebut tentu saja harus melalui mekanisme tertentu yang disebut dengan rekrutmen politik. Demikianlah keterkaitan antara struktur politik, lembaga politik, dan rekrutmen politik yang antara satu dengan lainnya mempunyai kaftan yang sangat erat dan sating mendukung.
Uraian di atas memberikan pengertian sederhana mengenai rekrutmen politik, yaitu sebagai proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk di dalamnya jabatan dalam birokrasi atau administrasi negara/pemerintah dan partai-partai politik,. Penjelasan di atas jugs memberikan gambaran bahwa rekrutmen politik merupakan tahap awal untuk dapat berfungsinya suatu sistem politik. Jika proses rekrutmen politik berjalan dan berhasil dengan baik, maka akan sangat memungkinkan sistem politik dapat berfungsi dengan baik pula.
Dari penjelasan ini dapat diketahui, bahwa rekrutmen politik memegang peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena proses ini mennetukan orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga politik yang ada. Dalam pada itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik sangat bergantung pada kualitas rekrutmen politik. Kualitas ini dapat dilihat dari apakah proses ini dapat menghasilkan orang-orang yang berkualitas atau tidak dan mendudukkannya pada jabatan yang sesuai atau tidak. Ini semua sangat begantung pada pola-pola atau mekanisme rekrutmen yang digunakan.
Dalam kepustakaan ilmu politik dikenal dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekrutmen yang teruka semua warga negara yang memenuhi syarat tertentu (seperti kemampuan,
kecakapan, umur, keadaan fisik dan sebagainya) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisiposisi yang ada dalam lembaga negara/pemeirntah. Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenang dalam kompetisi tersebut. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya tentang keadaan masyarakat atau yang dikenal sebagai platform
politiknya serta nilai moral yang melekat dalam dirinya, termasuk integritasnya. Sebaliknya dalam sistem rekrutmen yang tertuutp kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu sendiri.
A. Jabatan-jabatan Politik dan Administrasi
Telah disebutkan di atas, bahwa rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan politik. Jabatan-jabatan itu misalnya adalah Perdana Menteri atau Presiders, anggota pemerintah atau gubernur negara bagian, anggota dewan kotapraja setempat atau walikota, anggota dalam birokrasi nasional atau birokrasi lokal dan pegawai negeri sipil, administrator negara bagian atau pejabat pemerintah lokal. Di camping jabatan-jabatan itu bisa saja meluas sampai pada personil partai yang tengah berkuasa dan hirarki pemerintah dalam masyarakat totaliter.
Dengan demikian secara gars besar ada dua jenis jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang telah memenuhi syarat melalui rekrutmen politik, yaitu jabatan politis dan jabatna birokrasi. Pembahasan terhadap kedua jenis jabatan ini cukup menarik dan penitng dari sudut panang sosiologi poliitk. Hal ini dikarenakan antara satu sistem politik di suatu negara dengan sistem politik di negara lainnya bisa berbeda dalam memandang hubungan antara jabatan politis dengan jabatan administrasi. Sehingga hal ini mengaburkan proses rekrutmen politik dalam mengisi jabatan-jabatan tersebut apakah untuk jabatan politis atau jabatan administrasi. Kekakburan ini disebabkan oleh ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemisahan jabatan politis dengan jabatan administrasi. Misalnya, perekrutan politik pada negara-negara atau masyarakat
totaliter, seperti di Uni Sovyet, Eropa Timur, Republik Rakyat Cina menjadi kabur, karena pembedan yang tidak jelas antara jabatan-jabatan politis dengan administrasi (birokrasi). Demikian pula dalam masyarakat di daerah, perbedaan antara politik dan administrasi tampaknya kurang berarti.
Bila kita cermati lebih jauh, ternyata hubungan antara para politisi dan para pelaksana administrasi (birokrasi) dalam sejumlah sistem politik mempunyai perbedaan. Ada yang berusaha memisahkan jabatan politik dan birokrtasi dengan melembagakakn satu doktrin netralitas poitik dari para administrator. Misalnya di Inggris, pegwai-pegwai sipil direkrut melalui badan organisasi poliitk yang netral dan sekali diangkat, dengan menghindarkan tingkatan kegiatan politik yang lebih tinggi dan dengan mengabdi secara tidak memihak kepada setiap pemerintahan. Jadi pemerintahan bisa beranti-ganti, partai-partai yang berbeda dapat memegang kekuasaan politik, akan tetapi para pegawai sipil tetap berada dalam posnya. Sistem ini berbeda dengan di Amerika Serikat, di sans partai yang berkuasa mengadakan perubahan personil secara ekstensif pda eselon yang lebih tinggi dari dings sipil pada awal pemerintahan barn. Sistem ini mneliputi perluasan pengawasan partai secara langsung terhadap jabatan politik administratif. Fenomena ini sebagian besar didasarkan pada ekyakinan, bahwa kontrol langsung terhadap jabatanjabatan administratif itu perlu. Sebagian disebabkan oleh keyakinan historic bahwa pergantian personil sedemikian secara admninistratif menguntungkan, dan sebagian lagi karena adanya adanya tradisi bahwa jabatan administratif merupakan sarana absah untuk memberikan rasa kesetiaan kepada partai. Namun hubungan erat antara partai yang berkuasa dengan pars pemegang jabatan administratif itu terlihat paling jelas dalam sistem politik totaliter, di mans doktrin dari suatu birokrasi politik yang netral tidak hanya diharamkan, akan tetapi juga merupakan kontradiksi. Hal ini tidak menutup pergantian personil, terutama sebagai akibat pembersihan akan tetapi dalam sistem totaliter jelas tidak terhadap alternatif untuk menggantikan jabatan.
Yang jelas fungsi perekrutan politik merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan terentu dan sebagainya. Fungsi rekrutmen politik ini dapat juga
disebut fungsi seleksi kepemimpinan. Seleksi kepemimpinan dalam suatu struktur politik dilakukan secara berencana dan teratur sesuai dengan, kaidah atau norms-norms yang ads serta harapan masyarakat. Beberapa persyaratan diperlukan untuk menduduki jabatan pimpinan balk persyaratan fisik, mental spiritual, serta aspek intelektual. Seorang pemimpin diharapkan dapat memberikan keteladanan kepada orang-orang yang dipimpin mengembangkan semangat untuk berusaha mencapai kemajuan, serta mampu memberikan pengarahan kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Kondisi sosial ekonomi sampai batas-batas tertentu juga sering menjadi bahan pertimbangan untuk mendukung segala kegiatan seorang pemimpin yang terkadang harus berkorban secara pribadi, walaupun banyak juga terjadi sebaliknya. Seorang pemimpin juga diharapkan dapat mengerti dan menghayati aspirasi serta kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan pemenuhan berbagai persyaratan tersebut, seorang pemimpin benar-benar dapat diterima oleh masyarakat dan pada gilirannya akan mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam segala program yang dilaksanakan. Seorang pemimpin sebagai pendukung peran dapat muncul karena semata-mata sebagai pimpinan alam dan yang dibina serta dikembangkan oleh sebuah sistem tertentu. Tetapi seorang pemimpin yang balk dan berwibawa dipengaruhi oleh dua unsur tali, yaitu unsur bawaan dan unsur binaan. Kharisma pemimpin memancarkan suatu wibawa. Wibawa yang ada padanya akan membawakan perasaan tertentu pada orang yang dipimpin, yaitu segan dan bukan takut.
Dalam hubungan dengan kepemimpinan ini, Finer (Sastroatmodjo, 1995, hal. 122-123) menyebutkan beberapa sifat ideal seorang pemimpin, yaitu:


1. Kesadaran
Seorang pemimpin harus dapat menguasai fakta-fakta yakni pengetahuan yang diperlukan agar dapat menjalankan jabatannya.
2. Kebulatan pandangan
Seorang pemimpin harus mampu menghubungkan berbagai cabang pengetahuan yang penting bagi kedudukannya.
3. Ketetapan jiwa
 Seorang pemimpin harus memiliki emosi dan sikap, yang dapat menguasai setiap persoalan bila dibutuhkan dan menggunakan pikirannya secara tepat dalam setiap permasalahan.
4.      Keyakinan
Seorang pemimpin memiliki berbagai ide dan prinsip-prinsip.
5. Kreativitas
Menemukan hal-hal yang barn dan menerapkan dalam kebijaksanaannya.
6. Kepekaan hati
Terpanggil oleh hati nuraninya dan rasa tanggung jawab.
7. Keberanian
Harus berani menanggung resiko dan tidak menyerah pada perasaan.
8. Kemampuan memukau
Kualitas melalui gays pidato, pemunculan yang tepat.
9. Kepandaian
B. Bentuk-bentuk Rekrutmen Politik
Dua cara khusus dalam sistem perekrutan politik yaitu: seleksi pemilihan melalui ujian khusus serta laihan. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak sekali keragaman dan banyak diantaranya memunyai implikasi penting bagi perekrutan politik. Salah satu bentuk yang paling tertua dalam perekrutan politik adalah dengan penyortiran atau penarikan undian. Cara ini dibuat untuk mencegah dominasi jabatan dan posisiposisi berkuasa oleh orang atau kelompok individu tertentu. Suatu bentuk yang hampir sama disebtu rotasi yaitu pergiliran.'Presiden dan Wakil Presiden Dewan Federal Swiss memangku jabatan selama setahun dan tidak boleh langsung dipilih untuk masa jabatan berikutnya. Demikian juga di Amerika Serikat, seorang presiden hanya boleh memangku jabatan selama dua periode.
Bentuk perekrutan yang lain adalah dengan perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan kekerasan. Penggulingan suatu rezim politik apakah itu dengan coup d etat, revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan atau kerusuhan rakyat. Selain dari bentuk perekrutan yang biasanya diasosiasikan dengan perubahan personil yang ekstensif terdpat juga cara lain yang diasosiasikan dengan perekrutan yang berkesinambungan. Salah satunya adalah Patronage
yaitu bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit. Sistem ini merupakan metode yang cukup mapan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekausaan politik melalui pengontrolan terhadap hasil-hasil dari Pemilu. Karena sisetm ini mengutamakan pembelian di mans orang-orang diubjuk dengan hadiah-hadiah tertentu, maka sistem ini tidak selalu menjamin pengrekrutan pemegang jabatanjabatan yang cocok balk secara politik maupun diukur dari kemampuannya.
Suatu bentuk lain adalah "Ko-opsi" (co-option), yaitu pemilihan anggota-anggota barn atau pemilihan seorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada. Pemilihan ini didasarkan pada kualitas yang dimiliki calon. Bentuk atau metode ini digunakan di Inggris dan Wales.
C. Rekrutmen Politik dalam Sistem Politik Indonesia
Rekrutmen politik yang ada di Indoensia yaitu bisa dilihat dari pengalaman yang ada selama perjalanan bangsa ini. Tampaknya mekanisme yang terbuka bahkan semi terbuka masih merupakan sesuatu yang perlu dipikirkan. Dalam beberapa pemilihan umum di Indonesia, misainya Lembaga Pemilihan Umum memainkan peranan yang cukup besar dalam menyaring orang-orang untuk dijadikan calon. Bisa saja calon-calon yang sudah disiapkan oleh partai politik tidak dapat di setujui oleh LPU karena orang-orang tersebut mempunyai latar belakang yang tidak mengenakkan dalam kehidupan politik di tanah air. Misalnya, mereka yang pernah menjadi aktivis partai Masyumi atau mereka yang menjadi organisasi massy yang diblacklist pemerintah atau mereka adalah orangorang yang dikategorikan berseberangan dengan pemeirntah atau mereka yang dianggap tidak setia terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
Tampaknya seseorang yang sudah memiliki cacat politik dari kaca mats pemerintah akan sulit merehabilitasi dirinya. Salah satu persyaratan yang tidak tertulis dalam proses rekrutmen politik di Indonesia adalah bahwa mereka yang akan direkrut untuk mengisi jabatan (seperti Rektor, Dekan, ketua partai dan lain sebagainya) adalah orang-orang yang harus dapat bekerjasama dengan pemerintah atau orang yang mampu mengakomodasikan kehendak pemerintah. Mengapa demikian? Dalam mekanisme politik di Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir ini, kita tidak dapat menyangkal bahwa konflik harus diletakkan
dalam tingkat yang sangat minimal, karena konflik selalu mengandung konotasi yang negatif, seperti menghambat pembangunan atua merusak stabilitas nasional. Dalam sistem politik yang demokratis, konflik merupakan suatu yang dimungkinkan karena adanya perbedaan kepentingan serta sistem nilai.
