Tuesday, March 17, 2015

Defenisi Analisa Kebijakan Publik Menurut Para Ahli

Menurut Charles O. Jones,[1] istlah kebijakan ( policy term ) digunakan dalam pratek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals) , program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design.  Namun demikian, meskipun kebijakan publik mungkin kelihatannya sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai sesuatu yang “terjadi” terhadap seseorang.
            Secara umum, istilah “ kebijakan” atau “policy”[2] digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor ( misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintahan ) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjdai kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematik menyangkut analisis kebijakan publik.
            Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (publik policy)  dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing-masing definisi tersebu memberikan penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
            Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “ secaara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkunganya”[3]. Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena aoa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup semua hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.[4]
            Seorang pakar politik lain, Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan dari pada  sebagai suatu keputusan tersendiri”.[5]

            Sementara itu, Amir Santoso dengan mengkomparasai berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat padangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori.[6] Pertama, pendapat alhi yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua  menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu pertama melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[7] Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Preman dan Wildavsky yang mendefinisikan kebijakan publik sesuatu himpotesi yang mengadung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan.[8]
            Tentu saja masih banyak kategori dan definisi yang dapat dikemukakan menyangkut kebijakan publik. Masing-masing definisi tersebut cukup memuaskan untuk menjelaskan satu aspek, namun besar kemungkinan gagal dalam menjelaskan aspek yang lain. Oleh karena itu, preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintahan harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain, seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan tersebut alan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan ( pressure groups),  maupun kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
            Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David Eston sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator, penasihat, raja dan semacamnya. Menurut Eston, mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebahagian terbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas perang yang diharapkan.[9]
            Menurut Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa impikasi, yakni[10] pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat didalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang sendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdangan, mengedalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Jika lembaga legislatif menetapkan undang-undang yang mengharuskan pengusaha menggaji karyawannya dengan upah minimum menurut undang-undang, tetapi tidak ada sesuatu pun yang dilakukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut sehingga tidak ada perubahan yang timbul dalam perilaku ekonomi, maka hal ini dapat di katakan bahwa kebijakan publik mengenai kasus ini sebabnya merupakan salah satu dari nonregulasi upah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya versifat positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas tetapi tidak untuk memengaruhi suatau masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lainm pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang  umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok masayarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik didasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Anggota-anggota masyarakat menerima secara sah bahwa pajak harus dibayar dan undang-undang perkawinan harus dipatuhi. Pelanggaran terhadap kebijakan ini berarti menghadapi risiko denda, hukuman kurungan atau dikenakan secara sah oelh saksi-saksi lainnya. Dengan demikian, kebijakan publik mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial dah dilakukan. Sifat memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang mengambil  oleh oranganisasi-organisasi swasta, hal ini berati bahwa kebijakan publik menuntut ketaatan yang luas dari masyarakat. Sifat yang terakhir inilah yang membedakan kebijakan publik dengan kebijakan lainnya.
            Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan ( policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (politcy outcomes).[11]
            Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy decisions)  adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditunjukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini ditunjukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dab mungkin verkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah mengabil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.
            Sedangkan itu, keputusan kebijaka (policy demands) didefinikan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substasi kepada tindakan-tindakann kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-undang.





[1] Lihat Charle O.Jones (1984). An Introduction to the Study of Publik Policy. third Edition. Monterey : books/Cole Publishing Company, hlm.25.
[2]  Anderson, op. Cit., hlm 4
[3] Robent Eyestone (1971). The Threads of Policy : A study in policy Leadership. Indianapolis : bobbs-Merril, hml. 18.
[4] Thomas R. Dye (1975). Understanding Public Policy. second Edition. Englewood Cliff, N.J:  Prentice-Hall, hml.1.
[5]  Richard rose (ed.) (1969). Policy Making in Great Britai.  Londo : Macmillan, hlm.79.
[6] Amir Santoso, op. Cit., hlm 4-5
[7]  Ibid.
[8]  Jeffrey L. Presman dan Aaron Wildavsky, dalam Amir Santoso, ibid.
[9] David Eston,  A Systems Analysis of Political Life, dalam Anderson, op.cit., hlm . 3 .
[10]  Anderson, op.cit., hlm. 3-4.
[11]  Ibid., hal. 4-5

0 comments: