BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Memilih merupakan hal yang paling
utama dari sebuah partisipasi dan
sosialisasi politik
terhadap masyarakat yang
mengikuti prinsip demokrasi liberal.
Konsep pemungutan suara dapat ditelusuri dalam sejarah
dunia semenjak 508 SM
di masa Yunani kuno (Azhar, Zain & Asif, 2010).
Setiap
tahun Yunani memiliki
pemilihan yang bertujuan untuk pengasingan politisi selama lebih
dari
sepuluh tahun berdasarkan suara negatif terbanyak, setiap laki-laki dan tuan tanah
memberikan hak pilihnya, kemudian diletakkan
di dalam sebuah tempat untuk politisi mereka.
Jika salah satu politisi mendapat suara lebih dari 6000 orang yang
memilihnya maka ia akan dikucilkan
(Azhar dkk, 2010).
Indikator dari kemajuan sistem demokrasi pada suatu negara adalah
diadakannya pemilihan umum. Seperti yang
diungkapkan oleh Noehlen (2003
dalam Kurniawan 2011)
Legitimasi sistem politik dan
pemerintahan
yang dijalankan oleh suatu partai, perwakilan pendapat dan kepentingan para pemilih, serta sarana mobilisasi masa demi nilai-nilai yang
ada
dalam masyarakat, serta
tujuan-tujuan kepentingan partai politik merupakan fungsi dari pemilihan umum.
Sejak kemerdekaan
Indonesia pada tahun
1945, Indonesia telah
melakukan
pemilihan umum sebanyak sepuluh kali, yaitu yang pertama kali dilaksanakan
pada
tahun
1955,
kemudian yang kedua dilaksanakan pada tahun 1971, selanjutnya tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992, tahun 1997, tahun 1999, tahun 2004, dan tahun 2009. Pemilihan umum yang dilaksanakan dalam rentang
waktu 1971 sampai tahun 1999 masyarakat hanya memilih partai politik, yang
selanjutnya partai politik tersebut akan menempatkan wakilnya di parlemen baik
itu di DPRD kota/kabupaten,
yang kemudian akan
bertugas memilih
walikota
ataupun bupati, DPRD provinsi, yang kemudian juga akan bertugas memilih
Gubernur
di provinsi masing-masing, selanjutnya DPR
RI,
kelak mereka akan bertugas
untuk memilih presiden
dan wakil
presiden, menetapkan
garis-garis besar
haluan negara (GBHN), pembentukan
kabinet, penyelenggaraan pembangunan lima tahun, serta penyelenggaraan pemilihan umum kembali (KPU,2008).
Selama 32
tahun bangsa Indonesia mengalami stagnansi dalam kehidupan
politik, hal ini dapat dilihat dengan ketidakbebasan yang dialami oleh masyarakat,
terutama dalam hal proses
rekrutmen politik (pemilihan umum), di mana dalam
setiap pemilihan umum rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tidak diberikan
kesempatan
untuk memilih siapa pemimpin
mereka. Kondisi ini terjadi pada masa
orde baru,
di
mana partisipasi politik
warga
negara terutama dalam hal menentukan pilihan dalam pemilihan umum sangat terbatas
dan
bahkan dibatasi (Mahmud, 2009).
Pasca reformasi 1998
di
Indonesia, sistem pemilihan umum di Indonesia berubah secara signifikan. Dimasa orde baru, partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia hanya diikuti oleh tiga partai,
yaitu Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Dalam setiap pemilu yang dilaksanakan di Indonesia masa orde baru tersebut selalu dimenangkan partai politik
pro-pemerintah,
atau dapat dikatakan tanpa mengadakan pemilupun sudah diketahui pemenangnya. Pemilihan umum yang diadakan
di Indonesia hanya merupakan lambang yang menandakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi (Marpaung. 2011).
Hasil verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap
calon partai politk peserta pemilu 2014 menghasilkan 15 partai politik yang dinyatakan
sah sebagai peserta pemilu (KPU, 2013). 12 partai yang lolos verifikasi faktual tersebut bersifat nasional yaitu, partai
Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Partai Golongan
Karya (GOLKAR), Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Partai DEMOKRAT, Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat
(HANURA), Partai Bulan
Bintang (PBB), Partai
Keadilan
dan Persatuan
Indonesia (PKPI).
Dan 3 partai yang bersifat lokal yaitu, Partai Damai Aceh
(PDA), Partai Nasional Aceh (PNA), Partai Aceh (PA). 15 partai tersebut
lolos
verifikasi faktual merupakan hasil seleksi KPU
terhadap 34 partai politik yang
mendaftar
sebagai peserta pemilihan
umum 2014 (KPU, 2013).
Dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum tahun
1999 di atas 90 persen, pada pemilihan umum tahun 2004 di bawah 80 persen dan pada pemilu terakhir tahun 2009 tingkat partisipasi masyarakat berada di bawah 70 persen (KPU 2010). Dari data
yang dikeluarkan KPU tersebut maka terlihat
bahwa
ada kecenderungan penurunan angka partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum.
Setelah sekian lama terkungkung dalam rezim otoriter, pemilihan umum diIndonesia pada tahun 1999 akhirnya memunculkan tiga kekuatan politik baru,
yaitu Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Amanat Nasional
(PAN), dan Partai
Bulan Bintang (PBB). Pada pemilihan umum
2004 juga memunculkan partai politik yang baru yaitu Partai DEMOKRAT, dan Partai Hati Nurani Rakyat
(HANURA). Pada pemilihan umum terkahir pada 2009 juga memunculkan
kekuatan politik baru yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) (KPU, 2010). Dari data yang dikeluarkan oleh KPU tersebut maka terlihat bahwa ada kecenderungan perubahan perilaku
memilih masyarakat dalam setiap
pemilihan umum, dan ini memperlihatkan bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap partai
yang telah ada sebelumnya.
Tidak hanya di Indonesia temuan yang serupa terjadi di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum
(Glasford 2008). Kelompok usia yang
secara
konsisten
kurang
berpartisipasi dalam
pemilihan umum adalah rentang usia
18-24 tahun, hal ini
ditunjukkan
dengan partisipasinya lebih rendah
dengan usia yang
lebih tua. Sebagai contoh
pada
pemilihan presiden pada tahun 1996
dan
2000, hanya sekitar sepertiga surat
suara dari keseluruhan pemilih yang berusia 18-24 tahun. Pada tahun 2004, hanya 47 persen anak muda yang memilih, sedangakan rentang usia 24-55 tahun 55
persen, dan
72 persen usia 55 tahun ke atas (Glasford 2008).
Rendahnya partisipasi politik
masyarakat juga terjadi
di Skotlandia (Carman, 2010). Rendahnya partisipasi politik disebabkan adanya kekecewaan
dan
ketidakpercayaan terhadap
elit partai politik
serta rendahnya kesempatan bagi
masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam sistem politik itu sendiri (Utama 2004; Carman
2010).
Penelitian Utama (2004)
mengenai partisipasi politik pada pemilu
2004 di Indonesia menemukan hubungan positif antara partisipasi politik dengan beberapa faktor seperti: jenis kelamin, budaya individualis dan kolektivis, serta keterlibatan di organisasi politik kampus dan non politik kampus.
Rendahnya partisipasi politik di
suatu negara diakibatkan
karena rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap
partai politik serta persepsi negatif terhadap partai politik
(Poon, 2003; Othman, 2008).
Menurunnya tingkat partisipasi politik
masyarakat menunjukkan bahwa persepsi korupsi partai politik berpengaruh terhadap
keputusan untuk berpartisipasi dalam pemilihan
umum, niat untuk
memilih partai tertentu dan pilihan mana yang dipilih terlepas dari pihak
mana yang dipilih (Slomczynski & Shabad, 2011).
Seltzer dan Zhang (2011)
berkesimpulan persepsi positif
pada
partai politik
tidak
hanya meningkatkan partisipasi politik
dalam memilih
dalam pemilu tetapi
juga menguntungkan terhadap
partai politik tertentu yang
dipersepsi positif oleh masyarakat seperti keuntungan bertambahnya pendukung
dan
memunculkan sikap
berlawanan terhadap
partai oposisi.
Mcdonald and Tolbert (2012) menemukan bahwa partisipasi politik memiliki hubungan dengan persepsi pemilih terhadap partai politik. Jika persepsi
pada
partai politik
tertentu
positif
maka tingkat partisipasi politik juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Schildkraut (2005) berpendapat ada hubungan negatif
antara persepsi terhadap
partai politik
terhap partisipasi politik. Penelitian
yang dilakukan oleh Mcdonald dan Tolbert (2012) memperkuat temuan sebelumnya bahwa persepsi merupakan faktor
yang mempengaruhi partisipasi politik.
Selanjutnya penelitian lain yang
menemukan hubungan antara rendahnya partisipasi politik
masyarakat dalam pemilihan umum juga berkaitan dengan trust
terhadap kandidat atau partai politik yang berkompetisi dalam pemilihan umum
(Goddeke, 2004; Yao &
Murphy, 2007; Carter & Campbell,
2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Grönlund dan Setälä (2007) menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara trust dengan keputusan memilih
di dalam
pemilihan umum. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dermody
dan Scullion
(2001) menyatakan
bahwa trust mempengaruhi 51% perilaku
memilih dan mengidentifikasi sikap politik sebagai tingkat kepercayaan pada pemerintah dan tokoh politik, efikasi politik para pemilih, serta tingkat sinisme masyarakat.
Mereka mengidentifikasi
dampak psikologis terhadap intensi memilih
pada
pemilih pemula di UK. Penelitian ini menghasilkan dampak dari sikap politik pada pemilih
pemula terhadap
perilaku politik mereka.
Penelitian yang
lain
yang melihat hubungan antara tingkat kepercayaan
kandidat terhadap
perlilaku memilih
adalah
penelitian yang
dilakukan oleh Kemmelmeier (2004) menemukan dampak trust terhadap kandidat
terhadap
perilaku memilih, menunjukkan bahwa ada hubungan antara trust dengan partisipasi memilih masyarakat. Penelitian yang
hampir sama juga dilakukan oleh
Ondercin dan White (2011) mengambil kesimpulan bahwa trust terhadap kandidat tertentu dan tingkat pengetahuan tentang kandidat tersebut merupakan pedoman seseorang mempertimbangkan terlibat aktif dalam satu kegiatan politik, dalam konteks ini partisipasi politik formal yaitu ikut berperan aktif dalam pemilihan
presiden.
Penelitian Carlin
(2013) menjelaskan bahwa, tidak hanya keterpercayaan
kandidat tertentu yang mampu mempengaruhi tingkat partisipasi politik
masyarakat tapi keterpercayaan partai politik juga memberikan
pengaruh terhadap
tingkat partisipasi masyarakat dalam dunia politik, baik
itu partisipasi politik formal seperti
ikut
serta dalam pemilihan umum, maupun aktivitas politik tidak formal.
Partisipasi pemuda dalam masyarakat dan
kehidupan
politik semakin dikenal dan
menjadi tujuan pembangunan. Berpartisipasinya para pemuda dalam
komunitas diharapkan mempengaruhi transisi perkembangan mereka dari remaja menjadi dewasa. Misalnya, sebagian besar pemuda yang berasal dari negara-
negara maju menunjukkan bahwa, mereka
yang berpartisipasi
dalam kegiatan masyarakat atau tergabung
dalam komunitas tertentu, tingkat perilaku
berisikonya lebih rendah dibandingkan dengan
pemuda yang tidak tergabung dalam komunitas tertentu. Selain itu, perilaku dan sikap seseorang berhubungan dengan
partisipasnya dalam komunitas tertentu, kemudian diadopsi dari perspektif dan
afiliasi yang dilakukannya (Acharya dkk, 2010).
Gozzo dan D’Agata (2010) melihat faktor lain yang
mempengaruhi
keterlibatan masyarakat dalam dunia politik yaitu kontak dengan orang lain. Hal
ini
merupakan hal yang
penting
dalam domain instrumental dan sosio-emosional,
sehingga
penting menganalisis interaksi individu untuk memahami
bagaimana
mereka
mempengaruhi
kehidupan
sehari-hari. Orang yang
memiliki banyak teman, dan banyak berhubungan
satu dengan
yang lainnya memiliki
struktur sosial
yang kuat. Banyaknya
informasi yang diperoleh dari kelompok di luar dirinya, membuat sebuah kolam informasi yang
sangat kaya dan heterogen.
Informasi ini kadang-kadang dapat bermanfaat dan atau memberikan pengaruh
dalam pengambilan
keputusan, perubahan pekerjaan, dan perilaku
memilih seseorang. Ketertarikan seseorang
terhadap hal tertentu
merupakan hal yang
relevan dari interaksi yang
dilakukannya, ketertarikan dan penolakan
terhadap hal
tertentu merupakan produk dari interaksinya itu, misalnya aktivitas politik yang ada di lingkungan
relasi atau lawan interaksinya akan
memberikan pengaruh
terhadap aktivitas sosial politik
orang tersebut.
Kondisi politik yang labil akan
membentuk
ketertarikan dalam
melihat sejauh mana hubungan
antara pemilih pemula sebagai masyarakat dan partisipasi mereka dalam pemilihan
presiden
2014. Kekecewaan
terhadap
kinerja para
politikus memunculkan apatisme di kalangan pemilih pemula. Mereka menjadi
enggan terlibat dalam partisipasi politik
konvensional dan cenderung
memilih partisipasi non konvensional,
seperti demonstrasi.
Dari
paparan latar belakang
di atas, maka peneliti mengambil judul pada penelitian ini adalah partisipasi politik pemilih pemula pada pemilihan presiden
ditinjau dari persepsi terhadap citra partai politik dan
keterpercayaan kandidat
presiden.
B.
Rumusan Masalah
Dari paparan di
atas
maka
dapat
dirumuskan permasalahan
: Apakah
persepsi
terhadap
citra partai
politik
dan keterpercayaan kandidat
presiden menjadi prediktor partisipasi politik pemilih
pemula?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana persepsi pemilih pemula terhadap citra partai politik
dan keterpercayaan kandidat presiden memberikan pengaruh terhadap perilaku memilih.
Penelitian
ini
memberikan kontribusi terhadap kajian-kajian psikologi sosial khususnya yang tertarik
dalam perilaku memilih. Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan bagi pemerintah
sebagai acuan
untuk memahami, menerjemahkan dan mencari strategi untuk meningkatkan partisipasi pemilih pemula dalam pemilihan umum, serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi partai politik yang ada di Indonesia untuk memperbaiki citra dan
membentuk
persepsi yang positif terhadap partai ataupun strategi yang lain
agar partai politik menjadi sarana aspirasi masyarakat menjadi lebih
maksimal.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang partisipasi politik banyak dilakukan baik itu di bidang sosial, industri organisasi maupun kesehatan, salah satu penelitian
tentang partisipasi politik adalah
penelitian yang
dilakukan oleh Utama (2004) dengan
judul partisipasi politik mahasiswa dalam
pemilihan umum: budaya
individualisme-kolektivisme, jenis
kelamin dan keterlibatan di organisassi politik
kampus. Dalam hasil penelitiannya Utama (2004)
menemukan bahwa partisipasi politik perempuan dan laki-laki tidak memiliki perbedaan yang nyata, perbedaan
yang nyata antara laki-laki dan perempuan hanya terjadi dalam aspek norma, perempuan lebih berorientasi pada norma
memilih dibandingkan dengan laki-laki. Dalam penelitiannya, Utama juga menemukan bahwa ada hubungan yang
positif dan signifikan antara budaya individualisme-kolektivisme, jenis
kelamin, keterlibatan organisasi non polititk kampus
dan
keterlibatan di organisasi politik
kampus dengan partisipasi politik dalam pemilihan
umum.
Penelitian yang dilakukan pada perilaku memilih sudah banyak dilakukan
khususnya pada bidang
ilmu sosial dan politik. Di antara penelitian yang
dengan tema yang hampir sama pernah dilakukan oleh Slamet (2005) dengan judul hubungan antara religiusitas
dan persepsi terhadap partai Islam dengan sikap memilih partai
(studi pada mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Dalam
hasil penelitiannya Slamet (2005) menemukan bahwa religiusitas
dan
persepsi terhadap
partai Islam memiliki hubungan yang
signifikan dengan sikap memilih
partai Islam. Tingkat religiusitas yang
semakin tinggi akan berpengaruh terhadap sikap memilih partai Islam yang semakin tinggi pula. Persepsi terhadap partai Islam yang
baik, juga akan mempengaruhi seseorang
untuk memiliki sikap
yang semakin
tinggi dalam memilih partai Islam.
Persepsi terhadap partai Islam juga
menjadi prediktor yang cukup baik pula untuk meramalkan sikap seseorang dalam
memilih partai Islam.
Penelitian tentang
profil kandidat juga pernah diteliti oleh Suyono (2005)
dengan judul sikap pemilih pemula ditinjau dari kampanye negatif,
profil calon presiden
dan jenis kelamin. Dalam hasil penelitiannya Suyono (2005) menemukan bahwa tidak ada perbedaan sikap
pemilih yang mendapat pengaruh
dari
kampanye negatif, profil calon presiden, dan jenis kelamin. Adanya perbedaan sikap pemilih
pemula yang
mendapat pengaruh dari profil calon presiden dan kampanye negatif dilatarbelakangi oleh profil calon presiden ideal dan profil calon presiden tidak
ideal, tidak ada perbedaan sikap pemilih pemula ditinjau dari kampanye negatif dan jenis kelamin,
tidak ada perbedaan sikap pemilih pemula ditinjau dari profil calon presiden
dan jenis
kelamin,
ada
perbedaan sikap pemilih pemula
yang sangat signifikan
sebagai akibat dari kampanye negatif, ada perbedaan
sikap pemilih pemula yang sangat signifikan sebagai akibat dari profil calon presiden,
tidak ada perbedaan sikap pemilih pemula sebagai akibat dari jenis kelamin, tidak adanya perbedaan sikap pemilih pemula ditinjau dari kampanye negatif, profil
calon presiden, dan jenis kelamin.
Mahmud (2009) juga melakukan
penelitian dengan judul perilaku memilih masyarakat kota Gorontalo pada pemilihan kepala daerah secara langsung tahun
2008. Dalam hasil penelitiannya Mahmud (2009) menemukan bahwa perilaku memilih masyarakat
kota Gorontalo
pada pemilihan kepala
daerah secara
langsung
di kota Gorontalo merupakan sebuah rasionalitas yang
didasarkan pada
pertimbangan
perilaku
kandidat. Ukuran primordialisme,
patron klien dan
lain sebagainya tidak
lagi berpengaruh terhadap
perilaku
memilih
masyarakat. Pemilih semakin
terbuka dalam pertimbangan memilih, sehingga orientasi mereka lebih bersifat moderen yakni berorientasi pada isu, kandidat dan
orientasi ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Siswoyo (2010) dengan judul PILKADA dalam struktur masyarakat patron klien; studi kasus perilaku memilih di PILKADA Kabupaten Lamongan 2005. Dalam hasil penelitiannya Siswoyo
(2010) menunjukkan terjadinya
keretakan struktur
sosial masyarakat patron
klien di
kabupaten Lamongan. Peran dan pengaruh legitimasi kyai atau tokoh agama
dengan personality figure
ataupun institusi
organisasi
keagamaan
dan partai
politik semakin kabur dengan liberalisasi politik dan kepentingan warga masyarakat. Legitimasi institusi keagamaan dan kekuatan kyai atau
tokoh agama
terhadap basis jama’ah dan santrinya terurai dengan kepentingan ekonomi dan kekuasaan pada proses partisipasi politik pemilih di PILKADA
langsung kabupaten Lamongan
2005.
Penelitian
dengan tema yang
sama juga telah
dilakukan
oleh
Kurniawan (2011)
dengan judul komunitas sipil dan perilaku memilih dalam pemilihan umum
legislatif
2009 (studi tentang pengaruh komunitas
sipil terhadap perilaku pemilih
pada pemilihan umum
legislatif)
dalam
hasil penelitiannya mengungkapkan
bahwa mobilisasi massa yang dilakukan oleh komunitas sipil jauh lebih berhasil dalam mempengaruhi perilaku memilih masyarakat.
Penelitan yang
dilakukan oleh Eldo (2011) juga meneliti tentang perilaku memilih
dengan judul perilaku memilih warga
Nagari Lumpo Kecamatan IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat pada pemilihan umum
legislatif tahun 2009 menemukan bahwa perilaku memilih individu
pada pemilihan
umum
legislatif tidak
semata-mata ditentukan oleh
faktor
orientasi kandidat dan endorsement.
Penelitian
yang dilakukan
oleh Ismail (2005) dengan
judul hubungan antara
harga diri dan aktualisasi diri dengan partisipasi
mahasiswa dalam gerakan
sosial menemukan bahwa harga diri berpengaruh terhadap partisipasi
mahasiswa dalam
gerakan
sosial peserta
demonstrasi.
Artinya
semakin tinggi harga diri mahasiswa peserta demonstrasi,
maka
akan semakin
intensif
partisipasinya dalam gerakan sosial dan aktualisasi diri tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku
partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial.
Penelitian terkait partisipasi politik juga pernah dilakukan oleh Matulessy
(2008) dengan judul model kausal partisipasi politik aktivis gerakan mahasiswa.
Dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan di atas maka dapat terlihat bahwa penelitian ini memiliki perbedaan
dalam variabel yang
diteliti, subjek dan tempat penelitian.
0 comments:
Post a Comment