Menurut Charles
O. Jones,[1]
istlah kebijakan ( policy term )
digunakan dalam pratek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan
atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan
tujuan (goals) , program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design. Namun demikian, meskipun kebijakan publik
mungkin kelihatannya sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai
sesuatu yang “terjadi” terhadap seseorang.
Secara umum, istilah “ kebijakan”
atau “policy”[2]
digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor ( misalnya seorang pejabat,
suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintahan ) atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita
gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa,
namun menjdai kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat
ilmiah dan sistematik menyangkut analisis kebijakan publik.
Pada dasarnya terdapat banyak
batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (publik policy) dalam literatur-literatur ilmu politik.
Masing-masing definisi tersebu memberikan penekanan yang berbeda-beda.
Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda.
Salah satu definisi mengenai
kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “ secaara
luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit
pemerintahan dengan lingkunganya”[3].
Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan
kurang pasti karena aoa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup
semua hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye
yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.[4]
Seorang pakar politik lain, Richard
Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian
kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya
bagi mereka yang bersangkutan dari pada
sebagai suatu keputusan tersendiri”.[5]
Sementara itu, Amir Santoso dengan
mengkomparasai berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh
minat padangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah
kategori.[6] Pertama, pendapat alhi yang menyamakan
kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok
ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai
kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli
yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang
masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang
kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan
dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai
memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam
kubu pertama melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan, yakni perumusan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu
ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian instruksi dari para pembuat
keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[7]
Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari dari rangkaian
keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Preman dan Wildavsky yang
mendefinisikan kebijakan publik sesuatu himpotesi yang mengadung
kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan.[8]
Tentu saja masih banyak kategori dan
definisi yang dapat dikemukakan menyangkut kebijakan publik. Masing-masing
definisi tersebut cukup memuaskan untuk menjelaskan satu aspek, namun besar
kemungkinan gagal dalam menjelaskan aspek yang lain. Oleh karena itu, preposisi
yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan
oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintahan harus mendapat
perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa membedakan kebijakan publik dengan
bentuk-bentuk kebijakan yang lain, seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan
oleh pihak swasta. Kebijakan tersebut alan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan
faktor-faktor bukan pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan ( pressure groups), maupun kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
Keterlibatan aktor-aktor dalam
perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang
dikatakan oleh David Eston sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu
para sesepuh tinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif,
administrator, penasihat, raja dan semacamnya. Menurut Eston, mereka ini
merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu
sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan
mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang
panjang oleh sebahagian terbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak
dalam batas-batas perang yang diharapkan.[9]
Menurut Anderson, konsep kebijakan
publik ini kemudian mempunyai beberapa impikasi, yakni[10] pertama, titik perhatian kita dalam
membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan perilaku
secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern
bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor
yang terlibat didalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu
saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem
politik. Kedua, kebijakan merupakan
arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan
bukan merupakan keputusan-keputusan yang sendiri. Suatu kebijakan mencakup
tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi
juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh
pemerintah dalam mengatur perdangan, mengedalikan inflasi, atau mempromosikan
perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Jika lembaga
legislatif menetapkan undang-undang yang mengharuskan pengusaha menggaji
karyawannya dengan upah minimum menurut undang-undang, tetapi tidak ada sesuatu
pun yang dilakukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut sehingga tidak ada
perubahan yang timbul dalam perilaku ekonomi, maka hal ini dapat di katakan
bahwa kebijakan publik mengenai kasus ini sebabnya merupakan salah satu dari
nonregulasi upah. Keempat, kebijakan
publik mungkin dalam bentuknya versifat positif atau negatif. Secara positif,
kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas tetapi tidak
untuk memengaruhi suatau masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin
mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk
mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan
yang memerlukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan
pemerintah. Dengan kata lainm pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak
melakukan campur tangan dalam bidang-bidang
umum maupun khusus. Kebijakan tidak campur tangan mungkin mempunyai
konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok
masayarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik didasarkan pada
undang-undang dan bersifat otoritatif. Anggota-anggota masyarakat menerima
secara sah bahwa pajak harus dibayar dan undang-undang perkawinan harus
dipatuhi. Pelanggaran terhadap kebijakan ini berarti menghadapi risiko denda,
hukuman kurungan atau dikenakan secara sah oelh saksi-saksi lainnya. Dengan
demikian, kebijakan publik mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial dah
dilakukan. Sifat memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang mengambil oleh oranganisasi-organisasi swasta, hal ini
berati bahwa kebijakan publik menuntut ketaatan yang luas dari masyarakat.
Sifat yang terakhir inilah yang membedakan kebijakan publik dengan kebijakan
lainnya.
Sifat kebijakan publik sebagai arah
tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi
beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan
kebijakan (policy demands),
keputusan-keputusan kebijakan (policy
decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan ( policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (politcy outcomes).[11]
Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy decisions) adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh
aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditunjukan kepada pejabat-pejabat
pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan tersebut berupa
desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil
tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini
ditunjukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dab mungkin verkisar antara
desakan secara umum bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar
pemerintah mengabil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.
Sedangkan itu, keputusan kebijaka (policy demands) didefinikan sebagai
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang
mengesahkan atau memberi arah dan substasi kepada tindakan-tindakann kebijakan
publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan
perintah-perintah eksekutif atau pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan
peraturan-peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap
undang-undang.
[1] Lihat Charle O.Jones (1984). An Introduction to the Study of Publik
Policy. third Edition. Monterey : books/Cole Publishing Company, hlm.25.
[2]
Anderson, op. Cit., hlm 4
[3] Robent Eyestone (1971). The Threads of Policy : A study in policy
Leadership. Indianapolis : bobbs-Merril, hml. 18.
[4]
Thomas R. Dye (1975). Understanding Public Policy. second Edition.
Englewood Cliff, N.J: Prentice-Hall,
hml.1.
[5]
Richard rose (ed.) (1969). Policy
Making in Great Britai. Londo :
Macmillan, hlm.79.
[6] Amir Santoso, op. Cit., hlm 4-5
[7] Ibid.
[8] Jeffrey
L. Presman dan Aaron Wildavsky, dalam Amir Santoso, ibid.
[9] David Eston, A
Systems Analysis of Political Life, dalam Anderson, op.cit., hlm . 3 .
[10] Anderson,
op.cit., hlm. 3-4.
[11] Ibid., hal. 4-5
0 comments:
Post a Comment