Tingkat kompetisi dalam mengisi jabatan yang ada boleh clikatakan masih cukup rendah karena mekansimenya yang kurang terbuka. Salah satu fungsi partai politik yang berkaitan dengan salah rekrutmen. Akan tetapi di Indonesia fungsi tersebut masih rendah kadar pelaksanaannya. Partai-partai politik seperti PPP dan PDI tidak akan bermimpi untuk berebut jabatan-jabatan seperti gubernur, bupati dan walikota. Kedua partai tersebut paling "banter" hanya menyediakan calon pendamping saja. Karena peraturan yang ada, kedua partai tersebut masih bersyukur jika dapat memegang jabatan wakil kedua dalam lembaga perwakilan rakyat seperti MPR, DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Sekalipun di beberapa daerah pemilihan, kedua partai tersebut mampu menjadi pemenang dengan memperoleh suara mayoritas, hal im tidak membawa konsekuensi bahwa partai tersebut akan memegang jabatan eksekutif.









Daftar Pustaka
(1960). The Religion ofJava. (Glencoe, Illinois: The Free Press)
(1988). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
(1989b). The State Reorganization of Society Under The New Order. Prising no.47
(1994a) Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
(1994b). Negara, Kapital dan Demoki-asi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
.(1989a). Ek-onomi dan Struktur Politik Orde Baru, 19661971. Jakarta: LP3ES
.(1990). Language and Power; Exploring Political Structures in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University
A.Muis. Titian Jalan Detnokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. Penerbit Harian Kompas. Jakarta. 2000
Affan Gaffar. (2002Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alfian & Nazarudin Syamsudin (1991). Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: PT. Temprint
Alfian. Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
Allasyarakat : Dilemma Birokrasi? dalam Mochtar Mas'oed & Colin Mc
Almond & Verba. (1966). The Civic Culture. Little Brown. Boston Mass
Almond, Gabriel & Powel, Bingham. (1966). Comparative Politics Development Approach. Bombay, India: Little Brown Company
Aminudin Siregar. (1985). Pemikiran Politik dan Perubahan Sosial. Akademika Pressindo
Anderson, Benedict. (1972). The Idea of Power in Javanese Society in Claire Holt. Benedict Anderson, James T. Siegel (Ed). Culture and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press
Andrews (Ed). Perbandingan Sistem Politik. Edisi Revisi, cetakan ke-8.

Bottomore, Tom. Sosiologi Politik. diterjemahkan oleh Sahat Sitomora. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1992.
Darji Darmodiharjo. (1982). Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta
Duverger, Maurice. (1981). Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali
Frederickson, George. (1984). Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books
Huntington, Samuel P dan Nelson, John. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Penerbit: Rineka Cipta. Jakarta, 1980
Huntington, Samuel P. & Nelson, John. (1980). Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta
Ichlasul Anial dan Armaidy Armawi. Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, cetakan ke-1, Juli 1996.
J. Soedjati DjiNvandono dan T. A Legowo.Revitalisasi Sistem Politik Indonesia, Penerbit CSIS. Jakarta
Keller, Suzanne. (1984). Penguasa dan Kelompok Elit. (Alih Bahasa: Zahara D. Noer). Jakarta: CV. Rajawali
Koetjaraningrat. (1965). Pengantar 4niropologi. Jakarta: Penerbit Universitas
Miriam Budiardjo. (1994). Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan
Mochtar Mas'oed dan MacAndrews,Colin.Perbandingan Sistem Politik. Penerbit Gadjah Mada University Press. cetakan ke-16, Yogyakarta, December 2001
Mohtar Mas'oed. (1985). Efektivitas dan Tanggung Jawab pada
Oetojo Oesman & Alfian. (1991) Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Masyarakat Berbagsa dan Bernegara. Jakarta: BP7 Pusat
Phil Astrid S. Susanto. (1979). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Binacipta

Rafael Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit Rineka Cipta. cetakan ke-1 Februari 2001. Jakarta
Ramlan Surbakti. Memahami Rmu Politi., Penerbit PT Grasindo. cetakan ke-4. Jakarta. September 1999
Rosadi Kantaprawira. (1999). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Smar Bard Algesindo
Rush, Michael & Althoff, Philip. (1983). Pengantar Sosiologi Politik. (Alih Bahasa: Dra. Kartim Kartono). Jakarta: CV. Rajawali
Rush, Michael & Althoff, Philip.Pengantar Sosiologi Politik. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. cetakan ke-11, Jakarta, Januari 2005.
Selo Sumardjan & Soelaiman Sumardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: FE UJI.
Soerjono Soekanto. (2001). Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syahrial Syarbaini dkk, Sosiologi dan Politik. Penerbit Ghalia Indonesia. cetakan ke-1. Jakarta. Juni 2002
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Penerbit Prenada Media. cetakan ke-2. Agustus 2005


0 comments: