Monday, January 04, 2016

relasi politik oms dengan partai politik



1.1. Latar Belakang
Paska perjanjian damai/Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005, secara tidak langsung telah terjadi perubahan arah pergerakan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh. Perubahan ini terlihat dari pola perjuangan OMS. Sebelum masa perdamaian, OMS pada umumnya mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah dan partai politik. Sementara, paska perdamaian OMS telah menjadi bagian dari sistem demokrasi itu sendiri melaluipendirian partai politik, khususnya partai lokal (parlok). Landasan yang dijadikan rujukan adalah “amanat” poin 1.21 MoU Helsinki dan pasal 75 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur pembentukan partai politik lokal.
Kewenangan membentuk partai lokal inikemudian melahirkan banyak partai politik yang didirikan oleh aktivis OMS, diantaranya Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Semua partai politik yang lulus verifikasi Depkumham pada Pemilu 2009 tersebut lahir dari aktivis OMS kecuali Partai Aceh (PA), yang dibentuk oleh aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Misalnya, PRA didirikan oleh beberapa aktivis OMS seperti Wiratmadinata, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, dan Thamren Ananda, aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sementara, SIRA adalah partai lokal yang berasal dari organisasi yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Aceh pada tahun 1998 yang mendorong lahirnya referendum di Aceh, salah satunya ialah Teuku Banta Syahrizal, yang juga pernah terlibat aktif di Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF). Demikian pula halnya dengan PBA, yang didominasi oleh aktivis 98 di Aceh seperti Tgk.Muhammad Saleh, yang pernah duduk dalam Presidium SIRA. Sementara itu, PDA didirikan oleh para santri yang sebelumnya tergabung dalam berbagai organisasi santri dan ulama seperti Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), di antaranya ialah Tgk. Harmen Nuriqman dan Waled Husaini. Lain halnya dengan PAAS, partai lokal ini lahir dari aktivis dakwah yang beraliansi padan gerakan neo-Masyumi yang berbasis di Aceh di bawah pimpinan Ghazali Abas Adan.
Transformasi gerakan sipil menjadi gerakan politik ini menjadi catatan penting dalam upaya membangun demokrasi di Aceh, khususnya paska konflik berkepanjangan sejak tahun 1976, meskipun kemudian hasil pemilu legislatif 2009 di Aceh menunjukkan bahwa satu-satunya partai lokal yang mendapatkan kursi terbanyak adalah Partai Aceh, sementara partai lokal lainnya tidak memperoleh kursi sama sekali di DPRAceh kecuali PDA, yang hanya meraih satu kursi. Partai lokal lainnya pada akhirnya membubarkan diri, seperti PRA, PBA, PAAS dan SIRA, yang tidak lolos verifikasi Komisi Independen Pemilihan (KIP) pada tahun 2012.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak sedikit politisi dari kalangan aktivis yang tidak terpilih kemudian kembali membangun gerakan sosial melalui OMS. Reposisi dari politisi menjadi aktivis nonpartisan ini menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dimana posisi OMS terhadap partai politik; apakah harus terpisah dari aktivitas politik praktis atau menjadi bagianyang tak terpisahkan dari gerakan politik secara struktural.
Disisi lain, berbagai pemikiran muncul terkait konsep ideal posisi dan relasi antara OMS dengan partai politik dalam konteks pembangunan demokrasi. Budi Setyono menyatakan bahwa OMS merupakan lembaga/organisasi non partisan yang berbasis pada gerakan moral (moral force) yang berperan dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan politik sesuai dengan aspirasi rakyat.[1] Fungsi moral force ini bertujuan untuk membangun proses demokrasi agar tetap berada pada jalurnya dimana kebijakan penguasa harus mewakili kepentingan rakyat. Oleh karena itu, OMS harus berdiri secara independen tanpa pengaruh dari kepentingan politik partai politik tertentu, atau sebaliknya, menjadi mitra kritis terhadap penyelengaraan pemerintahan oleh pemerintah maupun partai politik di badan legislatif.
Otho H.Hadi mengatakan bahwa pemisahan antara partai politik dengan OMS merupakan upaya OMS sebagai “narcissism”, yaitu OMS harus mempunyai karakter anti perilaku politisi dimana politik adalah sesuatu yang kotor, atau sebaliknya, bekerja di OMS merupakan sesuatu yang bersih.[2] Aliran ini menganggap bahwa politisi dan kekuasaan cenderung korup. Seperti yang ditegaskan oleh Nodia, bahwa posisi OMS seharusnya sebagai oposisi dan cenderung melawan partai politik jika kondisi partai politik yang menguasai negara secara mayoritas cenderung otoriter dan diktator.[3] Kondisi ini seperti yang terjadi pada rezim komunis Rusia atau ketika masa Orde Lama dan Orde Baru di Indonesia. Konsep posisi OMS terhadap partai politik (political society) ini juga dianggap sebagai relasi anti-negara (relasi negatif) yang dikembangkan oleh Karl Marx. Seperti yang dikutip Canterbury, Marx menuliskan bahwa partai politik adalah instrumen dalam meraih kekuasaan dan kemudian menjadi penguasa adalah kelas borjuis yang merupakan bagian dari kaum kapitalistik. Penguasa yang diperoleh melalui instrumen ini menjadi kelompok dominan dalam pengambilan sebuah keputusan dan kebijakan atau dikenal sebagai superstucture.[4]
Model relasi yang lain adalah transformatif. Carl Gershman menyatakan jika negara atau partai politik penguasa yang diktator telah berakhir maka peran OMS harus melakukan transformasi. Upaya transformasi ini dilakukan dengan mendorong demokratisasi, reformasi, toleransi, serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Proses membangun sistem ini dilakukan dengan menempatkan aktivis OMS di lembaga pemerintahan atau menjadi penguasa negara dan pengambil kebijakan, baik melalui instrumen partai politik maupun instrumen lainnya yang diatur oleh hukum.[5]
Mengamati situasi terkini menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014, banyak aktor OMS yang berafiliasi dengan berbagai partai politik lokal maupun nasional. Salah satu faktor yang mempengaruhi transformasi gerakan ini ialah tidak adanya dukungan finansial terhadap OMS lokal khususnya, setelah berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami dan konflik di Aceh, baik yang didanai oleh pemerintah maupun LSM nasional dan internasional. Disisi lain, independensi secara ekonomi institusi OMS di Aceh relatif tidak terwujud. Oleh karena itu, konsepsi Marx yang menyatakan bahwa masyarakat sipil harus mapan secara ekonomi dan kebijakan dalam melawan political society tidak sepenuhnya terwujud dalam pergerakan OMS di Aceh saat ini.
Disamping itu, kecenderungan dan ketergantungan OMS secara ekonomi terhadap donor juga melahirkan disorientasi independensi gerakan OMS. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah OMS yang membangun relasi dengan partai politik untuk mendapatkan dana aspirasi dan bantuan pemerintah melalui relasi dengan aktor tertentu dari lembagapemerintahan. Krisis ketokohan dan ekonomi yang dihadapi oleh berbagai OMS di Aceh juga menyebabkan posisi beberapa OMS terlihat lebih prakmatis dalam menjaga eksistensinya.
Buku ini merupakan hasil dari penelitian pemetaan relasi politik OMS dengan partai politik di Aceh. Secara khusus, buku ini akan menggambarkan tentang; (1) pola relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, (2) bentuk dan faktor transformasi OMS baik secara individu fungsional maupun secara struktural terhadap partai politik di Aceh, (3) model relasi yang efektif antara OMS dengan partai politik dalam upaya membangun proses demokrasi yang lebih baik, dan (4) menjadi baseline dalam melihat peta model relasi politik OMS dengan partai politik.

2.      Partai Politik (Parpol)
Secara umum, partai politik diartikan sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang (warga negara) yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya dan masyarakat secara umum yang didasarkan pada perundang-undangan.
Sementara, Carl J. Friedrich mengartikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan penguasaan ini memberikan anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupul material.[6]
Di sisi lain, Prof. Mariam Budiardjo mendefinisikan partai politik sebagai “suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[7]
Jika merujuk pada UU No.2 Tahun 2011, yang merupakan perubahan terhadap UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah “organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3.      Perkembangan Partai Politik di Aceh Paska MoU dan UUPA
Posisi gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh mengalami dinamika yang sangat fluktuatif. Sebelum adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, aktivis sipil di Aceh umumnya mengambil posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti terhadap partai politik karena partai politik dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah Jakarta. Partai politik juga dianggap tidak mampu merubah kondisi Aceh yang tertindas oleh operasi militer yang terus berkelanjutan, sebaliknya mendukung proses demokrasi dan eksistensi parpol dianggap hanya akan membuktikan bahwa Aceh menjadi bagian dari sistem Indonesia. Sehingga kesimpulan untuk memboikot boikot pemilu pada tahun 1999 dan tahun 2004 merupakan bentuk perjuangan melawan hegemoni Indonesia dalam perspektif politik.[8]
Pasca ditanda-tangani MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia secara singnifikan. Salah satu terobosan yang dituangkan dalam UUPA adalah pembentukan partai politik berbasis lokal seperti disebutkan pada Bab XI pasal 75 sampai pasal 95 UUPA. Pembentukan partai lokal ini juga dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Parlok).
Kehadiran Parlok ini memberikan warna politik berbeda di Aceh jika dibandingkan sebelum adanya partai lokal. Disatu sisi, pembentukan Parlok sebagai bagian dari konsesi politik dari perjanjian damai, dimana Parlok menjadi instrumen perjuangan politik eks-GAM untuk berkuasa di Aceh, dan disisi lain pembentukan Parlok sebagai bentuk re-integrasi arah politik eks-GAM dari gerakan untuk memerdekaan Aceh dari NKRI kepada gerakan penguatan demokrasi dalam NKRI.
Proses pembentukan Parlok pertama diinisiasi oleh aktivis sipil yang bergabung dari Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang membentuk Partai Rakyat Aceh (PRA). Kemudian, mantan aktivis GAM membentuk Partai GAM yang kemudian berubah nama menjadi Partai Aceh (PA), Politisi senior PAN Dr.Farhan Hamid membentuk Partai Aceh Bersatu (PAB), kemudian ormas Islam membentuk Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang dipelopori oleh Ghazali Abbas Adan yang juga ketua dewan Pembina Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Disisi lain, aktivis yang berbasis pesantren dan didukung oleh ulama tradisional membentuk Partai Daulat Aceh (PDA). Terakhir aktivis yang tergabung dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) membentuk partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).
Pesta demokrasi pertama setelah perjanjian damai dilakukan pada tahun Juli 2009 menjadi pertarungan politik pertama antara partai lokal (Parlok) dan partai nasional (Parnas). Ada hal yang menarik dimana partailokal yang dibentuk oleh eks-GAM yaitu Partai Aceh membangun koalisi dengan Partai Demokrat yang merupakan partai berbasis nasional. Sebuah kontrak politik dimana untuk calon legislatif tingkat nasional (DPR-RI), Partai Aceh akan mendukung calon yang diusulkan oleh partai Demokrat, sebaliknya untuk calon legislatif provinsi dan kabupaten/kota akan dikuasai oleh Partai Aceh. Hasil pemilu menunjukkan skenario itu berjalan, dimana dari 10 DPR-RI perwakilan Aceh, 7 diantaranya berasal dari partai Demokrat. Hal yang sama juga perolehan kursi ditingkat provinsi dari 53 jumlah kursi, 33 diantaranya dikuasai oleh PA, 1 kursi oleh PDA dan sisanya partai 5 kursi Golkar, 10 partai Demokrat, 6 PAN, 2 PPP, 5 PKS dan 1 PKPI. Sementara Parlok lainnya tidak memperoleh satupun kursi.
Salah satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah euforia keacehan dan harapan rakyat yang besar terhadap Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA mampu mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik, disisi lain, Partai Aceh juga mendapat sokongan yang besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara financial kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi Yusuf dari mantan GAM juga menjadi faktor dukungan pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan dibandingan dengan partai lain, dan terakhir karena pengikut Partai Aceh yang umumnya eks-kombatanmempunyai sifat militansi yang kuat dalam memenangkan pemilu legislatif saat itu.[9]
Konstelasi politik dan demokrasi semakin tajam ketika pelaksanaan pemilukada kedua setelah perdamaian Aceh ditanda tangani. Konstelasi pertama dimulai ketika aksi boikot untuk ikut pemilukada yang dilakukan oleh Partai Aceh (PA) sebagai partai mayoritas di Aceh. Aksi boikot ini dilakukan karena Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menerima judicial review untuk membatalkan pasal 256 UUPA tentang calon independen yang membatasi hanya untuk sekali saja. Sehingga konsekuensinya setiap orang berhak mencalonkan diri melalui calon independen, disamping yang diajukan oleh partai politik. Keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA dianggap oleh PA sebagai bentuk kebijakan Jakarta yang tidak “menghargai” UUPA sebagai UU khusus bagi Aceh.

 Disisi lain, secara politis juga memberikan peluang bagi incumbent untuk kembali mencalonkan diri melalui jalur independen pada pemilukada 2011 tersebut. Akibat dari dinamika ini telah menyebabkan pelaksanaan pemilukada ditunda. Karena keputusan MK memberikan konsekuensi terhadap tahapan pelaksanaan pemilukada itu sendiri. Disisi lain, upaya untuk menunda pemiluka sampai masa jabatan Gubernur berakhir juga dilakukan dengan berbagai skenario politik. Salah skenarionya adalah kebijakan Dirjen OTDA Kementerian Dalam Negeri yang membuat nota kesepahaman antara Kemendagri dengan petinggi PA. Salah satu item yang disepakati yaitu PA akan mendaftarkan calonnya pada pemilukada 2012, dan Kemendagri akan mengungat ke MK terkait tahapan pelaksanaan pemilukada yang sedang berlangsung.
