Sunday, December 04, 2016

Teori Demokrasi Klasik

Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt" sehingga kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat.
Dalam hal ini perlu dicermati bahwa teori kontrak sosial yang dikemukakan di eropa pada abad pertengahan menjadi hal yang sangat nyata terlihat. Bagaimana seorang calon pemimpin memberikan janji-janji kepada masyarakat bahwa ketika ia terpilih ia akan mewujudkan mimpi-mimpi rakyatnya. Melalui dirinya pula ia akan menyambung lidah-lidah rakyat, menjadi perantara masyarakat dengan kekuasaan, membuka tabir gelap pemerintahan yang kotor, serta berusaha mewujudkan lahan pemerintahan dan politik yang kondusif, jujur dan adil. Namun yang menjadi permasalahan adalah seberapa baik kualitas masyarakat yang seharusnya mengusung sang pemimpin. Tidakkah ini menjadi permasalahan ketika masyarakat sendiri yang menjadi objek kekuasaan tidak memiliki cukup pemahaman mengenai situasi yang sebenarnya terjadi di tengah carut marut negeri tercinta.
Berdasarkan data dari KPU, daftar pemilih tetap di Indonesia untuk pemilu 2014 mencapai 186juta orang pemilih. Menurut data BPS jumlah remaja di Indonesia pada tahun 2010, jumlah remaja di Indonesia adalah sekitar 41juta . Jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 mendatang, cukup mencengangkan. Menurut data KPU, dari jumlah sekira 188 juta orang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), diperkirakan terdapat sekira 22 juta orang yang akan mengikuti pemilu pertama kalinya. Sedangkan jumlah pemilih pada kelompok usia 17-23 tahun sekira 30 juta orang. Dan mayoritas pemilih pemula dan pemilih muda adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan pekerja muda yang baru masuk kerja, sehingga totalnya sekira 52 juta orang.
Mampukah seorang mahasiswa berpikir jernih dalam menentukan nasibnya sendiri, atau bahkan nasib ratusan juta pemilih di Indonesia dengan memilih calon pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia? Sebagai seorang mahasiswa, yang juga mahasiwa kedokteran, ada baiknya kita melihat lebih dalam permasalahan ini dari sudut pandang duniakedokteran. Dalam menjalankan kehidupan seorang manusia memiliki fungsi luhur, yaitu berpikir dan mengambil keputusan dengan baik. Fungsi luhur ini diatur oleh otak. Dalam prosesnya, berpikir dan membuat keputusan sangat berkaitan dengan memori. Bagaimana seseorang dapat menentukan pilihan adalah melalui recall pengalaman (ingatan) yang sudah di dapat sebelumnya, memori ini diatur oleh sistem limbik, hippocampus,ganglia basalis, dan prefrontal cortex yang bekerja secara sinergis dan kompleks membentuk suatu sistem memori jangka panjang dan memori jangka pendek (memori kerja). Proses pengambilan keputusan diatur oleh prefrontal cortex, suatu bagian dari lobus frontalis dari otak manusia. Prefrontal cortex berkembang secara struktural dan fungsional selama usia 9-16tahun (Alloway,2006).
Setelah mencapai kematangan prefrontal cortex, fungsi executive (baca: pengambilan keputusan) juga mencapai potensi terbaiknya sebelum akhirnya harus menurun fungsinya seiring pertambahan usia dan paparan lingkungan. Maka dengan kenyataan bahwa bagian otak yang mengatur mengenai pengambilan keputusan sudah matang ketika mahasiswa yang rata-rata berusia 17-23tahun dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus memilih dengan sebaik-baiknya dalam ajang demokrasi yang disebut pemilu, seharusnya tidak menimbulkan kekhawatiran berlebih dalam benak para mahasiswa dan masyarakat. Mahasiswa sudah cukup matang untuk memilih !

Akhirnya pada ajang pemilu 2014 ini para mahasiswa diharapkan dapat memberikan kontribusinya yang terbaik, 30juta bukan angka yang sedikit, mahasiswa memegang 1/6 jumlah total suara yang akan masuk dalam pemilu 2014 nanti. Karena fungsi executive otak berjalan dengan mempertimbangkan paparan informasi baik informasi lama yang dihasilkan melalui suatu proses ―recall dari memori jangka panjang (baca: pengalaman sebelumnya) maupun informasi yang baru saja didapat, ada baiknya mahasiswa mempelajari betul-betul kandidat pemimpin yang akan meramaikan ajang kontrak sosial ini sehingga keputusan kita mahasiswa tidak dibutakan oleh ketidaktahuan.

Saya Pemuda Saya Memilih

“Hujan lebat akan menghilang apabila angin meniup mendung dan matahari memberi cahaya menyongsong hari baru
Kalimat inilah yang mungkin dapat diungkapkan dalam perayaan pesta demokrasi di negara ini. Hal itu tentu saja terjadi apabila seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi penuh di dalamnya. Namun, belakangan ini banyak sekali masyarakat yang enggan menggunakan hak pilihnya dengan berbagai macam alasan.
Sebagai contoh, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan calon anggota legislatif peserta Pemilu 2014 didominasi oleh caleg berpendidikan sekolah menengah atas. Salah satu anggota KPU Gunung Kidul, Sukamto, mengatakan tingginya caleg berpendidikan SMA ini dikhawatirkan akan menimbulkan kebijakan yang kontra produktif. Namun kita juga tidak dapat memastikan bahwa caleg yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan tentang hak maupun kewajibannya sebagai wakil dari rakyat Indonesia. Kebimbangan inilah yang menjadi pemicu munculnya golongan putih (golput) yang takut bahwa pilihannya akan mengecewakan yang tanpa disadari pula menjadi golput adalah keputusan yang lebih mengecewakan.
Pada pengumuman resmi pemilu 2009 oleh KPU disebutkan bahwa suara sah yang terhitung hanya mencapai 104.099.785 suara dari 171 juta penduduk yang harusnya menggunakan hak suara dengan benar. Dari 171 juta penduduk tersebut, sekitar 10% yakni 17.488.581 penduduk menggunakan suara keliru/salah sehingga menyebabkan suara tidak sah. Sehingga ada 66,9 juta (67 juta) atau 39% ―Golput‖ atau suara penduduk yang tidak menggunakan hak memilihnya dengan tepat. Bahkan jumlah golput tersebut melebihi jumlah pemilih partai yang merupakan urutan pertama yang diumumkan KPU yang mendapatkan 21,703,137(20.85%) suara. Dari sini dapat dilihat bahwa menjadi golongan putih adalah menjadiorang yang membiarkan negaranya disetir oleh wakil rakyat yang belum diketahui kredibilitas dan loyalitasnya terhadap masyarakat dan negara.

Hal tersebut harus dihindari pada pemilu 2014 kali ini. Sebagi generasi penerus dengan idealisme yang tinggi dan pikiran yang kritis serta dengan semangat seorang pemuda diharapkan kita mampu menjadi angin yang meniupkan awan mendung yang siap menghujani Negara ini dan menyebabkan banjir korupsi di tanah tercinta ini. Setelah itu, kita dapat menjadi matahari dengan terus membantu mengawasi keberjalanan wakil rakyat kita sembari mempelajari hal yang baik untuk diambil menjadi teladan agar kita siap menggantikan wakil rakyat yang amanah untuk menerangi Indonesia tercinta.