1.1. Latar
Belakang
Paska
perjanjian damai/Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik
Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005,
secara tidak langsung telah terjadi perubahan arah pergerakan Organisasi
Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh. Perubahan ini terlihat dari pola perjuangan
OMS. Sebelum masa perdamaian, OMS pada umumnya mengambil sikap oposisi terhadap
pemerintah dan partai politik. Sementara, paska perdamaian OMS telah menjadi
bagian dari sistem demokrasi itu sendiri melaluipendirian partai politik,
khususnya partai lokal (parlok). Landasan yang dijadikan rujukan adalah
“amanat” poin 1.21 MoU Helsinki dan pasal 75 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh yang mengatur pembentukan partai politik lokal.
Kewenangan
membentuk partai lokal inikemudian melahirkan banyak partai politik yang didirikan
oleh aktivis OMS, diantaranya Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen
Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan
Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Semua partai politik yang lulus verifikasi
Depkumham pada Pemilu 2009 tersebut lahir dari aktivis OMS kecuali Partai Aceh
(PA), yang dibentuk oleh aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Misalnya, PRA
didirikan oleh beberapa aktivis OMS seperti Wiratmadinata, yang pernah menjabat
sebagai Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, dan Thamren Ananda, aktivis
Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Sementara, SIRA adalah partai lokal
yang berasal dari organisasi yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Aceh pada
tahun 1998 yang mendorong lahirnya referendum di Aceh, salah satunya ialah
Teuku Banta Syahrizal, yang juga pernah terlibat aktif di Acehnese Civil
Society Task Force (ACSTF). Demikian pula halnya dengan PBA, yang didominasi
oleh aktivis 98 di Aceh seperti Tgk.Muhammad Saleh, yang pernah duduk dalam Presidium
SIRA. Sementara itu, PDA didirikan oleh para santri yang sebelumnya tergabung
dalam berbagai organisasi santri dan ulama seperti Rabithah Thaliban Aceh (RTA)
dan Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), di antaranya ialah Tgk. Harmen Nuriqman
dan Waled Husaini. Lain halnya dengan PAAS, partai lokal ini lahir dari aktivis
dakwah yang beraliansi padan gerakan neo-Masyumi yang berbasis di Aceh di bawah
pimpinan Ghazali Abas Adan.
Transformasi
gerakan sipil menjadi gerakan politik ini menjadi catatan penting dalam upaya membangun
demokrasi di Aceh, khususnya paska konflik berkepanjangan sejak tahun 1976,
meskipun kemudian hasil pemilu legislatif 2009 di Aceh menunjukkan bahwa
satu-satunya partai lokal yang mendapatkan kursi terbanyak adalah Partai Aceh, sementara
partai lokal lainnya tidak memperoleh kursi sama sekali di DPRAceh kecuali PDA,
yang hanya meraih satu kursi. Partai lokal lainnya pada akhirnya membubarkan
diri, seperti PRA, PBA, PAAS dan SIRA, yang tidak lolos verifikasi Komisi
Independen Pemilihan (KIP) pada tahun 2012.
Perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa tidak sedikit politisi dari kalangan aktivis yang
tidak terpilih kemudian kembali membangun gerakan sosial melalui OMS. Reposisi
dari politisi menjadi aktivis nonpartisan ini menimbulkan berbagai pertanyaan
terkait dimana posisi OMS terhadap partai politik; apakah harus terpisah dari
aktivitas politik praktis atau menjadi bagianyang tak terpisahkan dari gerakan
politik secara struktural.
Disisi
lain, berbagai pemikiran muncul terkait konsep ideal posisi dan relasi antara
OMS dengan partai politik dalam konteks pembangunan demokrasi. Budi Setyono
menyatakan bahwa OMS merupakan lembaga/organisasi non partisan yang berbasis
pada gerakan moral (moral force) yang berperan dalam mengawal penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan politik sesuai dengan aspirasi rakyat.[1]
Fungsi
moral force ini bertujuan untuk membangun proses demokrasi agar tetap berada
pada jalurnya dimana kebijakan penguasa harus mewakili kepentingan rakyat. Oleh
karena itu, OMS harus berdiri secara independen tanpa pengaruh dari kepentingan
politik partai politik tertentu, atau sebaliknya, menjadi mitra kritis terhadap
penyelengaraan pemerintahan oleh pemerintah maupun partai politik di badan
legislatif.
Otho
H.Hadi mengatakan bahwa pemisahan antara partai politik dengan OMS merupakan
upaya OMS sebagai “narcissism”, yaitu OMS harus mempunyai karakter anti
perilaku politisi dimana politik adalah sesuatu yang kotor, atau sebaliknya,
bekerja di OMS merupakan sesuatu yang bersih.[2]
Aliran ini
menganggap bahwa politisi dan kekuasaan cenderung korup. Seperti yang
ditegaskan oleh Nodia, bahwa posisi OMS seharusnya sebagai oposisi dan
cenderung melawan partai politik jika kondisi partai politik yang menguasai
negara secara mayoritas cenderung otoriter dan diktator.[3]
Kondisi
ini seperti yang terjadi pada rezim komunis Rusia atau ketika masa Orde Lama
dan Orde Baru di Indonesia. Konsep posisi OMS terhadap partai politik
(political society) ini juga dianggap sebagai relasi anti-negara (relasi
negatif) yang dikembangkan oleh Karl Marx. Seperti yang dikutip Canterbury,
Marx menuliskan bahwa partai politik adalah instrumen dalam meraih kekuasaan
dan kemudian menjadi penguasa adalah kelas borjuis yang merupakan bagian dari
kaum kapitalistik. Penguasa yang diperoleh melalui instrumen ini menjadi
kelompok dominan dalam pengambilan sebuah keputusan dan kebijakan atau dikenal
sebagai superstucture.[4]
Model
relasi yang lain adalah transformatif. Carl Gershman menyatakan jika negara
atau partai politik penguasa yang diktator telah berakhir maka peran OMS harus
melakukan transformasi. Upaya transformasi ini dilakukan dengan mendorong
demokratisasi, reformasi, toleransi, serta mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan. Proses membangun sistem ini dilakukan dengan menempatkan aktivis
OMS di lembaga pemerintahan atau menjadi penguasa negara dan pengambil
kebijakan, baik melalui instrumen partai politik maupun instrumen lainnya yang
diatur oleh hukum.[5]
Mengamati
situasi terkini menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif
(Pileg) 9 April 2014, banyak aktor OMS yang berafiliasi dengan berbagai partai
politik lokal maupun nasional. Salah satu faktor yang mempengaruhi transformasi
gerakan ini ialah tidak adanya dukungan finansial terhadap OMS lokal khususnya,
setelah berakhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi paska tsunami dan
konflik di Aceh, baik yang didanai oleh pemerintah maupun LSM nasional dan
internasional. Disisi lain, independensi secara ekonomi institusi OMS di Aceh relatif
tidak terwujud. Oleh karena itu, konsepsi Marx yang menyatakan bahwa masyarakat
sipil harus mapan secara ekonomi dan kebijakan dalam melawan political society
tidak sepenuhnya terwujud dalam pergerakan OMS di Aceh saat ini.
Disamping
itu, kecenderungan dan ketergantungan OMS secara ekonomi terhadap donor juga
melahirkan disorientasi independensi gerakan OMS. Hal ini ditandai dengan
adanya sejumlah OMS yang membangun relasi dengan partai politik untuk mendapatkan
dana aspirasi dan bantuan pemerintah melalui relasi dengan aktor tertentu dari lembagapemerintahan.
Krisis ketokohan dan ekonomi yang dihadapi oleh berbagai OMS di Aceh juga menyebabkan
posisi beberapa OMS terlihat lebih prakmatis dalam menjaga eksistensinya.
Buku
ini merupakan hasil dari penelitian pemetaan relasi politik OMS dengan partai
politik di Aceh. Secara khusus, buku ini akan menggambarkan tentang; (1) pola
relasi politik yang dibangun oleh OMS terhadap partai politik, (2) bentuk dan
faktor transformasi OMS baik secara individu fungsional maupun secara
struktural terhadap partai politik di Aceh, (3) model relasi yang efektif
antara OMS dengan partai politik dalam upaya membangun proses demokrasi yang lebih
baik, dan (4) menjadi baseline dalam melihat peta model relasi politik OMS
dengan partai politik.
2.
Partai
Politik (Parpol)
Secara
umum, partai politik diartikan sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok
orang (warga negara) yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan
kelompoknya dan masyarakat secara umum yang didasarkan pada perundang-undangan.
Sementara,
Carl J. Friedrich mengartikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
pemerintah bagi pemimpin partainya, dan penguasaan ini memberikan anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupul material.[6]
Di
sisi lain, Prof. Mariam Budiardjo mendefinisikan partai politik sebagai “suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[7]
Jika
merujuk pada UU No.2 Tahun 2011, yang merupakan perubahan terhadap UU No.2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah “organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3.
Perkembangan
Partai Politik di Aceh Paska MoU dan UUPA
Posisi
gerakan sipil terhadap partai politik di Aceh mengalami dinamika yang sangat
fluktuatif. Sebelum adanya perjanjian damai antara pemerintah Republik
Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, aktivis sipil di
Aceh umumnya mengambil posisi anti terhadap partai politik. Gerakan anti
terhadap partai politik karena partai politik dianggap sebagai perpanjangan
tangan pemerintah Jakarta. Partai politik juga dianggap tidak mampu merubah
kondisi Aceh yang tertindas oleh operasi militer yang terus berkelanjutan, sebaliknya
mendukung proses demokrasi dan eksistensi parpol dianggap hanya akan
membuktikan bahwa Aceh menjadi bagian dari sistem Indonesia. Sehingga kesimpulan
untuk memboikot boikot pemilu pada tahun 1999 dan tahun 2004 merupakan bentuk
perjuangan melawan hegemoni Indonesia dalam perspektif politik.[8]
Pasca
ditanda-tangani MoU Helsinki antara pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005,
dan pengesahan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terjadi
perubahan yang signifikan dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia
secara singnifikan. Salah satu terobosan yang dituangkan dalam UUPA adalah
pembentukan partai politik berbasis lokal seperti disebutkan pada Bab XI pasal
75 sampai pasal 95 UUPA. Pembentukan partai lokal ini juga dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (Parlok).
Kehadiran
Parlok ini memberikan warna politik berbeda di Aceh jika dibandingkan sebelum
adanya partai lokal. Disatu sisi, pembentukan Parlok sebagai bagian dari
konsesi politik dari perjanjian damai, dimana Parlok menjadi instrumen
perjuangan politik eks-GAM untuk berkuasa di Aceh, dan disisi lain pembentukan
Parlok sebagai bentuk re-integrasi arah politik eks-GAM dari gerakan untuk
memerdekaan Aceh dari NKRI kepada gerakan penguatan demokrasi dalam NKRI.
Proses
pembentukan Parlok pertama diinisiasi oleh aktivis sipil yang bergabung dari
Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), yang membentuk Partai Rakyat Aceh
(PRA). Kemudian, mantan aktivis GAM membentuk Partai GAM yang kemudian berubah nama
menjadi Partai Aceh (PA), Politisi senior PAN Dr.Farhan Hamid membentuk Partai
Aceh Bersatu (PAB), kemudian ormas Islam membentuk Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS)
yang dipelopori oleh Ghazali Abbas Adan yang juga ketua dewan Pembina Dewan Dakwah
Islam Indonesia (DDII). Disisi lain, aktivis yang berbasis pesantren dan
didukung oleh ulama tradisional membentuk Partai Daulat Aceh (PDA). Terakhir
aktivis yang tergabung dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) membentuk
partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).
Pesta
demokrasi pertama setelah perjanjian damai dilakukan pada tahun Juli 2009
menjadi pertarungan politik pertama antara partai lokal (Parlok) dan partai nasional
(Parnas). Ada hal yang menarik dimana partailokal yang dibentuk oleh eks-GAM
yaitu Partai Aceh membangun koalisi dengan Partai Demokrat yang merupakan
partai berbasis nasional. Sebuah kontrak politik dimana untuk calon legislatif
tingkat nasional (DPR-RI), Partai Aceh akan mendukung calon yang diusulkan oleh
partai Demokrat, sebaliknya untuk calon legislatif provinsi dan kabupaten/kota
akan dikuasai oleh Partai Aceh. Hasil pemilu menunjukkan skenario itu berjalan,
dimana dari 10 DPR-RI perwakilan Aceh, 7 diantaranya berasal dari partai
Demokrat. Hal yang sama juga perolehan kursi ditingkat provinsi dari 53 jumlah kursi,
33 diantaranya dikuasai oleh PA, 1 kursi oleh PDA dan sisanya partai 5 kursi
Golkar, 10 partai Demokrat, 6 PAN, 2 PPP, 5 PKS dan 1 PKPI. Sementara Parlok
lainnya tidak memperoleh satupun kursi.
Salah
satu faktor kemenangan Partai Aceh adalah euforia keacehan dan harapan rakyat
yang besar terhadap Partai Aceh bentukan GAM itu. Rakyat berharap PA mampu
mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik, disisi lain, Partai Aceh juga
mendapat sokongan yang besar dari berbagai pengusaha yang mendukung secara financial
kampanye partai. Pengaruh Gubernur Irwandi Yusuf dari mantan GAM juga menjadi
faktor dukungan pengusaha ke Partai Aceh menjadi lebih dominan dibandingan
dengan partai lain, dan terakhir karena pengikut Partai Aceh yang umumnya
eks-kombatanmempunyai sifat militansi yang kuat dalam memenangkan pemilu
legislatif saat itu.[9]
Konstelasi
politik dan demokrasi semakin tajam ketika pelaksanaan pemilukada kedua setelah
perdamaian Aceh ditanda tangani. Konstelasi pertama dimulai ketika aksi boikot
untuk ikut pemilukada yang dilakukan oleh Partai Aceh (PA) sebagai partai mayoritas
di Aceh. Aksi boikot ini dilakukan karena Mahkamah Konstitusi (MK) Republik
Indonesia menerima judicial review untuk membatalkan pasal 256 UUPA tentang
calon independen yang membatasi hanya untuk sekali saja. Sehingga
konsekuensinya setiap orang berhak mencalonkan diri melalui calon independen, disamping
yang diajukan oleh partai politik. Keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA
dianggap oleh PA sebagai bentuk kebijakan Jakarta yang tidak “menghargai” UUPA
sebagai UU khusus bagi Aceh.
Disisi lain, secara politis juga memberikan
peluang bagi incumbent untuk kembali mencalonkan diri melalui jalur independen
pada pemilukada 2011 tersebut. Akibat dari dinamika ini telah menyebabkan pelaksanaan
pemilukada ditunda. Karena keputusan MK memberikan konsekuensi terhadap tahapan
pelaksanaan pemilukada itu sendiri. Disisi lain, upaya untuk menunda pemiluka
sampai masa jabatan Gubernur berakhir juga dilakukan dengan berbagai skenario
politik. Salah skenarionya adalah kebijakan Dirjen OTDA Kementerian Dalam
Negeri yang membuat nota kesepahaman antara Kemendagri dengan petinggi PA. Salah
satu item yang disepakati yaitu PA akan mendaftarkan calonnya pada pemilukada
2012, dan Kemendagri akan mengungat ke MK terkait tahapan pelaksanaan
pemilukada yang sedang berlangsung.
Dominasi
PA dalam setiap perkembangan politik di Aceh sangatlah kental. Proses perubahan
jadwal pemilukada sebenarnya hanya dibenarkan oleh UU No.32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, yaitu terdapat 4 sebab, diantaranya, (1) calon tunggal,
(2) tidak ada dana daerah, (3) keadaan darurat karena bencana alam, (4)
gangguan keamanan/konflik.
Secara
perundang-undangan, penundaan pemilukada tidaklah memenuhi satupun kriteria di
atas, namun kebijakan politik dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri RI dan
juga keputusan “politis” MK tentang perpanjangan tahapan pelaksanaan pemiluka, telah
menyebabkan pemiluka tertunta sampai 4 kali, yang akhirnya dilaksanakan pada 9
April 2012.[10]
Pemilukada
ini akhirnya dimenangkan pasangan yang diusulkan oleh PA yaitu Zaini Abdullah
dan Muzakkir Manaf yang ditetapkan sebagai Gubernur dan wakil Gubernur terpilih
untuk periode 2012-2017.
Dalam
pelaksanaan tahapan tersebut, beberapa tindakan kekerasan menjadi potret
pelaksanaan pemilukada tersebut, disamping juga kecurangan lainnya seperti
money politic. Namun demikian, tidak satupun kekerasan dan temuan politik uang
(money politics) tersebut diproses secara hukum dengan delik pidana pemilu.
Satu-satunya perbuatan melawan hukum yang diproses adalah kasus pembunuhan
etnis jawa yang dilakukan oleh salah satu aktivis PA dengan UU antiterorisme.[11]
Menjelang
pelaksanaan pemilu nasional pada April dan Juli 2014, beberapa partai berbasis
lokal yang tidak menempatkan wakilnya di parlemen akhirnya membubarkan diri dan
atau tidak lulus verifikasi faktual. Dari 6 Parlok yang ikut pemilu 2009 lalu
hanya 1 partai yang lulus parliamentary thresold yaitu Partai Aceh. Namun
demikian, terdapat 2 Parlok lainnya yang lolos verifikasi akhir dari
Kementarian Hukum dan HAM dan Komisi Independen Pemilu (KIP) provinsi Aceh,
yaitu: (1) Partai Damai Aceh, dulu namanya Partai Daulat Aceh (PDA), dan (2)
Partai Nasional Aceh (PNA), yaitu partai yang didirikan oleh mantan Gubernur
Aceh Irwandi Yusuf bersama dengan mantan eks-komandan GAM seperti Sofwan Dawod,
Irwansyah, Muharram, Abu Sanusi, Ligadinsyah, Abrar Muda, dan beberapa mantan
kombatan lainnya.
Secara
umum, perkembangan partai politik di Aceh, khususnya Parlok terdapat 3 partai
politik, 2 diantaranya merupakan partai politik yang didirikan oleh mantan
eks-kombatan GAM, dan 1 (satu) lagi merupakan partai yang berbasis santri di
pesantren. Secara khusus, pemilu Legisatif 2014 di Aceh akan diikuti oeh 13
partai Nasional dan 3 partai lokal Aceh. Beberapa partai yang tidak lolos
verifikasi melakukan pembubaran diri dan atau melakukan merger dengan partai
politik lainnya, seperti yang dilakukan oleh PRA yang bergabung dengan PNA.
[1] Budi
Setyono, Pengawasan Pemilu oleh LSM, Suara Merdeka, 15 Oktober 2003, diunduh 22
Desember 2015
[2] Otho
H.Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Makara,
Sosial Humaniora, Vol. 14. No.2, Desember 2010, hlm. 117-129
[3] Gia
Nodia, Civil Society Development in Georgia, (Georgia:Caucacus Institute for
Peace, Democracy and Development, 2005) hlm 56.
[4] Dennis
Compton Canterbury, Neo-Liberal Democratization and New Authoritarianism,
England: Ashgate Publishing Limited, 2005, hlm. 62
[5] Carl
Gershman, The Relationship of Political Parties and Civil Society, Washington:
National Endowment for Democracy, Supporting Freedom Around the World, 17 Maret
2004, diunduh 12 Desember 2015
[6] Carl J.
Friedrich, Definisi Partai Politik, http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik,
diunduh 15 Desember 2015
[7] Prof. Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 34
[8]
Wawancara dengan Tarmizi, Ketua Aceh People Forum (APF), Banda Aceh, 19
November 2015
[9] Aryos Nivada,
Pemetaan Political Marketing Partai Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009
di Provinsi Aceh, (Jakarta: Universitas Atmajaya dan UNDP), 2013, hlm. 24
[10]
mendagri Daftarkan Perkara ke MK Terkait Tahapan Pemilukada Aceh, Serambi
Indonesia, 15 Desember 2011
[11] Chairul
Fahmi dan Sudarman (Ed), Kekerasan dalam Demokrasi, Banda Aceh: The Aceh
Institute dan Forum LSM Aceh), 2012
0 comments:
Post a Comment