Dominasi PA dalam setiap perkembangan politik di Aceh sangatlah kental. Proses perubahan jadwal pemilukada sebenarnya hanya dibenarkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu terdapat 4 sebab, diantaranya, (1) calon tunggal, (2) tidak ada dana daerah, (3) keadaan darurat karena bencana alam, (4) gangguan keamanan/konflik.
Secara perundang-undangan, penundaan pemilukada tidaklah memenuhi satupun kriteria di atas, namun kebijakan politik dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI dan juga keputusan “politis” MK tentang perpanjangan tahapan pelaksanaan pemiluka, telah menyebabkan pemiluka tertunta sampai 4 kali, yang akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012.[10]
Pemilukada ini akhirnya dimenangkan pasangan yang diusulkan oleh PA yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf yang ditetapkan sebagai Gubernur dan wakil Gubernur terpilih untuk periode 2012-2017.
Dalam pelaksanaan tahapan tersebut, beberapa tindakan kekerasan menjadi potret pelaksanaan pemilukada tersebut, disamping juga kecurangan lainnya seperti money politic. Namun demikian, tidak satupun kekerasan dan temuan politik uang (money politics) tersebut diproses secara hukum dengan delik pidana pemilu. Satu-satunya perbuatan melawan hukum yang diproses adalah kasus pembunuhan etnis jawa yang dilakukan oleh salah satu aktivis PA dengan UU antiterorisme.[11]
Menjelang pelaksanaan pemilu nasional pada April dan Juli 2014, beberapa partai berbasis lokal yang tidak menempatkan wakilnya di parlemen akhirnya membubarkan diri dan atau tidak lulus verifikasi faktual. Dari 6 Parlok yang ikut pemilu 2009 lalu hanya 1 partai yang lulus parliamentary thresold yaitu Partai Aceh. Namun demikian, terdapat 2 Parlok lainnya yang lolos verifikasi akhir dari Kementarian Hukum dan HAM dan Komisi Independen Pemilu (KIP) provinsi Aceh, yaitu: (1) Partai Damai Aceh, dulu namanya Partai Daulat Aceh (PDA), dan (2) Partai Nasional Aceh (PNA), yaitu partai yang didirikan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama dengan mantan eks-komandan GAM seperti Sofwan Dawod, Irwansyah, Muharram, Abu Sanusi, Ligadinsyah, Abrar Muda, dan beberapa mantan kombatan lainnya.
Secara umum, perkembangan partai politik di Aceh, khususnya Parlok terdapat 3 partai politik, 2 diantaranya merupakan partai politik yang didirikan oleh mantan eks-kombatan GAM, dan 1 (satu) lagi merupakan partai yang berbasis santri di pesantren. Secara khusus, pemilu Legisatif 2014 di Aceh akan diikuti oeh 13 partai Nasional dan 3 partai lokal Aceh. Beberapa partai yang tidak lolos verifikasi melakukan pembubaran diri dan atau melakukan merger dengan partai politik lainnya, seperti yang dilakukan oleh PRA yang bergabung dengan PNA.




[1] Budi Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Suara Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 22 Desember 2015
[2] Otho H.Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14. No.2, Desember 2010, hlm. 117-129
[3] Gia Nodia, Civil Society Development in Georgia, (Georgia:Caucacus Institute for Peace, Democracy and Development, 2005) hlm 56.
[4] Dennis Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization and New Authoritarianism, England: Ashgate Publishing Limited, 2005, hlm. 62
[5] Carl Gershman, The Relationship of Political Parties and Civil Society, Washington: National Endowment for Democracy, Supporting Freedom Around the World, 17 Maret 2004, diunduh 12 Desember 2015
[6] Carl J. Friedrich, Definisi Partai Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, diunduh 15 Desember 2015
[7]  Prof. Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 34
[8] Wawancara dengan Tarmizi, Ketua Aceh People Forum (APF), Banda Aceh, 19 November 2015
[9] Aryos Nivada, Pemetaan Political Marketing Partai Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013, hlm. 24
[10] mendagri Daftarkan Perkara ke MK Terkait Tahapan Pemilukada Aceh, Serambi Indonesia, 15 Desember 2011
[11] Chairul Fahmi dan Sudarman (Ed), Kekerasan dalam Demokrasi, Banda Aceh: The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh), 2012

0 comments: